"Apa gapapa? Saya malah takut nanti Pak Amran marah besar." Zein mulai ragu."Gapapa, Zein. Bukankah kamu pernah dengar nasihat kalau bersembunyi di tempat musuh adalah yang paling tepat?" bujuk Zia."Pepatah dari mana? Saya gak pernah dengar, yang ada malah membuat kita juga dimusuhi sama Pak Amran." Zein mulai ketakutan karena sepertinya Zia serius dengan perkataannya."Enggak akan. Kalau pun dia menjadikan aku musuh, tapi tidak akan pernah aku biarkan dia mengancam pekerjaan kamu. Pokoknya di sini tugasmu hanya perlu memberikan aku informasi tentang perusahaan Pak Barata itu. Setelahnya, serahkan saja padaku," ucap Zia mantap dengan penuh keyakinan."Tapi saya juga takut Anda kenapa-kenapa." Zein kembali mengatakan kekhawatirannya."Ya ampun, Zein. Apa kamu pernah lihat Mas Amran main tangan? Enggak pernah, kan." Zia mulai lelah. "Selama ini dia adalah orang yang suka menyiksa seseorang lewat batin, bukan fisik."Suara Zia mulai melemah, namun hal itu membuat Zein yakin kalau perka
Amran membulatkan kedua matanya tak percaya dengan apa any dikatakan sang istri. Dia pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan harapan melihat pria yang mengajak kencan Zia, namun dia tidak menemukan siapa pun.Amran segera mencekal pergelangan tangan Zia dan membawanya ke tempat sepi.“Jangan berbohong dan cepat katakan yang sebenarnya,” perintahnya dingin membuat Zia semakin enggan untuk menjawab.Zia mengeluarkan kecepatan penuh dan segera melepaskan tangannya dari Amran. “Kalau kamu memang percaya padaku, sepertinya kamu tidak akan pernah membutuhkan penjelasan dariku, Mas.”Amran diam. Dia tertampar dengan kata-kata Zia, namun dia tidak mau mengakuinya.“Percaya atau tidak, bukankah lebih baik bagi hubungan kita untuk menceritakan semuanya?" Amran melayangkan tatapan kejam.“Kita? Kamu kali, Mas. Orang selama ini kamu gak pernah percaya sama aku. Jadi rasanya percuma saja aku bicara banyak, karena semuanya tidak akan berpengaruh padamu.”Semakin emosi Amran, Zia malah sem
Rania tersenyum lebar ketika melihat mobil yang dinaiki Zia dan Gea menjauh. Gea memang sengaja memakai mobil kakaknya agar tidak dikenali Amran, namun siapa yang akan sangka jika hal itu malah membuat sifat asli Amran semakin terkuak. “Loh, kok mobil itu pergi? Bukannya itu mobil kamu, ya?” tanya Amran heran ketika melihat mobil Gea menjauh, sedangkan Rania tersenyum tipis.“Itu bukan mobilku, Mas, hanya mirip. Kebetulan tadi aku lihat Zia naik ke mobil itu, mungkin Gea ganti mobil,” jawabnya enteng membuat Amran langsung berlari mengejar mobil itu, namun tidak terkejar.“Kamu pesan online aja, aku ada perlu,” teriak Amran pada Rania, lalu segera naik ke mobilnya untuk mengejar Zia. Sedangkan Rania hanya bisa menggertakan giginya karena lagi-lagi Amran lebih memilih untuk memprioritaskan Zia daripada dirinya. Padahal hari ini dia sudah tampil cantik daripada biasanya. Amran menambah kecepatan sambil berharap Gea menjalankan mobilnya dengan pelan. Namun setelah menjalankan mobil den
Rahang Amran mengeras ketika menerima pesan dari seseorang yang dikenalnya. Dia tahu betul kalau wanita yang ada di foto ini adalah Zia, istri yang tadi pagi izin pergi dengan Gea. Istri yang juga mendengar percakapannya dengan Rania.“Apa yang dia lakukan di tempat itu dan apa yang dia gunakan?” teriaknya tak terima.Teriakan Amran bahkan terdengar oleh Zein dan beberapa karyawan lain yang berada agak jauh dari ruangannya.“Ada apa, Pak?” Zein mendekat ke arah Amran dengan sedikit takut karena dialah yang sudah merekomendasikan perusahaan itu pada Zia.“Lihatlah!” Amran memberikan ponselnya pada Zein. “Dia benar-benar istri yang enggak berkeprimanusiaan!”“Maaf, mungkin karena Bu Zia mau ketenangan, Pak. Biarkan saja, anggap saja menyalurkan hobi.” Zein berusaha memberikan masukan yang masuk akal.“Mana ada hobi bekerja! Ditambah dia mau kerja apa kalau selama ini belum pernah punya pengalaman? Kalau kerja rendahan, dia hanya akan mempermalukan aku,” sentak Amran memberikan membuat Z
