୨ৎ K H A L I S A જ⁀➴
“Sayang, itu hadiah dari siapa?” tanyaku pelan, dengan tangan yang tetap melingkar di tengkuknya. Mataku tertuju pada bingkisan di atas meja, di mana terlihat foto Alzian dengan seorang perempuan. “Oh, itu kiriman dari saudaraku,” jawabnya santai sambil melepas satu per satu setelan hitam baju adat pernikahan, menyisakan sehelai celana dalam di pinggangnya. “Memangnya kenapa?” "Enggak, cu—cuma, ummmmmhh—" Kata-kataku tenggelam, dibungkam oleh bibir tipisnya yang menempel begitu tenang di bibirku. Ada jejak cherry di sana. Masam, manis, lembut, dan menyisakan rasa yang sulit buat kutolak. "Kamu mau sekarang?" "Iya, dong, Sayang. Ini, kan, malam pertama kita," bisiknya sambil mengurai satu per satu kancing kebayaku yang bertemakan bunga melati, sedikit transparan. "Kalau enggak sekarang, terus, kapan lagi?" "Tapi, aku belum siap!" Aku sempat merengut, tapi sentuhan tangannya yang selembut beludru itu, perlahan membimbing bibirku untuk tersenyum. "Sayang, nggak apa-apa, kok. Sakitnya itu cuma di awal-awal aja, percaya, deh!" bisiknya, mencoba menenangkanku. Tapi bukannya tenang, pikiranku malah ke mana-mana. "Kok kamu bisa paham bener kayaknya? Kamu pernah ngelakuin ini sama siapa sebelum sama aku? Hah, jujur!" Aku mendorong dadanya spontan, membuat tubuhnya sedikit terhuyung. Namun dia kembali mendekat, memelukku dengan panik. "Enggak ada, sumpah, kamu yang pertama!" "Halah ... Bohong!" seruku sambil berusaha melepaskan pelukannya, "Lepas, atau aku bakal teriak?" "I—iya ... Okay!" Begitu aku berhasil lepas, segera kurapikan kebaya dan jilbabku. Rasanya akan jauh lebih baik kalau aku berada di depan, bersama saudara-saudara yang lain untuk menyambut para tamu undangan. Toh, sekarang masih jam delapan malam. Pasti masih ada saja tamu yang datang. Apalagi ini malam minggu. Aku nyaris saja membuka pintu kamar, tapi tiba-tiba namaku terdengar lantang dari belakang, "Khalisa!" Suara itu membuatku berhenti. "Lebih baik kita nggak usah ngomong, sampai kamu benar-benar bisa jujur semuanya sama aku, Alzian!" "Khal—" "Sssttttt," potongku, sambil menggeleng pelan. Aku enggak mau ambil pusing lagi. Mungkin baginya ini cuma hal sepele. Tapi buatku, ini bukan perkara kecil. Kenapa, sih, kebanyakan laki-laki di dunia ini berharap mendapatkan istri yang belum pernah disentuh, alias 'masih suci/perawan'. Bahkan mereka selalu berlomba-lomba untuk jadi yang pertama menyentuhnya. Tapi kenapa standar itu enggak bisa berlaku juga untuk perempuan, untukku? Aku mengabaikannya. Begitu tanganku menyentuh gagang pintu dan mulai menariknya, tiba-tiba sebuah sentuhan ringan mendarat di bahuku, "Khalisa?" "Hiiiihhhh," desisku sambil menepis tangannya ke samping. "Kebayamu," ucapnya, ada getaran halus di suaranya. "Benerin dulu kebayamu kalau mau keluar!" Aku berbalik, tatapan kami bertemu. Ada genangan yang menggantung di matanya. "Maksudmu?" tanyaku pelan. Dia menunjuk ke arah dadaku. Baru kusadari, karena kejadian tarik-menarik tadi, posisi Bra-ku bergeser ke dalam. Kebaya putih yang sedikit transparan ini pun membuat kismis mungilku tampak lebih jelas dari yang kukira. "Oh, maaf," timpalku sembari merapikan si mungil yang menyembul malu-malu. Saat aku kembali menatap lelaki ini, air matanya sudah jatuh, mengalir melewati leher dan dada, lalu menghilang di atas perutnya. Ada yang ganjil saat pandanganku tertuju pada bokser hitam itu. Sebuah tonjolan keras tampak jelas, dan dari serat-serat kainnya, mengalir cairan berwarna putih pucat. Jujur, aku masih belum mengerti, apakah itu sisa air mata yang sempat lenyap tadi, atau ada cairan lain yang belum kupahami. Aku mengernyit dan mengangkat alis. "Alzian? Ka—kamu?" Sebelum tubuhnya benar-benar