"Retha, cepat sapu lantainya!" teriak Yuni, yaitu ibu mertuanya Aretha.
Belum sempat Aretha menyahut, dari arah belakang pundak Aretha ditepuk oleh Nina, yaitu adik iparnya."Mbak, tolong cucikan bajunya Nilna dulu, dia habis gumoh, takutnya membekas nanti." Menyodorkan baju bayi yang terlihat kotor dan juga bau."Iya, kamu rendam dulu aja, nanti setelah aku selesai nyapu--""Aduh, Mbak. Sekarang aja, nanti kalau membekas dan bau, kamu mau gantiin dengan yang baru?""Tapi--""Retha, .... cepetan!!! Teman-teman Ibu sudah hampir sampai ini, dan rumah masih berantakan!""Iya, Bu, ...." Lalu tanpa mempedulikan Nina lagi, Aretha langsung pergi ke ruang tamu untuk menuruti perintah ibu mertuanya."Dari tadi dipanggil baru nongol, lelet banget jadi orang! Kamu sengaja ya mau bikin Ibu malu!" Yuni langsung mengomel, sedangkan Aretha hanya bisa menghela napas panjang.Sabar ... sabar ... sabar ...Aretha hanya bisa merapalkan kalimat itu untuk menghadapi semua orang yang ada di sini.Tepat setelah Aretha selesai menyapu lantai ruang tamu, teman-teman Yuni datang, dan Aretha kembali disuruh Yuni untuk membuatkan minuman untuk mereka.Namun, saat hendak berjalan menuju dapur, Aretha melihat baju bayi yang teronggok di lantai."Ini pasti bajunya Nilna tadi, astaga ... tinggal direndam dulu aja, kenapa Nina tidak mau melakukannya sih ...." keluh Aretha seraya memungut baju bayi tersebut.Sambil menaruh sapu di belakang, Aretha terlebih dahulu membilas noda di baju Nilna, lalu kemudian ia merendamnya.Namun, saat Aretha baru saja selesai merendam baju tersebut, ibu mertuanya yang tidak sabaran itu menghampirinya di dapur."Astaga ... Aretha! Dari tadi kamu ngapain aja sih? Sudah Ibu suruh bikin minuman, tapi malah kelayapan di belakang! Kamu benar-benar sengaja mau bikin Ibu malu ya!""Nggak, Bu. Aku lagi ngrendam bajunya Nilna yang terkena gumoh. Nina nya tadi nggak mau disuruh ngrendam, jadi aku--""Halah, dasar kamu nya aja yang lelet. Ngrendam baju gitu aja lama banget! Udah, sekarang cepat kamu bikinin minuman untuk tamu-tamu Ibu!""Baik, Bu." Lagi-lagi Aretha hanya bisa menghela napas panjang, ia sudah biasa menjalani kehidupan seperti ini, Aretha hanya dianggap seperti pembantu di rumah ini.Jika ada yang tanya, apakah Aretha tidak pernah marah? Ia tentu sangat marah, bahkan saking kesalnya ia ingin mencekik keluarga ini satu persatu. Namun, jika ia melakukan itu, bisa-bisa dia dipenjara, lalu bagaimana nasib Vano nantinya? Yaitu anaknya yang masih bersekolah TK.Dan, alasan ini jugalah yang membuat Aretha masih bertahan tinggal di rumah ini. Aretha yang tidak diperbolehkan Fauzan bekerja, ia jadi bergantung hidup pada suaminya tersebut.Apalagi keluarganya Aretha sendiri sudah tidak mempedulikannya lagi, sebab selama ini Aretha hanya tinggal bersama pamannya, karena kedua orang tua Aretha sudah meninggal semenjak ia kecil.Aretha yang sudah pernah merasakan hidup tidak adil selama ia tinggal bersama dengan paman dan juga keluarganya, maka ia tidak kaget lagi ketika mendapat perlakuan seperti ini dari keluarga suaminya.Setelah selesai membuatkan minuman, Aretha langsung mengantarnya ke ruang tamu. Namun, di sana ia kembali mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari ibu mertuanya, dan juga teman-teman mertuanya. "Owalah, ini to menantumu, Mbak Yun. Beneran biasa aja ya, pokoknya jauh banget sama Nila, pantas kamu nyesel jadiin dia menantumu," sindir salah satu tamu dengan senyum mengejek."Iya, padahal kalau Nila yang jadi menantuku. Uhh ... hidupku pasti bahagia sekali. Tapi, lugunya si Fauzan dulu, malah milih dia daripada putrimu yang cantik itu.""Aduh, sayang sekali ya, Bu Yuni. Padahal kalau kamu berbesan dengan Bu Retno, pasti hidupmu lebih