Sebuah Avanza yang penuh terisi sekelompok karyawan yang lapar hendak makan siang, tengah dalam perjalanan menuju restoran. Di dalamnya, lima orang di antaranya tengah sibuk tiktokan. Shirley menjadi salah satu yang paling genit ketika tiktokan sambil menari-nari. Ia baru berhenti ketika mendapat notifikasi SMS di smartphonenya.
Ketika membaca pesan yang masuk, keningnya berkerut. Pesan itu dari bank yang menyatakan bahwa ada dana sekian ratus juta yang gagal terkirim. Ini membuatnya panik.
Diam-diam, setahun terakhir, di kantor cabang lama, ia melakukan transaksi di luar kewajaran yang berujung penggelapan dana kantor. Dari puluhan transaksi yang dilakukan semua dilakukan secara halus sehingga sulit terdeteksi. Akan halnya transaksi yang tadi disebut gagal, itu mengkhawatirkan dirinya karena bisa membuat selisih pada pelaporan. Ujung-ujungnya ini bisa membongkar kecurangan yang dilakukan.
*
Tak ada yang lebih menyakitkan daripada seorang suami yang menganggur. Setelah sempat jaya secara karir di sebuah bank swasta, Zakaria harus menerima kenyataan bahwa ia tak lagi berduit. Tak lagi dipandang orang. Ini diperparah dengan kesehatannya yang kini mengalami diabetes lumayan parah. Masih beruntung isterinya tergolong sabar. Ia rela menerima kenyataan bahwa suaminya sakit.
Hanya saja ada satu hal yang membuat Zakaria betul-betul galau. Sakit yang diderita membuat kejantanannya mudah melayu. Lemah. Ini bukan perkara sepele dan bisa menimbulkan implikasi parah bagi suami dan juga isteri. Sudah berkali-kali ia mencoba bersetubuh, tapi selalu berakhir dengan kesedihan. Paling maksimal yang ia bisa capai hanyalah sekedar ejakulasi. Ia tidak puas karena itu kepuasan sepihak tanpa dibarengi pencapaian orgasme oleh sang isteri.
Ia tahu ini menyakitkan hati pasangannya, isteri yang ia cintai, Shirley. Isterinya jadi kerap berpura-pura saat di ranjang. Zakaria tahu itu dilakukan demi agar dirinya tidak hancur harga dirinya. Sudah enam bulan ini terjadi. Sangat menyedihkan.
Saat itu ia tengah berjalankaki menerobos kerumunan orang di Pasar Tanah Abang dan memasuki gang-gang kecil. Setelah sepuluh menit berjalan, ia tiba di depan sebuah toko agak besar. Pada papan nama terpampang nama toko yang menjual segala obat seperti viagra, pil biru, ramuan jamu empot-empot, resep herbal dan aneka terapi untuk keharmonisan pria-wanita.
Toko itu adalah toko milik Fadhil, teman lama yang secara tak terduga bertemu kembali setahun lalu. Ia adalah teman sekelas Shirley saat SMA. Zakaria sempat dikenalkan pada Fadhil saat ia dan Shirley berpacaran. Fadhil kini berjualan obat, alat bantu, dan aksesoris yang berhubungan dengan seks.
“Lama gak liat antum. Apa kabarnya?”
“Baik.”
Fadhil jelas senang dengan kehadiran Zakaria. Mereka mengobrol kesana-kemari sambil tak lupa Zakaria membeli yang ia perlukan. Fadhil rupanya pintar ngulik. Dengan sedikit pancingan ia banyak mendapat info tentang rumahtangganya.
“Kabar baik? Nda percaya aku. Antum beli semua ini sebetulnya nunjukin kamu itu kenapa-kenapa,” ujar Fadhil sambil melirik belanjaan yang dibeli Zakaria. “Sakit kamu?”
