Khalisa
─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──જ⁀➴ Seperti pengantin baru pada umumnya, malam pertama pernikahan adalah malam puncak kebahagiaan. Di mana kami berdua sibuk di atas ranjang berukuran raksasa dengan taburan bunga dan aroma wewangian yang menguar di ruangan. Ratusan amplop menggunung dari bawah lantai dan beberapa kado tersusun di atas meja. Tapi ada satu kotak yang menarik perhatianku ke sana. Sebuah kotak dengan simbol hati, tak sengaja terjatuh dan terbelah. Jam tangan mewah itu menetas, kemudian memantulkan cahaya dari lampu gantung yang sama mewahnya dari atas kepala kami. "Mas, itu hadiah dari siapa?" tanyaku, dengan kesepuluh jari yang masih menempel di leher lelaki ini. "Nggak mungkin temanmu belikan barang semahal itu, kan?" "Oh, mungkin Om Hendar, Sayang," balasnya sambil melepaskan setelan hitam ala keraton Jawa lengkap beserta blangkonnya yang tadi ia gunakan untuk menyambut tamu. Singkap batik yang membungkus tubuh bagian bawahnya sudah terlepas, hanya menyisakan bokser tipis berwarna hitam doff. "Memangnya, kenapa?" "Enggak, cu—cuma, ummmmmhh," gumamku, namun tiba-tiba dibungkam oleh bibir tipis yang lembut. Masamnya cherry masih bisa kurasakan melalui sentuhannya. "Mas, kamu mau sekarang?" "Iya, dong, Sayang. Kan, ini malam pertama kita," bisiknya sambil membuka kancing kebaya putihku yang bermotif bunga. "Kalau enggak sekarang, terus, kapan lagi?" "Tapi, aku belum siap, loh, Mas." Bibirku sedikit mengerucut. Namun raut wajahku melunak saat telapak tangannya yang selembut beludru itu menyentuh pipi kemudian turun menarik bibirku ke samping. "Sayang, nggak apa-apa, kok. Sakitnya itu cuma di awal, waktu tusukan pertama aja, percaya, deh!" ucapnya menenangkanku. Tapi bukannya tenang, aku justru memikirkan hal yang tidak-tidak. "Kok kamu bisa tahu, sih, Mas? Kamu pernah ngelakuin ini sama siapa sebelum sama aku? Hah?" Dorongan keras dari kedua tanganku mendarat di dadanya, membuat dia sedikit roboh. Tapi, sesaat kemudian dia langsung mendekapku dengan raut wajah yang sulit kupahami. "Enggak ada satu pun, kamu yang pertama, Khalisa." "Halah. Bohong!" pekikku, berusaha melepaskan dekapannya. "Lepas, atau aku bakal teriak?" "I—iya." Begitu aku terbebas, kurapikan kebaya dan jilbabku. Akan jauh lebih baik kalau aku berada di depan, bersama saudara-saudara untuk menemani para tamu undangan. Mengingat sekarang masih jam delapan malam. Pasti masih ada saja tamu yang datang, apalagi sekarang malam minggu. Aku berdiri meninggalkannya, tapi sebelum tanganku berhasil menyentuh gagang pintu, "Khalisa!" Suara itu membuatku berhenti dan berkata, "Lebih baik kita nggak usah ngomong, sampai kamu benar-benar bisa membuktikannya, Mas!" "Khal—" "Sssttttt," potongku, sambil menggelengkan kepala. Aku sudah nggak peduli lagi, mungkin baginya ini hanya masalah sepele. Tapi menurutku ini masalah serius. Karena kebanyakan lelaki di dunia ini menginginkan pasangan yang masih belum tersentuh, masih perawan, dan mereka ingin jadi orang pertama yang mendapatkan sentuhan itu. Tapi kenapa semua itu nggak boleh berlaku untuk sebagian besar wanita, untukku? Aku mengabaikannya. Saat kugapai gagang pintu