menyenangkan lagi," timpal tamu yang lain."Iya, benar itu," sahut yang lainnya yang juga ikut menimpali perkataan ibu tersebut."Iya, sebenarnya aku ya inginnya besanan sama Bu Retno. Tapi, mau bagaimana lagi? Fauzan sudah terlanjur nikah sama dia,""Eh, tapi kan si Nila belum menikah, terus laki-laki kan boleh menikah sampai empat kali. Ya ... mungkin saja kalau si Nila mau gitu, hehehe ...." celetuk salah satu ibu-ibu yang semakin tidak mempedulikan keberadaan Aretha yang masih berada di tengah-tengah mereka.Sedangkan Aretha yang sedari tadi diam dan hanya fokus menyuguhkan minuman saja, kini ia melirik ibu-ibu tersebut."Apa maksud orang ini? Mau nyuruh Mas Fauzan poligami gitu? Heh, tentu tidak akan bisa! Sebab aku tidak akan pernah mengizinkannya," batin Aretha kesal.Sedangkan Yuni yang melihat Aretha mulai bereaksi setelah mendengar perkataan temannya, bukannya menyejukkan perasaan Aretha, namun Yuni malah tambah memperkeruh perasaan Aretha."Oh, iya, ya ... kalau begitu nanti aku coba ngomong sama Fauzan saja, ya kali aja dia mau. Tapi, asalkan boleh sama Bu Retno, hehehe ....""Kalau aku sih terserah Nila nya saja, sebab bagiku yang utama itu adalah kebahagiaan anak-anak," timpal Retno yang membuat hati Aretha semakin tergerus oleh emosi.Aretha yang merasa tidak kuat mendengar ini lebih jauh lagi, ia lantas langsung pergi ke dapur tanpa perlu mengucapkan sepatah kata pun.Sesampainya di dapur, napas Aretha jadi ngos-ngosan karena marah, ia tidak menangis ataupun sedih setelah mendengar kalimat-kalimat menyakitkan itu, sebab dirinya bukanlah tipe wanita yang cengeng.Aretha memang tidak mau meminta cerai duluan, meskipun ia selalu disakiti oleh keluarga suaminya. Namun, bukan berarti Aretha adalah sosok istri yang bucin pada suaminya. Akan tetapi, ia hanya memikirkan nasib anaknya jika mereka berdua berpisah nanti.Dan, bukan berarti juga Aretha tidak berani meminta pisah jika sampai Fauzan berani berpoligami, sebab selain masa depan Vano yang ia jadikan alasan untuk mempertahankan pernikahan ini, namun kesetiaan Fauzan lah yang juga jadi pegangan kuat untuk ia tetap mempertahankan rumah tangga ini.Akan tetapi, jika saja Fauzan sampai mau menikah lagi, maka pernikahan ini akan benar-benar berakhir."Astaga ... kok ada ya, di dunia ini perempuan yang hidup macam mereka semua, bisa-bisanya mereka mengatakan itu di depanku."Aretha benar-benar tidak habis pikir dengan kelakuan ibu mertuanya dan juga teman-temannya itu. Dan, karena mentang-mentang selama ini Aretha adalah sosok istri yang pendiam dan juga penurut, sepertinya semua orang mengira bahwa ia adalah seorang wanita yang lemah, dan akan menerima saja jika direndahkan seperti ini.Kesabaran sebenarnya tidak ada batasnya, karena para nabi selalu diberi ujian berat, namun kesabaran mereka tidak pernah habis.Akan tetapi, bagi manusia biasa seperti Aretha, perlakuan dan perkataan semena-mena orang itulah yang membuat kesabaran itu jadi berbatas."Huh! Spertinya karena selama ini aku selalu diam, maka mereka jadi terbiasa menginjak-injak harga diriku. Kalau begitu baiklah, mulai sekarang aku tidak akan diam lagi jika ada orang yang menyinggungku."Setelah selesai menyiapkan semua kebutuhan Fauzan yang sudah pulang bekerja, kini Aretha memberanikan diri untuk berbicara dengan Fauzan tentang satu persatu keinginannya."Mas, jatah bulanan untuk bulan ini kamu kasih lebih ya, soalnya aku ingin membeli beberapa barang," ujar Aretha pelan seraya menaruh secangkir kopinya Fauzan di atas meja ruang tamu."Ya nggak bisa dong, Reth. Lagi pula, kamu ini mau beli apa sih?""Ya banyak lah pokoknya, Mas. Kamu kan gajinya dua juta, masa sekali-kali nambahin tiga ratus ribu saja tidak bisa," keluh Aretha.Aretha yang selama ini hanya mendapatkan uang bulanan lima ratus ribu saja, ia tentu harus super irit agar bisa mencukupi segala kebutuhan dapur dan jajan anaknya saja, jadi Aretha tidak pernah menikmati sedikit pun uang tersebut untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, yaitu seperti membeli baju, skincare atau yang lainnya.Jangankan untuk membeli baju baru atau skincare, hanya untuk membeli lipstik atau bedak saja, Aretha bisa membelinya k