Zakaria tak bisa berkelit. Saat itu ia bak menjadi pasien di depan Fadhil. Dari mulutnya akhirnya Zakaria bercerita mengenai penyakit diabetes yang dialami. Tak hanya menggerogoti ekonomi dan waktu, penyakit itu juga pada akhirnya mengganggu keharmonisan rumah tangga dimana ia tak lagi dapat memuaskan kebutuhan biologis isterinya.
Selama menyimak, pikiran Fadhil mengembara kemana-mana. Kenangan tentang Shirley melintas di benaknya. Lebih dua puluh tahun lalu Shirley adalah teman sekelas. Tak bertemu di kelas I dan II, mereka baru sekelas di kelas III. Menjadi bunga di sekolah, kehadiran sosok Shirley menarik perhatian banyak orang. Sekaligus mengisi impian nakal remaja-remaja pria masa itu. Fadhil pun demikian.
Tak terhitung berapa banyak orang yang berusaha mendekati. Yang ia tahu jumlahnya banyak. Mereka tak hanya teman sekelas. Ada juga yang lain kelas, lain sekolah. Ada juga yang guru, mahasiswa, karyawan kantor, dan entah apa lagi. Ada yang bermodal ketampanan, kekayaan, kepintaran, popularitas, prestasi olahraga, atau sekedar modal nekad. Sebagai bukan penikmat berita gosip, Fadhil tak mau repot menghitung berapa yang sudah menjadi pacar resmi atau sekedar sekali kencan.
Sekilas itu nampak berlebihan. Namun melihat sikap Shirley yang luwes dan cenderung nakal, itu mungkin saja. Ditambah lagi dengan nilai-nilai mata pelajaran sekolah yang tidak pernah merah. Apalagi mata pelajaran olahraga. Fadhil ingat betul ketika dalam keadaan flu parah, ia tetap membuka kelas renang bagi murid-muridnya di kelas III. Dan murid yang paling banyak dilatih ya siapa lagi kalau bukan Shirley. Mengenakan baju renang one-piece warna gelap yang terus-menerus basah, tubuh ranum Shirley yang masih remaja tercetak sangat sempurna. Fadhil takkan melupakan ketika guru olahraga mereka melatih gadis itu untuk mengapung. Jika untuk murid lain ia menahan di bagian perut, untuk Shirley ia menahan di bagian bawah perut dan dada. Dengan kedua tangan menahan tubuh Shirley agar tidak tenggelam dan terus dalam keadaan mengapung di permukaan air, tidak sulit menduga apa yang ada dalam benar kotornya. Di bawah permukaan air, tangan-tangan itu pasti meremas dan menyusup-nyusup. Reaksi Shirley yang mukanya mendadak merah seusai dilatih mengapung di kolam mengkonfirmasi dugaan Fadhil yang melihat adegan tadi.
Pengagum Shirley sangat banyak. Dan pasti tak kalah banyak saat ia kuliah. Terlebih saat mulai berkarir. Jadi kalau akhirnya Shirley menentukan pilihan menikah pada seorang pria yang mulai bangkrut dan bermasalah dalam libido, alangkah malangnya gadis itu. Masalah semi-impotensi menjadi bahan obrolan lebih lanjut.“Ini bener nih obat ini semanjur seperti yang ditulis di bungkusannya?” Zakaria bertanya dengan penuh rasa ingin tahu.“Ada beberapa faktor penyebab.”Tiba-tiba entah mendapat ide dari mana, Fadhil jadi ingin tahu seperti apa keadaan Shirley sekarang.“Coba antum tunjukin foto dia sekarang kayak apa.”Tanpa merasa bahwa itu permintaan yang aneh, Zakaria mengeluarkan ponselnya. Setelah beberapa kali ketukan dan geser-menggeser ia menunjukkan wajah isterinya saat ini.“Shirley tampangnya gak berubah banyak ya. Rambutnya juga ikal kayak begini.”Tanpa meminta izin Za
