MATI KUTU ISTRI TKW-KU KEMBALI 3
[Sayang, lagi apa?]Pesan terkirim.
Ting!
Tak biasanya jam segini Rina cepat membalas pesanku.
[Lagi kerja, Mas. Ini kebetulan lagi di toilet. Kenapa, Mas?
[Ga, kenapa-kenapa. Jaga kesehatan ya, sayang.]
[Ok.]
Rina pun tak terlihat aktif lagi, mungkin dia sudah masuk kembali bekerja. Lega rasanya, Rina masih disana rupanya. Ternyata aku hanya terlalu was-was, khawatir Rina kembali ke tanah air tanpa memberitahuku.Waktu terus berjalan, sudah berkali-kali aku mengirim pesan kepada Rina agar segera mengirim uang. Awalnya Rina curiga karena menurut dia, uang ditabungan masih banyak. Bisa dipakai dulu jika ada keperluan mendadak buat Raffi. Tapi, setelah aku menjelaskan dia akhirnya paham.
[Uang yang di tabungan buat masa depan Raffi, Dek. Jangan di utak-atik. Seperti biasa saja kamu kirim buat makan sehari-hari Raffi dan juga Mas disini.]
Pesan itu hanya dibaca. Bahkan sampai sebulan berlalu Rina tak juga mengirim uangnya.
"Bim, jatah belanja Ibu, mana?"
Baru saja sampai, Ibu sudah menagih jatahnya.
"Rina belum juga kirim uang, Bu!"
Aku mendaratkan bokongku di sofa empuk yang kubeli dari tabungan milik Rina juga.
"Gimana sih, istri kamu itu. Jangan-jangan dia punya selingkuhan disana!"
Ucapan Ibu membuat denyut di hatiku. Apa iya, bisa jadi Rina punya laki-laki idaman lain disana lantas uangnya diporoti.
"Ga mungkin, Bu. Rina tipe perempuan setia."
Ucapku menghibur diri."Halah, setia gimana. Namanya jauh dari suami, pasti kesepian lah. Makanya buruan desak dia kirim uangnya. Kalau perlu gajinya kirim ke rekening kamu saja, nanti kamu yang transfer untuk makan dia sehari-hari disana."
Ibu ada benarnya juga. Aku akan mengusulkan begitu pada Rina. Jika semua gajinya dikirim ke rekeningku, itu lebih aman buat dia dari laki-laki yang berniat memoroti uang istriku itu.
Aku pun meraih gawaiku dan mengetik sesuai yang Ibu katakan tadi. Tapi, lagi-lagi pesan itu tak dibaca. Kali ini bahkan hanya centang satu. Kurang aj*r! Kemana sih dia.
Apa lagi kerja? ini jam tujuh, berarti di Taiwan sudah jam delapan. Karena perbedaan waktu hanya satu jam.
Biarlah dulu, nunggu saja. Nanti pasti dia akan buka pesanku yang sudah bertubi-tubi dari kemarin-kemarin.
"Sementara Ibu, pakai uang Ibu dululah. Aku lagi ga megang uang. Ini saja tadi dikasih Marni buat beli rokok."
"Huh, dari kemarin-kemarin pakai uang Ibu terus. Kalau kamu ga bisa ngasih uang lagi, Raffi bawa saja. Ibu ga punya uang untuk ngasih jajan anak kamu itu. Sehari jajannya dua puluh ribu, belum lagi beli kuota. Bisa tekor Ibu nanti."
Aku mengusap wajahku kasar. Gara-gara Rina semua jadi susah. Kalau dekat sudah aku samperin wanita itu. Tanpa uang yang dia kirim aku benar-benar mati kutu. Apa dia tak tahu, disini kami butuh makan. Sial*n betul!
"Pak, uang!" Raffi yang datang masih dengan baju seragam merah putih nya menadahkan tangan
"Kamu ga sekolah?"geramku. Jam sekolah begini dia masih berkeliaran dengan ponsel di tangan.
"Capek, Pak. Kata Ibu, nanti mau pindah sekolah di tempat Ibu saja."lagi Raffi membuatku makin penasaran.
"Raffi, dengarkan Bapak. Memang Raffi bertemu dengan Ibu?" Raffi menggelengkan kepala, matanya masih fokus ke gawai.
"Trus Raffi ketemu Ibu, dimana?"tanyaku.
"Bapak mau ngasih uang, ga sih? Nanti Raffi kasih tahu Ibu, lho. Bapak sama Nenek pelit ngasih uang ke Raffi."ancamnya.
"Eh, eh mau ngadu segala. Kapan Nenek pelit sama kamu."tampik Ibu.
