Khalisa────୨ৎ────જ⁀➴📞"Serius, ini Heksa?" jeritku di depan cermin. Daniar hanya mendesah di seberang telepon. "Gila ....""Kamu dulu nggak kayak gitu juga, kan?""Enggak, lah! Emang aku sepolos itu, ya?""Terus, kenapa kamu kaget?""Enggak tuh, biasa aja.""Yakin?"Aku terdiam, lalu melangkah ke balkon. Biasanya, jam segini aku memperhatikan punggung Alzian yang sedang masuk ke mobil. Tapi kali ini sudah hari kedua sejak dia pamit akan ke Kalimantan."Daniar, kamu bilang dia unggah foto lagi. Coba screenshoot, kirim ke aku sekarang!""Tapi janji dulu, jangan lompat dari balkon, ya!" pekiknya.Aku menengok ke bawah. Ya, cukup tinggi kalau mau lompat dari lantai tiga."Iya ...."Satu pesan masuk.Aku langsung melempar ponsel ke ranjang. Napasku sesak, antara ingin menangis, marah, dan malu sendiri karena bereaksi berlebihan.Langkahku ragu saat kembali mengambil ponsel itu. Layarnya masih menyala, menampilkan tangkapan layar dari Daniar. Foto itu jelas menunjukkan perempuan yang sam
"Aku nggak bisa biarin nama Akademi kamu tercoreng gara-gara aku, Fenya!" seruku, menatap punggungnya yang hanya berjarak beberapa langkah. Dia diam, bahunya sedikit naik turun menahan napas. Jadi aku lanjutkan, "Kata Papamu, resikonya bakal nggak bisa dicegah kalau kita nggak nikah."Dia berhenti. "Terus apa gunanya, Heksa? Kalau kamu nggak punya perasaan apa-apa? Pernikahan kita cuma kamu anggap pelarian, gitu?""Enggak gitu. Aku cuma … cuma belum siap aja untuk hal yang itu." Aku maju selangkah, ragu-ragu menyentuh lengannya. "Fenya, nggak usah lakuin ini lagi, ya? Aku nggak mau kamu celaka."Dia berbalik dengan sorot mata yang menyala. Dia enggak pandai menangis, cuma menekuk alisnya, sambil bilang, "Aku bakal lakuin apa pun yang aku mau. Dan kamu nggak berhak ngelarang!""Aku berhak!" bantahku, suaraku pecah. "Aku nggak mau calon istriku kenapa-kenapa!""Dan aku nggak mau punya suami yang nggak punya perasaan apa-apa!" balasnya, tak kalah keras."Dan aku juga nggak mau istriku cu
Aku melangkah menembus pintu aluminium yang dibiarkan terbuka. Bau karat dan oli menyambutku. Di lorong, terdengar suara logam jatuh. Instingku menyala. Perlahan, kurogoh pisau dari balik jaket.“Fenya?” bisikku.Tak ada jawaban. Tapi di ujung sana, aku melihatnya, terbaring enggak sadarkan diri, kedua tangan terikat pada pipa besi. Wajahnya bengkak, bibir pecah, darah menodai pipi dan kausnya.“Fenya!” Aku berlutut, mencoba menyadarkannya. Napasnya masih ada, lemah, tapi cukup memberiku harapan.Lalu suara itu terdengar, “Lama banget, sih!”Aku menoleh cepat.Biron muncul dari kegelapan, menggenggam linggis. Matanya merah, wajahnya gelap, seperti dirasuki setan.“Ha ha ha. Aku tahu kamu bakal datang, Bre,” gumamnya. “Kamu, kan, emang suka jadi pahlawan kesiangan?”Aku berdiri. Tubuhku tegak, meski pikiranku meledak. “Nggak harus kayak gini, Biron. Kita bisa obrolin baik-baik, kan. Kamu bisa—”“Aku udah bilang!” teriaknya sambil melangkah mendekatiku. “Bertahun-tahun, Bre! Tapi kamu m
