Semua pria di dalam pesawat pribadi milik Lopez dibuat menganga, setelah melihat tayangan mengejutkan dari produk-produk buatan Vesper Industries. Mereka malah tak sabar ingin menjajal kemampuannya, tapi malam sudah semakin larut, dan tak ingin membuat kegaduhan di luar.
"Polo. Ibu dan ayahmu sungguh hebat. Jangan-jangan, selama mereka di sini, merekalah penjaga Miami. Hanya saja, aku masih penasaran, bagaimana cara ibumu mengurung para monster itu? Aku sangat yakin, kita bisa menyelesaikan kasus ini dengan ibumu sebagai kunci jawabannya," ucap Robin mantab dan diangguki semua orang.
Polo dan semua orang mengangguk setuju. Namun malam itu, mereka harus bersabar untuk bertanya karena Lopez tertidur lelap di ranjangnya. Marco yang begitu merindukan sang Ibu, tidur di sebelahnya sembari memegangi tangannya erat.
Polo yang bersikap lebih dewasa layaknya seorang pria di usianya, memilih untuk menjaga dua orang yang dikasihinya di cabin pesawat be
Aduh maaf gak bisa ngerem. Kalau mau dicut rasanya sayang gitu tar feelnya ilang jadi lele bablasin ya. Maaf kalo agak mahal koinnya untuk eps ini. Semoga gak ada typo karena nahan laper pas ngetik. Hehe. Lele padamu^^
Kesedihan menyelimuti seisi helikopter yang mengenal sosok Lopez. Marco ambruk dalam air mata penyesalan karena tak bisa menyelamatkan nyawa sang ibu. Polo tak hentinya menangis dengan memeluk kedua lututnya di lantai helikopter sebagai rasa kecewa karena tak bisa membawa ibunya pergi seperti janjinya. "Kenapa berakhir seperti ini, Polo? Kita sudah menemukan ibu, tapi ... kenapa monster merenggutnya? Ia bilang sendiri jika monster bisa disembuhkan, tapi kenapa ia memilih mati?" tanya Marco menantap saudaranya dengan nafas tersengal dan air mata terus menetes, meski berusaha tegar. Polo menggeleng. Ia tak bisa berpikir jernih. Saat semua orang sedang terselimuti duka mendalam, tiba-tiba .... DOK! DOK! DOK! Mata semua pria di tempat itu tertuju pada tabung yang ditempati oleh Irina. Marco segera berdiri dan mendatangi satu-satunya wanita yang berhasil mereka selamatkan dari serangan monster. Mata Marco terbelalak, saat Irina berteriak d
Marco memimpin timnya di depan. Fabio bertugas sebagai navigator dengan tablet dalam genggaman yang terhubung dengan satelit Theresia di angkasa, meskipun akses yang diberikan terbatas. "Marco, bagaimana?" tanya Lucas saat pria bermanik merah tersebut mengendus sekitar untuk memastikan tak ada monster. "Kita tak bisa berlama-lama di sini. Aku bisa mencium bau monster. Hanya saja, jaraknya masih cukup jauh. Namun, mereka punya kaki untuk mengejar 'kan?" jawabnya yang praktis, membuat semua orang bergidik ngeri. "Polo, bagaimana?" tanya Hugo yang berdiri di samping Kapten pasukannya dengan senapan bius dalam genggaman. "Sejauh aku memandang, tempat ini sepi, tak ada pergerakan. Kecuali kapal yang merapat ke bibir pantai. Kita harus segera ke sana. Orang itu pasti ketakutan dan butuh bantuan. Kitalah harapan terakhirnya," sahut Polo menunjuk sebuah kapal kecil berlayar putih di kejauhan. "Bagaimana pantauan satelit?" sambung Polo. "Aku m
Saat tim dari Marco berhasil memanen kacang hijau dan terong yang mereka dapat pada sebuah lahan pertanian, sebuah panggilan masuk dari tim Polo. Fabio segera menjawab. "Yes?" "Kalian cepatlah kembali. Ada informasi penting yang akan mengejutkan kalian. Bertemu di helipad," jawab Polo yang langsung diteruskan oleh Fabio kepada kawan-kawannya. "Wah, apa itu? Apakah Polo dan lainnya berhasil menyelamatkan pria itu?" tanya Lucas dengan sebuah karung berisi banyak terong. "Mungkin. Ayo, kita harus bergegas. Aku bisa mencium bau monster dekat sini," sahut Marco yang tentu saja mengejutkan semua orang. Mobil yang dikemudikan Irina segera melaju pesat meninggalkan kawasan pertanian menuju ke Mall tempat helikopter mereka mendarat. Marco bisa melihat atap Mall ketika Chen menyalakan sebuah suar dengan asap berwarna jingga. Irina segera memarkirkan mobil di tempat ia menemukannya. Marco dan lainnya bergegas masuk melew
