Share

PELAKOR DATANG

Sena yang sedang minum teh dengan santai di taman belakang, kedatangan seorang wanita cantik dengan dandan menor, dari atas sampai bawah terlihat mewah dan bermerk.

Sena meletakkan cangkir teh dengan tenang. Di kehidupan pertama, dirinya sempat stres karena mengetahui sang suami memiliki wanita idaman lain dan dengan bodohnya, dia bunuh diri.

"Hallo."

Sena tidak menjawab, hanya fokus dengan majalah fashion di pangkuannya.

"Ah, percuma saja bersikap sombong di depanku. Suami kamu sudah sama aku lho."

"Terus?"

"Hah?"

Sena tidak mengatakan apa pun lagi.

"Hei, apakah kamu tidak marah?"

Sena tidak menjawab.

Wanita itu semakin salah paham lalu tertawa keras. "Ah, ingin bermain menjadi istri yang baik ya?"

Sena menutup majalah dan menatap jijik wanita itu. "Kamu tadi kemana?"

"Apa?"

"Tadi siang aku melihat pria yang kamu banggakan itu sedang bersama wanita lain, melakukan hal dewasa. Aku kira dia bersama kamu, ternyata bukan toh."

Wanita itu berdiri dan menggebrak meja dengan keras. "JANGAN BOHONG KAMU!"

Sena tersenyum. "Kenapa tidak minta tolong cek cctv di rumah saja? Tepat area perpustakaan, sekitar jam dua belas siang atau lebih. Itu jika kamu punya otoritas lebih."

Wanita itu menatap marah Sena lalu pergi.

Sena menghela napas lega dan kembali membaca majalah fashion, dengan kekayaan keluarga suami- dia bisa memiliki uang untuk bisnis. Sebelum ayah mertua meninggal dan dirinya didepak keluar dari rumah, lebih baik melakukan persiapan terlebih dahulu.

"Thrift shop sudah mulai digemari di Indonesia, apakah anda akan membuka bisnis ini?"

Sena terkejut begitu melihat Adrian lagi. "Astaga, kamu mengejutkan aku."

"Anda yakin akan membuka toko thrift shop?"

"Aku ingin membuka usaha kecil, tapi aku tidak terlalu paham tentang fashion sementara bidang ini banyak penggemarnya dan mudah menghasilkan uang banyak."

"Kenapa nyonya tidak membuka usaha yang digemari nyonya?"

"Usaha apa?"

"Apa yang anda sukai?"

Tangan Sena terhenti ketika mendengar pertanyaan itu, lalu menatap Adrian. "Coba ulangi."

Adrian menatap aneh Sena. "Apa yang anda sukai?" ulangnya.

Sena tersenyum kecil. Baru kali ini ada yang bertanya tentang hal itu, terakhir kali orang tuanya bertanya saat masih sd. Menanyakan barang apa yang dia sukai supaya semangat ke sekolah.

"Ada apa?" tanya Adrian yang tidak mengerti arti senyuman Sena.

Sena meregangkan tangannya ke depan. "Tidak ada yang pernah bertanya hal itu kepadaku setelah menginjak dewasa, aku sedikit terharu."

Adrian menjadi tidak enak lalu memberikan buku yang ditinggalkan Sena di perpustakaan. "Anda meninggalkan ini."

"Terima kasih banyak."

Adrian kembali melihat senyuman Sena. Cantik.

Adrian jadi teringat dengan sikap menyebalkan Ducan beberapa jam lalu.

"Ayah, aku hanya ingin melebarkan sayap bisnis kita. Kenapa menghalangi niat baik aku?" tanya Ducan yang menjadi kesal karena pertanyaan orang asing. "Adrian hanya orang luar, dia tidak mengerti apa pun tentang bisnis kita."

"Saya memang orang luar, mengutamakan profesional. Karena itu saya bertanya, siapa tim anda dan akan bertemu dengan siapa."

Ducan mendecak kesal. "Tidak sopan menanyakan hal itu."

"Tuan muda, sepertinya anda tidak paham. Untuk mengeluarkan dana, perusahaan harus tahu siapa saja yang keluar dan anda bertemu dengan siapa. Supaya waktunya jelas dan efisien."

"Jelas dan efisien? Kamu kira aku ke luar negeri untuk bermain?" tanya Ducan ke Adrian.

Adrian tidak menjawab pertanyaan Ducan.

