Share

MENGEJAR CINTA SANG MANTAN
MENGEJAR CINTA SANG MANTAN
Penulis: Riana

Ditalak Gara-gara Hutang Tujuh Ribu

"Astaga! Dasar operator, cuma tujuh ribu doang ditagih mulu," celotehku karena kesal setiap kali pesan masuk ke ponselku, memberitahu kalau pinjaman pulsa kemarin belum kulunasi.

Yah, tentu saja. Kalau saja aku punya uang untuk apa aku menerima pinjaman pulsa dari si Om Teko itu, kan? Kurang kerjaan saja jadinya. Sudah tahu tanggal tua begini seharusnya pihak mereka mengerti kalau suamiku belum gajian. Lagian nunggu gaji dari menulis juga belum tahu entah kapan, orang tulisannya aja sudah dibaca atau belum sama pemirsa aku 'nggak tau. Boro-boro buka gemboknya. Sabar.

"Ada apa, sih, Dek?" tanya suamiku yang mungkin muak dengan suara cemprengku, "Orang, kok, setiap hari ngomel mulu. Enggak bosen apa? Entar cepet tua baru tahu rasa!" sambungnya ketus seperti biasa.

"Eh-eh, Abang! Apa-apaan, sih. Malah 'ndoakan adek cepet tua. Seneng, ya, kalau Adek cepet mati terus kawin lagi gitu, hah?" gertakku tak terima, masa iya aku dibilang cepat tua auto emosi tingkat Dewa Api lah.

"Nah, ini. Dibilangin malah gantian marah, emak-emak jaman sekarang emang begitu, kebanyakan nonton drama kolosal jadi galaknya kayak ayam baru turun dari sarang. Hii!" lagi-lagi suamiku mengejek serius sambil bergidik.

"Eh, aku ngomel demi kebaikan kita juga," tukasku tak mau kalah.

"Kebaikan apaan, ngomel gitu. Terus itu hutang apaan?"

"Hutang pulsa dari operator," jawabku singkat sambil memanyunkan bibir sok manja berusaha mencairkan suasana, tapi sepertinya gagal.

"Kok, bisa-bisanya Adek bikin hutang tanpa sepengetahuan Abang, hah? Sejak kapan adek begitu, bikin hutang diam-diam?" hardiknya sambil melotot.

Buset, dah! Suamiku ini nggak sadar diri juga. Uang bulanan saja dia yang pegang entah untuk apa, aku cuma dijatah seratus ribu setiap Minggu. Apa dia kira uang segitu cukup untuk semua hal, belum lagi nanti kalau ada sumbangan dadakan.

"Eh, Abang! Aku hutang pulsa untuk membuka aplikasi menulisku, ya! Moga aja dari sana entar aku dapat royalti. Kalau sudah, aku akan beli bedak dan pakaian mahal. Mengharapkan gajian Abang entah kemana uang segitu banyak. Apa Abang pikir uang seratus ribu cukup untuk seminggu," ujarku panjang lebar. "Aku harus susah payah sendiri demi uang jajanku."

"Waw! Pintar sekali sekarang melawan suami, ya! Belajar dari mana? Dari sinetron mewek-mewek itu, hah?!" sahutnya sinis seraya menepuk kedua telapak tangannya bak bos mafia.

Sepertinya emosi suamiku sudah mulai terpancing. Ayo, marahlah. Aku juga sedang semangat empat lima ini untuk meluapkan unek-unek yang menjejal diruang kepalaku. Bukan niatku untuk kurang ajar, tapi sesekali dia harus mendengar alarm keras dariku.

"Tanya aku belajar dari mana? Tentu dari dirimu, Bang! Lihatlah, apa selama ini kau mencukupi nafkahku dengan gaji segunungmu itu? Kau bawa kemana uang itu?" Dengan berani aku menantangnya. "Kamu pikir aku ini babu, kalaupun babu aku perlu gaji, tapi mana? Abang asik main dan mentraktir kawan, sementara aku harus memutar otak untuk mengolah jatah yang Abang beri, apa itu masuk akal?"

Sekarang dia mati kutu, kan? Apa yang kuucapkan memang benar adanya. 

"Dan satu lagi, Bang!"

"Apa?" Dia menghardik memotong kata-kataku, "Kamu tidak terima dengan pemberianku, hah? Baik, kalau begitu cari saja suami lain yang mau memberikan seluruh gajinya untuk istri tidak tahu diri sepertimu. Sudah bagus masih dikasih makan, ini malah ngelunjak saja. Sana, pergilah! Mulai hari ini kamu bulan istriku! Paham!"

Suara lantang itu tajam menusuk ulu hatiku. Sakit, luar biasa sakit. Aku sudah cukup mengalah selama ini, tak pernah menuntut hidup mewah meskipun ia punya segudang anggaran yang seharusnya bisa memanjakanku sebagai seorang istri. Tapi nyatanya, dia tidak lebih dari seorang pecundang tak tahu malu. Cuma gara-gara hutang tujuh ribu saja dia berani menalakku dengan angkuh. 

"Kamu tidak sadar sedang berbicara dengan siapa, Bang? Aku istrimu! Suksesmu hari ini adalah bagian dari doaku juga, tapi Abang tak adil padaku. Abang terlalu serakah. Silahkan nikmati harta yang kamu bangga-baggakan itu, tapi dengar! Aku tak pernah sedikitpun iklhas dunia akhirat, camkan itu!"

Tidak perlu menumpahkan air mata untuk lelaki tak tahu adab seperti itu, aku sudah cukup siap untuk kata-katanya. Tangisku terlalu berharga, kalau hanya untuk meratapi luka yang setiap hari sudah sangat biasa aku lalui saat menljadi pasangan hidupnya. Sekarang tidak lagi, dan tidak akan lagi. 

"Kamu memang tidak tahu diri, tidak ingat aku memungutmu dari tempat sampah, hah?" Jari telunjuknya terus mengacung tepat ke wajahku, "sekarang kamu sudah pandai menceramahiku, tidak bersyukur sudah kuberi status dan tempat berteduh. Memang benar, sampah memang selamanya sampah!" umpatnya dengan mata memerah dan dada yang selalu membusung, menunjukkan betapa sombongnya maklhuk satu ini. 

Tiada filter dia berbicara kasar padaku, sekian lama aku berusaha dan berjuang merubah diriku yang dulu, tapi tak pernah dia hargai sedikitpun. Malah selalu diungkit.  Akhirnya masih dengan kemurkaannya yang mungkin tak akan bisa padam, ia pergi meninggalkanku yang sementara masih bungkam sambil menonton kelakuan tak elok suamiku itu. Lebih tepatnya mantan suami.

"Hari ini, kamu bisa berkata seperti itu. Kamu tak tahu, sampah itu bisa didaur ulang. Dan nanti, aku akan tunjukkkan betapa berharganya sampah itu," gumamku lirih.

Dengan penuh keyakinan kukemasi barangku, aku bersumpah dalam hati akan membuatnya menyesal sepanjang hayat telah memperlakukan diriku seperti ini. Tunggu saja, Bang, akan kubuktikan tujuh ribu yang sedang kuperjuangkan hari ini akan menjadi Terios suatu saat nanti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status