jatuh di lantai, aku sempat menangkap lengannya. "Kamu sakit?" Wajahnya tampak pucat. Tangannya mencengkeram bokser. Dia terbaring sambil menatap lampu gantung. "Enggak, aku enggak apa-apa," gumamnya. Tapi sorot matanya berkata lain. "Wajahmu pucat." Dia enggak menjawab. Tatapannya goyah. Lalu, dengan gerakan yang tampak dipaksakan, dia berdiri dan mengangkat bahunya tinggi-tinggi. "Aku kuat, kok. Tuh, lihat, kan!" Aku masih berlutut di depannya, menatapnya dengan penuh tanda tanya. Tapi tiba-tiba, aroma aneh menyelinap ke hidungku. Refleks, aku menutup hidung dengan kedua tangan. Mataku membelalak, tertuju pada tonjolan di boksernya yang basah, tampak aneh dan membuatku mual. "Alzian?" pekikku sambil menggigit bibir, menahan tawa yang tiba-tiba saja muncul. "Kamu udah keluar secepat ini, hmm?" Wajah Alzian langsung berubah. Matanya berkedip cepat, napasnya tertahan, dan bibirnya sedikit terbuka. Sampai akhirnya yang keluar dari mulutnya hanya satu kata, "Maaf." Aku mengangkat alis, "Maaf?" berpura-pura galak dengan meninggikan nadaku. "Kamu bilang maaf? Iya!!?" Aku pun berdiri. Kini mata kami sejajar. Bibirnya tampak bergetar saat aku mengunci pandang ke arahnya. "Aku sumpah, aku nggak tah—" "Ssst." Cepat, jari telunjukku memotong bibirnya. Matanya melebar dan tubuhnya menegang. Saat aku mendekat, napasnya makin enggak beraturan. "Alzian ...." bisikku lembut, menahan tawa. "Aku enggak marah, kok." Raut bingung masih terpampang di wajahnya. Jadi, aku menatapnya dengan tenang, "Kita baru aja menikah sembilan jam yang lalu. Terus kamu pikir aku bakal marah cuma karena hal kayak gini?" Dia masih terdiam, seperti enggak percaya sama apa yang baru saja dia dengar. Aku tersenyum, lalu perlahan menaruh bibirku di telinganya, "Kalau kamu memang beneran cowok, harusnya kamu nggak boleh nyerah gitu aja, Sayang!" Dan sekarang ... Wajahnya jauh lebih pucat.Lalu kami berdua tertawa terbahak-bahak. Aku duduk di atas sofa, “Khalisa, sini duduk, aku pangku.” Khalisa melangkah sambil tersenyum malu, lalu duduk di pangkuanku dengan posisi menghadap belakang. Aku dapat merasakan pinggul dan pahanya yang hanya dibalut legging tipis. Dan aku menduga ia juga bisa merasakan tonjolan Juniorku di pantatnya, tapi ia enggak bilang apa-apa. “Oh iya, Alzian. Kamu jangan macem-macem ya. Kita masih pacaran, jadi kamu jangan ngelakuin hal yang lebih ya,” ucap Khalisa. “Iya, aku ngerti kok. Aku nggak akan ngelakuin yang nggak kamu minta,” balasku. Aku melingkarkan tanganku di pinggang Khalisa, lalu mulai meraba perutnya yang rata dari luar kaos. “Perut kamu six pack, ya?” tanyaku, bercanda. Ia hanya tertawa. Lalu rabaan kedua tanganku naik ke atas, ke arah dua tonjolan di dadanya, namun sebelum menyentuh bagian itu, segera kubelokkan ke arah ketiak.
Esok paginya, untuk memastikan kalau hubunganku dengan Khalisa baik-baik saja, aku memberanikan diri mampir ke rumah Khalisa, dengan alasan ingin mengembalikan buku yang pernah kupinjam. Aku mengetuk pintu rumahnya, lalu tak lama kemudian ia pun membuka pintu. Selama beberapa detik, kami bertatapan tanpa suara. Wajah manisnya tampak begitu alami karena ia enggak mengenakan make up. Ia memakai kaos putih polos dan celana legging warna hitam. Sepertinya ia sedang bermalas-malasan di kamar. “Eh, Alzian? Kok nggak bilang mau kesini?” tanyanya sambil tersenyum. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat. “Iya, aku kebetulan lewat sini dan ingat mau ngembaliin buku,” ucapku canggung. “Oh iya, yuk masuk dulu. Sori agak berantakan,” ucapnya sambil mempersilakan aku masuk ke dalam ruang tamu. Aku mengeluarkan buku dari dalam tas dan masuk ke dalam rumahnya. Meskipun ia bilang berantakan, tapi bagiku rumahnya tampak rapi.