"Bu, saya beli sayur bayamnya dua ikat, tempenya satu, sama ikan asinnya satu bungkus. Berapa semuanya?""Semuanya sepuluh ribu, Reth. Udah itu aja?" "Iya, Bu," sahut Aretha seraya hendak pergi, namun ia mengurungkan langkahnya ketika ada seseorang yang memanggilnya."Retha, kamu yakin belanjaan segitu cukup untuk satu hari? Di rumahmu kan banyak orang, mana mungkin belanjaan segitu cukup untuk sehari?""Cukup kok, Bu," sahut Aretha seraya tersenyum lebar."Ih, masa sih? Kalau aku belanja segitu cuma buat sekali makan. Pasti kamunya saja yang sengaja irit, seharusnya kalau masak buat keluarga itu jangan hitung-hitungan Retha, Fauzan kan gajinya lumayan gede."Aretha menghela napas. Dasar para tetangga, mereka selalu enteng ngomongnya, padahal mereka tidak tahu kondisi di rumah itu seperti apa?Karena malas meladeni omongan tetangga yang suka mencari kesalahannya, Aretha pun tanpa mempedulikan omongan ibu-ibu tersebut, ia langsung pamit pergi."Aduh, udah siang nih Ibu-ibu. Maaf ya, s
"Mbak, lauknya sudah habis, buruan beli di warungnya Bu Yuyun dong, masa iya aku makan cuma pakai sayur bening doang," ujar Nina pada Aretha yang sedang menyetrika baju."Nggak bisa, aku lagi nyetrika. Kamu aja sendiri yang beli," sahut Aretha tanpa menoleh."Nggak mau, nanti kalau Nilna nangis gimana?""Ya biar aku yang urus. Mangkanya mumpung sekarang Nilna masih tidur, kamu buruan pergi.""Nggak ah, Mbak. Kamu aja yang beli, atau kalau kamu nggak mau, aku laporin ke Ibu nih.""Ya udah laporin aja sana," balas Aretha santai.Tanpa mengulur waktu, Nina pun langsung memanggil ibunya yang sedang bersantai di dalam kamar."Bu, ... Ibu! Mbak Retha nih nggak mau beli lauk!" teriak Nina yang persis seperti anak kecil jika merengek minta sesuatu.Aretha menghela napas, namun ia tidak mempedulikan Nina dan masih asyik melanjutkan pekerjaannya."Bu, ....!""Ish, apaan sih kamu ,Nin. Teriak-teriak mulu, anakmu kan lagi tidur.""Ini lho Mbak Retha nggak mau beli lauk, padahal lauknya sudah habi
"Heh, Retha. Kenapa dari tadi kamu diam aja? Padahal tadi waktu berangkat kamu banyak bicara, tapi sekarang ....""Nggak apa-apa, cuma lagi 'bad mood' aja. Yuk, cari tempat ngobrol, sekalian nanti aku ceritain."Dengan cekatan Lina membawa Aretha ke kedai teh dulu, setelah membeli minuman, lalu kemudian Lina membawa Aretha ke alun-alun desa.Setelah mereka berdua sampai di alun-alun, Lina mengajak Aretha duduk di trotoar sembari menikmati cilok dan segarnya angin malam."Ada apa?" tanya Lina seraya menatap wajah murung Aretha."Gini Lin, setelah lihat semua teman-teman kita tadi, kayaknya cuma aku sendiri ya yang hidupnya kelihatan susah banget.""Ish, kamu ngomong apaan sih, Reth. Hei, Ingat ya! Di dunia ini semuanya itu cuma 'sawang sinawang', jadi kita tidak bisa menilai kehidupan orang lain dari pandangan kita aja, dan kita mana tahu kalau orang yang kelihatannya sukses, terus bahagia. Tapi, pada kenyataannya justru sebaliknya, jadi jangan pernah merasa rendah sendiri, oke?""Iya