"Bu, ga usah emosi. Raffi gimana mau ngadu sama Ibunya. Kan dia ga punya nomor telepon Rina."jelasku.
Wajah Ibu mulai tenang lagi.
"Ah mending minta sama, Ibu. Bapak pelit!" Raffi berlari keluar.
"Tuh anak kamu, kecanduan main game, jadi galu!"gerutu Ibu.
"Halu, Bu!"ujarku membenarkan, tapi Ibu malah makin emosi dan berlalu ke dalam meninggalkanku sendiri.
***
Hati makin resah, sudah masuk bulan kedua cicilan Bank belum aku bayar. Sesuai kesepakatan jika tiga bulan berturut-turut tidak ada cicilan, maka barang jaminan akan disita.Arrgggh, Rina kemana sih. Nomor nya sekarang benar-benar tak bisa dihubungi. Aku bahkan tak punya nomor agensi tempat Rina mendaftar menjadi TKW. Aku harus mencari kemana wanita itu. Segala pikiran buruk mulai menghantui. Terlebih sejak tak ada uang, Ibu mulai marah-marah. Marni pun uring-uringan. Pusing!
"Mas, ada surat dari Bank tuh!"Wajah masam Marni menyambut kepulanganku. Kuraih surat itu, benar saja surat peringatan agar segera membayar cicilan. Dapat uang dari mana aku.
"Mas, gas habis. Beras habis, bagi uang!"ketus Marni.
"Pakai uang adek dululah, Mas belum ada uang."wajah Marni kian masam.
Beberapa hari ini Marni berjualan nasi uduk juga gorengan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Walau mulutnya selalu ngomel-ngomel, mau tak mau aku terpaksa sabar.
"Dek, perhiasannya Mas, pinjam dulu boleh ga?"hati-hati aku memohon kepada Marni.
"Ga bisa! yang kemarin saja belum dibayar, sudah mau minjam lagi. Ga mau!"semburnya.
Aku kembali ke teras. Kalau tetap disana, bisa-bisa ceramah Marni bakalan panjang melebihi ceramah Ustadz di mesjid.
Sudah satu bungkus rokok habis, stres sekali rasanya tak punya uang. Rina, semoga kamu diberi hidayah agar segera mengirim uang, rintihku.
Ting!
Sebuah nomor baru mengirim pesan ke gawaiku. Ah, paling orang nyasar.
Ting!
Pesan kedua kubuka dengan mulut menganga, dan pandangan yang tiba-tiba mengabur.
Oh tidak! Jangan... Ini hanya mimpi kan!!
Bersambung.
"Sayang, kamu baik-baik saja." Mas Ahmad jelas tak melihat Jianheeng di bandara.Tapi aku dengan jelas bisa melihatnya. Aneh, kenapa dia bisa ada disini?"Oh, baik, aku baik-baik saja." Kami baru saja sampai di Taiwan."Mas, aku mau ke toilet dulu, ya." Aku pun bergegas berlari tanpa menunggu jawaban Mas Ahmad. Takut jika aku kehilangan jejak.Aku harus mencari tahu mau kemana perempuan itu, dari raut wajahnya terlihat dia sangat terburu-buru dan ketakutan.Dengan perlahan aku mengintip, ternyata dia mau terbang juga. Mau kemana dia?Setelah aku memastikan perempuan itu pergi, aku baru menemui Mas Ahmad. Dan kami pun melanjutkan perjalanan ke rumah Mama. Sekalian mau menjemput Raffi dan Sarah."Wah, pengantin baru sudah pulang?" sambut Papa senang. "Ada kabar bahagia buat kalian." Lanjutnya.Kami saling beradu pandang."Apa, Pa?" tanya Mas Ahmad tak sabar."Jianheeng sudah tak akan pernah menganggu kalian lagi." Kata Papa yakin."Papa yakin?" Tanya Mas Ahmad."Sangat yakin. Dia di us
Aku menatap rumah yang kubangun dengan keringatku itu, kosong. Keputusanku sudah bulat, aku akan mengabdikan hidup pada suami. Walau sebenarnya Mas Ahmad tak keberatan jika aku di Indonesia dan dia disana. Tapi, aku tak mau mengambil resiko. Tak sedikit rumah tangga yang kandas karena hubungan jarak jauh. Aku tak mau itu terjadi untuk kedua kalinya.Mbak Narsih sudah aku pulangkan, tega tak tega. Karena dia begitu rajin dan royal dalam bekerja itu yang sangat aku suka."Sayang, apa tak ada lagi barang yang mau dibawa?" ujar Mas Ahmad setelah menutup tas terakhir berisi semua pakaian dan mainan Raffi.Aku menggeleng, kurasa sudah semua.Surat keterangan pindah dari sekolah lama Raffi pun sudah aku kantongi. Tinggal, bisnis telah dibangun itu yang belum kutemukan solusinya.Sekiranya Nana tak mengkhianati kepercayaanku pasti aku tak seresah ini.[Karin, maafkan aku. Plis, Rin jangan hukum aku, aku mengaku khilaf.]Pesan dari Nana lagi.[Na, temui aku di toko dua puluh menit lagi.]jawab