“Jamu empot-empot yang antum beli itu sudah dapat registrasi di Badan POM. Ini artinya jamu itu bagus secara medis. Kalo dikonsumsi dengan betul, insya allah ada hasil sekitar 60%. Dari hasil penelitian, nggak ada efek samping. ” Bak seorang penjual obat, Fadhil non stop menceritakan khasiat obat yang ia jual.Saat mengucap kalimat-kalimat di atas, jempol Fadhil tak lagi bergerak-gerak di permukaan layar ponsel. Zakaria langsung mengerti bahwa ini artinya Fadhil sedang terhenti sesaat pada sebuah file. File itu bisa jadi berbentuk foto yang sangat privat yang semuanya adalah foto Shirley. Zakaria hampir saja bangkit dan meminta ponsel itu kembali dari tangan Fadhil. Tapi sesaat kemudian pikirannya berubah. Berubahnya pun 180 derajat. Ia kini justeru malah ingin Fadhil menikmati saja semua foto tentang isterinya!“Eh, kata lu tadi berapa persen obat dan jamu ini bisa manjur?”Fadhil menjawab pendek dengan
Tak lagi mengantuk, Shirley mencoba menghilangkan kegundahan dengan beraktifitas fisik. Tumpukan pakaian langsung menjadi prioritas dengan langsung ia cuci. Dan seolah penderitaannya belum cukup mesin cuci itu ternyata fungsi pengeringnya tidak bekerja. Mau tak mau pakaian hanya bisa dicuci dan dibilas sebelum dijemur dalam keadaan basah kuyup. Ada satu ember penuh pakaian yang kini perlu dijemur.Bagian belakang rumah yang ia tempati menyisakan ruang kosong berlantai semen yang hanya digunakan untuk menjemur. Padahal di kompleks perumahan dimana ia tinggal, mayoritas mengubah tanah kosong dengan peningkatan berupa penambahan bangunan hingga dua lantai. Saat Shirley menjemur, bayangan kegagalan hubungan intim sejam lalu masih membekas kuat di benaknya. Kesedihannya masih belum berlalu terlihat dari pekerjaannya yang tidak optimal terlihat dari tetesan-tetesan air dari pakaian banyak mengenai tubuh. Ketika hal ini membuat beberapa bagian tubuhnya yang
“Halo,” sapanya ketika sudah berdiri di depan Shirley. Pekerjaan jemur menjemur telah diselesaikan Shirley.“Hi,” Shirley membalas. Suaranya bergetak. Kaku.Keduanya mendekat selangkah dua langkah sehingga kini bisa saling melihat dari jarak sangat dekat dan mengagumi kelebihan fisik masing-masing. Wajah, mata, rambut, hidung, mulut. Namun ketika pemuda itu melihati daster di bagian dadanya yang kuyup, Shirley tersadar dan buru-buru menahan dengan kedua lengan.“Kalo ditutupin gitu, berarti tante curang,” cetusnya makin nakal dan berani. “Tante aja ngeliatin dada gue malah gue biarin.”Itu pemikiran nakal tapi memang masuk akal, pikir Shirley. Sebuah gerakan skak-mat dalam catur yang membuatnya terkunci. Tak bisa melakukan hal lain kecuali menerima saja apa yang diminta. Dengan ragu dan sedikit gemetar ia melapas sendiri kedua tangan yang mendekap dada. Pemuda itu kini bisa melihat betapa sepas
