Share

PERTEMUAN DI KAFE

Hendra melajukan hardtopnya. Menyisir jalan yang diterangi lampu-lampu lalu lintas. Menuju kafe, tempat dia akan bertemu dengan seseorang. Tak peduli dengan udara malam yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Lelaki itu terus menancap gas seolah-olah ingin segera tiba di tempat tujuan.

Sesampainya di  kafe, Hendra segera memarkir mobilnya dengan sempurna di halaman. Tampak di sana masih banyak pengunjung yang datang. Terlihat dari beberapa kendaraan yang terparkir dan riuh gelak tawa pengunjungnya. Karena tempat ini memang buka hingga larut malam.

Tempat dengan bangunan yang sederhana namun mempunyai sentuhan artistic. Mulai dari hiasan hingga kursi dan mejanya semua dibuat dari bahan daur ulang. Namun, tak menampakkan bahwa itu dari barang-barang bekas yang mereka sulap menjadi furniture yang indah dan berkelas. Di dalam ruang yang beraroma kopi, Hendara mengedarkan pandangan. Mencari sosok yang telah mengarahkan dia ke sini.

"Hendra!" Terdengar suara wanita memanggil nama laki-laki itu. Hendra menoleh untuk mencari sumber suara tersebut.

Hendra melempar senyum saat dia menemukan siapa yang memanggilnya tadi. Dan menghampiri sosok wanita yang tengah duduk di pojok ruang, dekat jendela. Secangkir Coffee Latte dan sepotong roti yang tinggal setengah menemaninya.

"Sori telat," ucap Hendra basa basi sambil menggeser kursi dan duduk di hadapan wanita itu persis di sebelahnya. Menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Sambil melipat tangan dan menatap teman wanitanya di seberang meja.

“Endak kok, Hen. Kamu ndak telat. Cuma aku saja yang kecepatan di sini,” jawab wanita itu sambil memalingkan wajah. Seolah-olah sedang menyembunyikan sesuatu di sana.

Hendra merogoh tas slempangnya untuk mencari rokok yang dia simpan. Kemudian, mengambil sebatang dan menyalakan setelah menemukannya. Mengisap dalam asapnya lalu diembuskan bersama beban yang terasa sesak hinggap di dada.

“Lalu, ke mana saja selama ini kamu, May? Tim kita bingung nyari kamu. Selama ini ndak ada yang bisa mengerjakan kerjaan semumpuni kamu. Semua angkat tangan.” Hendra membuka pembicaraan setelah beberapa menit mereka saling terdiam.

“Maafkan aku, Hen. Aku, sibuk. A-ada kerjaan di tempat lain,” jawab wanita itu sedikit tergugup. Sambil menundukkan wajahnya kembali, setelah menatap Hendra sebentar. Seolah-olah dia tak ingin Hendra melihat matanya yang mulai berembun.

Wanita itu ternyata Maya Rinjani. Perempuan yang menjadi pilihan Hendra. Namun, apa mau dikata, keadaan berkata lain. Hendra harus mau menikahi Lita Ariani Puspita, wanita pilihan kedua orang tuanya.

“Sibuk? Di tempat lain? Jadi … kamu sekarang ….”

Maya mengangguk sebelum Hendra menyelesaikan kalimatnya. “Ya, aku sedang mencoba mencari kesibukan di tempat lain. Karena, selain aku ndak bisa terus-terusan di ‘Kenangan Manis’. Jadi, ndak ada masalah, kan? Toh aku bebas menentukan pilihan. Ndak ada yang bisa mengikatku.” Maya mengangkat kepalanya. Menatap Hendra yang menerawang keluar jendela.

Ya, sekarang situasinya sudah berbeda, Hen. Aku ndak pengen Lita terluka hatinya karena aku menjadi duri dalam pernikahanmu. Dan, aku ndak pengin jadi cemburu karena melihat kamu dan Lita saling bergandengan ketika berada di sebuah acara. Aku ndak pengin, hati ini pun semakin hancur karena melihat keharmonisanmu. Aku ndak sanggup melihat itu. Hati Maya berkata.

“Tapi, kata Trisno kemarin dia sudah dapat penggantiku to, Hen. Rose, itu kerjanya juga bagus. Dia sudah aku training sebelumnya,” lanjut Maya menggenapin kalimatnya. Berangsur-angsur dia mulai bisa mengusai perasaannya.

“Ya, aku paham. Tapi ndak kayak gitu juga caranya. Mbok ya ngomong sebelumnya. Biar tim ndak snewen nyari-nyari kamu. Kerena kerjaan yang seharusnya kamu handle, belum ada yang bisa diselesaikan,” tegur Hendra mencari alasan. Padahal dalam hatinya dia tak ingin Maya meninggalkannya.

