Share

BAB 5

Author: Lailai
last update Huling Na-update: 2025-07-19 16:47:24

Langkah Nirmala terasa seperti diikuti oleh seseorang dari belakang. Tak berani menoleh untuk memastikan, Nirmala justru mempercepat langkahnya agar segera sampai di pemukiman warga. Sebab warung nasi langganan Handoko letaknya terpencil dari rumah warga, warung tersebut berdekatan dengan kebun karet milik negara itu.

“Mbak! Tunggu!” seru pemuda itu.

Bukan berhenti, Mala setengah berlari. Ia cukup takut.

“Hei!” teriaknya.” Tunggu kubilang!” seru nya lagi.

Nirmala benar-benar tidak mengindahkan perintah lelaki asing yang terus mengikutinya dari belakang.

“Berhenti atau aku beberkan rahasiamu dengan mandor tadi,” ancamnya.

Sepersekian detik kaki Nirmala bagai dirantai ke bumi. Tubuhnya terpaku, nafasnya memburu dan jantungnya berdegup lebih kencang. Pria itu seketika menyunggingkan senyum, tak menyangka ancamannya berhasil. Ketika pria itu telah berhadapan dengan Nirmala, mata Nirmala memincing, menelisik dan memindai pria yang baru saja mengancamnya.

“Siapa kamu, kamu pasti bukan pemuda kampung sini ‘kan?” heran Nirmala

“Aku memang bukan orang sini,” ujarnya

“Lalu apa maksudmu mengancamku.” Nirmala berusaha tenang.

“Tidak ada maksud apapun. Kamu mau hamil dengan mandor yang diwarung tadi itu bukan urusanku. Aku hanya ingin menanyakan alamat rumah ini,” kata pria itu seraya menyodorkan secarik kertas dengan sebuah alamat. Nirmala sedikit melirik, tertera alamat rumah Darti disana.

“Ada hubungan apa kamu dengan wanita yang kamu cari ini?” tanya Mala.

“Bukan apa-apa. Hanya urusan hutang piutang. Apakah Mbak tahu rumah tersebut.”

Nirmala membuang nafas lega, pria ini seperti tidak ingin ikut campur dengan hubungan gelapnya bersmaa Handoko dan pria ini juga tidak tahu bahwa Darti adalah istri sah Handoko, lelaki yang telah menanamkan benih dalam rahim Nirmala. Berkat petunjuk dari Nirmala, pria itu langsung menuju tempat yang Nirmala katakan.

***

“Kak Din…” lirih Mala

“Kenapa, Mala,” sahut Dinata tanpa menoleh kearah sang istri, ia tetap asyik mengisi teka teki silang yang ia beli seharga lima ribu rupiah.

“Aku harus berhenti kerja, Kak. Kondisiku saat ini sedang hamil,” tutur Mala

“Jangan manja, Mala. Dulu saat Mama hamil aku, beliau tetep produktif tetap bekerja,” terang Dinata.

“Jadi aku harus tetap kerja, begitu? Bahkan kamu tahu sendiri pekerjaanku seperti apa!” sentak Mala

“Apa salahnya, Mala. Toh kandunganmu masih sangat muda dan kamu juga tidak mabuk berat seperti sepupu yang sedang hamil juga. Akhirnya aku punya anak juga, orang-orang akan terbungkam dengan kehamilanmu, Mal,” ucap Dinata semakin membuat muak sang istri

“Kalau kamu akan segera punya anak, carilah pekerjaan, Kak! Bukan setiap hari hanya mancing belut, main judi dipos ronda. Dan– ini apa, ngisi TTS yang nggak ada hasil nya,” ujar Mala penuh kekesalan.

Dianta menutup buku TTS itu dengan gerakan sedikit kasar.” Kenapa kamu semakin bawel, sih!” sentaknya, lalu mengacak rambutnya yang gimbal.

“Kebutuhan kita akan semakin bertambah banyak, Kak. Biaya persalinan tidak sedikit. Kamu tahu itu kan.”

“Kamu tenang saja! Aku pasti akan dapat pekerjaan untuk biaya persalinanmu, tapi aku mohon jangan terlalu berisik!”

