Share

BAB 4

Author: Lailai
last update Last Updated: 2025-07-19 16:46:53

Nirmala menoleh ke sisi kiri dan kanannya. Besar harapan Nirmala agar berita yang akan disampaikan ke Handoko tidak sampai di dengar oleh pemilik warung nasi langganan semua buruh perkebunan karet itu. Bisa fatal jika Ibu warung mendengar semuanya. Nirmala meremas jemari nya, matanya bergerak tak beraturan, tubuhnya sedikit tremor. Perlu keberanian yang banyak untuk membuat dirinya buka mulut didepan Handoko.

“Sebenarnya ada apa, Mala? Apa yang ingin kamu sampaikan.” Handoko jadi tak sabar dibuatnya.

“A-ku. Aku—.”

“Aku apa? Bicara yang jelas!” desak Handoko.

Nirmala mengikis jarak, wajahnya maju mencari keberadaan telinga Handoko.” Aku hamil,” cetus Mala.

Mata Handoko membulat sempurna.” Ha—mil? Kamu hamil, Mala?” ulang sang mandor.

“Ssssttttt! Pelankan suaramu.” Nirmala memberi isyarat dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir.

Masih dengan keterkejutannya, Handoko mencoba menelaah kalimat Nirmala. Mengapa Nirmala mendatangi dirinya dan berkata jika saat ini Nirmala tengah berbadan dua.

“Maksudnya, kamu hamil itu bagaimana, Mala. Kenapa kamu harus memberitahuku?” heran Handoko

“Aku hamil anakmu,”cetus Mala.

“Apa kamu yakin?”

“Apa kamu menuduhku sering berbuat hal itu dengan pria lain!?” tanya Nirmala sedikit kesal.

“Bu–bukan begitu, Mala. Bukan! Dengar, siapa tahu kamu hamil dengan Dinata suamimu.”

“Tidak mungkin!”

Kening Handoko berkerut.” Tidak mungkin?” ulangnya. “Tolong katakan dengan jelas, Mala.”

“Sejak kita melakukan itu yang pertama kali, itu adalah waktu selesainya masa haid ku,” kenang Mala

“Jadi waktu itu kamu sedang masa subur?” tanya Handoko

“Benar sekali,” ujar Mala seraya memainkan jemari lentiknya.

Handoko yang tahu bahwa saat ini Mala sedang gelisah, buru-buru sang mandor meraih tangan kekasih gelapnya yang kini tengah berbadan dua itu. Handoko usap punggung tangan Mala dengan lembut, berharap bisa menyalurkan energi positif. Jadi tidak hanya tespek Nirmala saja yang positif.

“Tenanglah, Mala. Aku akan bertanggung jawab. Bercerailah dan mari menikah denganku,” pinta Handoko untuk kesekian kalinya.

“Wanita hamil mana bisa bercerai!” Mala keceplosan, saking emosionalnya ia tak sadar sudah menggunakan nada tinggi. Untung saja Ibu warung sedang menukar tabung gas warna hijau.

Handoko kembali meraih jemari Nirmala yang sempat ditarik secara kasar. “Kenapa tidak bisa? Dinata belum tahu kan kabar kehamilanmu?”

“Sudah,” cicitnya

Kini Handoko justru yang melepaskan genggaman tangannya dari Nirmala. Tangan kekar itu berpindah memijat pelipisnya. Bukan karena pusing, tetapi merutuki kecerobohan Nirmala yang memberi tahu ke Dinata.

“Kenapa kamu beri tahu lelaki mokondo itu sih?” Handoko terheran.

“Karena Kak Dinata terus mendesak aku, dia minta jatahnya. Sejak aku selesai datang bulan sampai sekarang sama sekali Kak Dinata tidak mendapatkan haknya,” terang Nirmala

“Serius kamu? Dinata tidak kamu kasih jatah selama itu?”

“Hmmm,” sahut Nirmala singkat

Handoko membuka tutup botol air mineral lalu menyodorkan ke arah Nirmala.” Minumlah, bagaimanapun anak dalam kandunganmu adalah darah dagingku,”

Nirmala patuh, ia sesap air pemberian dari Handoko. “Kak Dinata bahagia saat aku mendengar bahwa aku telah hamil,” cicitnya

Handoko membuang nafas berat.” Kenapa kamu sampai memberitahu suamimu sih?”