Aku memijit keningku, Mas Ahmad terus memegang tanganku seolah memberi kekuatan. Aku dilema harus tinggal di Taiwan dan meninggalkan kehidupanku disini. Atau tinggal disini meneruskan usaha, tapi dengan resiko suami digondol kucing garong."Sayang, Jangan terlalu dipikirkan. Jalani saja, mungkin Nana ingin merasakan apa yang kamu rasakan."Aku menghela nafas panjang, bagaimana dia ingin merasakan hasilnya saja. Sementara dia tak merasakan bagaimana perjuanganku untuk mendapatkan semua ini. Memang jika melihat hasilnya siapa yang tak ingin. Tapi, kalau mereka merasakan apa yang aku rasakan selama menjadi TKW di negeri yang bahkan aku tak punya sanak famili satupun, mereka pasti juga enggan.***Selesai makan di sebuah restoran kami kembali kerumah. Rumah sudah sepi. Dan tampak juga rapi."Bu, ini kuncinya tadi Bu Nana menitipkannya." ucap Udin security rumah ini.Aku mengambil kunci itu, setelah mengucapkan terimakasih akupun berlalu.Rumah sudah rapi, dan tak ada lagi barang-barang m
"Wah, kejutan sekali kamu kembali, Rin." sambut Nana senang.Aku tersenyum tipis, rumah yang kutitipkan padanya sekarang seolah-olah menjadi miliknya sendiri. Berantakan, ceceran makanan memenuhi ruangan. Anak Nana yang masih berumur empat tahun itu berlompat-lompatan di atas sofa."Maaf, keadaan rumahmu seperti ini." Nana sepertinya menyadari atas ketidaksukaanku.Bukan aku melupakan kebaikannya. Tapi, dengan dia memperlakukan rumahku seperti rumahnya sendiri seperti ini, apa tidak lancang?Aku hanya menitipkan agar dia sesekali melihat keadaan rumah. Apalagi kami punya usaha bersama, yang sebenarnya itu juga merupakan usahaku yang kuserahkan penanganan sementara kepadanya."Siapa, Dek?" seru laki-laki dari lantai atas, lalu tanpa menyadari kehadiranku dia turun dengan bertelanjang dada."Astaghfirullah..." Lirihku.Nana terlihat tak enak hati."Mas, ada Karina. Kamu pakai baju dan cepat turun." desisnya.Aku membuang pandangan keluar jendela."Eh, Ibu sudah pulang?" Narsih art yang
***Aku sedang berkemas, ketika kulihat Mas Ahmad sedang sibuk dengan ponselnya. Tak biasa dia begitu serius menatap benda pipih itu."Siapa yang siapa mengirim pesan, Mas?" tanyaku.Mas Ahmad terlihat kaget dan menyembunyikan ponselnya dalam kantong celana.Wajahnya memucat, Ada apa sebenarnya dalam ponsel itu kenapa tiba-tiba raut wajahnya berubah? Aku berusaha biasa saja. Tapi, dalam hatiku sedang menaruh curiga. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan dariku."Ti-tidak ada apa-apa sayang, hanya Manager Mas yang mengabarkan perkembangan perusahaan." ujarnya nya gugup."Oh ya, sudah kalau gitu Mas sekarang istirahat lah. Besok pagi kita akan segera berangkat. Aku khawatir kamu kecapean. Apalagi kamu kan baru sembuh." ujarku.Mas Ahmad tersenyum lalu menarikku dalam pelukannya."Mas, aku belum selesai nanti kalau aku sudah selesai aku akan menyusulmu, oke?"Perlahan aku melepaskan pelukan Mas Ahmad. Dia membalikkan tubuhku dan mencium keningku sesaat."Jangan lama-lama, ya?" katanya ge
Jianheeng menatapku tajam, aroma ketakutan di wajahnya mulai memudar. Berganti wajah penuh kebencian."Kau baru mengenal Liu, Jangan berharap kau bisa mendapatkannya, dengar itu! Sebelum kau datang Aku sudah lebih dahulu mendapatkan hatinya. Jangan berbangga hati jika kamu sekarang menjadi istrinya. Karena nanti kau akan menangis ditinggalkan