Mereka berdua terlihat akrab, tapi itu dimata kedua orang tua mereka masing-masing.
"Liat, mereka cocok," Ucap Ratna pada Indira. "Senengnya, artinya kita bakal besanan dan punya cucu," ucap Indira dengan rona wajah bahagia. Nyatanya? "kamu jangan pernah mikir, aku bakal mau nikah sama kamu!" tegas Brian. "Hahaha, udahlah mas, biasanya yang awalnya suka nolak, justru nanti jadi sayang dan nggak mau pisah," ucap Kanya. "Nggak akan," Brian menjawab dengan yakin. "Akan! Kamu bakal cinta sama aku. Titik!" ucap Kanya, tegas. "Ah!" Brian kesal. Brian meninggalkan Kanya ke ruang tamu, Kanya menyusul dan mereka bertemu kembali di ruang tamu. "Tante, Om, mama, papa, Kanya nggak mau jadi istri mas Brian," ucap Kanya, sambil duduk menyilang kaki dan tersenyum manja. "Brian juga nggak mau," ucap Brian tak mau kalah. Keluarga Brian pun meninggalkan kediaman keluarga, setelah mendengar penolakan perjodohan itu. "Gimana Bri? Kok pada nolak?" ucap ibunya dengan kecewa. "Lagian dia juga bisa masak, cocok lah sama kamu Bri," ucap ayahnya. "Cantik, sopan, ramah, mama suka sama Kanya pa," ucap ibunya. "Iya, papa juga," ucap ayahnya. "Gimana Bri? Masa nggak tertarik?" tanya ibunya. "Belum kenal ma, lagian kenapa harus buru-buru ma? Pa?" Brian menyanggah. "Bri, mama takut nggak bisa liat kamu nikah," ucap ibunya dengan rasa khawatir. "Maksudnya gimana ma?" Brian terlihat serius. "Umur siapa yang tau kan Bri..." ucap ibunya lagi. "Tapi Brian ada pilihan sendiri ma," Brian menjawab dengan nada bicara yang lembut. "Ya udah deh kalo gitu. Padahal ini permintaan mama yang terakhir kali ke kamu, loh. Mama nggak pernah minta apa-apa ke kamu," ucap ibunya terdengar lirih. "Mama kok ngomongnya gini ma?" tanya Brian, sambil berkendara. "Kita bahas nanti di rumah Brian. Mama kamu lagi capek," ucap ayahnya. Brian mengangguk dan terlihat sedikit murung. Lain hal dengan Kanya. Ia dan ibunya sedang berada di dalam kamar tidur. "Kenapa nggak mau Kanya?" tanya ibunya, sambil membelai rambut Kanya. "Mama, dia yang nggak mau sama Kanya," ucap Kanya, sambil melihat kuku cantiknya. "Jadi kamu mau?" tanya ibunya. "Ya nggak mau juga sih ma. Lagian kenapa sih pake di jodohin segala ma?" tanya Kanya. "Itu sih kebetulan udah dari dulu pengen banget punya mantu dari anak temen mama sama papa. Kebetulan tante Indi sama om Richard juga punya mau yang sama kayak mama sama papa. Dari dulu banget," ucap ibunya. "Terus?" tanya Kanya lagi. "Ya akhirnya tahun ini kita merasa tepat buat mengadakan pertemuan dan membahas soal jodoh," ucap ibunya. "Ma, dia pasti ada pacar ma, nggak mungkin nggak ada. Kasian pacar dia nanti," ucap Kanya. "Iya sih, mama tau. Tapi anggap aja ini permintaan mama sama papa yang terakhir Kanya," ucap ibunya yang terdengar lirih. "Kok ngomongnya gini sih, mama?" tanya Kanya sambil berbalik badan dan memandangi wajah ibunya. "Mama kan nggak pernah minta apa-apa ke kamu sayang, cuma memang kedengeran egois ya?" ucap ibunya sambil tersenyum menatap Kanya. "Mama, mama jangan gini dong, Kanya