“Sekarang kamu turun untuk makan bersama. Keenakan si Zein makan sendirian,” pinta Amran lagi dan Zia pun segera turun.“Gapapa mungkin, ya, kalau kali-kali nurut,” gumamnya, lalu kembali keluar.Amran segera mendekat ke arah Zia dan menawarkan luka yang ada di wajahnya.“Lihat, aku terluka parah, kan?” tanyanya. “Sekarang aku adalah pasien dan sangat membutuhkan perawatan. Jadi setelah makan ayo rawat aku?”Amran terus bicara, sedangkan Zia hanya diam sampai mereka tiba di meja makan.“Bukannya barusan sudah dirawat Rania, ya?” Zia bertanya sambil menekan kata nama kakaknya hingga membuat Rania menatapnya kesal.“Anehnya malah makin sakit. Dulu, waktu aku bertengkar dengan Farid, di bawah perawatanmu aku langsung sembuh. Apa mungkin ada yang salah?” Amran kembali bertanya dan Rania langsung tak terima.“Mana mungkin, Mas! Aku juga sudah terbiasa merawat luka orang tuaku kalau mereka sakit,” sentaknya tak terima.“Orang tuamu? Heh, mimpi! Yang ada, Papaku yang kaya, dan ibumu yang tid
“Jaga bicaramu! Bagaimanapun dia adalah kakakmu," sentak papanya Zia membuatnya tertawa sumbang."Benar, dia memang kakak saya. Wanita yang lebih tua dua tahun, namun membuat Papa langsung lupa kalau Anda punya anak gadis selain dia," sindirnya membuat Amran terheran.Amran menurunkan kepalanya dengan menunjukkan sikap yang tenang. Berpura-pura tidak mendengar agar dia mengetahui semua rahasia yang dipendam oleh istrinya selama ini.Amran akui, sejak menikah selama tiga tahun dia menambahkan tidak tahu apa pun tentang Zia. Dia bahkan tidak berniat untuk menyentuhnya karena Amran berpikir memberikan nafkah batin itu harus ada cinta. Sedangkan sekarang di hatinya sama sekali tidak memiliki perasaan kepada Zia. Amran sudah berusaha sekuat tenaga untuk menghadirkan cinta itu. Namun pada akhirnya dia tetap kalah dan memilih untuk menyerah. Akan tetapi, lagi-lagi perkataan Zia membuatnya goyah. Amran kembali sadar kalau ternyata dia tidak tahu apa pun tentang Zia. Bahkan Amran suka menyeb
Amran kembali masuk ke ruang kerjanya dan saat ini dia sama sekali tidak bisa fokus. Dia bahkan meminta Zein untuk menginap di rumah ini dan membahas pekerjaan semalaman. Sebenarnya dia juga ingin marah sama Farid karena memberikan masukan yang menurutnya kurang pas karena Zia bukan orang yang mudah tersentuh dengan kata-kata, namun Amran mengurungkan niatnya."Ini bukan waktunya bekerja, tapi kenapa malah meminta saya datang? Apa Anda juga mau memberikan saya uang lembur yang sepadan?" tanya Zen dan Amran mengangguk tanpa ragu."Jangan permasalahkan tentang uang, bukankah selama ini aku tidak pernah keberatan tentang hal itu?" Zein menjadi kikuk. "Tetap saja waktu istirahat tidak visa dibeli, Bos!""Kalau mau mengeluh, berikan aku surat mengundurkan diri dirimu." Amran menatapnya tajam."Hehe ... maaf, Pak. Saya hanya bercanda. Lagian aneh malam-malam begini malah mau mengecek pekerjaan. Pasangan suami istri yang lain biasanya justru sibuk menghabiskan waktu bersama," terang Zein me
Amran melakukan semua yang Zein minta. Bahkan dia meletakkannya dengan kata-kata yang lain."Kalau kamu perlu syarat yang lain, katakan saja. Aku akan berusaha untuk memberikannya," pesannya di secarik kertas yang berisi pin kartunya.Awalnya, Amran berjalan ke arah dapur dan berniat untuk menyimpannya di sana. Akan tetapi, dia ragu dan kembali berjalan ke atas, lalu memasukkannya ke celah pintu bawah.Setelah melakukannya, Amran kembali bangkit dan menatap pintunya dengan penuh harap."Aku ingin setelah ini kamu berhenti mengatakan cerai. Asal kamu tahu, aku tidak akan pernah dan tidak berniat untuk menceraikan kamu meski rasa cinta ini belum hadir," lirihnya pelan namun penuh keyakinan.Amran menatap cukup lama pintu kamar Zia, lalu kembali menyentuhnya dengan lembut sebelum benar-benar pergi."Sebenarnya aku juga bisa membongkar atau membuka pintu ini karena aku punya kunci cadangan, namun aku tidak mau melakukannya karena aku tidak ingin membuatmu semakin kecewa padaku," lirih Amr