Akhir-akhir ini, setiap malam Fenya kerap muncul di barakku. Lagi-lagi tanpa memberi kabar lebih dahulu. Dia cuma memakai kaus dalam dan celana training tipis. Rambutnya masih basah, pertanda ia baru saja mandi. Ia melenggang masuk seolah tempat ini kamarnya juga.“Kamu kangen aku, kan?” katanya sambil melempar tasnya ke lantai. “Ngaku aja, deh, Sayang.”Aku tengah mengelap senapan, tapi tanganku langsung terhenti, “Fenya, kamu enggak bisa seenaknya masuk ke sini. Ini barak, bukan apartemen.”“Ah, kamu mulai sok disiplin,” tegasnya. Dia menghampiriku sambil menyapu pandangan ke setiap sudut ruangan. Sepi ... Biron dan Onad sedang ikut diklat tambahan. Jadi, beberapa hari ini aku lebih sering sendiri di barak. “Aku cuma mau nemenin kamu, kok. Atau … kamu mau aku temenin di tempat tidur?”Nada suaranya berubah. Matanya menyipit, langkahnya mendekat sembari menjilat bibirnya. Itulah cara dia menggoda, cara yang terlalu sering membuahkan hasil. Tapi kali ini aku bangkit berdiri, menahan b
Heksa────୨ৎ────જ⁀➴Siapa sangka, hidupku selama sebulan terakhir ini berubah menjadi panggung drama.Sungguh di luar dugaan. Semua bermula dari malam penyiksaan itu. Malam ketika Alzian datang ke barak militer dan melayangkan amarahnya padaku. Ia curiga, akulah dalang di balik hancurnya pesta pernikahannya. Dan, ya ... memang benar.Aku mengakuinya.Lalu Fenya datang, tepat ketika tubuhku telah nyaris remuk. Ia menolongku, dan dari sanalah segalanya mulai berubah. Aku menceritakan segalanya, tentang aku dan Khalisa. Ia pun membuka kisahnya sendiri, tentang hubungannya dengan Biron, dan tentang perasaannya padaku.Fenya tahu, aku enggak mungkin bisa balik sama Khalisa. Tapi dia juga mengakui, sejak tiga tahun lalu, benih suka sudah tumbuh dalam hatinya. Sampai malam itu terjadi.Malam ketika ia kehilangan kendali, dan justru mengendalikanku, di atas ranjang rumah sakit.Gila ....“Sayang, ini bagus nggak?” tanya Fenya, menunjuk sebuah gaun bermotif terbuka dari layar HPnya.“Serius, P
Aku menatap wajah Papa yang tersenyum senang, wajah tua itu begitu menyebalkan. "Kenapa ini? Kenapa aku malah semakin bergairah ketika menatap mertuaku yang terkekeh-kekeh ini, KENAPAAA?" jeritku salam hati.Aku menggeleng kecil berusaha mengembalikan kesadaran dan kewarasanku. Sulit sekali menolak gairah yang meletup-letup ini ketika tangan Papa sudah meremas lembut seluruh tubuhku.“Coba sini sebentar, Nduk!” Jarinya menjepit dan memilin jahil kismis mungilku yang mulai kemerahan. Setelah puas, Papa mengangkat kedua kakiku lebar-lebar, kemudian cacing beruratnya menekan belahan rahimku yang sudah kentang oleh ledakan syahwat.“Hhhhhhhhhhhhhhh ....” terdengar hela napas panjang ketika kepala cacing raksasa Papa mulai melesak ke dalam jepitanku. Nafas Papa memburu kencang ketika merasakan cacing beruratnya digigit oleh liang senggamaku. Aku meremas-remas cacing beruratnya dengan rahimku, semakin dalam rasanya semakin enak dan kesat.“Ohhh ... Aaahh ... Ahhhh … Sakitt! Sakitt berhen