sayang sama papa, sama mama. Nggak ada yang nggak mama kasih ke Kanya, kalian berdua selalu kasih kebebasan Kanya buat apa aja. Tapi soal nikah? Kanya masih harus pikir panjang ma," ucap Kanya yang tampak khawatir. "Iya deh, mama tau. Ya udah, kamu tidur aja, udah malem sayang. Besok pagi kamu ada job?" tanya ibunya. "Besok ada kerjaan sih, ma," sahut Kanya. "Oke, istirahat ya. Semoga kamu bisa dapet jawaban tepat dari apa yang mama sama papa mau," ucap ibunya. "Iya ma. Makasih udah ngerti Kanya. Mama sehat terus ya sama papa," ucap Kanya. "Mama sama papa harus sehat, biar bisa liat kamu nikah dan gendong cucu," ucap ibunya. Kanya tersenyum dan memeluk ibunya. Batinnya tak tega membiarkan kedua orang tuanya bersedih. Apalagi, mereka berdua selalu memberikan kebebasan untuk Kanya dalam hal apapun. Tak beda jauh dengan Brian. Ia tengah terpikirkan oleh apa yang ibunya ucapkan. Namun berat baginya untuk meninggalkan Sintia, kekasihnya yang sudah lama menjalin kasih dengannya selama 2 tahun. Rasanya tidak mungkin jika harus meninggalkan Sintia. Sintia adalah wanita pekerja kantoran, sama halnya dengan Brian. Keduanya memang tak punya waktu banyak untuk bertemu. Namun komunikasi antara mereka amatlah baik, walau keduanya di sibukan dengan segala urusan pekerjaan. Tak jarang, baik Brian dan Sintia, pernah menghadiri acara pernikahan teman seorang diri. Walau begitu, keduanya saling percaya jika tidak akan ada penghianatan dalam percintaan mereka. Pagi menjelang, baik Brian dan Kanya tampak sama-sama sibuk. Brian bersiap untuk kembali ke kantor, Kanya sibuk dengan mengurus anak kucing dan anjing kecil, peliharaannya. Melihat jam? Kanya memasak sesuatu yang ia sukai. Dilanjutkan berolahraga di dalam kamarnya dengan matras pilates dan beberapa beban ringan lainnya. "Capek," ucapnya sambil berbaring diatas lantai dan menyeka keringat. Ponselnya berbunyi, Kanya melihat siapa yang mengirim pesan pada dirinya. "Oke, kerja!" ucap Kanya sambil kemudian bangun dari pembaringannya dan segera masuk ke dalam kamar mandi. 30 menit kemudian, Kanya mengeringkan rambutnya, mengikat kuat rambutnya, bak kuncir kuda, meraih topi hitam, dan ia simpan dalam tas ransel kecil. Mengenakan jeans berwarna hitam ketat, berukuran panjang 7/8, kaos oblong berwana putih berukuran besar, yang sedikit menerawang dan memakai sepatu kets berwarna putih. Sedikit lipstik coklat pekat, maskara dan parfum, kanya terlihat cantik dengan riasan tipis. Si gadis yang enggan menggunakan bra, lebih menyukai silicon penutup dada itu, terbiasa mengendarai sepeda motor berjenis matic, vespa matic berwarna hitam dan helm half face, juga masker dengan warna senada dengan motornya. "Mama? Kanya pergi ya?" ucap Kanya. "Oke sayang. Hati-hati ya!" sahut ibunya. Pergilah Kanya menuju suatu tempat yang memang kerap kali ia kunjungi. Brian sibuk dengan meeting di kantor dan presentasi. Belum lagi, ia baru saja menerima jabatan baru. Banyak ucapan baik datang padanya, dan Brian mendapatkan ruangan baru sesuai jabatan yang