Akhirnya, Kanya baru saja tiba di dalam rumah dan segeramasuk kedalam kamar tidurnya, ia terlihat sangat lelah dan hendak segera beristirahat Namun seketika saja ia teringat akan Brian. Kanya segera meraih tasnya dan ia kemudian mencari ponselnya yang ia simpan didalam tas, "Oh iya, dia bilang dia kirim email," ucap Kanya kala teringat jika Brian mengirimkan email padanya. Kanya membuka pesan yang terkirim melalui surel, beberapa surel lain ia abaikan dan hanya membaca pesan surel dari Brian. "Dia kira aku tuh juga nggak sebel liat Sintia, ada di dalam apartemen? Dan mereka berduaan!" ucap Kanya dengan suara lantang dan melempar ponselnya diatas ranjang. Segera Kanya membuka pakaiannya dan buru-buru masuk ke dalam kamar mandi. Ia membersihkan tubuhnya sambil teringat bagaimana pertemuannya dengan Brian saat itu di apartemen dan ia berpikir tentang apa saja yang Brian lakukan dengan Sintia. Kanya terisak sambil memikirkan kenangan yang begitu menyakitkan saat melihat Sintia
Makan malam berdua bersama Irvan, sesekali Irvan dan Kanya tertawa kecil saat menceritakan masa lalu mereka waktu masih duduk di bangku sekolah. Usia keduanya terpaut 6 tahun. Namun walau demikian, Kanya dapat mengimbangi Irvan yang lebih tua darinya. "Kanya, kita ke apartemen Brian, mau nggak?" ucap Irvan. Tentu saja Kanya sangat ingin, namun ia kini tengah mencoba menjaga jarak dengan Brian. "Aku langsung pulang aja deh mas," ucap Kanya. "Yah, nggak asik dong, masa aku sendirian di jalan. Ya udah deh, aku anterin kamu balik terus aku kerumah Brian sendirian," ucap Irvan. "Iya mas, titip salam aja buat dia, bilangin semoga dia cepet sembuh," ucap Kanya sambil tersenyum. "Oke deh, temenin aku dulu, beli buah buahan buat Brian," ucap Irvan. "Oke, boleh," ucap Kanya. Makan malam usai, keduanya melanjutkan untuk berbelanja makanan dan minuman. "Jadi beneran nggak ikut nih?" Irvan mencoba meyakinkan lagi. "Ehm... gimana ya mas?" Kanya terdengar ragu. "Ikut aja deh, Kanya. Pleas
"Mas..." sambil berbaring dan memeluk boneka kecil. Kanya menunggu Brian yang sedang berada dalam kamar mandinya. Datanglah Brian, sambil merapikan sedikit rambutnya dengan handuk kecil yang berada pada bahunya. "Udah mas?" tanya Kanya yang terlihat senang kala melihat Brian. "Udah, aku pulang dulu Kanya, badan aku nggak enak," ucap Brian yang kemudian meletakkan handuk pada tempatnya. "Kalau aku mau ikut kamu pulang, boleh nggak?" tanya Kanya. "Tapi?" Brian seperti ingin mengatakan sesuatu. "Tapi apa? kamu takut kalau pacar kamu tau?" tanya Kanya yang terus melihat Brian. Brian duduk diatas ranjang berhadapan dengan Kanya. Kali ini, keduanya tampak ingin berbicara serius. "Kanya, aku nggak bisa kalau harus ninggalin dia," Brian berucap jujur pada Kanya. "Mas nggak bisa ya coba buat cinta ke aku?" tanya Kanya yang tampak penuh harap "Aku cuma butuh waktu buat berpikir. Aku nggak bisa mutusin iya atau enggak nya, karena harus banyak pertimbangan," ucap Brian sambil m
"Gimana akting kita?" tanya ibunya Kanya pada ibunya Brian."Bagus Ratna. Kamu nanti tambah cantik karena infus vitamin E ini, hihihi..." sahut Indira sambil tertawa kecil."Duh... semoga mereka beneran mau nikah, ya," ucap ibunya Kanya dengan semangat."Ada-ada aja ide kalian," ucap ayahnya Brian yang baru saja tiba di rumah sakit dan duduk di sisi ayahnya Kanya."Iya, yah. kita sih sebagaimana istri aja Richard, mereka maunya kan anak kita memang mau nikah beneran," ucap ayah Kanya."Iyalah, saya juga setuju sih, semoga mereka beneran mau dan saling cinta walau terpaksa pada awalnya yang penting akhirnya," ucap ayah Brian.Terpantau, Kanya baru saja tiba kembali masuk kedalam kamar rawat ibunya."Eh, om Richard? Baru sampe, ya?" Kanya menyapa ayah Brian, sambil mencium punggung tangannya."Iya, mau jemput mamanya Brian," ucap ayah Brian sambil tersenyum."Ya udah kalo gitu, om pulang dulu sama tante indi ya? Mbak Ratna cepet sehat," ucap ayah Brian, sambil tersenyum karena harus be
"Ada hal penting yang harus kita omongin, Mas," Kanya menegaskan, nada suaranya penuh ketegasan seiring dia menggulung lengan tuniknya lebih tinggi. Ekspresi wajahnya menunjukkan kegawatan yang tidak bisa ditawar lagi. Brian menatapnya balik dengan tatapan yang tidak kalah serius, jantungnya berdegup kencang seolah bisa pecah kapan saja. Dengan gerakan tegas, ia membuka beberapa kancing kemejanya, tanda bahwa tekanan yang dia rasakan mulai tak tertahankan. "Dan aku juga perlu ngomong sesuatu yang sangat penting sama kamu," ujar Brian, suaranya terdengar berat, penuh dengan beban yang seolah telah lama dipendam.Dengan langkah yang begitu cepat, mereka berdua berjalan bersisian ke arah parkiran. Brian kemudian dengan sigap menarik tangan Kanya, membawanya menuju mobilnya yang parkir di ujung. Suasana tegang terasa menggantung di udara seakan tiap langkah mereka bertambah berat.Brian membuka pintu mobil dan dengan sedikit paksa, ia menuntun Kanya agar masuk. Kanya menurut, namun begi