dan menariknya ke bawah, tiba-tiba sebuah jari sudah mendarat di atas bahuku, "Khalisaa?" "Hiiiihhhh," ketusku sambil menepis tangannya ke arah samping. "Kebayamu," ucapnya, ada sedikit getaran dalam suaranya. "Benerin dulu kebayamu kalau mau keluar." Aku berbalik, mata kami saling bertemu, ada genangan di pelupuk matanya. "Maksud kamu?" tanyaku. Dia menunjuk ke arah dadaku. Benar saja, akibat pergulatan kecil tadi, bra yang kukenakan jadi kendur dan melorot ke dalam, sehingga bulatan cokelat muda terlihat jelas menyembul dari dalam kebaya putih bermotif bunga yang sedikit transparan. "Oh, maaf," timpalku, sembari merapikannya. Saat aku kembali melihat lelaki ini, air matanya mulai jatuh, turun melintasi leher, dada, kemudian memudar di atas perutnya yang rata. Ada yang aneh saat aku memperhatikan bokser hitamnya. Ada tonjolan yang begitu jelas dan cairan warna putih tulang yang menyembur dari serat-serat kain. Jujur, aku masih tak paham, apakah itu air mata yang sempat menghilang tadi, atau ada air lain yang belum aku pahami. Aku mengangkat alis, "Mas Alzian? Ka—kamu?" Sebelum Alzian terkapar dengan sempurna di antara tumpukan amplop kondangan, aku menangkap lengannya. "Mas, kenapa? Kamu sakit?" Wajahnya pucat. Tangannya mencengkeram bokser dengan ekspresi yang sulit kujelaskan. Dia tergeletak sambil menatap lampu gantung. "Enggak, aku enggak apa-apa," gumamnya, tapi sorot matanya tidak sejalan dengan kata-kata itu. Jelas itu membuat keningku berkerut dan berkata, "Wajahmu pucat, loh, Mas." Dia hanya diam. Matanya bergetar, seolah sedang menimbang sesuatu. Lalu, dengan gerakan yang jelas dipaksakan, dia bangkit, berdiri dan mengangkat bahunya tinggi-tinggi. "Aku kuat, kok. Tuh, lihat, kan!" Aku masih berlutut di depannya, menatapnya dengan penuh tanya. Tapi saat itu juga, aroma aneh menyelinap ke hidungku. Seketika aku refleks menutup hidung. Mataku terbelalak melihat ke arah tonjolan di boksernya yang basah dan terlihat menjijikan. "Mas..." pekikku menggigit bibir, menahan tawa yang mendadak muncul. "Kamu udah keluar secepat ini?" Ekspresi Alzian langsung berubah. Seolah aku baru saja menusukkan belati di dadanya. Matanya berkedip beberapa kali, napasnya tercekat, dan bibirnya sedikit terbuka, berusaha mencari kata-kata yang tak kunjung juga keluar. Sampai akhirnya, yang keluar dari mulutnya hanyalah satu kata yang penuh kepasrahan, "Maaf." Aku mengangkat alis, "Maaf?" Nadaku naik satu oktaf. "Kamu bilang maaf? Iya?" Aku pun bangkit, mata kita sejajar. Bibirnya tampak gemetar saat mataku mengunci pandang padannya. "Aku sumpah, aku nggak tah—" "Sssstttt." Cepat-cepat jari telunjukku memotong bibirnya. Matanya membulat, seluruh tubuhnya tegang. Aku bisa melihat ketakutannya di sana. Mataku mengunci pandangannya selama beberapa detik, mencoba memahami apa yang ada di pikirannya. Dia pasti takut, dia pikir aku bakal marah, kecewa, atau bahkan mengggugat cerai hanya karena hal ini. Bodoh. Aku mendekat, membuat napasnya semakin tersenggal. "Mas..." bisikku lembut, menahan tawa yang hampir tak sengaja keluar. "Aku nggak marah." Dia tampak semakin bingung dan aku menatapnya dengan lembut. "Kita baru menikah sembilan