saat ini ia emban. "Selamat Brian. Kamu layak," ucap atasannya. "Terimakasih pak," sahut Brian. "Selamat Brian, ditunggu undangan makan-makannya nih," ucap Rainald, rekan kerjanya. "Oke, siap," sahut Brian. Banyak ucapan selamat pagi itu untuknya. Berita menyenangkan itu, Brian kabarkan pada kekasihnya Sintia melalui panggilan telepon. "Selamat ya sayang," ucap Sintia. "Iya sayang, kamu ada waktu nggak?" tanya Brian. "Aku hari ini mau berangkat ke luar kota, kamu lupa jadwal aku?" ucap Sinta. "Oh iya, duh maaf sayang," Brian meminta maaf. "Aku yang minta maaf, karena nggak bisa rasain hari ini buat kamu. Maaf ya sayang? Aku janji, pulang dari sini, kita rayain," ucap Sintia. "Oke, aku tunggu ya," ucap Brian. "Iya sayang, bye, semangat kerjanya," Sintia menyemangati Brian. Panggilan itu berakhir. Brian terlihat murung. Namun ini bukan kali pertama ia dan Sintia tak dapat merayakan momen penting bersama. Kanya, ia baru saja terpilih menjadi salah satu icon sebuah brand kosmetik. Bayaran tinggi sudah menanti dirinya. Kanya bahagia hari ini, ia tak menyangka jika hal yang tak begitu ia harapkan, malah jatuh di tangannya. "Party ya!" ucap salah seorang temannya yang juga merupakan model catwalk itu sambil berteriak kencang. Mereka berbahagia atas apa yang Kanya dapatkan. Kontrak 1 tahun itu akan terus bergulir jika Kanya dapat menjaga amanat. "Kamu jangan bikin skandal, kamu udah bisa di sebut artis Kanya. Inget ya?" ucap Intan, selaku manager dan juga merupakan atas dari Kanya. "Siap, mam!" Kanya dengan yakin menyanggupi. "Jangan malu maluin mami. Kamu harus bangga sama kecantikan kulit kamu, diluar sana banyak yang mau dapet kontrak itu. Jadi kamu harus cintai kerjaan kamu dan jaga nama baik kamu," ucap Intan. "Siap mam!" Kanya bersemangat. Sementara di waktu yang bersamaan, "Oh iya Brian," baru saja atasan Brian, memanggilnya dan mengajak berbicara. "Iya, Kenapa pak?" tanya Brian. "Besok kita ada pertemuan sama brand ambasador produk kita," ucap atasan Brian. "Oke, siap," sahut Brian."Kanya, besok kamu ke kantor dulu, terus bareng mami kita ke perusahaan yang mendapuk kamu jadi BA mereka, oke!" ucap Intan pada Kanya."Oke, mam," sahut Kanya."Ehm, terus nanti ada beberapa tanda tangan kontrak yang harus kamu tanda tanganin, juga nanti ada meeting bareng team mereka, pokoknya kamu bakal sibuk banget besok. Jaga kesehatan kamu, tetep makan makanan sehat, pola makan di jaga, mami minta kamu tetep rajin latian, karena kamu udah tau kan jadwal foto produk pakaian juga udah beberapa yang harus kita kerjain," ucap Intan yang menjabarkan isi kontrak."Oke, mam," sahut Kanya."Inget pesen mami, jangan mengecewakan agency kita, jaga nama baik perusahaan dan nama kamu," ucap Intan, lagi."Iya mam, Kanya sebisa mungkin jalanin apa yang udah seharusnya ada di kontrak kerja," jawab Kanya dengan percaya diri."Bagus, jangan sampai kamu terpengaruh sama hal yang diluar kuasa mami. Kamu tau kan? Beberapa temen kamu, yang hidupnya aneh-aneh itu, akhirnya gimana?" Intan bertanya."
