Share

Hutang 5

Penulis: ananda zhia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-29 22:34:41

Kedua kakak iparku bilang kalau aku lebay jika menagih hutang mereka dengan mengumumkan nya melalui toa masjid. Padahal aku melakukan nya karena iparku punya hutang padaku tapi malah mendukung suamiku poligami. Biar mereka malu sekalian.. 😏

MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID (5)

"Mas Arif, dia siapa?" tanya perempuan itu menunjuk ke arah Amira. Arif menoleh, terkejut. "Rita?" gumamnya pelan, seolah ragu mengucapkan nama itu.

Amira yang duduk di sampingnya langsung menatap ke arah wanita yang baru saja masuk itu. Mata Amira menyempit, dan wajahnya berubah dingin. Rita, wanita itu, mengenakan gamis merah yang mencolok, rambut panjang yang tergerai dengan sempurna, serta riasan wajah yang sedikit berlebihan. Menor.

Rita melangkah dengan percaya diri menuju teras, dan matanya langsung bertemu dengan Amira. Ada ketegangan yang terasa, seperti ada angin yang membawa hawa tak sedap.

"Siapa dia, Mas?" tanya Rita, mengulangi pertanyaannya.

Sebelum Arif sempat merespon pertanyaan dari Rita, Amira lebih dulu menyerobot dengan jawabannya, "aku Amira."

"Oh, kamu pasti istri sahnya Mas Arif," kata Rita sambil melirik Amira dengan pandangan yang tidak menyenangkan. Arif memang telah menceritakan semua tentang rumah tangga nya dengan Amira pada Rita.

Amira menatap Rita dengan penuh curiga, matanya tajam. "Ya, saya istrinya Mas Arif, kamu siapa?" tanya Amira dengan nada yang terkontrol, alisnya terangkat tinggi.

Tapi, bukannya merasa terintimidasi, Rita justru tersenyum lebar, senyum yang penuh dengan penghinaan. "Oh, jadi kamu perempuan yang mandul itu? Kamu mau tahu siapa aku? Aku adalah perempuan subur yang akan menjadi adik madu kamu. Jadi mohon bimbingannya, Mbak Amira," katanya sambil tertawa kecil, nadanya sinis dan merendahkan.

Amira merasa darahnya mendidih. Rasa marah yang membuncah di dada hampir membuatnya kehilangan kendali. Tanpa berpikir panjang, Amira mengepalkan tangannya, nyaris hendak memukul pipi Rita. Namun, dia menahannya dengan keras, mengingat bahwa dia tidak ingin tangannya kotor oleh najis yang disebut pelakor itu.

"Pantas Mas Arif mau cari istri lagi. Wong kamu mandul!" Rita melanjutkan kata-katanya dengan pongah.

Amira menahan diri sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Setelah beberapa detik, dia memandang Rita dengan tatapan yang semakin tajam. "Memangnya kamu ada jaminan kalau langsung hamil jika menikah dengan Mas Arif?" tanya Amira, suaranya penuh tantangan.

Rita tertawa lagi, senyum menyeringai di wajahnya. "Aku pasti hamil, lah! Aku kan sudah punya seorang anak dari pernikahanku yang dulu. Berarti aku subur," jawab Rita dengan bangga, seolah itu menjadi alasan kuat mengapa dia layak menjadi pilihan Arif.

Amira tidak terpengaruh, dia tetap diam dan tidak menanggapi sindiran dari Rita.

"Mending kamu ngalah deh, Mbak. Daripada nanti kamu sakit hati. Aku bisa hamil, tapi kamu enggak bisa, padahal menikah dengan lelaki yang sama," sindir Rita.

"Ya, memang. Rencananya aku akan mengurus perceraianku dengan mas Arif segera. Jadi ambil saja mantan suamiku, Mbak!" ujar Amira tertawa.

Rita tersenyum penuh kemenangan. 'Asik, akhirnya aku jadi istri manajer!' batin Rita bahagia.

"Benarkah? Bagus dong kalau begitu! Itu memang yang kuharapkan. Tapi ingat, setelah bercerai dengan mas Arif jangan sampai kamu menangis dan caper ingin balikan lagi atau minta duit pada mas Arif lagi ya, Mbak!?"

Amira hanya mengedikkan bahu dengan acuh tak acuh, seolah akan membiarkan saja apapun yang dikatakan oleh lawan bicara nya.

"Ya sudah, urusan aku di sini sudah selesai. Aku pergi dulu."

Tapi tak lama kemudian, Amira terdiam sejenak, ada gagasan baru yang muncul di pikirannya.