“Kapan?! Kapan aku tanya, kapan kamu akan pergi dari zona nyamanmu?”

“Satu atau dua bulan lagi pasti aku akan kerja. Jadi untuk sementara bekerjalah kembali. Toh Bidan bilang kandunganmu sehat dan baik - baik saja,” tutur Dinata.

Mengapa Dinata tidak bisa menangkap sinyal bahwa Nirmala ingin diratukan, ingin dimanja dan ingin dianggap kehadirannya berharga. Harapan itu tentu sangat jauh bisa Nirmala dapatkan. Bukannya cepat bergerak mencari pemasukan, Dinata malah semakin berpangku tangan dengan dalih anak ada sendiri rejekinya.

“Mama seneng banget saat tahu kamu hamil.” Dinata memberitahu

Nirmala masih bergeming, pikiran berkelana. Impian berleha-leha menikmati kehamilan hanyalah semu belaka. Bukan maksud untuk ikut bermalas-malasan. Namun, sebagai perempuan Nirmala juga ingin merasakan dimanjakan oleh sang suami. Kedua orang Dinata menjodohkan dua manusia itu lantaran Nirmala adalah orang yang rajin dan tekun dalam segala hal.

“Aku tahu,” jawab Mala singkat. “Aku mau tidur, capek! Besok aku harus kembali kerja,” pamit Mala yang tentu saja disusul oleh Dinata.

Keduanya merebahkan tubuh mereka di kasur yang kapuk yang sudah lusuh. Malam yang sunyi hanya ditemani oleh suara jangkrik dan hewan nokturnal lainnya, membuat suasana malam mereka lebih berwarna.

“Kata Rudi kalau istri sedang hamil lebih enak untuk bercinta, yuk kita coba,” ajak Dinata

“Kamu lupa apa kata Bidan tadi sore saat kita periksa,” ujar Mala yang terdengar lebih ke sebuah penolakan.

“Sebentar saja,” pinta Dinata.

‘sejak kapan mau punya durasi lama’ batin Nirmala

“Maaf, Kak. Aku capek. Besok saja.” Nirmala berbalik badan dan segera menjemput mimpi indahnya.

Matahari yang malu-malu untuk menampakkan diri dari sebelah Timur, mengiringi langkah Nirmala dan sembilan temannya menuju perkebunan tempat mereka bekerja.

Waktu yang terus bergulir, membuat sang surya teriknya telah berada diatas kepala. Semua buruh wanita sudah berkumpul untuk menyantap makan siang mereka. Ada Handoko yang mulai geram, mengapa Nirmala ada di antara buruh lainnya. Bukankah Nirmala harus berhenti bekerja.

“Kenapa masih saja bekerja? Apa kamu tidak sayang pada anak kita?” tanya Handoko dengan nada yang begitu lirih.

“Aku terpaksa,” cicitnya

“Apa Dinata tidak melarangmu?”

Nirmala menggeleng lemah. Dilanjutkan dengan menyantap makan siang nya dengan oseng kembang pepaya.

“Jangan makan itu,” cegah Handoko cepat

“Sudah masuk.”

“Muntahkan!” seru Handoko.

“Memang kenapa sih?” Heran Nirmala seraya mengusap bibirnya.

“Hamil muda tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan itu, apa kamu belum periksa ke Bidan? Apa kamu tidak diberitahu oleh Bidan?”

“Maaf.” Nirmala tertunduk menyesali perbuatannya.” Aku lupa,” cicitnya.

“Buang makanan itu. Untung saja aku melihatnya.”

“Lho, Mala oseng kembang pepayanya mau diapakan?” tanya Meni.

“Mau aku buang,” jawab Mala seadanya.

“Jangan! Sini buat aku saja.” Meni menyodorkan wadah bekal nya. Handoko melirik menu milik sahabat Nirmala itu.

“Kalian tukar makanan saja,” saran Handoko.

Dua wanita beda status itu sontak menoleh ke arah Handoko.

“Malah pada melotot. Cepat tukar. Meni berikan bekalmu pada Nirmala,” titah Handoko.