Dari kejauhan, Irvan melempar senyum pada Kanya, senyum itu berbalas. Kanya pun tersenyum saat melihat senyuman itu untuknya."Senyum terus," ucap Brian, pada Irvan."Kayaknya gue jatuh cinta, BRI," sahut Irvan."Wow, siapa yang bisa bikin lu jatuh cinta? Yakin?" Brian terdengar ragu."Kalo ini nggak mau gue lepasin. Jantung gue, detaknya nggak karuan pas ketemu dia. Kita juga tukeran nomor hape tadi. Jodoh gue kayaknya," Irvan percaya diri."Bagus dong, deketin lah," ucap Brian."Pasti Bri, jangan sampe keduluan sama lelaki mana pun. Nggak terima gue kalo ada yang lebih dari gue," ucap Irvan, penuh ambisi."Iya deh, iya. Gue doain lu dapetin tuh cewek, jangan lu lepasin," ucap Brian."Thanks bro. Lu tau lah selera gue, ini cewek selera gue banget, Brian," ucap Irvan."Ngerti gue, emang gimana sih orangnya?" Brian penasaran."Disana tuh, tuh! Dia lagi rame-ramean juga," ucap Irvan sambil melihat ke arah Kanya."Mana?" tanya Brian yang terlihat ingin tahu."Itu Bri, pake baju kaos puti
Bertemu tatapan yang sama, momen-momen singkat itu menjadi arena pertarungan emosi tak terucap di antara mereka. Mata mereka seolah bertaut, mengakui keberadaan satu sama lain meski dari kejauhan. Di sisi lain, Irvan yang berdiri di kejauhan, matanya berbinar menatap Kanya, wanita yang dicintainya dan kini menjadi Brand Ambassador perusahaan tempatnya bekerja. Kebanggaan tergambar jelas di wajahnya. Kanya, dengan sapaan hangatnya, tenggelam dalam obrolan ringan bersama seorang Brand Ambassador lain yang tak kalah memukau. Kecantikannya bukan sekadar paras, tetapi juga kilau di matanya yang bisa menarik perhatian siapa saja, termasuk Brian yang tampil mempesona. Hatinya tahu, kehadiran pria itu terlalu berharga untuk sekedar dilirik dan dilupakan. Brian, dengan semua pesonanya, adalah bagian dari pesona yang tak mungkin ia lewatkan dengan begitu saja.Brian berjuang keras untuk mempertahankan fokusnya, mencoba melawan godaan untuk menoleh ke arah Kanya. Namun, matanya mengkhianati usah
Malam itu, atmosfer restoran mewah terasa semakin memukau dengan dekorasi yang berkilauan. Kanya dan Irvan memasuki tempat tersebut, langkah mereka serasi dalam gaun dan setelan yang mereka kenakan. "Kanya, mau duduk di mana?" tanya Irvan dengan nada penuh perhatian. "Ehm... di sana, Mas Irvan. Kayaknya sudut itu keren buat foto," Kanya menunjuk ke sebuah meja di pojok yang terlihat romantis dengan cahaya lilin yang menari-nari. "Oke," sahut Irvan. Seraya tersenyum, dia meraih tangan Kanya. Tiba-tiba, ponselnya berdering."Duh, sorry, Aku anterin kamu duluan kesana," ucap Irvan, sambil memberikan kode agar Kanya menunggu. Meski malam itu sejatinya adalah malam mereka, tetapi panggilan yang tak terduga itu menguji kesabaran Irvan sendiri.Irvan mengantar Kanya pada bangku yang mereka inginkan, Kanya duduk dan meletakkan tas disampingnya. Irvan menerima panggilan telepon dan menjauh dari Kanya."Ya pak, gimana pak?" ucap Irvan pada telepon.Kanya melihat sekeliling, lampu cantik, alunan
Kembali bak orang normal, keduanya duduk bersama dengan Irvan dan Sintia dan mencoba menikmati makanan yang tertunda. Tatapan Kanya terfokus pada Brian, Brian menundukkan wajahnya.Entah apa yang di perbincangkan oleh Irvan dan Sintia, keduanya merasa hanya mereka saja yang ada saat ini, yang lain seolah tak kasat mata.Namun, saat terdengar suara Sintia yang memanggil Brian dengan sebutan,"Sayang, nanti kamu temenin aku ya?"DEGBrian mendadak panas dingin, apalagi saat melihat Kanya yang mengepalkan tangan sambil menopang dagu."Iya nanti aku temenin kamu," sahut Brian dengan jantung yang berdebar."Oh... iya sayang... nanti kita habis dari sana, kita bakal pergi ke..." ucap Sintia yang terus menggunakan imbuhan sayang pada tiap kalimat.Terus saja Kanya menghitung jumlah kalimat sayang itu, semakin mau mati rasanya Brianz saat melihat Kanya yang menatapnya dengan tajam, sementara Irvan tengah berbincang ringan, Kanya seolah tak menghiraukan apa yang Irvan celotehkan."Sayang..."