“Maaf, aku salah,” ucap Maya menyesal sambil memainkan sendok, mengaduk-aduk minumannya untuk menghilangkan rasa yang tak menentu dalam hatinya.

Beberapa menit tak terdengar mereka saling bicara. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Sibuk dengan syair yang mengalun di dada. Debaran jantung berdegub tak beraturan. Membuat mereka larut dalam hatinya masing-masing pula.

"May, bagaimana kalau rencanamu untuk meninggalkan ‘Kenangan Manis’, ditunda dulu. Please! Jangan pergi! Aku belum siap untuk itu." Hendra memecah kesunyian di antara mereka berdua. Memohon pada wanita itu yang tak lain adalah kekasihnya.

"Ini hanya soal waktu saja. Aku janji. Secepatnya aku akan menikahimu," lanjut Hendra. Dia menatap mata Maya Rinjani dalam. Meraih tangan wanita itu dan menggenggam dengan kedua tangannya. Memohon agar dia mengurungkan niatnya.

"Menikahiku? Sebagai apa, Hen? Madu? Atau, sekadar simpananmu?" Perempuan itu membalas tatapan Hendra. Tampak semakin tegar, tak terlihat lagi embun yang menyelimuti netranya. Sepertinya dia sudah siap untuk pergi meninggalkan pria itu.

"Please, May. Please. Aku serius. Aku pasti menikahimu!" tukas Hendra semakin gelisah. Merasa takut wanita itu akan benar-benar meninggalkannya.

Maya tersenyum tipis. Tampaknya dia meragukan janji Hendra. "Sudahlah. Lebih baik kamu kembali saja ke istrimu. Kita ndak bisa seperti ini terus. Bersikaplah lebih dewasa, Hen."

Sesaat hening. Hanya suara musik tak bersyair mengalun lirih dalam kafe. Maya menarik tangannya dari genggaman Hendra. Pelan.

"Kasihan istrimu. Dia lebih membutuhkan kamu, Hen. Aku, ndak pengin menjadi duri dalam rumah tanggamu. Biarkan aku pergi, membuka lembaran baru tanpa bayang-bayang kamu." lanjut Maya.

Hendra merasakan ruang kafe serasa menyempit, menghimpit tubuhnya. Hingga membuat dada lelaki itu menyesak, tersumbat oleh kalimat yang baru saja keluar dari mulut Maya.

Maya kembali mensesap Coffee Lattenya hingga tandas. Kemudian, dia berdiri dan mendekati Hendra. Lalu, menepuk bahu lelaki itu.

"Setelah ini, tolong jangan pernah lagi mencariku. Kasihan istrimu." Maya melangkah melewati Hendra, meninggalkan lelaki yang dulu pernah mengisi hatinya. Walau sebenarnya hati wanita itu hancur, tapi dia harus bisa menerima kenyataan. Bahwa, ia tak diharapkan oleh orang tua lelaki yang selama ini ia cintai. Bila itu dipaksakan, dia tak ingin akan terjadi konflik dalam rumah tangganya kelak. Apalagi mengingat strata mereka sangat jauh berbeda. Tentu istilah kuno itu masih melekat pada jiwa mereka. Bibit, bebet dan bobot, menjadi sebuah alasan mereka untuk menyekat sebuah keberadaban.

Maya melangkah keluar kafe dengan membawa sejuta sembilu yang telah mengoyak hatinya. Berkali-kali dia mengusap mata yang mulai tak bisa membendung airnya. Meluap membasihi pipi wanita itu. Dia tak peduli dengan mata pengunjung kafe yang memergokinya menangis. Ia terus melewatinya hingga halaman kafe.

Hendra masih terpaku di kursi. Mencoba mencerna kata demi kata yang terucap dari bibir Maya. Dia tak menyangka wanita itu akan mengambil keputusan seperti ini. Padahal, dia mendirikan studio ‘Kenangan Manis’ ini bersamanya. Semua konsep dibuat oleh Maya. Sehingga rasanya tak mungkin wanita itu akan meninggalkan dia begitu saja. Hendra tak habis pikir hal ini akan terjadi.

Kedua tangan lelaki itu memegang kepala, kemudian meremas rambut dengan kasar. "Aaahhh!" teriak Hendra. Membuat semua pengunjung kafe menoleh dan menatapnya aneh.

Hendra merasa tak enak. Tanpa basa basi. dia pun beranjak lalu melangkah keluar dengan membawa rasa yang tak menentu. Setengah berlari menyusul Maya yang tengah masuk ke dalam mobilnya. Tapi sayang, ketika Hendra sampai di halaman, Maya sudah memacu mobilnya meninggalkan kafe.

Melihat Maya sudah pergi, Hendra pun bergegas menuju mobilnya. Berniat akan mengejar wanita itu.

Bersambung ….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status