“Sudah aku bilang ‘kan tadi. Karena aku malas melayani dia, jadi aku katakan saja bahwa orang yang sedang hamil muda tidak boleh berhubungan dulu.” Nirmala merasa kesal karena Handoko terkesan menyalahkan dirinya.

“Kalau sudah begini aku akan semakin sulit untuk menikahimu, Mala,” sesal Handoko.

Suami yang mana yang tidak bahagia ketika mendengar bahwa istrinya tengah mengandung. Tiga tahun usia pernikahan Dinata dan Nirmala, akhirnya penantian itu terbayar. Ada nyawa di dalam rahim Nirmala. Tanpa menaruh curiga, Dinata tetap percaya pada sang istri bahwa itu benihnya.

“Aku akan tetap bertanggung jawab atas anak itu, Mala. Meskipun aku tidak bisa menikahimu dalam waktu dekat,” kata

Handoko.

Nirmala menoleh, menatap Handoko dengan intens.” Maksudnya?”

“Tetaplah jaga rumah tanggamu, aku yang akan tanggung biaya hidup anak itu, dia anakku. Dia anakku,” binar bahagia dari wajah Handoko juga tidak bisa ia sembunyikan.

Nirmala membuang nafas kasar.” Untungnya Kak Dinata itu pelupa. Jika dia jeli seharusnya paham aku hamil bukan dengan dirinya. Kamu bayangkan saja, setelah selesai haid dia sama sekali tidak menyentuhku. Tiba saatnya ia meminta haknya aku sangkal dengan berita kehamilanku,” ungkap Nirmala.

“Jaga kehamilanmu. Aku harap jangan bekerja lagi di kebun,” ujar Handoko.

“Itulah masalahnya. Jika aku tidak bekerja dapur kami tidak ngebul,” adu Mala.

Handoko berdecak sebal.” Payahnya Dinata jadi seorang lelaki. Begitu, tapi kamu betah sekali dengan dia.”

“Nanti biar aku bicara sama Kak Din, supaya cari kerja yang benar, bukan malah siang mancing belut malam nya main domino,” kesal Nirmala jika harus mengingat tabiat sang suami.

“Kalau Dinata tidak mau kerja, bagaimana?”

“Ya terpaksa.”

“Nggak bisa! Kamu nggak boleh capek. Kamu sedang hamil.”

“Mau bagaimana lagi.”

“Begini saja, pamitlah dengan Dinata pergi ke kebun, tapi sampai di kebun kamu tidak boleh bekerja. Cukup bersenang-senang denganku saja.”

“Selalu saja seperti itu, lalu apa kita akan melakukannya di kebun lagi.”

“Tidak dong, sayang. Aku punya sebuah rumah yang belum lama aku bangun dan tanpa sepengetahuan Darti,” terang Handoko.

“Pintar sekali kamu menyembunyikan sesuatu,” sindir Mala.

“Sudahlah jangan bahas itu,” elak Handoko.

“Ya sudah aku pulang dulu ya,” pamit Mala.

“Tunggu, Mala,” panggil Handoko. Ia buka dompetnya dan menyerahkan sejumlah uang untuk Nirmala. “Jangan makan uang itu untuk Dinata, apalagi sampai kamu belikan rokok untuk dia. Uang ini untuk kamu dan calon anakku,” cerocos Handoko

“Iya, aku tahu. Sudah berapa kali ya. Kamu bicara seperti ini,” gerutu Nirmala.

“Aku tidak rela uang ini dinikmati oleh lelaki tidak berguna itu apalagi jika sampai malam ini kamu layani dia.”

“Lho, kenapa emang?” tanya Mala sengaja menguji Handoko.

“Pokoknya aku tidak rela dan tidak suka,”

“Tapi, dia suamiku lho,” ejek Nirmala lagi.

“Kamu harus bisa memberikan alasan, agar si Dinata tidak memakai kamu.”

“Baju kali dipakai,” gurau Nirmala.

“Pulanglah dan beristirahat. Maaf tidak bisa antar kamu, jaga baik-baik dia ya,” ucap Handoko mengusap perut Nirmala yang masih datar.

