Zia dan Gea pergi ke tempat yang mereka inginkan. Hanya saja pikiran dan hati Zia tetap saja tertuju pada Amran. Dia penasaran apa yang dilakukan oleh suaminya itu hingga tidak datang ke tempat yang sudah dijanjikan."Zi, makannya enak, ya?" Gea berusaha menghibur Zia, namun sahabatnya itu hanya tersenyum tipis seolah dipaksakan."Zi, aku tahu kamu masih sangat mencintai Amran dan cinta pertama itu susah untuk dilupakan. Namun selama masih ada Rania, menurutku dia enggak akan bisa balas cintamu yang luar biasa itu," lanjutnya karena tahu apa yang ada di pikiran sahabatnya."Aku gak mau kamu larut begini, Zi, sedangkan mereka malah bersenang-senang.""Ayolah, kita juga harus bahagia seperti mereka terlepas kehidupan seperti apa yang kita jalani."Gea terus bicara, namun Zia masih setia dengan kediamannya. Dia tidak tahu harus berbicara apa."Entahlah, Ge. Aku merasa semuanya hambar. Apalagi dari kecil, apa yang kupunya selalu direbut oleh Rania. Masa sampai suami juga begitu? Aku lela
"Aku tidak melakukan kesalahan, jadi aku tidak perlu merasa bersalah seperti itu. Yah, benar, aku tidak bersalah," gumam Amran berusaha untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri, namun karena dia bukan orang yang pandai berkomunikasi, Amran lebih memilih untuk masuk ke ruang kerjanya daripada menyusul Zia ke kamarnya."Pak, Anda harus segera bekerja! Banyak hal yang tertunda sejak kemarin," ucap Zein yang kini sudah ada di hadapan Amran lagi."Zein, apa aku sudah melakukan kesalahan? Tapi aku hanya menemaninya karena dia sendirian. Kalau saja ada salah satu keluarganya, aku juga tidak akan ada si sana." Amran langsung mengatakan semuanya ketika melihat Zein dan hal itu membuat sang sekretaris frustasi. "Anda harusnya lebih memperhatikan Bu Zia daripada wanita lain, terlepas siapa pun orangnya. Apalagi selama ini Anda sudah melakukan banyak hal yang tidak bisa ditolelir lagi. Kalau saya jadi Bu Zia, saya pasti akan langsung membenci Anda dan kebencian itu tidak akan pernah hilang meski
"APAAA? TIDAK MUNGKIN! JANGAN COBA-COBA UNTUK MEMBOHONGI AKU KARENA DIA HANYA MENCINTAIKU!" teriak Rania sambil berusaha mendorong Zein, lalu masuk ke rumah itu dan berniat untuk memisahkan keduanya. "Kali ini aku tidak akan membiarkanmu menang," sentak Zein lalu memerintahkan orang-orang Amran untuk menghalangi Rania masuk, namun mereka terlihat ragu."Untuk pertama kalinya, kalian boleh melakukan itu. Aku jamin tidak akan ada masalah," ucap Zein memberikan penegasan.Rania segera dicekal dan dibawa keluar gerbang. Sementara Zein langsung tersenyum menyeringai ketika melihat kunci mobil Rania masih tersimpan di tempatnya.Zein pun mengendarai mobil itu dan membawanya keluar."Nih, pergilah dan bawa mobilmu kembali ke tempat yang seharusnya. Jangan datang ke sini lagi," sentaknya membuat Rania ingin men**karnya.Namun baru saja dia punya niat yang seperti itu, Zein langsung masuk ke dalam pintu gerbang dan segera menggemboknya kembali."Ternyata melakukan hal seperti ini menyenangka
"Yah, kalau hanya kata-kata, aku tak percaya. Aku butuh bukti yang nyata yang membuatku yakin kalau mempertahankan dirimu adalah pilihan yang terbaik, Mas," sahut Zia."Akan aku buktikan!""Dengan cara apa?""Nanti akan aku coba.""Enggak percaya aku, lagi pula kamu juga mudah percaya sama orang lain daripada padaku. Jadi percuma mau jungkir balik juga, gak ngaruh." Zia melepaskan pelukan Amran dan mulai sibuk ke kanan dan ke kiri. Sedangkan Amran hanya beriri memperhatikan gerakan istrinya."Apa sebaiknya aku berangkat ke kantor, ya?" tanya Amran bingung. "Terserah. Aku gak maksa, tapi juga gak larang. Lagi pula kamu kerja untuk kamu sendiri. Aku paling dikasih berapa," gerutu Zia membuat amtaj tertawa. "Sepertinya kamu lupa kalau kartu hitamku kan ada di kamu. Kamu bebas mau beli apa dan satu hal lagi, aku kerja untuk kamu dan masa depan kita.""Untukku dan masa depan kita? Kok kamu bisa yakin banget kalau kita bakal bersama?" tanya Zia enteng lagi-lagi membuat Amran marah, namun