Berpikir soal kehamilan membuat ia kembali terpikir pada suaminya. Zakaria Santoso adalah pria yang mana ia bersumpah akan ia temani seumur hidupnya. Pria terakhir dalam hidupnya. Pria terbaik. Pria pilihan untuk mereka berdua jalani demi hari-hari pernikahan yang langgeng. Tapi kini situasi berbeda telah terjadi. Biduk pernikahan mereka koyak, mulai terisi air yang segera menenggelamkan. Dan dirinyalah penyebab kebocoran. Penyesalan mendalam datang tiba-tiba. Menyergap nalar, menghabisi sikap puritan yang bertahun ia agungkan. Ini membuat dirinya terasa bodoh, kotor,mudah diperdaya, dan tak pantas disebut isteri.Shirley bersumpah itu adalah pengalaman pertama dan sekaligus terakhirnya bersama pria lain walau orang itu adalah mahasiswa setampan Katon. Enough is enough. Pengkhianatan pada suaminya cukuplah sampai di situ.“Maafkan aku Pa,” desisnya. Pandangannya berkaca-kaca dan mulai menganaksungai ketika ia merebahkan diri. Rasa bersal
Percakapan menarik dipicu ketika di sebuah persimpangan mobil menikung sangat tajam yang membuat kantong kresek berisi viagra, dan obat herbal yang kemarin dibeli dari Fadhil terjatuh dari dashboard ke sepatu Guntur. Orang itu spontan mengambil dan bermaksud mengembalikan ke tempat semula. Tapi plastik yang tersobek membuat benda-benda tadi terihat olehnya. Syukurlah bahwa dildo tak lagi di sana karena sempat ia gunakan tadi saat bercinta dengan isterinya walau kemudian berakhir dengan kegagalan.Zakaria merasa malu atas kejadian itu, sebaliknya Guntur tersenyum.“Wah, pake obat kuat juga pak?”“Begitulah.”Diam. Tak ada percakapan lagi. Tapi Zakaria kemudian merasa perlu untuk sedikit curhat.“Abisnya, dengan pake begitu aja belum tentu tuntas juga.”“Oh, bapak udah coba?”“Tadi pagi. Hasilnya yah gitu-gitu aja.”Guntur membua
“Gue pernah baca tulisan Dr. Sigler Hirsch, sex-therapist pencipta trik stimulan otak. Otak manusia bekerja dengan cara diluar ekspektasi. Ia suka menghasilkan apa yang tadinya kita pikir tidak mungkin. Padahal kita memiliki kapasitas melebihi apa yang kita bayangkan. Kita sering membatasi cara kerjanya padahal sebetulnya dia mencari jalan sendiri. Kita berpikir, dalam satu kasus, otak bisa menghasilkan A padahal dia bisa menghasilkan A dan B atau bisa juga C. Ini juga berlaku dalam hubungan suami-isteri. Kita suka berpikir kepuasan sex itu terjadi jika kita melakukan A atau B. Padahal itu bisa dikreasikan sehingga kepuasan itu variatif. Ada yang A, B, atau A1, B1. Intinya kita terlalu membatasi diri dengan alasan norma, etika ketimuran, nggak enak pada pasangan. Padahal, kita saja yang tidak terbuka terhadap kemungkinan yang ada.”Guntur berhenti sesaat, lalu melanjutkan. “Memang sempat cemburu, tapi itu sesaat. Kenapa harus meributkan soal je
“Jangan macem-macem, Bram! Nggak bener apa yang kita bikin. Ini udah keterlaluan. Keterlaluan! Gue nggak mau. Nggak mau! Pokoknya gue nggak mauuuuu!!!”Penolakan Shirley begitu keras. Lantang.Tapi situasi kembali berbalik.Shirley boleh saja galak. Boleh saja menentang keras. Boleh saja menceramahi soal etika. Tapi tak sampai setengah jam kemudian, situasi memang sangat pantas disebut berbalik kembali. Alkohol tampil sebagai pemenang mengalahkan logika. Shirley yang menolak dan galak sudah tak ada lagi.Kali ini hanya ada sosok Shirley yang dengan lincah asyik meremasi buah dadanya sendiri. Memilin kedua putingnya di tengah gelora birahi yang melonjak sebagai dampak pengaruh alkohol. Dalam posisi woman on top ia dengan liar menduduki mulut Bram.Sebuah lagu yang hanya diplayback melantun tanpa seorangpun menyanyi. Tak ada yang menyaksikan layar LCD yang menampilkan syair lagu heavy metal. Tiga rekan Bram sudah hilang seja