"Ada hal penting yang harus kita omongin, Mas," Kanya menegaskan, nada suaranya penuh ketegasan seiring dia menggulung lengan tuniknya lebih tinggi. Ekspresi wajahnya menunjukkan kegawatan yang tidak bisa ditawar lagi. Brian menatapnya balik dengan tatapan yang tidak kalah serius, jantungnya berdegup kencang seolah bisa pecah kapan saja. Dengan gerakan tegas, ia membuka beberapa kancing kemejanya, tanda bahwa tekanan yang dia rasakan mulai tak tertahankan. "Dan aku juga perlu ngomong sesuatu yang sangat penting sama kamu," ujar Brian, suaranya terdengar berat, penuh dengan beban yang seolah telah lama dipendam.Dengan langkah yang begitu cepat, mereka berdua berjalan bersisian ke arah parkiran. Brian kemudian dengan sigap menarik tangan Kanya, membawanya menuju mobilnya yang parkir di ujung. Suasana tegang terasa menggantung di udara seakan tiap langkah mereka bertambah berat.Brian membuka pintu mobil dan dengan sedikit paksa, ia menuntun Kanya agar masuk. Kanya menurut, namun begi
"Bri, nanti malam anterin mama sama papa ya." Isi pesan itu. "Kemana ma?" Brian membalasnya. "Kerumah temen mama, kita udah lama nggak ketemu, bisa kan?" Ibunya membalas lagi. "Ehm... tumben ma? Biasanya pergi berdua?" Isi balasan pesan dari Brian. "Ih, nurut aja deh, sekali kali ini. Pokoknya mama tunggu nanti jam 8 malam kita pergi, Brian jemput kerumah mama sama papa ya," balasan pesan dari ibunya. "Ya udah, tunggu aja ya ma," Brian membalas pesan itu. "Tumben, biasanya nggak gini?" Brian bergumam sambil menatap layar ponsel yang baru saja menampilkan pesan dari ibu. Brian mengerutkan dahi, mencoba memahami nada pesan itu. Ada sesuatu yang terasa berbeda kali ini. Namun, Brian tidak bisa memastikan apa. Apakah ada yang sedang terjadi di rumah? Atau ibunya hanya mencoba menyampaikan sesuatu yang penting dengan cara yang tak biasa? Kenapa tiba-tiba Brian merasa tidak tenang dan Brian menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir bayangan buruk yang mulai memenuhi kepala. P
"Ada hal penting yang harus kita omongin, Mas," Kanya menegaskan, nada suaranya penuh ketegasan seiring dia menggulung lengan tuniknya lebih tinggi. Ekspresi wajahnya menunjukkan kegawatan yang tidak bisa ditawar lagi. Brian menatapnya balik dengan tatapan yang tidak kalah serius, jantungnya berdegup kencang seolah bisa pecah kapan saja. Dengan gerakan tegas, ia membuka beberapa kancing kemejanya, tanda bahwa tekanan yang dia rasakan mulai tak tertahankan. "Dan aku juga perlu ngomong sesuatu yang sangat penting sama kamu," ujar Brian, suaranya terdengar berat, penuh dengan beban yang seolah telah lama dipendam.Dengan langkah yang begitu cepat, mereka berdua berjalan bersisian ke arah parkiran. Brian kemudian dengan sigap menarik tangan Kanya, membawanya menuju mobilnya yang parkir di ujung. Suasana tegang terasa menggantung di udara seakan tiap langkah mereka bertambah berat.Brian membuka pintu mobil dan dengan sedikit paksa, ia menuntun Kanya agar masuk. Kanya menurut, namun begi
Kembali bak orang normal, keduanya duduk bersama dengan Irvan dan Sintia dan mencoba menikmati makanan yang tertunda. Tatapan Kanya terfokus pada Brian, Brian menundukkan wajahnya.Entah apa yang di perbincangkan oleh Irvan dan Sintia, keduanya merasa hanya mereka saja yang ada saat ini, yang lain seolah tak kasat mata.Namun, saat terdengar suara Sintia yang memanggil Brian dengan sebutan,"Sayang, nanti kamu temenin aku ya?"DEGBrian mendadak panas dingin, apalagi saat melihat Kanya yang mengepalkan tangan sambil menopang dagu."Iya nanti aku temenin kamu," sahut Brian dengan jantung yang berdebar."Oh... iya sayang... nanti kita habis dari sana, kita bakal pergi ke..." ucap Sintia yang terus menggunakan imbuhan sayang pada tiap kalimat.Terus saja Kanya menghitung jumlah kalimat sayang itu, semakin mau mati rasanya Brianz saat melihat Kanya yang menatapnya dengan tajam, sementara Irvan tengah berbincang ringan, Kanya seolah tak menghiraukan apa yang Irvan celotehkan."Sayang..."