“I–iya, Pak. Iya.” Meni sedikit terkejut dengan sikap Handoko yang tiba-tiba saja begini.

“Mala, makanlah. Kamu harus kenyang dan jaga kan—”

“Meni, mangut lele buatanmu enak banget. Aku minta resepnya ya.” Nirmala melempar kode supaya Handoko tidak perlu meneruskan ucapannya.

“Oh. Iya, iya. Nanti aku bagi resepnya ke kamu.” Meni tersenyum kikuk. Meni merasa ada sesuatu yang tidak beres antara Handoko dan sahabatnya.

“Selesai makan temui aku tempat biasa,” bisik Handoko. Lelaki gagah itu, pergi. Meninggal Nirmala dan Meni yang tengah menyantap makan siang.

“Jika Dinata tetap ngotot menyuruhmu bekerja, berangkat saja dari rumah seolah kamu memang pergi kerja, tapi kamu tempati saja rumah kosongku. Berleha-lehalah di sana,” kata Handoko setelah Nirmala menyambangi dirinya.

“Tapi, Pak.”

“Jangan panggil aku Pak, dan kamu tidak boleh menolak perintah ku,” tutur Handoko

Handoko mengusap perut Nirmala yang masih rata.” Didalam sini ada darah dagingku. Semoga yang lahir adalah laki-laki. Jaga dia, Mala. Kamu tidak boleh kerja berat.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • MEMBESARKAN BENIH MANDOR BERSAMA SUAMIKU    BAB 5

    Langkah Nirmala terasa seperti diikuti oleh seseorang dari belakang. Tak berani menoleh untuk memastikan, Nirmala justru mempercepat langkahnya agar segera sampai di pemukiman warga. Sebab warung nasi langganan Handoko letaknya terpencil dari rumah warga, warung tersebut berdekatan dengan kebun karet milik negara itu.“Mbak! Tunggu!” seru pemuda itu. Bukan berhenti, Mala setengah berlari. Ia cukup takut.“Hei!” teriaknya.” Tunggu kubilang!” seru nya lagi.Nirmala benar-benar tidak mengindahkan perintah lelaki asing yang terus mengikutinya dari belakang.“Berhenti atau aku beberkan rahasiamu dengan mandor tadi,” ancamnya. Sepersekian detik kaki Nirmala bagai dirantai ke bumi. Tubuhnya terpaku, nafasnya memburu dan jantungnya berdegup lebih kencang. Pria itu seketika menyunggingkan senyum, tak menyangka ancamannya berhasil. Ketika pria itu telah berhadapan dengan Nirmala, mata Nirmala memincing, menelisik dan memindai pria yang baru saja mengancamnya.“Siapa kamu, kamu pasti bukan pe

  • MEMBESARKAN BENIH MANDOR BERSAMA SUAMIKU    BAB 4

    Nirmala menoleh ke sisi kiri dan kanannya. Besar harapan Nirmala agar berita yang akan disampaikan ke Handoko tidak sampai di dengar oleh pemilik warung nasi langganan semua buruh perkebunan karet itu. Bisa fatal jika Ibu warung mendengar semuanya. Nirmala meremas jemari nya, matanya bergerak tak beraturan, tubuhnya sedikit tremor. Perlu keberanian yang banyak untuk membuat dirinya buka mulut didepan Handoko.“Sebenarnya ada apa, Mala? Apa yang ingin kamu sampaikan.” Handoko jadi tak sabar dibuatnya.“A-ku. Aku—.”“Aku apa? Bicara yang jelas!” desak Handoko. Nirmala mengikis jarak, wajahnya maju mencari keberadaan telinga Handoko.” Aku hamil,” cetus Mala. Mata Handoko membulat sempurna.” Ha—mil? Kamu hamil, Mala?” ulang sang mandor. “Ssssttttt! Pelankan suaramu.” Nirmala memberi isyarat dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Masih dengan keterkejutannya, Handoko mencoba menelaah kalimat Nirmala. Mengapa Nirmala mendatangi dirinya dan berkata jika saat ini Nirmala teng