Kembali bak orang normal, keduanya duduk bersama dengan Irvan dan Sintia dan mencoba menikmati makanan yang tertunda. Tatapan Kanya terfokus pada Brian, Brian menundukkan wajahnya.Entah apa yang di perbincangkan oleh Irvan dan Sintia, keduanya merasa hanya mereka saja yang ada saat ini, yang lain seolah tak kasat mata.Namun, saat terdengar suara Sintia yang memanggil Brian dengan sebutan,"Sayang, nanti kamu temenin aku ya?"DEGBrian mendadak panas dingin, apalagi saat melihat Kanya yang mengepalkan tangan sambil menopang dagu."Iya nanti aku temenin kamu," sahut Brian dengan jantung yang berdebar."Oh... iya sayang... nanti kita habis dari sana, kita bakal pergi ke..." ucap Sintia yang terus menggunakan imbuhan sayang pada tiap kalimat.Terus saja Kanya menghitung jumlah kalimat sayang itu, semakin mau mati rasanya Brianz saat melihat Kanya yang menatapnya dengan tajam, sementara Irvan tengah berbincang ringan, Kanya seolah tak menghiraukan apa yang Irvan celotehkan."Sayang..."
Malam itu, atmosfer restoran mewah terasa semakin memukau dengan dekorasi yang berkilauan. Kanya dan Irvan memasuki tempat tersebut, langkah mereka serasi dalam gaun dan setelan yang mereka kenakan. "Kanya, mau duduk di mana?" tanya Irvan dengan nada penuh perhatian. "Ehm... di sana, Mas Irvan. Kayaknya sudut itu keren buat foto," Kanya menunjuk ke sebuah meja di pojok yang terlihat romantis dengan cahaya lilin yang menari-nari. "Oke," sahut Irvan. Seraya tersenyum, dia meraih tangan Kanya. Tiba-tiba, ponselnya berdering."Duh, sorry, Aku anterin kamu duluan kesana," ucap Irvan, sambil memberikan kode agar Kanya menunggu. Meski malam itu sejatinya adalah malam mereka, tetapi panggilan yang tak terduga itu menguji kesabaran Irvan sendiri.Irvan mengantar Kanya pada bangku yang mereka inginkan, Kanya duduk dan meletakkan tas disampingnya. Irvan menerima panggilan telepon dan menjauh dari Kanya."Ya pak, gimana pak?" ucap Irvan pada telepon.Kanya melihat sekeliling, lampu cantik, alunan
Bertemu tatapan yang sama, momen-momen singkat itu menjadi arena pertarungan emosi tak terucap di antara mereka. Mata mereka seolah bertaut, mengakui keberadaan satu sama lain meski dari kejauhan. Di sisi lain, Irvan yang berdiri di kejauhan, matanya berbinar menatap Kanya, wanita yang dicintainya dan kini menjadi Brand Ambassador perusahaan tempatnya bekerja. Kebanggaan tergambar jelas di wajahnya. Kanya, dengan sapaan hangatnya, tenggelam dalam obrolan ringan bersama seorang Brand Ambassador lain yang tak kalah memukau. Kecantikannya bukan sekadar paras, tetapi juga kilau di matanya yang bisa menarik perhatian siapa saja, termasuk Brian yang tampil mempesona. Hatinya tahu, kehadiran pria itu terlalu berharga untuk sekedar dilirik dan dilupakan. Brian, dengan semua pesonanya, adalah bagian dari pesona yang tak mungkin ia lewatkan dengan begitu saja.Brian berjuang keras untuk mempertahankan fokusnya, mencoba melawan godaan untuk menoleh ke arah Kanya. Namun, matanya mengkhianati usah
Dari kejauhan, Irvan melempar senyum pada Kanya, senyum itu berbalas. Kanya pun tersenyum saat melihat senyuman itu untuknya."Senyum terus," ucap Brian, pada Irvan."Kayaknya gue jatuh cinta, BRI," sahut Irvan."Wow, siapa yang bisa bikin lu jatuh cinta? Yakin?" Brian terdengar ragu."Kalo ini nggak mau gue lepasin. Jantung gue, detaknya nggak karuan pas ketemu dia. Kita juga tukeran nomor hape tadi. Jodoh gue kayaknya," Irvan percaya diri."Bagus dong, deketin lah," ucap Brian."Pasti Bri, jangan sampe keduluan sama lelaki mana pun. Nggak terima gue kalo ada yang lebih dari gue," ucap Irvan, penuh ambisi."Iya deh, iya. Gue doain lu dapetin tuh cewek, jangan lu lepasin," ucap Brian."Thanks bro. Lu tau lah selera gue, ini cewek selera gue banget, Brian," ucap Irvan."Ngerti gue, emang gimana sih orangnya?" Brian penasaran."Disana tuh, tuh! Dia lagi rame-ramean juga," ucap Irvan sambil melihat ke arah Kanya."Mana?" tanya Brian yang terlihat ingin tahu."Itu Bri, pake baju kaos puti