jam yang lalu, Mas. Kamu pikir aku bakal langsung pergi cuma karena hal kayak gini?" Dia masih diam, seolah tak percaya dengan apa yang dia dengar. Aku tersenyum, lalu mendekatkan bibirku ke telinganya, "Kalau kamu masih punya tenaga," bisikku pelan, "kenapa nggak dicoba lagi?" Kali ini wajahnya menjadi jauh lebih pucat.Langit masih gelap, saat suara koper Alzian beradu dengan lantai marmer. Aku terbangun dari tidur singkat di sofa, lelah setelah menyiapkan sarapan pagi buat suamiku yang ... ya, nggak tahu diri. Alzian muncul, sudah rapi dengan setelan serba hitam, tapi matanya masih setengah matang.Aku hanya menoleh sekilas dari dapur, cepat-cepat mengaduk secangkir teh tanpa gula.“Sayang, aku berangkat dulu!”"Loh, teh kamu ini, loh, Mas. Diminum dulu." Aku berjalan cepat mengejarnya. "Aku udah siapin Ayam bakar buat kamu sarapan, makan dulu.""Sejak kapan kamu bisa masak, Khal?" pekik Alzian. Dia lagi sibuk sama sepatunya. Senyumnya pagi ini nggak membuatku semangat. Justru bikin aku nge-down."Oh ... Hemm ... Bik Kinasih yang masak kemarin, Mas. Tadi dia juga yang angetin Ayam Bakarnya." Aku buang muka ke samping. Ya meski aku nggak bisa masak, tetap saja aku juga ingin menjadi istri yang selalu ada saat suaminya sarapan. Tapi kalau reaksi dia kayak begini. Aku jadi enggan."Terus kamu bela-be
Aku senang, Alzian pulang lebih awal hari ini. Dia kelihatan capek banget. Dan aku masih saja memikirkan bagaimana caranya aku harus mengatakan itu. Tiga hal yang dari tadi siang mengusik kepalaku."Aku mau cerai, Mas? Aku mau kamu lanjutin proyek ekspansi di kampungku? Aku mau ijin ke kamu buat kasih tubuhku ke Papamu, boleh nggak, Mas?”Ya ampun. Masa iya aku harus mengatakan salah satu dari ketiga opsi itu. Gila."Sayang, aku tidur duluan ya?" Suara Alzian membuyarkan lamunanku. Dia lepas dasi dengan gerakan malas, lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur.Aku menoleh sedikit, berusaha tersenyum. “Oh. Kamu capek, ya?”“Banget.” Dia memijat pelipisnya. “Besok pagi-pagi buta harus ke bandara. Tiga hari aku bakal di luar kota, Sayang.”Hatiku seperti diremas. “Ke mana?”“Kalimantan. Urus lahan tambang baru ... permintaan Papa.”Oh, jadi dugaanku benar. Papa memang sudah merencanakan semua ini. Dia sengaja menjauhkanku dari Alzian biar dia bisa leluasa kalau-kalau aku memilih tawaranny
Sudah, cukup. Aku nggak boleh menunggu sampai besok. Jadi, aku buka pintu kamar dan langsung melangkah keluar menemui Papa.Dia lagi duduk di kursi sambil baca koran. Klasik banget. Selalu kelihatan tenang kayak nggak terjadi ada apa-apa, padahal dia baru saja menaruh bom di kamar menantunya sendiri.Aku berdiri beberapa langkah darinya, “Pa?”Dia menurunkan korannya perlahan. Matanya naik ke arahku, sedikit terkejut, tapi langsung tersenyum kecil, “Cepat juga kamu turun,” dia lipat koran dengan rapi. “Papa kira kamu butuh waktu semalaman.”Aku tarik napas panjang, “Khalisa mau tahu ... pilihan ketiga itu apa?”Papa bangkit. Dia jalan pelan ke arah minibar dan menuangkan teh ke dalam cangkir. “Kenapa kamu tiba-tiba tertarik?” tanyanya sambil menyerahkan satu cangkir kepadaku.Aku nggak ambil cangkir itu. Tatapanku tajam, “Karena dua pilihan sebelumnya nggak adil. Dan Khalisa tahu, Papa bukan orang yang cuma main sama dua kartu.”Papa mengangguk, “Kamu memang anak pintar, Nduk. Makanya