Keesokan harinya, kelompok dari Polo sudah bersiap untuk meninggalkan Florida. Namun ternyata, Pamungkas tak ingin meninggalkan kota tersebut. "Kenapa, Paman? Di Utara, kau bisa hidup lebih baik. Di sini kau sendirian," tanya Polo terheran-heran. Pamungkas tersenyum. "Aku ingin memastikan, semua manusia yang tersisa di kota ini berhasil selamat dan menuju Utara. Aku belum menyusuri kawasan dekat perbatasan. Aku yakin, jika masih ada manusia yang bertahan di sana. Biasanya, mereka muncul saat musim dingin, dan aku akan bertahan selama yang aku bisa. Kalian pergilah, tak usah mencemaskanku. Ini sudah pilihanku, dan ini takdirku," ucapnya dengan senyum tipis. "Bullshit! Ucapanmu sungguh tak masuk akal, Pak tua! Kau mengorbankan hidupmu untuk orang-orang yang bahkan tak kau kenal! Kau bahkan rela mati untuk mereka!" pekik Marco kesal dan melotot tajam pada asal Indonesia itu. "Sebelumnya aku juga tak mengenal kalian. Namun, jika aku bisa memastik
Semua orang dalam helikopter dirundung kesedihan. Marco yang sudah ditarik ke atas oleh Bruno dan Robin tak bisa menghentikan isak tangisnya. "Dia sungguh bodoh ... Kenapa dia mengorbankan nyawanya seperti ibu? Kita saja baru semalam bersamanya," ucap Marco dengan suara bergetar dan air mata terus mengalir mewakili rasa penyesalannya. "Sudahlah, Marco. Tangisan kita tak bisa membawanya kembali. Dia sudah tahu konsekuensinya. Pamungkas seorang pemberani, dia penolong. Apa kalian tak dengar ucapan terakhirnya?" tanya Polo menatap wajah Saudaranya lekat yang sudah tergenang oleh air mata. Semua orang terdiam. Pertanyaan itu seakan ditujukan untuk mereka. "Oh! Tentang ia menitipkan salam untuk kawan-kawannya?" sahut Irina menebak. "Ya. Dan kalian ingat jika ia mengatakan bahwa dia salah satu penjaga? Menurutku, banyak orang-orang seperti Pamungkas di luar sana, termasuk ayah dan ibuku," tegas Polo. "Apakah ... Tiap kota besar ada penjagany
Polo beranjak dari tempatnya. Ia memilih kembali ke dalam helikopter dan memastikan semua persediaan bahan bakar yang mereka temukan cukup sampai tujuan berikutnya. "Marco. Aku rasa, cara yang kita lakukan sama dengan yang orang tuamu lakukan. Kau ingat, ketika kita menemukan para monster di dalam gym? Mereka pasti dipancing dan dikurung di sana," sahut Irina mengintip dari balik jendela di mana kepulan asap mulai memudar dan terlihat para monster tenang di dalam sana terkena dampak gas halusinasi. "Ya. Aku setuju denganmu, Irina. Tugas kita berikutnya adalah mencari penawarnya. Kita bisa mengembalikan populasi manusia. Kehidupan kita bisa kembali seperti dulu," jawabnya gembira, dan Irina mengangguk setuju. Irina menandai lokasi hanggar di Chicago tersebut sebagai salah satu tempat kurungan para monster. Ada sekitar 20 monster di dalam sana. "Muatan penuh! Kita berangkat!" teriak Polo dari pintu palka belakang helikopter. Semua orang segera m
Kedatangan tim Marco-Polo disambut baik oleh kelompok wanita itu. Bahkan Chen dan kawan-kawannya langsung digandrungi oleh para wanita yang tergabung dari berbagai ras tersebut. Para pria itu terlihat malu karena sudah lama tak dekat dengan wanita. "Kalian berdua, ikut aku," ajak wanita berambut tosca menunjuk si kembar. Irina terlihat canggung karena ia seperti diabaikan. Namun, wanita berambut merah mengajaknya ke suatu tempat. Irina ikut dengannya. "Apakah ada anggota lain di luar sana?" tanya wanita itu menatap Irina lekat. Irina mengangguk. "Ajak mereka kemari. Di luar tidak aman." Irina dengan sigap menghubungi kawan-kawannya yang menjaga helikopter. Namun, radio miliknya tak tersambung dengan crew yang berada di sana. Irina mulai cemas. "Tentu saja. Kami memiliki pemblokir sinyal. Di mana tempatnya. Kau ingat? Kita jemput mereka saja," ajak wanita berambut merah. Irina setuju dengan usulan tersebut. Irina pamit kepada kawan-kawa
Polo dan Marco panik seketika. Galina terlihat santai dan kembali merokok di kursinya tak ikut bermain. Dua wanita tak dikenal mendekati dua pria tampan itu dengan pakaian dalam yang membuat tubuh mereka begitu menggiurkan dan sangat disayangkan jika tak disantap.Namun, si kembar merasa jika hal ini tidak benar. Marco yang memiliki kemampuan lebih, dengan sigap menyelinap ke samping seorang wanita yang akan memeluknya.CEKLEK!"Polo!" teriak Marco yang berhasil membuka pintu dan kini berada di luar.Namun Polo yang tak siap, tak bisa kabur dari dua wanita yang berdiri menghalanginya."Marco!" teriak Polo panik saat dirinya dipegangi kuat oleh dua wanita perkasa tersebut. Tubuhnya langsung terhempas di atas sofa panjang dan pinggulnya dengan cepat diduduki oleh salah satu wanita tersebut."Bagaimana dia melakukannya?" guman Galina heran karena tak melihat pergerakan Marco yang cepat itu."A-aku akan cari bantuan!" teriaknya p