"Oh ya, sampai lupa. Kurang sentuhan terakhir. Hm, minta kertas kosong dan pulpen dong, calon mantan kakak ipar," pinta Amira dengan nada santai pada Desi.

Desi, yang duduk di samping mereka dan terlihat cemas, akhirnya bangkit dan mengambil kertas serta pulpen. Ada ketegangan yang semakin terasa di antara mereka, dan Desi tahu betul apa yang sedang terjadi. Dia merasa takut jika Amira akan mempermalukan nya lagi dengan memakai TOA masjid.

Amira menerima kertas dan pulpen tersebut dengan tenang, kemudian dia menatap Rita dengan senyuman yang penuh kemenangan. "Kertas ini untuk tanda tangan Mas Arif dan kedua kakaknya yang telah memberikan mobilnya untukku sebagai pelunasan hutang mereka. Juga untuk nafkah iddah dan mut'ahku," ujar Amira dengan tegas, suaranya dipenuhi keyakinan.

Rita tercengang, matanya terbuka lebar. "Apa? Utangnya Mbak Dewi dan Mbak Desi padamu? Dan mas Arif tidak punya mobil lagi?!" tanya Rita terkejut.

Amira tertawa kecil, namun tawanya terdengar tajam dan penuh ironi. "Hati-hati saja kamu nanti setelah menjadi istri Mas Arif, siapa tahu kamu akan dihutangi terus oleh keluarga Mas Arif," kata Amira dengan nada sinis. "Seperti yang sudah kamu dengar dari toa masjid tadi."

Rita semakin melongo.

Next?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 11 B

    Arif mendecakkan lidah. "Ah, Ibu! Kayak nggak pernah muda saja!" ujar Arif ketus. Suasana hening sejenak."Kenapa sih punya anak itu ribet? Susah? Kenapa nggak perempuan aja yang urus anak? Kan suami udah capek cari uang!" protes Arif lagi. Sri menghela napas panjang. "Memang seharusnya perempuan yang lebih banyak urus anak. Waktu kamu kecil, Ibu juga ngurus kamu dan kakak-kakakmu sendirian. Bapakmu mana pernah bantu.""Nah, itu maksudku! Harusnya ya gitu! Aku juga udah kerja keras, kenapa masih harus ikut ngurus anak segala?" Arif semakin kesal.Sri menatap putranya dengan sorot mata lelah. "Tapi kamu tahu nggak, Nak? Itu capek banget! Ibu hampir gila karena ngurus kalian bertiga sendirian. Kadang pengen nangis, pengen marah, tapi nggak ada pilihan."Arif terdiam sejenak, tapi lalu menggeleng dengan keras. "Tetap aja, Bu. Aku nggak terima kalau harus ikut-ikutan urus anak. Harusnya Rita yang tanggung jawab!"Sri menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. "Ya sudah, kalau begitu.

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   hutang 11 A

    Teriakan tangis Irwan menembus sunyi malam, menyentak Rita dari tidurnya. Kepalanya masih berat, tetapi naluri seorang ibu membuatnya langsung terbangun dan menghampiri anaknya. Dengan langkah tergesa, ia mendapati Irwan meringkuk di lantai, menangis tersedu-sedu."Ya Allah! Irwan!" Rita menggendong anaknya, menenangkan tubuh mungil yang masih tersedu. Matanya langsung mencari Arif, suaminya, yang berdiri tak jauh dengan wajah penuh keraguan."Kenapa dia jatuh?!" Rita mendelik tajam.Arif menghela napas panjang, tampak kesal sekaligus lelah. "Anakmu itu susah dibilangin, Rita. Dari tadi udah aku suruh tidur, malah lompat-lompat di ranjang!""Anakmu?" Rita mengulangi dengan suara dingin. "Jadi karena dia bukan anak kandungmu, kau nggak peduli? Ini anak kita, Arif! Calon anak sambung kamu!""Jangan mulai lagi, Rita. Aku capek! Aku udah coba jaga dia, tapi dia bandel!"Mata Rita menyipit, amarahnya naik ke puncak. "Kau nggak sayang sama dia, ya? Itu sebabnya Tuhan nggak kasih kau anak ka

