Share

BAB 2 : Mencoba berdamai dengan hati

"Ya Allah, Aku tahu Engkaulah yang mengatur segalanya. Aku tahu rasa ini juga dari Engkau. Sungguh Aku merindukan Mas Anton. Tolong persatukan Aku dengannya. Jadikan Ia menjadi pasangan hidupku."

Sarah teringat kembali masa lalunya. Saat ia bermunajat kepada Tuhan dengan deraian air mata, memohon agar Tuhan mempersatukan Ia dengan Anton.

Anton dulunya adalah senior Sarah ketika masih duduk di bangku SMP. Cinta monyet ketika kanak-kanak dulunya ternyata enggan hilang meskipun Sarah telah dewasa. Rasa cinta yang semakin hari semakin membuncah membuat Sarah kerap merindukan Anton. Tidak henti-hentinya Ia meminta agar suatu saat Tuhan mempertemukan Ia dengan cinta masa kecilnya itu.

Doa Sarah yang tiada henti akhirnya mampu mempertemukan mereka kembali. Ternyata Anton juga pernah merasakan cinta yang sama kepada Sarah. Setelah saling mengungkapkan rasa yang pernah ada dan tertanam di dalam hati, mereka memutuskan untuk berpacaran.

"Sarah, maukah kau menerimaku sebagai kekasihmu? Aku berjanji akan selalu menjaga, melindungi dan membahagiakanmu," ucap Anton sembari menggenggam tangan Sarah erat.

"Aku mau Mas" jawab Sarah dengan wajah kemerahan sebab begitu haru juga bahagia.

Awal pertemuan mereka kembali adalah di Terminal Bis. Tanpa sengaja Sarah hampir terjatuh pada saat hendak menaiki Bis. Pada saat itu kebetulan sekali Anton berada tepat di belakang Sarah. Dengan sigap Anton menolong Sarah sehingga Sarah terjatuh dalam pelukan Anton.

Sarah yang sudah sangat lama menantikan pertemuan kembali dengan Anton merasa pertemuan ini seperti mimpi yang terindah dalam hidupnya. Ia tidak mampu menahan gejolak hati yang sangat kacau dan tidak dapat dikompromi.

Menjalin hubungan asmara lima tahun lamanya, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk langkah yang lebih sakral, yaitu menikah. Sarah selalu mencintai Anton tanpa henti, dan selalu menerima segala kekurangan Anton.

"Tega kamu padaku dan anak kita Mas," lirih Sarah berucap sambil menapaki jalanan yang kini mulai sepi. Sabab hujan yang tiba-tiba menguyur seolah mengerti bagaimana perasaan Sarah saat ini.

Beberapa saat Sarah berteduh di bawah pohon yang cukup rindang. Tanpa dikomando air matanya berjatuhan bersamaan dengan tetes hujan yang membasahi wajahnya. Dingin yang semakin menusuk tulang karena tubuh yang basah membuat Sarah mulai menggigil. Namun Ia terus saja bertekad untuk tetap kuat sampai ke tujuannya, yaitu rumah orang tuanya.

Setidaknya Sarah memiliki ongkos untuk pulang meskipun pas-pasan. Sebenarnnya jarak antara rumah mertua Sarah dan orang tuanya cukup dekat. Hanya menempuh 1 jam 15 menit perjalanan jika menggunakan motor.

Bodohnya Sarah yang selalu mentransfer semua uang gaji selama bekerja pada suaminya. Padahal, dari sebagian penghasilan Sarah beberapa bulan ini, Anton sudah berhasil membeli motor baru yang cukup bagus.

“Alhamdulillah, akhirnya sampai juga,” ucap Sarah lirih dan sangat bersyukur saat tiba tepat di depan terminal.

Perut yang tengah membuncit juga nafas yang mulai berat, membuat Sarah tidak bisa leluasa berjalan. Apalagi tubuhnya juga basah diguyur hujan. Beberapa kali Sarah kerap menarik nafas yang semakin tersengal-segal akibat kelelahan. Bagaimana tidak? sebab jarak yang harus ditempuh Sarah adalah sekitar 3 km.