Aku buang senyum palsu ke Mama, mencoba menutupi getaran di ujung mata. "Aku nggak apa-apa, Ma," suaraku nyaris nggak terdengar.Mama nggak langsung membalas, dia justru memindahkan tumisan ke piring saji. Sepertinya dia tahu kalau ada sesuatu yang sedang kutahan di dalam dada. Tapi dia memilih diam. Dan mungkin itu bentuk pengertiannya.Kami berdua makan siang dalam hening. Suara sendok garpu menjadi satu-satunya suara yang menemani pikiranku.Setelah selesai, aku mau naik ke kamar. Tapi sebelum berhasil keluar dari ruang makan, Mama menahan tanganku pelan sambil bilang, "Kalau kamu butuh apa-apa, cari Mama, ya, Nduk!”"Iya, Ma," balasku. Aku tersenyum sambil genggam tangannya yang lembut. "Khalisa naik dulu, ya?"Begitu pintu kamar kututup, aku lunglai. Bersandar di balik pintu sambil memperhatikan lagi HP yang menampilkan wajah Heksa dan perempuan itu.Cincin itu ....Apa itu pertunangan?Atau ... pernikahan?Dadaku ngilu.Aku hampir mengetik balasan untuk Daniar, tapi kuhentikan s
Khalisa─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──જ⁀➴Sudah satu bulan sejak aku resmi menjadi istri Alzian. Tapi kalau orang lain melihat, mungkin akan menyangka kami hanya dua orang asing yang kebetulan tinggal serumah.Pagi ini aku duduk di tepi ranjang, menatap pintu kamar yang sudah tertutup kembali. Suara sepatu Alzian di lantai bawah mengisyaratkan dia akan berangkat kerja lagi. Tanpa sempat menegurku, apalagi mencium kening seperti malam itu, saat sebelum Heksa tiba-tiba muncul di taman belakang.Alzian terlalu sibuk. Dan yang kudapat malah punggungnya. Dia pulang saat aku sudah tertidur dan pergi sebelum aku sempat membuka mata. Jadi jangan pernah tanya bagaimana malam pertama kami.TING TONG!!!Tiba-tiba HPku berbunyi, Nama Daniar muncul di layar.📩Daniar: Pengantin baru, galau terus, sih story-nya. Kamu nggak apa-apa, kan?Satu balasan untuk kupu-kupu cantik yang hinggap di Anyelir balkon dengan caption "Aku ingin bebas seperti dulu 😭" yang kuposting sore kemarin. Aku nggak berniat buat cari perhatia
Alzian dan anak buahnya pergi setelah mendapatkan apa yang dia mau. Entah apa pentingnya setetes air maniku bagi mereka, tapi aku lega. Dia masih membiarkankanku hidup setelah mengetahui kalau aku yang sudah bikin onar di pesta pernikahannya.Malam itu, aku hancurkan sumber listrik sebelum menyusup ke dalam rumahnya. Saat aku menemukan pintu kamar yang dihias paling glamour, aku yakin itu adalah kamar pengantin. Benar saja, di sana aku menemukannya hanya memakai bokser mini. Dari situlah semua drama ini dimulai."Heksaaaa!" jerit seseorang dari luar gerbang. Perempuan yang rambutnya yang nggak pernah lebih panjang dari bahu itu berlari ke arahku.Alzian tampak sedang memasuki mobil yang pintunya digenggam oleh anak buahnya. Pak Prawito, papanya Fenya juga ada di sana dengan napas yang berasap.Aku masih terjuntai miring di lantai, menatap mereka semua sambil merasakan nyeri di setiap sendi, hidung, dan yang lebih parah lagi, di sekitar alat vitalku."Kamu nggak apa-apa?" pekik Fenya.
