"Aku minta maaf soal semalam."
Naya yang sedang membereskan seprai tempat tidur menoleh. Hanya sebentar dia kembali pada aktivitasnya itu. Aku menghela napas seperti biasanya saat ucapanku tidak ditimpali. Memilih melanjutkan mengancingkan seluruh kemeja. Jika tingkahku semalam menyakitinya hingga membuatnya meneteskan air mata, aku juga sama sakitnya menahan hal yang seharusnya aku dapatkan itu. "Kamu mau kan menemaniku sarapan?" Kuhampiri ia yang baru selesai merapikan bantal-bantal. Ada banyak harapan dalam diri ini darinya, salah satunya mengiyakan ajakanku. Namun, harapan itu harus pupus saat melihatnya diam saja. "Nay?" Aku berdiri dekat di hadapannya. Naya tidak bereaksi. "Naya, keluar kamu!" Mendengar suara keras itu, dia baru terusik. Aku juga. Naya bergegas ke luar kamar. Aku ikuti dia, melihatnya berlari-lari kecil menuruni anak tangga hingga di bawah. Berhenti di depan dua orang. "Jangan berbuat keributan di rumah majikan saya, Bu." Dari atas aku melihat bagaimana Mbok Rum memperingati dua tamu tak diundang itu."Diam kamu babu!" Itu Ibu Akbar. ART-ku langsung diam. Dia pamit mundur karena sudah ada Naya di sana. "Ada perlu apa, Bu?" Suara lembut Naya menyapanya. Aku mendengus di tempatku berdiri. Kepada orang galak itu Naya masih bersikap baik, sementara aku masih didiamkannya. "Mari silakan duduk dulu.""Tidak usah!" Ditolaknya tawaran baiknya itu. Kamu tak usah sehangat itu padanya, Naya."Enak ya kamu, Akbar mati langsung nikah lagi terus tinggal di rumah besar ini. Sudah melupakan anakku begitu saja. Senang kamu, iya?""Maaf, Bu. Katakan ada perlu apa?" Naya tidak menanggapi ucapannya, ingin tahu segera tujuan lain kedatangannya ke sini. "Kami ke sini mau nagih utang sama kamu." Adelia tanpa basa-basi bicara seperti itu. "Hutang?" "Ya!""Hutang bekas apa, Bu? Setahuku baik Mas Akbar maupun aku sendiri tidak meminjam uang pada Ibu. Pernah pinjam tapi sudah dilunasi karena Ibu meminta segera diganti." Naya bertanya keheranan. Ucapan panjang mampu ia lontarkan tidak seperti kepadaku yang irit-irit. "Memang. Tapi hutang sama teman arisanku. Dulu kalian meminjam utang lima juta dan belum diganti."Naya terdiam tampak mengingat-ingat. Apa itu benar Naya? Aku yang menyimak menyangsikan. "Jangan pura-pura lupa Naya. Orangnya terus menanyaiku. Aku tidak mau terus-terusan ditagih. Dari itu aku ke sini meminta langsung. Aku sudah tak tahan ditanyai terus." "Iya, tuh, bayar utangnya. Jangan buat Ibuku malu." "Mohon maaf, Bu. Bisa tidak nanti saja Naya gantinya. Naya akan kunjungi rumah teman Ibu membawa uang itu.""Pokoknya harus hari ini juga. Aku akan bertemu lagi dengan orang itu siang ini di acara arisan di rumahku." "Naya gak pegang uang sebanyak itu.""Jangan buat alasan. Minta saja sama suamimu yang kaya itu." "Perempuan mandul cepat berikan uangnya." Naya tidak menjawab. Aku berbalik dan berjalan cepat masuk kamar. Mengambil sejumlah uang di laci lemari. Kuturuni tangga dengan langkah cepat. Sampai di bawah aku lemparkan uang itu pada Adelia. "Ambillah. Itu untuk membayar hutang Naya, sudah saya lebihkan. Kalian pergi sekarang. Pagi-pagi sudah membuat keributan di rumah orang.""Kurang ajar kamu melempar anakku dengan uang." Ibunya tidak terima wajah anak gadisnya aku lempar uang."Itu untuk membungkam ucapannya yang tidak bisa dijaga. Apa anda mau saya lempar uang juga?""Sombong kamu!" "Harusnya kalian berterimakasih. Urusan