Satu bulan kemudian....Setelah mengetahui Fauzan mulai bermain api di belakangnya, Aretha lantas tidak langsung mencecar atau menyudutkan Fauzan dengan tuduhan perselingkuhan. Namun, Aretha sengaja membiarkan Fauzan melangkah bebas ke mana pun ia mau."Bagaimana?""Sudah, semuanya sudah diurus sama saudara suamiku, jadi kapan pun kamu siap tinggal di PT, kamu tinggal pindah saja," sahut Lina seraya tersenyum sedih. Lina sedih karena sahabatnya ini akan pergi jauh ke belahan dunia yang lain."Terima kasih ya, terutama untuk Vano." Aretha yang tidak kuat membayangkan akan meninggalkan anaknya, ia langsung menangis ketika menyebut nama Vano."Sudah, sabar ... jangan nangis, aku nanti juga ikutan nangis lho. Pokoknya kamu yang tenang aja, aku pasti akan bantu jaga Vano seperti anakku sendiri, dan kamu juga tidak perlu khawatir soal kebutuhan Vano, karena kami akan selalu siap memenuhi segala kebutuhannya, pokoknya kamu cukup fokus bekerja saja."Aretha yang mempunyai rencana untuk menjad
Satu tahun kemudian ....Setelah berpisah dengan Fauzan, Aretha langsung berangkat ke PT, dan saat ini ia sudah berada di Taiwan untuk bekerja sebagai pengasuh lansia. Awal-awal bekerja sebagai TKW adalah masa yang paling berat yang harus dialami oleh semua para TKI, namun bukan hanya TKI saja, semua pekerja lain pun akan mengalami masa sulit ini karena mereka harus beradaptasi dengan orang baru dan juga lingkungan yang baru.Aretha bahkan diam-diam sering menangis ketika ia hendak tidur, sebab selain merindukan anaknya, ia juga mengalami tekanan mental saat merawat bosnya yang sudah tua itu."Laoban, Laoban Niang, makan siang sudah disiapkan," ujar Aretha pada anak majikannya yang saat ini sedang berkunjung ke rumah ibunya."Iya, terima kasih, Retha.""Retha, bukankah aku sudah pernah bilang? Panggil kami, Thai-Thai dan Sienseng!" raung nenek yang dirawat Aretha. Majikan Retha sangat mempedulikan status, oleh karena itu ia tidak suka jika Aretha memanggil mereka dengan sebutan Laoba
Dua tahun kemudian ...Aretha entah harus merasa sedih atau senang, sebab saat ia hendak memperbaharui kontrak kerja, ternyata nenek yang selama ini ia rawat telah menghembuskan napas terakhirnya karena sakit, sehingga masa kontrak kerja pun berakhir dan Aretha diperbolehkan pulang ke Indonesia.Sebelum nenek sakit parah, ia pernah berpesan agar Aretha pulang saja jika dirinya telah meninggal. Nenek juga berpesan untuk menyuruh Aretha menerima saja apa yang akan anak-anaknya berikan nantinya."Semua wasiat Nainai sudah saya kirim ke rekeningmu, terima kasih karena selama ini sudah merawat Nainai dengan baik, salam buat keluargamu di Indonesia ya, dan hati-hati di jalan."Aretha kembali mengingat ucapan terakhir anak majikannya sebelum ia berangkat ke bandara, Aretha hendak menanyakan maksud wasiat yang dibicarakan bosnya itu, namun anaknya yang lain sudah mendesaknya agar cepat berangkat agar tidak ketinggalan pesawat.Aretha menghembuskan napas panjang ketika melihat buku rekening ta
Sesuai dengan dugaan Aretha, kini para tetangganya Fauzan mulai berbisik-bisik ketika melihat Aretha menempati rumah kosong yang berada di kawasan rumah mereka.Meskipun rumah itu terbilang sedikit jauh dari rumah Fauzan, namun tetap saja mereka sekarang berada di satu komplek, dan Aretha juga pasti sedang digosipkan bahwa ia belum bisa move on dari Fauzan."Eh, itu tuh ... dia keluar," bisik salah satu tetangga yang masih bisa didengar Aretha saat ia hendak membeli sayuran di pedagang sayur keliling."Lho, Mbak Aretha. Lama tidak kelihatan, bagaimana kabarnya?" tanya Mamang tukang sayur dengan ramah."Alhamdulillah baik, Mang. Mamang sendiri bagaimana?""Alhamdulillah baik juga, wah ... Mbak Retha habis kerja di luar negeri, pasti sekarang duitnya banyak dong.""Halah, sama saja Mang, kan cuma tiga tahun di sana," sahut Aretha merendah, namun itu malah menjadi bahan hinaan terempuk buat para tetangganya."Eh, Retha. Yang namanya kerja di luar negeri, nggak peduli berapa tahun juga ka