olehnya, dasar wanita kampungan!"Jianheeng menghempaskan tanganku dan berlalu dengan meninggalkan tatapan yang penuh kebencian. Namun Aku tak tinggal diam dengan cepat aku menarik tangannya kembali."Jangan pernah mimpi kau kan dapatkan Ahmad wanita murahan!" "Kau tak akan mendapatkan Mas Ahmadku. Persiapkan saja dirimu untuk sebuah kekecewaan!" LanjutkuLalu aku melepaskan tangan wanita itu sehingga dia tersungkur ke lantai. Aku pun meninggalkannya tanpa mempedulikan dia yang meringis kesakitan. Tekat ini sudah bulat aku tidak akan melepaskan atau membiarkan suamiku diambil lagi.Tak lama Mas Ahmad keluar dia sedikit heran melihat wajahku masi
"Karina, Jianheeng memang dulu kami jodohkan dengan Liu. Berharap Liu bisa melupakan Lian, mendiang istrinya. Tapi, kami tak pernah memaksa Liu. Karena Liu sendiri tak pernah peduli dengan Jianheeng."Papa menarik nafas dalam-dalam. Sepertinya Papa sudah tahu apa yang terjadi. Kami sedang duduk dikursi panjang lorong rumah sakit pagi ini."Papa curiga, Jianheeng memasukkan obat tidur dosis tinggi kepada Liu. Agar bisa merebut Liu dari Karina, dengan cara tak pantas. Papa akan menyelesaikan semua. Papa janji. Tapi, Papa sangat berharap jangan tinggalkan Liu. Papa tak tahu apa yang akan terjadi padanya jika Karina meninggalkan Liu."Papa memijit keningnya, wajah tua itu tampak begitu lelah. Semalam beliau yang menjaga Mas Ahmad sendirian."Karina, Ahmad sangat mencintaimu. Papa bersumpah dengan nama Allah, bahwa anak Papa tulus mencintai Karina. Dia tak akan berani macam-macam. Papa jamin itu, jika dia berbuat yang tidak-tidak, Papa yang akan membuat dia menyesal seumur hidup."Air mata
"Kenapa baru menghubungi saya sekarang!" sesalnya dengan nada tinggi.Tanpa sempat menjelaskan, dokter itu telah menghubungi ambulance agar segera menjemput kesini.Mas Ahmad langsung dilarikan ke rumah sakit. Aku tak bisa berkata apa-apa. Dan akhirnya ikut bersama Mas Ahmad ke rumah sakit.Sesampainya disana, infus segera dipasang. Aku terduduk diluar karena belum diperbolehkan masuk.Hari sudah menjelang sore. Aku teringat Raffi yang dihotel sendirian. Segera aku menghubungi anakku itu, khawatir dia menelepon Mama dan Papa dan masalah makin runyam."Assalamu'alaikum, maaf Bu. Raffi ketiduran." ujar Raffi setelah beberapa kali panggilanku tak dijawab."Wa'alaykumussalam, oh syukurlah. Ibu kira kamu kemana, Nak. Raffi, udah makan?" "Alhamdulillah sudah, Bu. Tinggal sholat ashar yang belum, karena ketiduran." kekehnya."Ya sudah, setelah ini sholat ya. Oh ya, Ibu pulang agak malam. Raffi gapapa kan disana?" tanyaku memastikan."Gapapa, Bu. Aman InsyaAllah."Hatiku terasa lega. Aku bis
Seorang wanita dengan pakaian seksi berjalan angkuh melewatiku. Wangi parfumnya dapat tercium beberapa meter ke belakang. Aku pun meneruskan langkah hingga kami bertemu lagi dalam lift yang sama.Ternyata lantai yang kami tuju pun sama. Perempuan itu berjalan lebih dulu, bunyi high heels nya terdengar lantang beradu dengan lantai.Dia berbelok menuju arah yang sama denganku. Perasaanku mulai tak nyaman. Hingga benar, dia berhenti tepat didepan pintu kamar Mas Ahmad.Aku terpaku, perempuan itu bisa masuk tanpa perlu mengetuk pintu terlebih dahulu. Mas Ahmad tak terlihat, kaki ini terasa menyatu dengan lantai yang kuijak. Tanganku dingin, tapi hatiku begitu panas.Dengan mengucap Bismillah, aku melanjutkan langkahku.Perlahan kubuka knop pintu. Tampak Mas Ahmad berbaring di ranjang dan ada perempuan itu yang membelai rambut kepalanya mesra. Mata suamiku terpejam rapat, apa dia begitu menikmati sentuhan itu.Brak!Pintu terbanting beradu dengan tembok dinding membuat kedua manusia itu te