Naya sudah selesai. Saya harap kalian jangan ke sini lagi."Ibu itu mendengus keras. "Adelia, ayo kita pergi dari sini.""Ya, Bu." Keduanya pergi begitu saja keluar. Sangat tidak punya adab. Sebegitu tidak sukanya terhadap Naya hingga tidak bisa berkata baik meski sedikit saja. Beruntung aku masih ada di rumah dan bisa menyelesaikan masalah. Jika sudah pergi dan mereka di sini entah seburuk apa tindakkan keduanya terhadap istriku itu.Aku mendekati Naya yang mematung. Apa dia sakit hati? "Kita harus cepat-cepat punya anak Nay, jika kamu tidak mau terus dikatai seperti itu.""Memangnya kamu yakin aku tidak mandul?" Naya melirikku. "Sangat yakin.""Bagaimana jika benar aku mandul?""Dari itu kita buktikan. Kamu jangan terus membatasi diri dari aku."Naya melengos saat aku tatap lekat-lekat. "Aku belum siap." "Kamu membiarkan tuduhan itu.""Maaf aku sudah merepotkanmu pagi-pagi dengan uang yang tidak sedikit." Naya mengalihkan pembicaraan. "Tidak masalah. Urusanmu urusanku juga.""Terimakasih.""Sama-sama." "Sebaiknya kamu segera sarapan nanti terlambat ke kantor." Senangnya dia memperhatikanku meski itu cuma pengalihan. Karenanya aku jadi tersenyum. "Temani, ya." Naya mengangguk kemudian melangkah duluan. Aku mengikutinya. Padahal saat di kamar ia enggan sekedar menjawab.***Nesya lekas menghampiri begitu aku ke luar dari ruangan. Aku menepis tangannya yang menyentuh lengan. "Apaan Nes." "Kita makan siang bareng ya." "Jangan dekat-dekat seperti ini." Aku sedikit menjauh."Kenapa? Orang-orang kantor juga pada tau kok kita sedekat apa." "Kita hanya teman, dan aku sudah punya istri. Aku harap kamu mau jaga jarak." Nesya cemberut. Aku membiarkannya dan terus melangkah sendiri. Dulu pernah tertarik, sekarang aku tidak menyukai perempuan itu lagi. Cantik doang, tapi minus ahlak. Berulang kali aku dikecewakan perempuan-perempuan seperti dia. "Sendy, tunggu!" Dia mengejar. Aku tidak menyahut. Aku melihat Firman kemudian memanggilnya. "Mau makan siang kan lo?""Yes.""Bareng. Biar gue traktir.""Serius?""Kapan gue bohong?" Firman tertawa senang. "Oke, oke." "Aku gimana? Aku juga pengen ikut makan bareng." Aku dan Firman menoleh pada suara manja di belakang. "Boleh dong." Bukan aku yang menjawab. Nesya tersenyum. Kami pergi bertiga untuk menikmati makan siang. Beruntung ada Firman, bisa mengajaknya pergi bareng. Mengeluarkan sedikit uang tidak apa-apa ketimbang aku harus berdua dengan Nesya. "Sering-sering aja traktir gini ke gue, biar usaha lo makin berkah." Firman berbicara disela-sela mengunyah. Aku hanya tersenyum sumir menanggapinya."Ini aku juga ditraktir kan?" tanya Nesya, kemudian menyuapkan nasi ke mulut.Aku mengangguk saja. Lagi-lagi perempuan itu tersenyum senang. "Terimakasih." Firman berdehem melihat Nesya menyentuh punggung tanganku mengusap sekilas. Aku lekas menjauhkan tangan ini menatapnya tidak suka. Perempuan itu tak peduli. Kalau semakin menjadi-jadi, aku akan mutasi dia ke tempat lain. Kami melanjutkan makan dalam diam. Gawaiku tiba-tiba berdering memecah keheningan. Panggilan telepon dari rumah aku lekas mengangkatnya. "Hallo, Tuan." Suara Mbok Rum terdengar menyapa. "Maaf mengganggu." "Ya, Mbok. Kenapa?""Anu, Non Naya pingsan." "Apa?" Alangkah terkejutnya aku mendengar itu."Pingsan, Tuan ...." Mengapa bisa? Saat kutinggal dia baik-baik saja. "Saya akan pulang sekarang." Sambungan terputus. Aku menandaskan minum