Sepanjang jalan banyak orang-orang yang memperhatikannya, namun tidak seorangpun yang menawarkan pertolongan membantu Sarah. Mungkin inilah cara Tuhan menguatkan tubuh dan hatainya. Karena bisa saja akan ada ujian lagi yang lebih berat daripada ini di dalam hidup Sarah nantinya.

“Mba pesan tiketnya satu ya,” ucap Sarah dengan suara yang kini mulai lemas karena tiba-tiba saja Ia merasakan perutnya meminta hak segera ditunaikan, sebab sedari sore tadi Sarah bahkan belum makan apapun.

Saat menapaki jalanan tanpa henti dengan kondisi tubuh lemah dan nafas yang terengah-engah tidak sedikitpun ada rasa haus dan lapar yang terasa.

“Tujuan mana mba?” tanya kasir pada Sarah.

“Terminal Gandrung Manis Mba,” jawab Sarah cepat.

“Kelas ekonomi atau excekutive?” tanya wanita penjaga kasir lagi.

“Ekonomi saja Mba,” jawab Sarah cepat sambil menyenderkan tubuh yang kini semakin terasa tak karuan lagi.

“Ini tiketnya, harganya 58 ribu. Berangkat 1 jam lagi” jawabnya sambil menyodorkan selembar tiket kelas ekonomi pada Sarah

“Ini uangnya Mba.” Sarahpun menyodorkan seluruh uang yang ia punya, berupa selembar uang pecahan lima puluh ribu, selembar pecahan lima ribu dan tiga keping pecahan seribu.

“Maaf Mba, bolehkah saya meminta segelas air minum?” ucap Sarah sedikit ragu sebab ada rasa malu. Namun, karena dahaga dan rasa lapar sudah hampir tak tertahan lagi seluruh keraguan dan malu ia singkirkan jauh dari dirinya.

“Maaf mba, kebetulan sekali air galonnya baru saja habis.” ucap sang kasir sambil menyatukan kedua tangannya.

“Gak apa-apa Mba, saya permisi” jawab Sarah cepat.

Semakin Sarah berusaha kuat, semakin hatinya terasa lemah. Bulir bening kembali mengalir dari sudut matanya, membayangkan nasib anak dalam kandungannya yang nantinya lahir tanpa seorang ayah yang mau menerimanya.

“Maafkan Ibu Nak” ucap Sarah lirih sambil mengelus perutnya lagi.

Tidak ada seorangpun yang berjualan air mineral di sekitar terminal ini. Mungkin karena sudah jam 10 malam. Kalaupun ada, Sarah juga sudah tidak memiliki uang sepeserpun meski hanya sekedar membeli air gelas mineral sekalipun.

Tanpa pikir panjang, segera Sarh berjalan menuju kamar mandi. Ternyata air di Terminal ini cukup keruh dan sedikit bau. Namun, demi mengganjal perut yang sudah sangat keroncongan dan melepas dahaga agar tetap bisa bertahan sampai di rumah orang tuanya, Sarah rela meneguk air itu.

“Astaghfirullah... Astaghfirullah... Astaghfirullah... Tuhan, tolong kuatkan Aku. Tolong kuatkan Aku. Tolong kuatkan Aku.” pinta Sarah dalam hatinya.

Hanya berdoa yang mampu ia lakukan saat ini, dan hanya Tuhan yang mampu menguatkan hati Sarah yang telah hancur, sakit dan perih.

“Tut... Tut... Tut...” Akhirnya Kereta menuju Desa Sarahpun tiba.

Satu jam perjalanan berlalu. Akhirnya Sarah tiba di terminal Gandrung manis. Namun, untuk sampai ke rumah orang tuanya, Sarah harus naik ojek sekitar 15-20 menit. Tapi lagi-lagi kendala uang membuat ia kembali harus memilih berjalan kaki.

Sepanjang perjalanan, Sarah hanya bisa menangis dan berzikir. Mencoba berdamai dengan hati dan juga keadaan yang Ia lalui saat ini. Sarahpun sangat bingung, apa nantinya yang harus ia jelaskan pada kedua orang tuanya jika ternyata suaminya Anton, juga mertuanya telah mengusir ia dari rumah mereka?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status