"Ducan, apa yang dikatakan Adrian benar. Perusahaan harus tahu orang-orang yang akan berangkat supaya memudahkan kita melacak jika terjadi sesuatu di masa depan lalu siapa yang akan kamu temui untuk menghemat waktu selama di sana."

Ducan menatap cemas ayahnya. "Kenapa ayah selalu mendengar Adrian? Aku anak kandung ayah, aku bisa melakukan yang terbaik demi ayah."

"Tuan muda, tadi di perpus-"

"Apa? Kenapa di perpustakaan? Apakah kamu ada di sana?" tanya Ducan dengan cemas.

Ayah Ducan bingung dengan pertanyaan lain Adrian.

Adrian tersenyum. "Tidak, tadi saya di perpustakaan untuk istirahat."

Wajah Ducan berubah pucat, menatap horor Adrian.

"Saat itu, saya melihat buku menarik mengenai teknik marketing."

Ducan mengerutkan kening tidak mengerti.

"Seperti yang diberitahu tuan besar sebelumnya. Ada berbagai cara teknik marketing, tidak perlu repot-repot pergi ke luar negeri sampai masalah pandemi selesai."

"Kamu bicara apa? Jika kita tidak menunjukan produk dan menjelaskannya secara langsung, tidak akan ada yang percaya." Ducan bersikeras.

"Masalahnya, kita harus mengeluarkan biaya kesehatan untuk perjalanan jauh. Sebenarnya perusahaan tidak masalah mengeluarkan uang untuk biaya cek, yang jadi masalah jika mereka tertular sementara pemerintah tidak menyediakan tempat untuk orang-orang yang melakukan perjalanan dinas ke luar negeri, semua harus ditanggung perusahaan."

Ducan semakin bingung dengan penjelasan Adrian.

"Lalu kita harus kehilangan orang selama dua minggu, siapa yang akan back up? Kita cari orang lagi?" tanya Adrian ke Ducan. "Anda sudah lulus kuliah manajemen perusahaan, tentu anda sudah mempertimbangkan semuanya bukan?"

Raut wajah Ducan semakin jelek, pertanyaan Adrian menyudutkannya.

Adrian melirik tuan besar, menunggu reaksi seorang ayah yang sedang mengambil pertimbangan besar.

Ducan merayu ayahnya. "Ayah, aku bersungguh-sungguh. Ayah sudah mendengar hasil pekerjaanku kan? Semuanya memuaskan."

Adrian tahu, ayah Ducan sangat puas dengan hasil pekerjaan putranya. Yang membuat beliau kecewa adalah sifat mata keranjang Ducan, tidak bisa diam begitu melihat wanita cantik.

Ayah Adrian menghela napas panjang. "Lakukan semau kamu."

Ducan tersenyum bahagia. "Terima kasih ayah."

"Jangan lupa menyerahkan nama tim dan orang-orang yang akan kamu temui." Saran ayah Ducan.

Ducan mengangguk antusias. "Tentu saja, aku akan melakukan yang terbaik. Ayah tidak akan kecewa."

Adrian kecewa dengan keputusan ayah Ducan.

Ayah Ducan hanya mengangkat tangan, tidak ingin membahasnya lebih lanjut.

Kekecewaan Adrian semakin menumpuk, hingga tanpa sadar bertemu lagi dengan Sena di taman belakang ketika mengambil dokumen di perpustakaan, dia segera menghampirinya.

"Saya rasa bisnis fashion sudah banyak di berbagai tempat, bagaimana dengan membuka toko hewan?"

"Bukannya toko hewan juga berjamuran? Aku tidak mau, Indonesia kebanyakan tidak peduli dengan nasib hewan."

Adrian terkejut, Sena mampu menganalisa dengan baik. Dia tersenyum lega, setidaknya istri Ducan tidak sebodoh para kekasih yang lain.

Sayangnya, Adrian tidak tahu kalau Sena sudah melewati tujuh kehidupan untuk belajar menjauhi Ducan.

Sena masih meratapi majalah fashion dengan wajah sedih. Aku sudah mulai bosan dengan semua perlakuan Ducan tapi aku lebih bosan dengan kehidupanku di rumah ini. Ducan mulai terang-terangan selingkuh setelah ayahnya mulai sibuk bekerja lagi. Rumah sudah di dalam kekuasaan Ducan.

Adrian bisa melihat tangan gemetar Sena. "Apakah anda takut?"

Sena mengangkat kepalanya dan menatap Adrian.

"Kenapa tangan anda gemetar?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status