dan lekas berdiri. "Gue pulang dulu sebentar" "Ada apa sampe panik gitu?" Aku tidak menjawab Firman. Mengeluarkan dua lembar uang merah dari saku meletakkan di meja. "Ini buat bayar makanan, ambil saja kembaliannya." Tidak kuhiarukan Nesya yang kesal karena kutinggal. Biar dia bersama Firman saja.Mobil kukendarai dengan laju cepat. Tidak lama membawaku sampai di rumah. Jarak kantor juga tidak jauh.Mbok Rum tengah berdiri menunggui Naya di kamar. Aku berjalan cepat ke sisi istriku itu melihatnya berbaring di tempat tidur. "Naya?" Kuusap pipinya. Bibirnya pucat. "Kenapa bisa seperti ini Mbok?" "Maaf Tuan sepertinya non kelelahan.""Memangnya apa yang sudah dia lakukan?""Anu, dari pagi non terus beraktivitas. Mengepel, mencuci, menyetrika, membersihkan debu, menyapu halamanan, mencabuti rumput liar, memangkas tanaman, dan--""Kenapa dibiarkan? Kerjamu apa, hah?!" Aku marah mengetahui Naya kerja sebanyak itu. "Ampun Tuan, saya sudah melarang tapi non tetap keras kepala. Katanya bosan diam saja. Ucapan Mang Ujang dan Mang Yani juga tidak didengarkan. Kami semua diancam akan dipecat jika terus melarangnya." Ujang adalah pekerjaku yang mengurusi bagian luar rumah, sedangkan Yani security. Mbok Rum tampak menyesal. "Sekali lagi maafkan atas kelalaian saya Tuan, harusnya saya menghubungi Tuan lebih dulu ...."Aku terdiam mendengar penjelasan itu. Kulirik Naya yang kelelahan. "Panggil dokter, cepat!""Baik, Tuan." Mbok Rum lekas ke luar kamar untuk menghubungi dokter."Aku tidak apa-apa." Dari luar pintu mataku langsung tertuju pada Naya kembali. Dia sudah siuman. Aku sumringah melihatnya sudah membuka mata. "Gak usah panggil dokter.""Kamu harus ditensi takut anemia, juga harus minum vitamin." Tangannya kugenggam. Mungkin karena lelah Naya tidak melakukan penolakan. "Kenapa kamu lakukan itu?" "Bentuk terimakasihku pagi tadi kamu sudah menolongku." "Tapi, tidak harus seperti itu ... Tidak harus." Kukatakan setengah berbisik dekat dengan wajahnya. "Aku sudah terbiasa capek." "Di sini kamu tidak boleh capek-capek lagi ... Tidak boleh." Naya meneteskan air mata, aku menyekanya. "Aku belum bisa membalas semua kebaikanmu sesuai yang kamu mau." "Aku akan sabar menunggumu.""Tutup matanya." "Apa si?"Tidak menjawab, aku melingkarkan pita menutupi indra penglihatan Naya. "Diem aja dulu. Aku mau nunjukin kamu sesuatu." Kuperintahkan Mbok Rum membuka pintu ruangan di depan kami dengan isyarat mata. Wanita itu menurut membukakan pintu seraya tersenyum. Perlahan aku membawa Naya masuk merengkuh pelan bahunya. "Puas kamu tadi jalan-jalannya sama Mbok Rum?" Untuk menghilangkan ketegangan di hatinya aku mengajak bicara. Sengaja Naya terlebih dulu di bawa oleh Mbok Rum sementara aku menyiapkan sesuatu di rumah sesuai rencana. "Iya, sangat menghibur kegiatan di luar tadi." Kini Naya sudah ada tidak jauh dari surprise yang akan di dapatkannya. Semoga dia senang aku memberikan semua ini. Aku pun membuka ikatan pita merah di kepalanya. "Sekarang buka mata kamu." Kulihat Naya membuka perlahan kedua matanya. Dia termangu melihat apa yang terpampang di sekitarnya. "Biar gak kesal diam di rumah. Semoga kamu suka." Yang kuberikan adalah satu set mesin jahit dan mesi