Malam itu, atmosfer restoran mewah terasa semakin memukau dengan dekorasi yang berkilauan. Kanya dan Irvan memasuki tempat tersebut, langkah mereka serasi dalam gaun dan setelan yang mereka kenakan. "Kanya, mau duduk di mana?" tanya Irvan dengan nada penuh perhatian. "Ehm... di sana, Mas Irvan. Kayaknya sudut itu keren buat foto," Kanya menunjuk ke sebuah meja di pojok yang terlihat romantis dengan cahaya lilin yang menari-nari. "Oke," sahut Irvan. Seraya tersenyum, dia meraih tangan Kanya. Tiba-tiba, ponselnya berdering."Duh, sorry, Aku anterin kamu duluan kesana," ucap Irvan, sambil memberikan kode agar Kanya menunggu. Meski malam itu sejatinya adalah malam mereka, tetapi panggilan yang tak terduga itu menguji kesabaran Irvan sendiri.Irvan mengantar Kanya pada bangku yang mereka inginkan, Kanya duduk dan meletakkan tas disampingnya. Irvan menerima panggilan telepon dan menjauh dari Kanya."Ya pak, gimana pak?" ucap Irvan pada telepon.Kanya melihat sekeliling, lampu cantik, alunan
Bertemu tatapan yang sama, momen-momen singkat itu menjadi arena pertarungan emosi tak terucap di antara mereka. Mata mereka seolah bertaut, mengakui keberadaan satu sama lain meski dari kejauhan. Di sisi lain, Irvan yang berdiri di kejauhan, matanya berbinar menatap Kanya, wanita yang dicintainya dan kini menjadi Brand Ambassador perusahaan tempatnya bekerja. Kebanggaan tergambar jelas di wajahnya. Kanya, dengan sapaan hangatnya, tenggelam dalam obrolan ringan bersama seorang Brand Ambassador lain yang tak kalah memukau. Kecantikannya bukan sekadar paras, tetapi juga kilau di matanya yang bisa menarik perhatian siapa saja, termasuk Brian yang tampil mempesona. Hatinya tahu, kehadiran pria itu terlalu berharga untuk sekedar dilirik dan dilupakan. Brian, dengan semua pesonanya, adalah bagian dari pesona yang tak mungkin ia lewatkan dengan begitu saja.Brian berjuang keras untuk mempertahankan fokusnya, mencoba melawan godaan untuk menoleh ke arah Kanya. Namun, matanya mengkhianati usah
Dari kejauhan, Irvan melempar senyum pada Kanya, senyum itu berbalas. Kanya pun tersenyum saat melihat senyuman itu untuknya."Senyum terus," ucap Brian, pada Irvan."Kayaknya gue jatuh cinta, BRI," sahut Irvan."Wow, siapa yang bisa bikin lu jatuh cinta? Yakin?" Brian terdengar ragu."Kalo ini nggak mau gue lepasin. Jantung gue, detaknya nggak karuan pas ketemu dia. Kita juga tukeran nomor hape tadi. Jodoh gue kayaknya," Irvan percaya diri."Bagus dong, deketin lah," ucap Brian."Pasti Bri, jangan sampe keduluan sama lelaki mana pun. Nggak terima gue kalo ada yang lebih dari gue," ucap Irvan, penuh ambisi."Iya deh, iya. Gue doain lu dapetin tuh cewek, jangan lu lepasin," ucap Brian."Thanks bro. Lu tau lah selera gue, ini cewek selera gue banget, Brian," ucap Irvan."Ngerti gue, emang gimana sih orangnya?" Brian penasaran."Disana tuh, tuh! Dia lagi rame-ramean juga," ucap Irvan sambil melihat ke arah Kanya."Mana?" tanya Brian yang terlihat ingin tahu."Itu Bri, pake baju kaos puti
