“Sekalipun aku tidak hamil, orangtua Kak Din pasti akan keberatan,” cicit Mala Handoko melepaskan topi yang selalu berada di kepalanya.” Keberatan?” ulangnya. “Kenapa bisa begitu?” lanjutnya bertanya. Nirmala membuang nafas lelah.” Mertuaku sudah meminta aku dari mendiang keluargaku, mereka bilang aku adalah wanita yang cocok untuk menikah dengan Dinata.” papar Mala “Cocok? Yang benar saja! Yang ada Dinata tidak menafkahi kamu dengan baik,” cibir Handoko, cukup kesal dengan semua kelakuan rival cintanya.“Aku juga sudah tidak bisa berkata-kata lagi,” keluh Mala.“Jadi Dinata belum kerja sampai sekarang?”Nirmala hanya menggeleng sebagi jawaban.“Bagaimana jika aku tawarkan kerja sebagai penyadap getah di kebun?”“Penyadap? Artinya harus bangun pagi. Mana mampu Dinata melakukan itu semua,” sungut Mala jika mengingat semua sifat malas sang suami.“Ya dicoba dulu. Aku nggak bisa lihat kamu dalam kondisi hamil tapi masih di paksa terus kerja dengan alasan bantu ekonomi. Meskipun…seben
“Sudah keluar?!” heran Nirmala Dinata membersihkan cairan yang tumpah di paha sang istri menggunakan kausnya.” Iya, ternyata kamu masih seenak biasanya.”“Padahal baru banget masuk ujungnya dan sudah muntah saja,” gumamnya yang tentu masih didengar oleh Dinata.“Mungkin aku terlalu capek, Mal. Jadi cepat menuju puncaknya. Yang penting sama-sama enak ‘kan,” ucapan Dinata membuat Nirmala ingin menusuknya dengan belati detik itu juga. ‘sama-sama enak katamu? Sejak kapan aku enak berhubungan denganmu’ batin Nirmala geram.“Meski cepat keluar yang penting kecebongku sudah berhasil masuk dan membuahimu,” pongah Dinata, terlalu percaya diri dengan kelihaiannya yang ia pikir perkasa itu. Dinata membuka lemari pakaian. Lemari tersebut tak bisa berbohong bahwa isinya sudah melebihi pemiliknya terlihat dari kayu yang keropos dan memiliki banyak bubuk halus yang sering buat author mainan. Pasti kalian tahulah.“Kenapa diam saja, Mala?” tanya Dinata seraya mencari baju bersih dalam lemari lap
Hari itu Nirmala menuruti perintah Handoko untuk menempati rumah rahasia yang ada di sebuah kampung yang cukup terpencil. Berbekal sepada motor milik Handoko, Mala tiba di rumah yang masih semi permanen itu, tapi isi rumah tersebut sudah lengkap dengan segala furniture dan perabotan lainnya. “Aku juga sering kesini kalau sedang ribut dengan Darti atau lelah dengan urusan kebun,” ucap Handoko seraya merebahkan tubuhnya di sofa berwarna coklat itu. Nirmala mengedarkan pandangannya, ia pindai bangunan yang Handoko sembunyikan dari istrinya, tak begitu besar. Namun, itu terlihat nyaman. Jauh dari pemukiman warga yang padat serta dari hingar bingar suara kendaraan. “Rumahnya sejuk dan nyaman,” puji mNirmala“Memang. Apalagi sekarang ada kamu, jadi terasa semakin sejuk dan nyaman. Sini,” ajak Handoko menepuk pahanya kosong. Dengan sigap Mala meringsek maju duduk di paha Handoko dengan tangan bergelayut manja. Handoko pun mengecup pipi Nirmala, siang itu dua manusia tanpa status men
Langkah Nirmala terasa seperti diikuti oleh seseorang dari belakang. Tak berani menoleh untuk memastikan, Nirmala justru mempercepat langkahnya agar segera sampai di pemukiman warga. Sebab warung nasi langganan Handoko letaknya terpencil dari rumah warga, warung tersebut berdekatan dengan kebun karet milik negara itu.“Mbak! Tunggu!” seru pemuda itu. Bukan berhenti, Mala setengah berlari. Ia cukup takut.“Hei!” teriaknya.” Tunggu kubilang!” seru nya lagi.Nirmala benar-benar tidak mengindahkan perintah lelaki asing yang terus mengikutinya dari belakang.“Berhenti atau aku beberkan rahasiamu dengan mandor tadi,” ancamnya. Sepersekian detik kaki Nirmala bagai dirantai ke bumi. Tubuhnya terpaku, nafasnya memburu dan jantungnya berdegup lebih kencang. Pria itu seketika menyunggingkan senyum, tak menyangka ancamannya berhasil. Ketika pria itu telah berhadapan dengan Nirmala, mata Nirmala memincing, menelisik dan memindai pria yang baru saja mengancamnya.“Siapa kamu, kamu pasti bukan pe
Nirmala menoleh ke sisi kiri dan kanannya. Besar harapan Nirmala agar berita yang akan disampaikan ke Handoko tidak sampai di dengar oleh pemilik warung nasi langganan semua buruh perkebunan karet itu. Bisa fatal jika Ibu warung mendengar semuanya. Nirmala meremas jemari nya, matanya bergerak tak beraturan, tubuhnya sedikit tremor. Perlu keberanian yang banyak untuk membuat dirinya buka mulut didepan Handoko.“Sebenarnya ada apa, Mala? Apa yang ingin kamu sampaikan.” Handoko jadi tak sabar dibuatnya.“A-ku. Aku—.”“Aku apa? Bicara yang jelas!” desak Handoko. Nirmala mengikis jarak, wajahnya maju mencari keberadaan telinga Handoko.” Aku hamil,” cetus Mala. Mata Handoko membulat sempurna.” Ha—mil? Kamu hamil, Mala?” ulang sang mandor. “Ssssttttt! Pelankan suaramu.” Nirmala memberi isyarat dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Masih dengan keterkejutannya, Handoko mencoba menelaah kalimat Nirmala. Mengapa Nirmala mendatangi dirinya dan berkata jika saat ini Nirmala teng
“Pak! Mau apa, Pak?” protes Mala “Diam lah,” lirih Handoko. “Pak! Jangan, Pak,” mulut Mala menolak. Namun, otak nya menginginkan Handoko melakukan lebih. Kecupan demi kecupan menghujani wajah manis Mala hingga pindah ke bagian leher nya juga. Handoko semakin berani, lantaran Nirmala hanya diam menikmati sentuhan yang ia beri.“Mala….,” bisik Handoko lembut. Siang itu, dibawah terik mentari. Handoko menggagahi Nirmala beralaskan sebuah karung. Tanpa perlu melepas semua pakaian, Handoko cukup mengeluarkan pusakanya lewat zipper celana hitamnya.“Pakai lagi celana mu, Mala,” titah Handoko setelah mengakhiri ‘kerja kerasnya’ Semak belukar di tengah kebun karet menjadi saksi perbuatan bejat dua manusia tanpa status jelas itu. Sebelum Mala mengenakan celana panjangnya, ia dahulukan membasuh jalan yang sudah dilalui oleh Handoko di sungai kecil dekat tempat mereka melepas cinta yang terpendam.“Kenapa kamu segagah ini,” aku Mala tersipu malu.Handoko tersenyum jumawa.” Pasti kamu b