Aku terbangun di ruangan remang-remang, nggak ingat lagi apa yang terjadi. Tanganku terikat di belakang kursi, sedangkan kaki dililit kuat dengan benang kawat. Suara cekikikan dari gerombolan pria terdengar di pojok ruangan. Kepalaku masih berdenyut akibat pukulan tadi. Hidungku mungkin patah."Fenya?" panggilku. Tapi suara yang datang bukan miliknya, "Dia nggak di sini," ucap seseorang dari gerombolannya. Suaranya dalam, dingin, dan terdengar begitu terlatih. Tak lama, muncul pria tinggi pakai setelan serba hitam."Siapa kamu?" tanyaku. Dia mendekat, menatapku denga tatapan predator. "Aku? Heeefftt. Orang yang bertugas membereskan kesalahanmu.""Apa maksud—"PLAK!BUGHHH!!!PLAKK!!!"Jadi ini orang yang udah ngehancurin malam pernikahanku?” timpal pria gemoy yang tiba-tiba muncul dari punggungnya. Dia ambil acang-ancang dan beberapa detik kemudian ....BLUGGGHHHH!!Tapak Vantovel pun mendarat di wajahku.Aku terpelanting dengan tubuh masih lengket di kursi, nggak bisa bergerak. Ha
"Jadi gimana malam pertamamu sama Biron?"Fenya batuk kecil, tersentak saat meneguk minumannya. Dia balik badan, terus menatapku sinis, "Hah?”Aku mundur selangkah, matanya seakan tahu aku mau lari ke mana. Jadi nggak ada yang bisa kulakukan selain menunduk, "Ehmm, maksud aku, kencan pertama ... Ka—kamu?""Itu nggak ada urusannya sama kamu, ya, Heksa! Udah buruan balik ke tempatmu!" katanya sambil angkat dagu."Kayaknya kamu udah berhasil jadi pemegang kendali dalam permainan itu.""Dan kamu mulai sok tahu, sekarang!""Nggak, aku cuma mau tahu," balasku sambil jalan melewatinya. "Kalau kamu nggak mau kasih tahu, ya biar aku cari tahu sendiri."Fenya itu mudah banget ditebak. Meski sekeras apa pun dia berusaha jadi cewek yang misterius, di depanku tetap saja, dapat dengan mudah dibaca dari gerak-geriknya.Seperti sekarang ini, aku pastikan dalam hitungan ke tiga, dia bakal kasih kata-kata paling defensifnya. "Heksa!" jeritnya. Dia jalan cepat di belakang lalu tarik kerah bajuku kuat-k
Heksa─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──જ⁀➴Menikah?Aku harus menikah dengan wanita lain. Itu yang dia mau. Itu yang Khalisa rasakan. Benci, marah dan yang jelas dia menyesali perbuatannya di mobil, di malam pertamanya bersamaku.Kalau hanya dengan cara itu bisa bikin aku leluasa untuk bertemu dengannya, oke aku akan lakukan. Tapi aku harus bagaimana?"Ha ha ha. Ya pantes lah, Broo. Lagian istri orang kamu dekatin!" kata Onad, membuang kakinya di depan kami sambil menggigit rumput yang dia pegang dari sejam yang lalu. "Tapi yang penting, kan, kamu udah dapat perawannya, Heksa.""Entahlah," balasku. "Percuma aja kalau aku tetap gak bisa dapatin hatinya, ya, kan?""Setidaknya tangannya, pipinya, lehernya, dadanya, bokongnya, dan itunya ... kamu udah dapat. Not bad itu broohh!""Hadeehh," keluhku sambil menekuk kaki ke dada, menopang dagu. Latihan tempur hari ini sungguh melelahkan. Ditambah lagi, waktu aku benar-benar butuh istirahat, Pimpinan menyuruhku membuka pintu gedung olahraga bersama ini.Saat akan