Kulirik jam di tangan kemudian melihat dua orang perempuan di depan sana. Naya yang sedang memilih barang dan Mbok Rum yang mendorong trolly di belakangnya. Sudah satu jam lebih kami berkeliling di pusat berbelanjaan ini. Aku hanya mengikuti sambil melihat-lihat barang-barang di etalase. Istriku itu tampak akrab dengan pembantu di rumah kami. Seperti anak dan Ibu saja. Bersamanya Naya bisa ceria. Mungkin karena sesama perempuan dan mereka bisa berbagi satu sama lainnya. Jika bersamaku belum bisa sreg, tidak apa dia begitu dulu bersama simboknya.Aku melihat alat pencukur di dekatku lalu mengambilnya. Membawa benda itu pada Naya. Memasukkan dalam trolly. "Aku butuh ini." "Mbok sudah selesai kita ke kasir." Perempuan itu mengajak Mbok Rum pergi ketimbang menimpaliku. Aku sudah terbiasa rasanya dan membiarkannya pergi. Naya masuk ke salah satu barisan kasir. Antrian tidak panjang hanya ada satu orang di depannya. "Itu Naya, Bu!" Terdengar seruan seseorang. Aku melihat ke sumber suara
Firman masuk ke ruangan dan duduk di hadapanku begitu saja. Tangannya dilipat di atas meja. Aku menatapnya sekilas."Mau apa lo? Sembarangan masuk gitu aja." "Jadi, lo beneran mutasi Nesya ke tempat lain?""Kenapa? Lo kangen ma dia?" Lelaki itu menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Biasa aja.""Terus masalahnya apa?" "Cuma nanya aja kenapa sampe harus dipindah segala. Gue liat Nesya fine-fine aja di sini." "Dia buat masalah sama gue." Firman menegapkan duduknya. "Masalah? Oo ... Gue ngerti." Dia seperti menyadari sesuatu. "Nesya selalu ganggu gue." "Sekarang, lo udah bener-bener berubah ya." Firman bergumam seraya mengusap dagunya. Aku tersenyum sumir. Meninggalkan berkas di meja kemudian berjalan melempar pandangan ke luar gedung. "Gue pengen rumah tangga gue yang sekarang awet dan tentram. Gue cukup belajar dari kesalahan masa lalu." Bercampur getir aku mengatakan itu mengingat Naya yang masih membenciku. Tapi, itulah harapan terbesarku. "Wow, bijak." Firman menghampiri berdiri
Tidak ada Naya di dekatku saat sarapan. Perempuan itu juga tidak ada di kamar. Aku pikir dia akan menghampiri dan duduk bersama menemani. Nyatanya aku hampir mau selesai dia tak kunjung menampakkan diri. "Naya di mana, Mbok?" Kutanyakan keberadaannya pada Mbok Rum yang lewat. "Apa ada di dapur? Tolong suruh ke sini.""Nggak ada, Tuan."Aku mengeryit. "Tapi, tadi simbok liat Non ke ruangan jahit." "Ruangan jahit?""Iya, pasti Non ada di sana." Aku meneguk minum dan langsung beranjak dari kursi. Benar, Naya ada di ruangan itu. Dia tengah menata baju di hanger. Juga membetulkan letak manequin berbusana muslim. Aku mendekatinya. Tempat ini sudah seperti mini butik. "Nay." Naya berbalik."Sudah sarapan?" Harusnya dia yang menanyakan itu, tapi aku mengalah. "Sudah," jawabnya singkat. "Kok gak ngajak aku, Nay?""Maaf." Dia menatapku sekilas dan tertuju pada bahan di mesin. Dia meraihnya memperhatikan bahan brokat itu. "Kamu mau menjahit? Sepagi ini?""Cuma siap-siap aja, biar agak s
Ruangan Firman aku buka begitu saja. Seorang perempuan yang duduk di mejanya langsung turun. Firman yang terhalangi kini terlihat. Dia membetulkan dasi dan ikut berdiri di sisi perempuan itu."Apa kalian kupekerjakan hanya untuk pacaran?" "Tidak, Boss." Firman menjawab. Aku meliriknya tak suka atas sikapnya yang sudah tertangkap basah tengah berduaan di jam kerja."Maafkan saya, Pak." Karyawan perempuan di sebelahnya takut-takut saat melihatku. Dia terus menunduk."Kembali bekerja ke ruanganmu sekarang." "Ya, Pak. Permisi." Dia buru-buru keluar.Aku mendekati Firman. Kesini-kesini aku dibuat kecewa dengan sikapnya. "Lo kok jadi bajingan gini sih?""Gue gak ngapa-ngapain, Sen. Tadi cuma ngobrol aja.""Lo udah bosen kerja sama gue?""Kerjaan gue baik-baik aja kok. Lo tenang aja." Firman duduk kembali. Tangannya menunjuk kursi di depannya. "Mari ngobrol sambil duduk."Aku pun duduk dengan bersedekap tangan. "Thank you sudah repot-repot datang kemari. Sepertinya ada sesuatu yang ingin d
