Perut Naya yang rata tampak berisi. Usia kandungannya sudah menginjak enam bulan. Selama ini aku kerap memperhatikannya. Meski tidak bebas menyentuh. Dia tidak menolak susu pemberian dariku saja sudah cukup rasanya. Kami masih tidur masing-masing. Namun, diam-diam aku sering menyelinap dalam kamarnya. Mengelus sebentar perut gendut Naya saat dia sudah terlelap. Kemudian aku akan tidur di karpet bawah. Sebelum subuh sudah bangun untuk pindah ke kamar sendiri. Hingga Naya tidak mengetahuinya. Ketika ada Mama dan Mela berkunjung. Aku senang bukan main. Aku bisa mencari-cari kesempatan untuk bisa berdekatan dengan Naya. Tentu saja sambil berlama-lama menyentuh perutnya. Seperti hari weekend sekarang mereka datang berkunjung lagi. Membawa aneka buah segar dan dihidangkan di hadapan Naya. Istriku menatap tersenyum pada buah-buahan itu. Di depan mereka dia tak akan menunjukkan wajah datar atau cuek, aku hafal itu. "Makasi ya, Ma. Sudah datang ke sini dan membawakan Nay buah." "Sama-sama
"Apa nomor privat itu masih meneror menghubungimu?" "Tidak." "Syukurlah." Aku bernapas lega sambil menikmati udara sejuk sekitar. Kemudian membenarkan dasi di kerah. Memandang perempuan yang kebetulan sedang berada di luar bersamaku. "Aku berangkat dulu." Naya melihat pada tanganku yang terulur. Ingin dia meraihnya dan mengecup. Ritual seperti ini jarang terjadi. Ingin membiasakan. "Doakan aku, agar selamat di jalan, dimudahkan pekerjaan, sampai pulang kembali." Bibirnya tidak mengucap apapun, tapi aku senang dia akhirnya mau menerima uluran tanganku meski enggan. Aku membalas mengecup keningnya lalu sedikit membungkuk mengusap anak kami yang masih dalam kandungan. "Papa berangkat dulu, ya, sayang." Kutinggalkan dia setelah mengucapkan salam yang dijawabnya pelan. Memasuki mobil mengemudikannya ke luar halaman. Tidak ada kata maaf atas tindakan perempuan itu sudah membuatku sakit tempo hari. Dia tidak pernah membahas dan melupakan begitu saja. Baginya semua itu salahku sendiri
Firman menyingkirkan tanganku dengan sekali hentakan kencang, kemudian berdiri. Aku ikut bangkit mensejajari tinggi tubuhnya. Dada ini bergemuruh naik-turun masih tak terima. "Tadi Naya pusing. Tubuhnya hampir limbung. Gue bantu dia duduk di sofa." Satu pukulan aku lemparkan lagi di wajahnya tanpa sempat dia mengelak. "Udah tau istri gue hamil besar dan rentan, lo mau nambah-nambah beban? Gak ada alasan yang lebih brillian lagi atas kedatangan lo ke sini? Lo cuma pengen ganggu Naya, ngaku aja!" Firman menghindar tatapanku. Dia melirik Naya yang duduk miring bersandar. Aku juga. Perempuan itu memejam seperti meredam pening. Dia memang ada anemia dalam masa kehamilannya. Harusnya aku tak boleh membiarkannya berkutat dengan mesin meski itu kesenangan untuknya. Dia harus bedres. Kembali kualihkan tatapan pada Firman. "Sentuhan lo berlebihan. Lo sengaja meluk." "Gak.""Lo pikir mata gue rabun? Jelas gue lihat.""Gue minta maaf."Aku memandangnya aneh. Merasa ada yang tidak beres deng
Syukurlah Evelyn tidak mengetahui. Tidak ingin dia menyapa, hawatir mengganggu Naya. Siapa yang sakit dan butuh tes lab? "Kenapa?" Naya di sebelah bertanya. Apa aku kelihatan sedang memikirkan sesuatu? "Gak apa-apa kok," jawabku tersenyum, berusaha menepis sedikit rasa penasaran di benak. Evelyn sudah bukan urusanmu, Sen."Jangan melamun kalo nyetir." "Iya, aku akan hati-hati. Aku gak mau orang-orang kesayanganku kenapa-kenapa." Perutnya kusentuh. Ada kehidupan lain bersamanya. Merekalah orang terkasihku. "Liat jalan di depan, fokus." Dia mengingatkan tegas sambil menyingkirkan tanganku."Iya, sayang." Aku beralih menjawil pipinya gemas."Sendy!" Melihatku tertawa kecil. Dia balas mencubit lengan atasku."Aww!" "Rasakan." Pelan dan penuh penekanan kalimatnya.Aku mengusap-usap bekas cubitannya. Wajah judes itu tak lantas membuatku berang. Aku merasa dia tidak benar-benar serius menyiksaku. Hanya becanda. "Kayak anak kecil deh meringis-ringis segala," cibirnya. "Gak benar-benar