"Kanya, besok kamu ke kantor dulu, terus bareng mami kita ke perusahaan yang mendapuk kamu jadi BA mereka, oke!" ucap Intan pada Kanya."Oke, mam," sahut Kanya."Ehm, terus nanti ada beberapa tanda tangan kontrak yang harus kamu tanda tanganin, juga nanti ada meeting bareng team mereka, pokoknya kamu bakal sibuk banget besok. Jaga kesehatan kamu, tetep makan makanan sehat, pola makan di jaga, mami minta kamu tetep rajin latian, karena kamu udah tau kan jadwal foto produk pakaian juga udah beberapa yang harus kita kerjain," ucap Intan yang menjabarkan isi kontrak."Oke, mam," sahut Kanya."Inget pesen mami, jangan mengecewakan agency kita, jaga nama baik perusahaan dan nama kamu," ucap Intan, lagi."Iya mam, Kanya sebisa mungkin jalanin apa yang udah seharusnya ada di kontrak kerja," jawab Kanya dengan percaya diri."Bagus, jangan sampai kamu terpengaruh sama hal yang diluar kuasa mami. Kamu tau kan? Beberapa temen kamu, yang hidupnya aneh-aneh itu, akhirnya gimana?" Intan bertanya."
Mereka berdua terlihat akrab, tapi itu dimata kedua orang tua mereka masing-masing. "Liat, mereka cocok," Ucap Ratna pada Indira. "Senengnya, artinya kita bakal besanan dan punya cucu," ucap Indira dengan rona wajah bahagia. Nyatanya? "kamu jangan pernah mikir, aku bakal mau nikah sama kamu!" tegas Brian. "Hahaha, udahlah mas, biasanya yang awalnya suka nolak, justru nanti jadi sayang dan nggak mau pisah," ucap Kanya. "Nggak akan," Brian menjawab dengan yakin. "Akan! Kamu bakal cinta sama aku. Titik!" ucap Kanya, tegas. "Ah!" Brian kesal. Brian meninggalkan Kanya ke ruang tamu, Kanya menyusul dan mereka bertemu kembali di ruang tamu. "Tante, Om, mama, papa, Kanya nggak mau jadi istri mas Brian," ucap Kanya, sambil duduk menyilang kaki dan tersenyum manja. "Brian juga nggak mau," ucap Brian tak mau kalah. Keluarga Brian pun meninggalkan kediaman keluarga, setelah mendengar penolakan perjodohan itu. "Gimana Bri? Kok pada nolak?" ucap ibunya dengan kecewa. "Lagian dia juga
"Bri, nanti malam anterin mama sama papa ya." Isi pesan itu. "Kemana ma?" Brian membalasnya. "Kerumah temen mama, kita udah lama nggak ketemu, bisa kan?" Ibunya membalas lagi. "Ehm... tumben ma? Biasanya pergi berdua?" Isi balasan pesan dari Brian. "Ih, nurut aja deh, sekali kali ini. Pokoknya mama tunggu nanti jam 8 malam kita pergi, Brian jemput kerumah mama sama papa ya," balasan pesan dari ibunya. "Ya udah, tunggu aja ya ma," Brian membalas pesan itu. "Tumben, biasanya nggak gini?" Brian bergumam sambil menatap layar ponsel yang baru saja menampilkan pesan dari ibu. Brian mengerutkan dahi, mencoba memahami nada pesan itu. Ada sesuatu yang terasa berbeda kali ini. Namun, Brian tidak bisa memastikan apa. Apakah ada yang sedang terjadi di rumah? Atau ibunya hanya mencoba menyampaikan sesuatu yang penting dengan cara yang tak biasa? Kenapa tiba-tiba Brian merasa tidak tenang dan Brian menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir bayangan buruk yang mulai memenuhi kepala. P