"Menyingkir dariku!""Aku suamimu, aku berhak melakukannya." Kali ini aku tidak mau mengalah. Naya menggeleng dan berusaha memberontak. Aku mencekal kedua tangannya menekan kuat-kuat di sisi kepalanya. Tidak peduli dia yang memelototiku, tetap melanjutkan kegiatanku di atas tubuhnya. Setiap penolakkannya membuatku bertambah semangat dan semakin dilenakan rasa. Sudah sejak lama aku mendambakannya. Tak kan kulepaskan ia. Hingga tenaganya melemah. Aku tidak ingin menjauh meski dia menangis dan memohon-mohon. Ingin benihku cepat tumbuh di rahimnya. "Maafkan aku, Nay." Berusaha menciuminya meski ia terus berpaling. ***Tetesan deras air shower biasanya terasa dingin sekali saat pagi-pagi buta, kali ini tidak. Aku senang membasahi tubuhku di bawahnya. Menikmati sensasi segar. Kedua tangan menyugar pelan rambut. Tubuh terasa ringan, hatiku lapang, rasa yang bercokol dongkol di dalamnya hilang. Kemudian bibir melengkung senyum dengan sendirinya. Ingat semalam. Meski bukan malam pertama yang
Gawai di meja berdering, aku mengambilnya. Telepon dari rumah. Siapa? Naya? Tidak mungkin. Lantas segera aku menerima panggilan itu."Hallo Tuan, ini simbok." "Ada apa?" "Maaf mengganggu di jam kerja. Habisnya simbok bingung.""Kenapa, Mbok?" "Non Naya nangis, jerit-jeritan, simbok khawatir.""Hah?! Dimana dia sekarang?""Di ruangan pribadinya. Pintunya dikunci. Takut kenapa-kenapa, Pak." Setelah dikabari hal itu aku jadi panik. Kuputuskan pulang dulu melihatnya. Bagaimana kalau dia sampai kenapa-napa? Aku menyetir pun tidak tenang rasanya. Kenapa lagi Naya?Langkah kaki memasuki rumah dengan tergesa-gesa. Disambut Mbok Rum yang mengikuti di belakang. "Sekarang bagaimana?" "Sekarang sudah tidak berisik, Tuan. Tadi selain tangisan dan jeritan suara barang-barang dilempar pun terdengar."Aku semakin cepat melangkah dengan degup jantung yang kencang. Bagaimana kalau Naya melakukan hal yang ... Tidak. Aku menggeleng."Non terus sebut-sebut nama Akbar dan terus-terusan bilang maaf."
Satu bulan berlalu menjalani kehidupan masing-masing dengan Naya. Aku pikir dia akan sedikit berbaik hati, nyatanya rasanya semakin berjarak dan aku tidak dianggap suaminya sama sekali. Naya seperti orang asing yang menumpang hidup di rumahku. Dia asik sendiri dengan kegiatannya mengoleksi baju dan aku sibuk dengan pekerjaan. Kami sudah jarang makan bersama. Apa-apaan? Selera makanku malam ini mendadak hilang diterpa kesepian untuk kesekian kalinya. Aku tidak mau terus sendiri begini. Aku sudah memberikan keringanan tidur pisah kamar. Setidaknya Naya mau menemaniku makan. Bukan malah semakin anteng dalam kesendiriannya. Sisa makanan di piring aku tinggalkan setelah meneguk minum. Langkah kaki membawaku pada kamar Naya yang tertutup rapat. Aku mengetuknya. "Naya?" Tidak ada sahutan, aku mengetuk lagi lebih keras. Saat mencoba membuka ternyata dikunci."Naya, buka!" Kesal sekali rasanya. Mau menemui istri sendiri saja kesulitan. Apalagi mengharap pelayanannya. "Kalau tidak aku dobrak