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 10 B

    "Iya. Kamu sudah terbiasa memasarkan produk. Kenapa nggak gunakan kemampuan itu untuk membangun sesuatu yang baru? Kamu bisa cerita tentang perjalananmu, atau... kalau berani, bahas soal Arif juga," Om Handoko menyarankan dengan senyum penuh arti.Mata Amira berbinar. Ide itu menggugah sesuatu dalam dirinya. "Jadi, aku bisa membagikan pengalaman, sekaligus membuka mata orang lain?""Tepat sekali. Banyak perempuan di luar sana yang mungkin mengalami hal sama. Mengalah pada rumah tangga nya. Dikhianati suami. Memiliki mertua dan ipar yang kejam. Kalau kamu berbagi, mereka bisa belajar dari pengalamanmu. Dan, siapa tahu? Ini bisa jadi awal yang baik untuk karier baru."Amira mengangguk, perlahan tapi pasti. "Baiklah, Om. Aku akan coba.""Dan kalau kamu mau mencoba, sepertinya kamu juga cocok untuk membuat tutorial make up. Bukan kah kamu dari dulu suka mencoba coba make up?"Amira terdiam sesaat."Atau kamu juga bisa berkarier dengan ijazah kamu. Kamu dulu lulusan pendidikan guru kan?"A

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 10 A

    "Halo Om, bisakah suami yang mencuri mahar dari istrinya dipenjara kan?" tanya Amira dengan suara bergetar. "Hah? Apa maksudnya, Ami? Mahar kamu hilang?"Amira menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum bicara. "Om... aku nggak tahu harus cerita ke siapa lagi. Mahar dari Arif... hilang, Om."Suara Om Handoko terdengar terkejut. "Apa? Mahar dari Arif hilang? Kapan kamu tahu?""Baru saja. Aku mencari di tempat biasa kusimpan, tapi nggak ada, Om. Aku curiga... Arif yang ambil," ujar Amira dengan suara bergetar."Arif? Kenapa kamu curiga dia?""Nggak ada orang lain yang tahu tempat aku menyimpannya, selain Arif, Om!"Om Handoko terdiam sesaat. "Oke, Om ke rumahmu sepuluh menit lagi. Jangan panik dulu, ya."Amira mengangguk meski tahu Om Handoko tak bisa melihatnya. Setelah menutup telepon, ia segera memeriksa kembali kamar dan laci tempat biasa ia menyimpan perhiasan itu. Tak lupa Amira memeriksa tempat penyimpanan sertifikat rumahnya di lemari kamar mendiang ibunya."Huft, u

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 9 B

    Arif melirik ke arah perhiasan Desi dan Dewi. "Kemarin kayaknya kalian nggak pake perhiasan deh, Mbak!? Sekarang kok kalung atau gelang? Berikan saja perhiasan itu biar kujual dan kujadikan DP mobil. Aku pulang dengan apa kalau nggak naik mobil? Naik bis, pasti berdesakan. Naik kreta, aku kehabisan tiket. Mau naik motor? Aku capek di jalan!Kemarin aku menyerah kan mobil pada Amira secepatnya, agar namaku juga tidak viral karena berniat nikah lagi. Sekarang karena keadaan sudah aman dari Amira, kalian harus bayar hutang. Dan minimal ada jaminannya. Jaminannya perhiasan kalian itu, Mbak!" ujar Arif menatap tajam ke arah Desi dan Dewi. Sri memandang ketiga anak nya secara bergantian. "Arif benar. Kalian sebagai kakak dari Arif yang lebih mapan dan bahkan Dewi sudah jalan jalan ke Singapura, seharusnya tahu diri dan bayar hutang pada Arif segera. Apalagi dia juga membutuhkan uang," ujar Sri tegas. Desi dan Dewi berpandangan, lalu dengan menghela napas panjang, mereka melepas perhias

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 9 A

    Sri duduk di kursi rotan, mengamati anaknya, Arif, yang terlihat begitu percaya diri. Dua kakaknya, Desi dan Dewi, baru saja datang, membawa keresahan yang sama."Apa kamu gila, Rif?" suara Desi meledak begitu saja. "Bagaimana kalau Amira sampai tahu kalau maharnya diambil olehmu?"Arif hanya menyeringai, menyendok opor ayam ke piringnya dengan santai. Belum sempat ia menjawab, Dewi ikut menyusul, matanya ta j am men us u k ke arah adiknya."Lalu bagaimana kalau Rita tahu kalau maharnya palsu?"Arif tertawa kecil, menikmati ketegangan yang ia ciptakan. "Tenang saja, mereka nggak akan tahu. Aku sudah punya rencana untuk mengantisipasinya," ujarnya dengan penuh percaya diri.Desi dan Dewi saling berpandangan, lalu bergerak ke arah meja makan. Mereka mengambil mangkuk dan mulai menyendok opor ayam."Bu, minta opor, aku nggak masak," kata Desi, hampir bersamaan dengan Dewi yang berkata, "Aku juga, Bu."Sri hanya mengangguk, menyodorkan sendok besar ke arah anak-anaknya. Namun, sorot matan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status