Napas Papa semakin berat, tangan kanan yang memegangi cacing raksasa itu gemetar hebat ketika membantu untuk menjejalkan pucuknya ke dalam rahimku. Matanya melotot ketika tubuhku menggelinjang, rupanya Papa merasa geli ketika ujung pusakanya mulai membelah liang senggamaku.“AHH!! Aduhhhhh, Sakitttt!!!" Aku menjerit-jerit dahulu, mengerang-erang kemudian. Tubuh Papa bagaikan orang yang sedang demam, menggigil disertai cairan keringat yang mengucur semakin deras.“Ow!!” Aku melolong keras ketika Papa menancapkan pusakanya semakin dalam. Wajahnya tampak beringas ketika cacing raksasanya merobek-robek liang senggamaku dengan sodokan yang brutal.“Weleh- weleh, Nduk. Rasanya kayak perawan ting-ting!” Papa menatap tajam pada cairan bening yang membasuh cacing raksasanya. Si bandot tua ini tersenyum sambil menatap wajahku yang mengernyit kesakitan.Air mata mulai berlinang dan membasahi pipiku, sakitnya bertambah parah ketika Papa mulai mengayunkan pusakanya, menyodok belahan senggamaku hin
“Papa mau apa sih!!?“Aku menepis tangannya yang hendak menjamah buah dadaku di balik Daster Manohara. Mataku sontak membelalak dengan galak menatapnya. Sebenarnya aku nggak sudi kalau tubuhku disentuh oleh manusia bejat seperti Papa, meski aku sadar kalau dia sudah memegang kartu AS-ku.“Ha Ha Ha. Biasanya, sih, wanita jutek kayak kamu ini lebih panas dan hot kalo lagi di ranjang, Nduk!” pekik Papa.“JANGAN KURANG AJAR YA, PA!” caciku. Aku memberanikan diri untuk melayangkan telapak tanganku ke wajah Papa, namun dengan sigap dia memiting tanganku ke belakang."Arrgghh," keluhku ketika Papa dengan cekatan mengambil selotif di meja kerjanya lalu mengikat kedua tanganku, kemudian menarik tubuhku hingga rubuh terjengkang ke belakang.“Kamu pikir siapa yang pegang kendali di sini, Nduk? Humm!!” pekiknya sambil menarik tanganku lebih ke belakang.“Ahhhhhhhhhhh!!” Sakit banget rasanya ketika Papa mengikat kedua tanganku kuat-kuat.Aku geleng-geleng kepala berusaha menghindari mulut Papa yan
Langit masih gelap, saat suara koper Alzian beradu dengan lantai marmer. Aku terbangun dari tidur singkat di sofa, lelah setelah menyiapkan sarapan pagi buat suamiku yang ... ya, nggak tahu diri. Alzian muncul, sudah rapi dengan setelan serba hitam, tapi matanya masih setengah matang.Aku hanya menoleh sekilas dari dapur, cepat-cepat mengaduk secangkir teh tanpa gula.“Sayang, aku berangkat dulu!”"Loh, teh kamu ini, loh, Mas. Diminum dulu." Aku berjalan cepat mengejarnya. "Aku udah siapin Ayam bakar buat kamu sarapan, makan dulu.""Sejak kapan kamu bisa masak, Khal?" pekik Alzian. Dia lagi sibuk sama sepatunya. Senyumnya pagi ini nggak membuatku semangat. Justru bikin aku nge-down."Oh ... Hemm ... Bik Kinasih yang masak kemarin, Mas. Tadi dia juga yang angetin Ayam Bakarnya." Aku buang muka ke samping. Ya meski aku nggak bisa masak, tetap saja aku juga ingin menjadi istri yang selalu ada saat suaminya sarapan. Tapi kalau reaksi dia kayak begini. Aku jadi enggan."Terus kamu bela-be