Nirmala dan Handoko mengakhiri pertemuan mereka di warung nasi. Tanpa mereka sadari ada lelaki yang ikut beranjak pergi saat Nirmala meninggalkan warung nasi tersebut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Jelly_aiza
nah loh siapa dy ... jangan2 dy mendengar obrolan Nirmala dg Handoko, waduh bahaya itu
goodnovel comment avatar
Jelly_aiza
Duaaaar bumi gonjang ganjing.. hayoloh gmn nasibmu Nirmalaaaaaa
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • MEMBESARKAN BENIH MANDOR BERSAMA SUAMIKU    BAB 8

    “Sekalipun aku tidak hamil, orangtua Kak Din pasti akan keberatan,” cicit Mala Handoko melepaskan topi yang selalu berada di kepalanya.” Keberatan?” ulangnya. “Kenapa bisa begitu?” lanjutnya bertanya. Nirmala membuang nafas lelah.” Mertuaku sudah meminta aku dari mendiang keluargaku, mereka bilang aku adalah wanita yang cocok untuk menikah dengan Dinata.” papar Mala “Cocok? Yang benar saja! Yang ada Dinata tidak menafkahi kamu dengan baik,” cibir Handoko, cukup kesal dengan semua kelakuan rival cintanya.“Aku juga sudah tidak bisa berkata-kata lagi,” keluh Mala.“Jadi Dinata belum kerja sampai sekarang?”Nirmala hanya menggeleng sebagi jawaban.“Bagaimana jika aku tawarkan kerja sebagai penyadap getah di kebun?”“Penyadap? Artinya harus bangun pagi. Mana mampu Dinata melakukan itu semua,” sungut Mala jika mengingat semua sifat malas sang suami.“Ya dicoba dulu. Aku nggak bisa lihat kamu dalam kondisi hamil tapi masih di paksa terus kerja dengan alasan bantu ekonomi. Meskipun…seben

  • MEMBESARKAN BENIH MANDOR BERSAMA SUAMIKU    BAB 7

    “Sudah keluar?!” heran Nirmala Dinata membersihkan cairan yang tumpah di paha sang istri menggunakan kausnya.” Iya, ternyata kamu masih seenak biasanya.”“Padahal baru banget masuk ujungnya dan sudah muntah saja,” gumamnya yang tentu masih didengar oleh Dinata.“Mungkin aku terlalu capek, Mal. Jadi cepat menuju puncaknya. Yang penting sama-sama enak ‘kan,” ucapan Dinata membuat Nirmala ingin menusuknya dengan belati detik itu juga. ‘sama-sama enak katamu? Sejak kapan aku enak berhubungan denganmu’ batin Nirmala geram.“Meski cepat keluar yang penting kecebongku sudah berhasil masuk dan membuahimu,” pongah Dinata, terlalu percaya diri dengan kelihaiannya yang ia pikir perkasa itu. Dinata membuka lemari pakaian. Lemari tersebut tak bisa berbohong bahwa isinya sudah melebihi pemiliknya terlihat dari kayu yang keropos dan memiliki banyak bubuk halus yang sering buat author mainan. Pasti kalian tahulah.“Kenapa diam saja, Mala?” tanya Dinata seraya mencari baju bersih dalam lemari lap

  • MEMBESARKAN BENIH MANDOR BERSAMA SUAMIKU    BAB 6

    Hari itu Nirmala menuruti perintah Handoko untuk menempati rumah rahasia yang ada di sebuah kampung yang cukup terpencil. Berbekal sepada motor milik Handoko, Mala tiba di rumah yang masih semi permanen itu, tapi isi rumah tersebut sudah lengkap dengan segala furniture dan perabotan lainnya. “Aku juga sering kesini kalau sedang ribut dengan Darti atau lelah dengan urusan kebun,” ucap Handoko seraya merebahkan tubuhnya di sofa berwarna coklat itu. Nirmala mengedarkan pandangannya, ia pindai bangunan yang Handoko sembunyikan dari istrinya, tak begitu besar. Namun, itu terlihat nyaman. Jauh dari pemukiman warga yang padat serta dari hingar bingar suara kendaraan. “Rumahnya sejuk dan nyaman,” puji mNirmala“Memang. Apalagi sekarang ada kamu, jadi terasa semakin sejuk dan nyaman. Sini,” ajak Handoko menepuk pahanya kosong. Dengan sigap Mala meringsek maju duduk di paha Handoko dengan tangan bergelayut manja. Handoko pun mengecup pipi Nirmala, siang itu dua manusia tanpa status men

