Share

BAB 6: Jangan menangis Bu

Bulir-bulir bening mengalir deras menemani setiap langkah wanita hamil itu. Ia tidak kuasa menahan air matanya agar tidak tumpah. Di kecewakan dan di sakiti orang yang paling ia cintai, itulah yang membuat hatinya semakin berdenyut perih dan menyisakan luka sebegitu nyerinya.

"Kenapa kamu berubah Mas? Tidak adakah tersisa cinta di hatimu lagi untukku? Bukankah aku tidak pernah sekalipun mengkhianati kamu Mas? Bahkah kamu juga tahu itu kan?" Lirih Sarah berucap pada dirinya sendiri.

Tiga jam berjalan kaki, Sarah akhirnya sampai tepat di depan rumah orang tuanya. Lelah yang teramat sangat membuat tubuhnya yang juga sedang mengandung seolah mati rasa.

Brug! Tubuh Sarah ambruk hingga tersungkur tepat saat kakinya menginjakkan teras rumah masa kecilnya. Rumah yang dipenuhi kenangan indah saat ia kecil dulu, ya, itulah rumah kedua orang tuanya.

"Astaghfirullah ... Huft," Lirih Sarah dengan nafas yang tersekat-sekat.

Wanita itu akhirnya tidak sadarkan diri.

=====

"Pak, gimana kondisi anak kita Pak? Sarah bagaimana Pak?" Tanya Ratna pada suaminya, Yusuf. Pasangan paruh baya itu adalah kedua orang tua Sarah.

Raut wajah Ratna menggambarkan kecemasan yang teramat dalam, pun begitu juga dengan suaminya. Mereka terkejut hingga tidak mampu berkata apapun. Saat pagi tadi, mereka hendak berangkat ke mesjid menunaikan sholat subuh berjamaah. Tiba-tiba anak semata wayang mereka sudah tergeletak di lantai tidak sadarkan diri.

"Tenang Bu, kita berdoa saja ya, semoga Sarah dan bayinya baik-baik saja. Kita serahkan semuanya pada Allah dan dokter yang bertanggung jawab" jawab Yusuf berusaha tegar.

Sebenarnya Yusuf juga hampir syok melihat kondisi Sarah yang sangat mempeihatinkan. Apalagi detak jantungnya dan bayinya juga sudah sangat lemah.

"Pak, sudah Bapak hubungi suaminya Pak? Anton sudah tahu kabar tentang Sarah Pak?" Tanya Ratna kembali pada suaminya.

Ratna terus-menerus mondar-mandir ke sana ke mari, tidak bisa sedikitpun ia menyimpan kegelisahan di hatinya sebab khawatir terhadap anak dan cucunya yang masih dalam kandungan.

"Sudah Bu, tapi panggilan Bapak tidak ada yang diterima Bu, mungkin Anton masih banyak kerjaan Bu."

"Mungkin Pak, tapi setidaknya kita kabari lewat pesan Pak, siapa tahu sewaktu Anton membuka handphone dia bisa tahu langsung kondisi istrinya Pak"

"Iya Bu," Jawab Yusuf pada istrinya.

Akhirnya Yusuf mengirimkan pesan singkat kepada Anton.

"Assalamu 'alaikum Nak Anton, maaf Bapak mengganggu pekerjaan Anton hari ini, tapi ini adalah berita darurat. Ternyata Sarah sudah pulang dari Taiwan, pagi tadi Ibu dan Bapak menemukan Sarah sudah tidak sadarkan diri di teras rumah Ton. Sekarang Sarah di rawat di rumah Sakit Ibu dan Anak. Kalau ada waktu tolong mampir ke sini ya Nak," Yusuf segera mengirim pesan itu pada Anton.

=====

Suara tetesan air infus terasa seperti memenuhi ruangan itu. Sarah yang baru saja sadarkan diri masih sangat lemah, untuk menggerakkan tubuhnya saja ia belum mampu.

Deg! Deg! Tendangan kecil dari kaki mungil bayi yang dikandung Sarah masih terasa aktif.

“Alhamdulillah” batinnya berucap syukur. "Terima kasih Nak, kamu sudah kuat. Ibu bangga padamu Sayang" ucap Sarah lirih sambil mengelus perutnya penuh haru.

Sarah berusaha kuat dan tegar demi bayi yang di kandungnya. Ia akan berjuang sekuat tenaga yanh ia miliki, agar selalu bertahan demi sang buah hati.

“Nduk, syukurlah kamu sudah sadar nduk” Ucap Ratna yang ternyata berada tepat di sebelah kanan Sarah.

Ratna membelai halus rambut panjang Sarah. Belaian kasih seorang Ibu yang tiada pernah bisa tergantikan. Ketulusan yang sangat luar biasa tanpa batas.

Sarah hanya bisa menatap sayu ke arah Ibunya. Ingin menumpahkan segala kesedihan dan juga kepedihan yang ia rasa. Namun hatinya tidak kuasa menambah beban pikiran kedua orang tuanya.

Air mata Ratna berjatuhan menatap kondisi anaknya yang sangat memprihatinkan.

“Jangan menangis Bu, tidak ada yang perlu ditangisi. Biarlah ini menjadi pelajaran dan kisah yang paling berharga yang pernah ku alami,” ucap Sarah dalam hati. Karena untuk mengeluarkan sepatah dua patah kata saja bibirnya masih sangat teramat kelu.

“Nduk ... A-pa yang sebenarnya ter-jadi Sayang?” kini Ratna berucap dengan suara parau dan isak tangis yang tak tertahan.

Sarah tidak mampu menjawab tanya Ibunya. Namun, air matanya ikut mengalir membasahi pipi. Teringat kembali kekejaman suami dan keluarganya terhadap dirinya.

Mereka sangat tega mengusir Sarah dalam keadaan hamil, di malam hari yang dingin juga hujan yang cukup deras. Tidak ada seorangpun yang mau mendengarkan penjelasan Sarah.

“Mas, inikah cinta yang kau agung-agungkan padaku? Ternyata cintamu hanya sebatas bibir saja, tidak lebih.” Batin Sarah yang kembali merasakan kepedihan, sakit, pilu juga kekecewaan yang bercampur menjadi satu.

“Tega kamu Mas, tega sekali kamu padaku juga anak kita.” Air mata ini kembali berderai, bahkan membuat tubuh Sarah gemetar sebab sesunggukan.

“Sarah, apa yang terjadi Nduk?” Ratna kembali bertanya pada anak semata wayangnya itu.

Sarah mengalihkan pandangan mata melihat sudut ruangan. Ia tidak sanggup menatap wajah Ratna, ibunya. Apalagi air matanya sudah tidak bisa lagi dikendalikan. Air mata itu ingin terus menerus mengalir menumpahkan kekecewaan dan rasa sakit yang tak tertahankan.

“Hik ... Hik ... Hik ...,” Hanya isakan tangis Sarah yang mampu menjawab pertanyaan Ratna.

Ratna kembali memeluk tubuh Sarah erat. Pun Sarah membalas pelukan hangat Ibunya sedemikian eratnya. Melepaskan segala sepedihan dan kesedihan di hati yang tidak berujung.

Ada rasa penyesalan karena telah mengikuti keinginan suami dan mertuanya. Andai Ia tidak pergi ke Taiwan, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status