Share

Astaga, dia?

Dengan mantap jiwa seperti slogan sopir-sopir truck kekinian kubulatkan tekad, tak akan membiarkan hatiku hancur di acak-acak pria yang selalu menyakiti hati ini. Meskipun tulang ini serasa lunglai, tapi aku tak boleh terlihat lemah apalagi didepan mantan suamiku yang super duper angkuh bin sombong.

Sebentar kutoleh ke arah tempatnya duduk yang masih asik dengan ponselnya, kemudian dengan cepat dia berbalik menolehku. Kini kami saling pandang tapi terlihat beda tatapannya, tak seperti sesaat tadi yang sempat berapi-api seperti orang kerasukan jin kuda lumping. 

Bang Umar bangkit dan secepat kilat ia meraih tanganku, menggenggam erat, "Kau mau kemana, Dek?!" Terduduk ia dilantai seolah berlutut, "jangan tinggalin Abang, ku mohon. Tadi aku tak serius, cuma emosi saja. Tolong, Dek! Kau sudah mengenalku, kan?" Rengeknya seperti orang yang hilang ingatan. Cihh ...

Enteng sekali dia berkata seperti itu.

Kubiarkan dia mengiba, mengais sisa-sisa kebaikan yang kupunya, tapi sayangnya hatiku terlanjur beku karena ucapan sampahnya barusan. Terlampau dalam ia menusukkan pedang hinaan hingga bahkan bukan menyayat lagi, tapi mengoyak-ngoyak seluruh asaku untuk tetap bersamanya.

Sumpahku terlanjur mendarah daging di tubuh ini, sampai aku lupa bahkan melupakan kesempatan kedua dan kesekian kali untuknya.

"Carilah diriku di hatimu bukan di bibirmu, Bang! Aku bukan siapa-siapa, aku hanya sampah yang menumpang hidup denganmu selama ini. Bagimu aku telah mati bahkan mungkin tak pernah hidup dalam jiwamu sejak dulu. Tak mengapa, aku sudah biasa menikmati hinaan bahkan jauh sebelum aku bersamamu," cecarku dingin dan kulihat ia menunduk lesu.

"Biarkan sampah ini pergi dan tak membebanimu lagi, terima kasih apa yang sudah kau berikan selama ini. Jika bagimu itu hutang, catatlah! Aku akan berusaha untuk membayarnya nanti!" tukasku mengakhiri perdebatan ini.

Tangannya dengan perlahan terlepas begitu saja, dan aku? Kusangka diri ini wanita berhati baja, tetapi aku salah. Aku lupa berfikir kalau baja sekalipun bisa meleleh oleh panasnya api yang membakar. Seperti hatiku saat ini. Terlihat dari luar memang tegar, tapi didalam sudah menggenang lautan tangis darah yang selamanya akan kututup dengan tirai senyum perih.

Kuseret kain yang kukemas dalam buntalan sarung, bukan koper mewah dengan tangkai panjang. Persis seperti orang yang mau minggat jaman dulu, jauh dari kesan wanita elegan. Ya, karena aku tak punya tas. Jangankan untuk membelinya yang berharga puluhan atau ratusan ribu, bahkan untuk pulsa tujuh ribu saja aku harus merasakan kejamnya teror dari operator tak tahu waktu itu.

"Kau tak punya siapa-siapa, Dek! Kau mau kemana, jangan pergi! Maafkan aku!" Serunya memohon belas kasihan dariku, tapi terlambat.

Akhirnya ia bangun dengan sigap dan mulai mengeluarkan sumpah serapahnya lagi karena tak kuhiraukan.

"Pergilah! Sana pergi, aku tak membutuhkanmu lagi. Aku bisa cari wanita yang lebih cantik darimu, sana pergi!"

Teriakannya tak membuatku peduli, aku terus berlalu. Sudah terlanjur sakit  hati ini dibuatnya.  Langkah gontai mengiringi perjalananku menapaki arah yang belum tahu kemana. Aku tak punya sanak saudara bahkan keluarga, entah dari mana aku lahir dulu. Terlalu panjang dan rumit jalan hidup ini.

****

"Mbak ...Mbak, awas!"

Tubuhku terpental beberapa meter dari aspal, seseorang telah mendorongku kuat. Kurasakan kepala ini nyut-nyutan, sakit. Mungkin karena terlalu keras terbentur tanah. Terlihat kerumunan orang sudah mengeliling dengan wajah penuh tanda tanya dan saling bergumam, ada apa? batinku. 

Ketika aku sadar posisiku sudah terduduk di pinggiran jalan, "apa Mbak baik-baik saja?" tanya seorang wanita muda yang ada di depanku, sekilas terlihat cantik dengan jilbab panjangnya. Aku hanya mengangguk berat.