Tepat setelah Zia berkata seperti itu, Via--ibu kandung Amran berdiri di ambang pintu."Sayang, apa yang kamu katakan barusan?" tanyanya, namun dia sendiri tidak sanggup mendengarnya. Jadi, dia pun mengalihkan topik ke makanan yang dibawanya. "Lihatlah, Mama bawa banyak makanan kesukaan kamu. Kita makan bareng, yuk? Bareng Zein juga."Via berjalan ke arah dapur dan menyimpan tas makanan yanh dibawanya ke atas meja makan. Lalu, mengambil beberapa tempat dari rak dan memindahkan makannnya."Sayang, Zein, ayo ke sini. Kita makan barang-barang," ajaknya lagi membuat Zia dan Zein sama-sama tidak enak hati untuk menolak. Terlebih jarak rumah Via ke sini sangatlah jauh, jadi mereka tidak mau membuat Via kecewa.Mereka pun berjalan beriringan mendekat. Dengan langkah pelan namun pasti, mereka membuat Via merasa dihargai hingga menunjukkan senyum yang lebar sebagai ungkapan kebahagiaannya.Zein menarik salah satu kursi untuk Zia, setelahnya baru duduk dengan menjaga jarak. Menurut Zein, tidak
"Berhenti, biar aku saja. Aku tidak suka ada orang yang masuk kamar Zia dan aku selain kami," ucap Amran menghentikan langkah Zein."Gapapa, Zein. Lanjut aja. Toh, Rania juga pernah masuk," sahut Zia sambil memasukkan sepotong demi sepotong buah ke dalam mulutnya tanpa menghiraukan perkataan Amran.Zein pun kembali melanjutkan langkahnya. "Ayo kita cek bersama saja," teriaknya kemudian dan Amran pun segera mengikuti langkahnya.Rania menatap tajam ke arah Zia. "Kamu sengaja, kan?" tanyanya sambil berusaha mendekat dengan tangan memegang pisau. Sejak dulu, Rania memang selalu ingin melukai Zia. Dia iri dengan Zia yang sejak kecil sudah memiliki apa yang selama ini dia impikan. Meski ibunya tidak tahu di mana, Zia selalu mendapatkan kasih sayang yang utuh dari ayahnya. Makanya setelah papanua Zia dan mamanya Rania menikah, Rania selalu berpikir dan menjalankan rencana untuk membuat Zia dibenci oleh orang-orang terdekatnya.Zia menjadi terlihat jahat di mata papanya, teman, juga saudara
"Kenapa keduanya pilihannya kejam? Apa tidak bisa yang manis satu agar aku bisa memilih?" Amran mendekat sambil senyum-senyum sendiri, sedangkan Zia malah memasang wajah dingin."Tidak ada. Aku sudah lelah menjalani pernikahan dengan sendiri ini karena kamu bahkan tak pernah menganggapku ada," terang Zia.Kali ini dia sudah bertekad untuk mengatakan semuanya tanpa pribahasa ataupun memikirkan perasaan Amran. Apalagi selama ini hanya dirinya yang menjaga perasaan Amran, sedangkan Arman sendiri cuek terhadap perasaannya. Makanya sekarang Zia enggan untuk menjaga lagi, jika hanya mendapatkan luka."Enggak ada. Aku sudah lelah. Padahal, istrimu adalah aku. Tapi tetap saja Rania yang kamu prioritaskan, seolah orang ketiga di antara kita adalah aku, bukan dirinya.Aku juga lelah selalu disalahkan atas apa yang tidak aku lakukan. Kapan aku akan bahagia jika bertahan di pernikahan yang penuh luka? Apa menurutmu aku bahkan bisa tersenyum? Enggak pernah." Zia terus berbicara, sedangkan Amran h
Zia menerima ponsel Amran dengan sepenuh hati, lalu mereka pun berjalan bersama sambil bergandengan tangan."Sekarang mau ke mana dulu?" Amran bertanya dengan lembut."Pantai, aku mau melihat matahari terbenam.""Siap laksanakan, Tuah Putri."Amran langsung menjalankan mobilnya ke arah pantai yang dimaksud oleh Zia. Berhubung jaraknya tidak terlalu jauh, jadi mereka bisa sampai setelah menempuh perjalanan satu jam."Wah, kita datang di waktu yang tepat karena mataharinya akan segera tenggelam," seru Zia.Dia benar-benar merasa sangat bahagia karena mimpi yang selalu ingin dia lakukan di waktu kecil akhirnya tercapai, namun tetap saja dia tidak mau berharap banyak. Zia tahu pasti kalau Amran masih mencintai Rania dan belum bisa menyukainya, jadi ketika waktunya sudah tiba, Zia sendiri yang akan pergi tanpa memberitahu siapa pun.Untuk saat ini, dia hanya mau menikmati kebersamaan sambil menatap yang indah-indah tanpa memikirkan banyak hal berat."Jalannya hati-hati. Lagi pula matahari