୨ৎ A L Z I A Nજ⁀➴ Sepuluh tahun yang lalu .... Khalisa lah satu-satunya cewek yang kupacari sejak lama, ia adalah teman sekelasku. Orangnya ramah, sangat enerjik, dan bisa dibilang tomboy. Ya, dia adalah salah satu di antara empat orang teman dekatku di sekolah, yang lain adalah Luno, si anak paling kaya di Bangora, Tedy si paling menyebalkan, dan Daniar, teman akrab Khalisa yang ke mana-mana selalu bersama. Malam ini, kami berempat janjian bertemu di Twice Caffe untuk merayakan selesainya masa ujian semester dan tibanya masa liburan. Aku datang ke kafe bersama dengan Luno, menumpang di mobilnya. Tiba di kafe, Tedy sudah memesan tempat. Ia duduk di salah satu sofa di pojok ruangan yang memang sudah disetting untuk empat orang. Mata Tedy tak henti menatap monitor laptop di hadapannya, sehingga ia tak sadar kalau kami sudah ada di belakangnya. “Hey!” Luno menepuk pundak Tedy, membuat pria cungkring itu terhenyak kaget.
Saat aku enggak lagi mendengar suara apa pun dari kamar atas, aku buka lemari itu pelan-pelan. Aku tarik napas lega waktu melihat tumpukan kotak. Aku ambil satu dan buru-buru menutup pintu kamar lalu menguncinya.Aku buka kotak pertama, isinya beberapa bingkai foto. Ada foto kita berdua waktu masih muda. Satu lagi waktu kita dinobatkan jadi pangeran dan ratu sekolah, waktu karnaval tujuh belasan. Ada juga medali sama piala-piala punyanya Alzian. Terus ada potongan artikel koran tentang betapa hebatnya si Alzian Sunya main bola, dan bagaimana kampus-kampus besar berebut ingin merekrut dia. Karena kakaknya, Alvaro, sudah lebih dulu bikin gebrakan di kampusnya.Banyak banget foto-foto keluarga Alzian, ada juga foto dia bareng Mamanya waktu masih kecil. Terus aku baru sadar, foto-foto ini bukan dari rumah kita. Ini foto dari kamar rumahnya dia.Aku ingat waktu itu, setelah karnaval berakhir terus aku bawakan foto-foto kami ke dia. Hapsari sama Sahar lagi pergi. Tentu saja kita boleh ada d
୨ৎ K H A L I S Aજ⁀➴Aku langsung kabur ke kamar utama, menutup pintu dan naik ke tempat tidur. Serius, siapa, sih yang tega mengambil mimpi orang lain?Ada ketukan pelan di pintu. "Khalisa ...." Itu suara dia, Alzian."Aku gapapa. Balik aja ke keluargamu!" balasku.Gagang pintunya memutar pelan, dan dia masuk. "Aku gak bakal ninggalin kamu." Dia menutup pintunya lagi. "Ini gak kayak yang kamu pikirin.""Aku udah halangin cita-cita kamu, kan?"Dia tertawa kecil. "Enggak, enggak gitu ceritanya.""Tapi itu yang keluargamu bilang."Dia duduk di ujung ranjang, menjaga jarak."Aku bukanya nolak tawaran itu gara-gara kamu, serius!" Dia tarik napas panjang. "Oke, mungkin sebagian iya ... Tapi itu karena aku pikir kamu bakal ikut aku juga. Lagian itu cuma tawaran dari kampus, kok. Kamu tahu sendiri, kan, seberapa dikitnya pemain bola di kampus? Dikit banget, lho, dan semua pemain, aku yakin dapat tawaran itu.""Tapi tetap aja ....""Kamu ingat sesuatu, enggak? Waktu kita umur enam belas.""P
“Aku kira kamu deketin dia cuma buat cari tahu kenapa dia ninggalin kamu?” Maya mengangkat satu alisnya.Aku pun mengangkat bahu. “Ya, sebenarnya itu juga, sih.”“Oh ... Kalau gitu, aku bisa bilang Khalisa yang sekarang sama kamu yang sekarang, udah nggak relevan. Karena kalian berdua sekarang bukan orang yang sama lagi. Bahkan kalau pun dia inget semuanya, dia tetap bukan Khalisa yang lama. Dan Alzian yang lama pun juga udah pergi waktu Khalisa ninggalin kamu. Mungkin kamu harus kenalan lagi dari awal!”“Maya!” teriak Aldani, memanggil dia.Maya tersenyum dan memegang lenganku sebentar. "Senyum dong, ya? Malam ini, kan kita harus senang-senang.”Lalu dia berjalan ke arah Aldani dan menggandeng tangannya, membawanya turun ke arah api unggun.“Itu Luno lagi bareng Althaf, ya?” Aku dengar dia bertanya ke Aldani.“Udah, santai aja, Alzian,” tegas Maya kepadaku.Aku menoleh ke dalam ruang tamu, dan menemukan Khalisa