Sesaat kemudian kerumunan orang tadi mulai pergi meninggalkanku berdua dengan wanita yang menyapaku tadi. Eh, kenapa dia tidak ikut pergi?

"Mbak, mau kemana tadi?" ucapnya lembut.

Ah, aku tak tau harus menjawab apa, kepalaku juga masih terasa berat meskipun sudah kuteguk air mineral yang ia berikan barusan. Wanita itu tersenyum manis, membuatku iri. Kapan aku bisa berpenampilan bersih dan anggun seperti dia? Huh, tidak mungkin rasanya. 

"Saya antar pulang, ya?!"

"Emh, ti-tidak usah. Saya bisa pulang sendiri!" jawabku ragu, tentu saja. Mau kemana ia mengantarku sedangkan aku tak punya tempat tinggal sekarang ini.

"Kenapa? Mbak masih lemas, bahaya kalau pulang sendiri," katanya membuatku malu. Tutur bahasanya yang lembut seolah batu menghantam dada yang mungkin penuh dengan dosa akibat kata-kata kasarku selama ini.

Sejenak terlihat wanita itu berfikir, entah apa. Akhirnya ia memutuskan untuk mengajakku pulang kerumahnya meskipun terlihat sangat berat. Aku hanya menurut saja, setidaknya aku punya tempat berteduh untuk malam ini. Tak tahu besok.

Kuikuti arahnya berjalan menuju mobil putih yang tergolong mobil mewah itu. Wah, inikan mobil impianku yang sempat ku angankan. Cepat sekali Allah mengabulkan doaku. Ya, walaupun saat ini hanya menumpang, tapi setidaknya aku pernah menaikinya. Mudah-mudahan secepatnya aku bisa mendapatkannya. Aku janji pada diriku sendiri, harus bisa. Akan ku buat malu Bang Umar nanti, kalau perlu ku tabrak saja motor max-max keluaran negara matahari terbit itu dengan mobil baruku nanti, terus kutinggalkan saja dia tergeletak sendiri di pinggir jalan. Hah, rasakan!

Aku tersenyum puas, bahkan batinku sudah terbahak-bahak hanya dengan membayangkannya saja.

****

Tak lama kami sampai di rumah mewah, mungkin ini milik wanita yang sedang bersamaku. Betapa beruntungnya dia, masih muda tapi sudah memiliki hunian yang sangat istimewa. Jiwa kampunganku yang masih melekat erat tak mau melewatkan sedikitpun kesempatan untuk menyusuri setiap sudut halaman dengan jangkauan penglihatan. Kekaguman demi kekaguman kembali setelah aku diajak memasuki ruang tamu yang mungkin sudah seukuran rumahku dulu. Eh, rumah Bang Umar, tapi ini lebih besar, rapi dan bersih.

"Silahkan duduk, Mbak," kata wanita cantik itu sambil ia pun duduk berseberangan denganku.

"Eh, iya. Tadi kan kita belum kenalan, yah? Namaku Ema." Senyumnya kembali mengembang.

Ah, itu manis sekali. Seandainya aku ini pria pasti akan langsung jatuh cinta.

"Eh, iya, Mbak. Nama saya Yuke." 

"Tadi Mbak-nya mau kemana, kok, bisa jatuh disana?"  Sedikit menelisik.

"Tadi? Mau kemana, ya?!" Aku pun bingung mau jawab bagaimana.

Gadis itu, mengernyitkan dahi. Bisa saja dia curiga atau beranggapan apapun tentang diriku ini yang tak jelas arah tujuannya. Kemudian tatapannya tertuju kearah buntalan sarungku. Hei! Apa yang dia fikirkan tentang barang bawaan ku ini? Apa dia mengira aku pencuri yang tengah kabur dan mencari tempat sembunyi?

Belum selesai Ema menerka dalam batinya, tiba-tiba dari arah luar seseorang mengucapkan salam yang secara otomatis membuat kami menoleh dan menjawab bersamaan.

Pria berpenampilan sempurna. Sekilas aku memandang wajahnya yang rupawan. Oh, Abang! Ternyata ada makhluk tampan selain dirimu, bahkan seribu kali jauh lebih tampan darimu. Tidak menyesal aku meninggalkannya yang sok belagu itu.

"Ayah!" Seru Ema langsung menghambur ke pelukan pria itu yang sebelumnya telah mencium punggung tangannya. 

Ayah? Oh, itu ayahnya ternyata, kukira suaminya. Sesekali aku mencuri pandang kedekatan mereka yang sepertinya sangat erat.

Ema lalu menggiring ayahnya itu untuk duduk bersebelahan.

"Yuke?!" 

Mataku terbelalak, kaget setengah mati melihat dengan jelas siapa pria yang ada di depanku saat ini. Ya Allah, dia?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status