  • MEMBESARKAN BENIH MANDOR BERSAMA SUAMIKU    BAB 5

    Langkah Nirmala terasa seperti diikuti oleh seseorang dari belakang. Tak berani menoleh untuk memastikan, Nirmala justru mempercepat langkahnya agar segera sampai di pemukiman warga. Sebab warung nasi langganan Handoko letaknya terpencil dari rumah warga, warung tersebut berdekatan dengan kebun karet milik negara itu.“Mbak! Tunggu!” seru pemuda itu. Bukan berhenti, Mala setengah berlari. Ia cukup takut.“Hei!” teriaknya.” Tunggu kubilang!” seru nya lagi.Nirmala benar-benar tidak mengindahkan perintah lelaki asing yang terus mengikutinya dari belakang.“Berhenti atau aku beberkan rahasiamu dengan mandor tadi,” ancamnya. Sepersekian detik kaki Nirmala bagai dirantai ke bumi. Tubuhnya terpaku, nafasnya memburu dan jantungnya berdegup lebih kencang. Pria itu seketika menyunggingkan senyum, tak menyangka ancamannya berhasil. Ketika pria itu telah berhadapan dengan Nirmala, mata Nirmala memincing, menelisik dan memindai pria yang baru saja mengancamnya.“Siapa kamu, kamu pasti bukan pe

  • MEMBESARKAN BENIH MANDOR BERSAMA SUAMIKU    BAB 4

    Nirmala menoleh ke sisi kiri dan kanannya. Besar harapan Nirmala agar berita yang akan disampaikan ke Handoko tidak sampai di dengar oleh pemilik warung nasi langganan semua buruh perkebunan karet itu. Bisa fatal jika Ibu warung mendengar semuanya. Nirmala meremas jemari nya, matanya bergerak tak beraturan, tubuhnya sedikit tremor. Perlu keberanian yang banyak untuk membuat dirinya buka mulut didepan Handoko.“Sebenarnya ada apa, Mala? Apa yang ingin kamu sampaikan.” Handoko jadi tak sabar dibuatnya.“A-ku. Aku—.”“Aku apa? Bicara yang jelas!” desak Handoko. Nirmala mengikis jarak, wajahnya maju mencari keberadaan telinga Handoko.” Aku hamil,” cetus Mala. Mata Handoko membulat sempurna.” Ha—mil? Kamu hamil, Mala?” ulang sang mandor. “Ssssttttt! Pelankan suaramu.” Nirmala memberi isyarat dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Masih dengan keterkejutannya, Handoko mencoba menelaah kalimat Nirmala. Mengapa Nirmala mendatangi dirinya dan berkata jika saat ini Nirmala teng

  • MEMBESARKAN BENIH MANDOR BERSAMA SUAMIKU    BAB 3

    “Pak! Mau apa, Pak?” protes Mala “Diam lah,” lirih Handoko. “Pak! Jangan, Pak,” mulut Mala menolak. Namun, otak nya menginginkan Handoko melakukan lebih. Kecupan demi kecupan menghujani wajah manis Mala hingga pindah ke bagian leher nya juga. Handoko semakin berani, lantaran Nirmala hanya diam menikmati sentuhan yang ia beri.“Mala….,” bisik Handoko lembut. Siang itu, dibawah terik mentari. Handoko menggagahi Nirmala beralaskan sebuah karung. Tanpa perlu melepas semua pakaian, Handoko cukup mengeluarkan pusakanya lewat zipper celana hitamnya.“Pakai lagi celana mu, Mala,” titah Handoko setelah mengakhiri ‘kerja kerasnya’ Semak belukar di tengah kebun karet menjadi saksi perbuatan bejat dua manusia tanpa status jelas itu. Sebelum Mala mengenakan celana panjangnya, ia dahulukan membasuh jalan yang sudah dilalui oleh Handoko di sungai kecil dekat tempat mereka melepas cinta yang terpendam.“Kenapa kamu segagah ini,” aku Mala tersipu malu.Handoko tersenyum jumawa.” Pasti kamu b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status