  • MEMBESARKAN BENIH MANDOR BERSAMA SUAMIKU    BAB 3

    “Pak! Mau apa, Pak?” protes Mala “Diam lah,” lirih Handoko. “Pak! Jangan, Pak,” mulut Mala menolak. Namun, otak nya menginginkan Handoko melakukan lebih. Kecupan demi kecupan menghujani wajah manis Mala hingga pindah ke bagian leher nya juga. Handoko semakin berani, lantaran Nirmala hanya diam menikmati sentuhan yang ia beri.“Mala….,” bisik Handoko lembut. Siang itu, dibawah terik mentari. Handoko menggagahi Nirmala beralaskan sebuah karung. Tanpa perlu melepas semua pakaian, Handoko cukup mengeluarkan pusakanya lewat zipper celana hitamnya.“Pakai lagi celana mu, Mala,” titah Handoko setelah mengakhiri ‘kerja kerasnya’ Semak belukar di tengah kebun karet menjadi saksi perbuatan bejat dua manusia tanpa status jelas itu. Sebelum Mala mengenakan celana panjangnya, ia dahulukan membasuh jalan yang sudah dilalui oleh Handoko di sungai kecil dekat tempat mereka melepas cinta yang terpendam.“Kenapa kamu segagah ini,” aku Mala tersipu malu.Handoko tersenyum jumawa.” Pasti kamu b

  • MEMBESARKAN BENIH MANDOR BERSAMA SUAMIKU    BAB 2

    “Duduk dulu, Mala. Kenapa harus berdiri disitu dan menatap tukang sadap,” titah Handoko menepuk sisi kosong di sebelah nya. Dengan ragu, Nirmala segara mejatuh bokongnya pada bangku kayu yang di buat seadanya. “Sebenarnya ada apa, Pak? Kenapa kita harus kesini?” “Tenanglah, Mala. Mantapkan duduk mu, kenapa sepertinya cacing kepanasan saja.”“Tidak enak, Pak,” cicit Mala.“Tukang sadap itu tidak ada yang punya mulud julid seperti sembilan teman mu yang tadi,” gurau Handoko.“Tetap saja, aku merasa tidak enak. Takut mereka berpikir aku penggoda suami orang,” ungkap Mala sedikit berani.“Sebelum kamu di cap penggoda, kamu memang sudah menggoda ku, Nirmala.” Mala gelapan mendengar penuturan dari Handoko yang kini duduk di sebelahnya, pada bangunan tanpa dinding itu. Bangunan di tengah kebun karet yang hanya berdiri dengan empat tiang dan di beri atap dari asbes. Tergantung sebuah neraca untuk menimbang getah karet disana.“M- maksud nya apa ya, Pak?’ Handoko tersenyum penuh arti

  • MEMBESARKAN BENIH MANDOR BERSAMA SUAMIKU    BAB 1

    “Kak, Dinata. Kak.” Nirmala mengguncang pelan tubuh sang suami yang masih berselimut tebal di atas tempat tidur.“Hmmm …,” sahut Dinata malas tanpa bergerak sedikit pun.“Bangun dulu, hei.” Nirmala menarik bahu sang suami yang meringkuk membelakangi dirinya.“Apa sih, Mala. Aku masih mengantuk,” keluh Dinata, kemudian ia tarik kembali selimut yang baru saja Nirmala sibak.“Aku mau berangkat kerja, Kak. Jangan lupa tutup lagi pintunya.” Dinata kembali terbuai dalam mimpi di subuh yang begitu dingin itu. Kumandang adzan bersahutan menjadi lagu nina bobo baginya untuk melanjutkan tidurnya sampai siang, bahkan dengkuran halusnya lolos begitu saja.“Mala, cepat! Ayo berangkat, azan Subuh sudah selesai dan kamu belum keluar juga?” seru Meni dari luar Suara bisik-bisik dari rekan kerja Mala masuk ke indra pendengaran Mala yang masih berusaha membangunkan Dinata. Mala gelisah, ia sudah ditunggu rekannya. Namun, kedua mata Dinata masih saja terpejam rapat. Tidak mungkin ia pergi bekerja d

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status