Kubiarkan saja ponselku terus berbunyi. Pesan beruntun terus masuk, tetapi kubiarkan saja. Ibu mertua pasti sudah memantau di sana. Huh, dia pikir aku ini apa sehingga harus dalam pemantauan seperti ini?"Ta, tadi kamu bilang habis memecahkan piring? Sudah dibereskan belum?" Aku tidak menjawab pertanyaan Arka hingga membuat suamiku itu berteriak." Sitha! Piring yang pecah itu sudah kamu bereskan belum? Nanti ibu marah, lho." Benar juga, jangan sampai ibu mertuaku yang selalu memakai banyak perhiasan untuk menunjukkan kekayaannya itu marah dan punya pikiran untuk mengembalikanku pada orang tuaku. Aku tidak mau tinggal di rumah jelek itu lagi setelah bisa merasakan tidur di rumah semewah ini. Kupunguti pecahan piring dengan hati-hati, tetapi siapa sangka beling itu ternyata sangat tajam sehingga melukai tangan mulusku ini." Auw." Aku meringis saat merasakan perih di tanganku dan melihat darah segar mengalir dari jari telunjuk. "Arka! Ar! Aduh, sakit!" Sengaja kuteriak sekencang-kenc
"Endah kamu cantik sekali? Endah, kamu harus tahu kalau aku menyesal telah menikahi kakakmu yang ternyata tidak bisa apa-apa, masak nggak bisa, nyapu aja masih sering diomelin ibu karena nggak bersih. Dia itu beda banget denganmu yang bisa segalanya, Ndah." Arka menggenggam erat tangan Endah yang sudah duduk di pelaminan bersanding dengan lelaki tampan. Bayangan itu terus menghantuiku jika aku dan Arka nekat datang ke pesta pernikahan Endah yang menurut surat undangan akan diselenggarakan di hotel berbintang. Aku tidak mau itu terjadi. Arka membanding-bandingkan diriku dengan Endah di depan semua orang. "Eh, tunggu, pesta pernikahan ini kapan, Ta? Tadi aku belum sempat membaca tanggalnya karena fokus dengan Endah yang cantiknya kebangetan. Dulu, nggak bisa dandan aja sudah membuatku jatuh cinta," tanya Arka. "Sudah kubilang kalau aku yang paling cantik di dunia ini, titik." Dadaku panas mendengar ucapan Arka. Arka tidak menyahut. Ia kembali memunguti surat undangan yang telah menj
Wajah bapak dan ibu kembali terbayang. Tak terasa mataku menghangat dan tidak lama kemudian bulir bening membasahi pipi. Sedang apa mereka? Apakah keduanya ingat denganku saat ini? Entah kenapa aku merasakan begitu merindukan orang yang sangat berjasa dalam hidupku ini. Rasa rindu yang membuncah dalam dada membuatku ingin ke sana sekarang juga. Namun, ucapan bapak yang melarangku agar tidak datang jika tidak membawa uang kembali terngiang di telinga. Bagaimana kalau kedatanganku nanti malah membuat bapak marah? Sudah pasti aku tidak akan membawa apa-apa dari sini kalau tidak mau cari mati. Aku tahu bapak tidak pernah main-main dengan ucapannya. Aku baru sadar kalau punya suami tampan dan kaya saja tidak cukup. Buat apa punya suami kaya kalau tidak pengertian. Aku merasa dinikahi hanya diminta untuk bekerja dan dikasih makan, masih mendingan babu sekalian yang dapat gaji setiap bulan. Aku tidak pernah pegang uang sepeserpun. Untuk keperluan makan sehari-hari ibu mertua yang mengurus
PoV EndahSetelah melalui banyak pertimbangan, akhirnya kami memutuskan untuk mengundang bapak dan ibu serta Kak Sitha dari kampung. Awalnya aku tidak mau mengundang mereka karena khawatir jika mereka datang hanya akan mengacaukan acaranya nanti, tetapi Mas Wiji berusaha meyakinkanku kalau semua akan baik-baik saja. "Mereka itu orang tuamu, Ndah. Biarkan mereka ikut merasakan kebahagiaanmu juga," ucap papa mertua saat kami tengah berkumpul di ruang keluarga. "Benar, Papa tidak keberatan jika orang tua saya hadir di pesta pernikahan kami nanti?" Aku menggenggam erat tangan Mas Wiji yang duduk di sampingku. "Endah, buat apa kami keberatan? Mereka itu orang tuamu dan itu artinya mereka adalah besan kami," sahut mama mertua. Wanita yang selalu tampil cantik itu tersenyum manis yang menyejukkan hati. "Iya, tetapi orang tuaku miskin. Apakah tidak malu di hadapan para tamu nanti? Apalagi katanya nanti papa akan membuat acara semeriah mungkin dan mengundang rekan bisnis papa yang sudah