"Bagaimana tidurnya semalam. Nyenyak?" Mama bertanya saat aku dan Naya menghampirinya di tempat makan. Mama sedang mempersiapkan buat sarapan pagi dibantu Simbok.Nyenyak bagaimana? Semalam aku malah tidak bisa tidur. Why? Seharusnya pasangan suami istri yang sudah berbuat mesra itu tidur pulas bukan? Kata siapa? Itu tidak jadi! "Kok wajah kamu bete gitu sih pagi-pagi, Sen?" Mama heran. Naya melirikku tapi aku mengacuhkannya. Bagaimana tidak bete, sudah merasa diubun-ubun tapi tidak jadi diluapkan. Naya menghindar menyadari tanganku bergerak liar dan hendak membuka kancing bajunya. Dia hanya membiarkanku mencumbu bibirnya saja. Setelah itu menjauhkan diri dengan alasan belum solat isya. Dia mengajakku berjama'ah. Aku yang kidung kecewa menolak dan meninggalkannya. Menghabiskan beberapa batang rokok di balkon sambil mendengarkan musik di handsfree. Hasrat meluap berganti kenangan masa kecil sampai besar di rumah ini. Berjam-jam seperti itu. Ketika ke kamar kembali sudah lewat tenga
"Kamu mau melahirkan, Nay?""HPL-ku masih sepuluh hari lagi." "Ini air ketuban. Kamu mau melahirkan." "Aku tidak tau ...." "Pasti gara-gara kamu terlonjak duduk tadi mempercepat kontraksi." Gara-gara dua kecoa yang diselundupkan ke baju bayi. Kurang ajar kerjaan orang jahil. "Kita ke rumah sakit sekarang." Aku berteriak memanggil Mbok Rum yang sigap datang. Dia khawatir dan sama mengira Naya akan melahirkan."Ikut dengan saya, Mbok." "Baik, Tuan." Mbok Rum bergegas membuka pintu mempersilakan kami lewat. "Mau aku gendong?" Naya berjalan lambat sekali sambil menahan sakit. "Gak usah, berat. Aku masih bisa jalan.""Aku sanggup gendong kamu.""Enggaa." Aku terus memapahnya merangkul. Simbok membantu membuka pintu mobil. Aku mendudukkan Naya dan memasangkan sealt belt. Kemudian berlari kecil memutar di depan untuk masuk duduk di kursi kemudi. Terakhir Simbok di belakang. Kami menuju RS terdekat dengan diiringi kecemasan Mang Ujang di post security. Perawat dan dokter UGD sigap m
"Assalamualaikum." "Wa'alaikumsalam ... Kak Masdi, Kak Rita?" Naya sumringah melihat siapa yang datang. Ada kakak laki-lakinya beserta istri. Aku yang sedang menyentuh kepala anak kami yang dalam pangkuannya, lekas beranjak menyambut dan menyalami. Mempersilakan untuk mendekati Naya. Mereka sudah kuberi tahu sebelumnya. "Alhamdulillah, bayi sudah lahir selamat. Maafin Kakak baru ke sini." "Gak apa-apa. Nay, seneng Kak Masdi ke sini." "Kami cuma jenguk aja ke sini, gak bawa macam-macam." Ujar Rita. Padahal dia membawa tentengan makanan dalam plastik yang langsung ditaruhnya di meja. "Dijenguk sama uwaknya bayiku sudah cukup kok. Makasih banget." Kehadiran mereka membuat Naya semakin terhibur setelah melalui rasa sakit yang teramat. Aku sendiri tidak berharap banyak. "Iya, terpenting sudah keluar selamat dan sempurna." Rita semakin mendekat dan menyentuh baby boy-ku. "Lucu sekali. Ganteng." "Iya, dong. Kayak Papanya."Semuanya menoleh ke arahku. Dua iparku itu sama-sama tertawa k
Selama berjalan Evelyn terus menggandeng tanganku. Sudah kulepas begitu lagi. Hingga kami sampai di ruangan Naya berada, kulepas lagi dia dengan paksa di depan pintu sebelum masuk. "Aku tidak mau istriku melihat ini." Kutekankan ucapan itu padanya. Aku tidak main-main. "Pergi dari sini kalau kamu ngeyel." "Jangan usir aku dong, Sen. Kita sudah sampai sini. Aku juga mau kenal sama istrimu." "Menjauhlah. Jaga jarak denganku." "Oke." Evelyn mundur. Aku merebut tasku darinya kemudian membuka pintu. Ada pemandangan tak enak dilihat. Firman merangkul Nayaku. Membantunya duduk. "Lepasin istri gue." Tidak sudi dia menyentuhnya. "Gue cuma nolongin. Tadi, Naya hampir jatuh.""Kenapa bisa?" Kudorong dada Firman. Selalu seperti itu alasannya setiap kepergok. Naya memanggilku. Wajahnya tampak ketakutan. Pasti bedebah ini sudah macam-macam. Aku lekas menghampirinya. "Kamu gak apa-apa?" "Jangan tinggalin, aku ...." "Aku di sini." Bahunya kusentuh. Tas berisi baju sudah kuletakkan. Bayi k