"Kamu kenapa, Ndah? Mukanya pucat? Sakit?" tanya Mas Wiji. Saat ini kami baru saja selesai melaksanakan salat Isya dan seperti biasa ia menjadi imamku dengan suaranya yang menyejukkan hati. Aku tersenyum dan menggeleng. Ini hanya kecapekan karena beberapa hari ini kami harus datang ke pengadilan agama untuk isbat nikah guna mendapatkan buku nikah yang ternyata cukup rumit dan tidak selesai dalam sehari. Untuk urusan persiapan resepsi, kami sudah tidak perlu ambil pusing karena sudah ada yang mengurusnya dan kami tinggal terima jadi. "Kening kamu panas sekali." Raut wajah lelaki pemilik mata teduh itu mendadak panik setelah menyentuh keningku dengan telapak tangan. Kutahan tangannya yang hendak membuka mukena yang kupakai, "Aku bisa sendiri, Mas." Kubuka mukena dan melipatnya, "Aku nggak apa-apa, Mas." "Nggak apa-apa gimana, sih? Sudah jelas kalau pucat gitu, kok. Ya udah, kamu istirahat saja. Ayo." Tanpa menunggu persetujuanku, ia mengangkat tubuhku dan membaringkannya di tempat
Akhirnya hari bahagia itu tiba. Aku dan Mas Wiji sudah bersiap ke lokasi di mana resepsi itu akan digelar. Acara ini kami sebut dengan tasyakuran pernikahan setelah kemarin Mas Wiji mengundang teman-temannya secara bergantian. Ya, ia benar-benar menepati janjinya menghadirkan semua temannya dari kecil hingga dewasa yang jumlahnya tentu sangat banyak. Sekarang adalah puncak dari semua acara yang sudah kami lewat kemarin. Aku tersenyum saat melihat bayangan wajah ini di cermin usai dirias. Kuraba wajahku yang hampir tidak kukenali. Make up pada sesi pertama ini terlihat cukup simple. Didominasi dengan warna orange menambah kesan fresh pada wajahku yang sebelumnya tidak pernah tersentuh bedak selain tepung terigu. Tasyakuran pernikahan kami digelar dari pagi hingga sore hari nanti dan terbagi menjadi dua tema, yaitu tasyakuran pernikahan modern di pagi hari dan tasyakuran pernikahan penutup dengan adat Jawa di sore hari. Aku dan Mas Wiji datang ke lokasi pernikahan dengan menaiki mob
Acara adat Jawa yang digelar pada sore hari ini sungguh melelahkan. Aku yang sudah dirias bak putri keraton dengan sanggul palsu di kepala plus sindik mentul yang cukup berat harus mengikuti serangkaian prosesi adat yang cukup panjang mulai dari sungkeman hingga dulangan yang sungguh menguras tenaga. Namun, aku tetap merasa bahagia meski rasa lelah yang mendera. Saat acara sungkeman, ibu dan bapak hanya diam saja. Sepertinya rasa syok belum juga hilang dari pikirannya. Saat aku meminta do'a restu, beliau hanya berkata, "Semoga kamu bahagia, Ndah." Sedangkan ibu juga tidak mengeluarkan sepatah kata pun meski akhirnya ia menangis hingga tersedu-sedu. Saat acara foto bersama pun, bapak tidak tersenyum sama sekali, beliau malah menunjukkan muka masam dan menghindar saat tanganku ingin menggandengnya. Ada apa ini? Kenapa beliau sepertinya tidak bahagia melihat aku menikah? Syukurkah Kak Sitha tidak muncul lagi. Entah di mana dia sekarang? Apa mungkin ia masih saja makan hingga sekarang.
"Acara ini sudah selesai, kan? Kenapa kita tidak pulang saja agar bisa beristirahat," ucap bapak sambil menarik tanganku."Bapak mau pulang ke mana?" tanyaku sambil melepaskan pegangan tangannya. Lelaki yang seharusnya menjadi pelindungku itu tampak mendengkus kesal. Berulang kali ia menghela napas kasar dan cemberut."Ibu tadi sudah minta izin untuk tinggal di rumah suamimu, kan? Apa kamu lupa dengan apa yang ibumu katakan?" tanya bapak dengan nada tinggi. "Aku belum meminta izin pada suamiku, apakah ia mengizinkan atau tidak," Aku melirik Mas Wiji, tidak enak rasanya, kami baru saja melangsungkan acara syukuran pernikahan, tetapi sudah ribut seperti ini. "Ya, udah sekarang ayo bilang sama suamimu kalau kami ingin ikut tinggal dengan kalian. Ingat, ya, Ndah, tanpa kami kamu tidak akan bisa seperti ini." Bapak mencengkeram bahuku dengan kasar. "Begini, Ndah. Kita lupakan saja semua yang telah lalu dan kita mulai semuanya dari awal. Aku ini orang tuamu yang sudah merawatmu sejak ke