Share

BAB 6

Suara bel rumah terdengar saat aku sedang di ruang makan bersama Naya. Kami sama-sama diam menerka siapa yang datang.

"Biar simbok yang bukain." ART-ku itu lekas pergi setelah beres menuangkan air mineral pada gelas.  

Naya menunda sendok pada piring kemudian meneguk minum. Kulihat makanannya sudah habis. Aku sendiri menikmati suapan terakhir. Kami sudah selesai. 

"Assalamualaikum!" 

Naya lekas berdiri mengetahui siapa yang datang dan menjawab salamnya. Ia menyalami Mamaku. 

"Apa kabar, Nay?" 

"Alhamdulillah, baik. Mama sendiri bagaimana?" Naya bertanya balik.

"Alhamdulillah baik sekali." Mama menjawabnya ramah. 

"Hallo, Kak." Mela—adikku—menyapa Kakak Iparnya. Mama datang bersamanya. 

"Hai, Mela." 

"Wah, lagi makan ganggu nih berarti." Mela berujar kembali.

"Sudah selesai, kok. Ayo, Ma, Mel." Naya membawa keduanya pergi ke ruangan lain. Betapa hangat perempuan itu pada keluargaku. Aku senang Naya bisa bersikap ramah dan sopan pada mereka meski kepadaku sendiri belum bisa sebaik itu. Meski itu sekedar sandiwaranya, aku tetap suka. 

"Ini lho, Nay. Mama ada sesuatu buat kamu." Mama memberikan paverbag berukuran sedang pada Naya. 

"Apa ini?" 

"Buka aja, Kak." Mela memberitahunya untuk melihat sendiri.

Naya menurut mengeluarkan isinya. Bibir istriku itu mengembang mendapat sebuah longdress dengan motif dan warna cerah. "Makasi, Ma."

"Sama-sama." Mama menjawab sumringah. Ia senang melihat ekspresi menantunya yang sangat menerima pemberiannya. 

"Kemaren kita abis belanja. Yaudah beliin buat Kak Nay sekalian." Mela menjelaskan. 

"Iya, Mel. Bagus bajunya." Istriku memuji dan memperhatikan gaun di pangkuannya itu. Dia pandai membuat orang lain tidak curiga dan terkesan natural. 

"Kalo mau banyak Kakak bisa minta beliin ke Kak Sendy. Iya, kan Ma?"

Mamaku mengangguk. 

"Tidak masalah." Aku yang diam saja menyimak dari kejauhan mendekat dan duduk di sisi Naya. "Untuk istriku apapun akan kuberikan." 

"Jangan ngomong doang lho, ya." Mela memperingatkanku. 

"Selama aku mampu aku akan mencukupi dengan baik semua kebutuhan Naya." Itu bukan sekedar ikrar, aku serius. 

"Percaya ...." Mama berkata seraya tersenyum. Dia tidak mempedulikan status Naya yang bukan gadis, toh aku juga bukan perjaka. Mama menyukai Naya dan sangat merestui hubungan kami. Sayangnya menantunya itu belum bisa menerimaku tanpa beliau tahu. 

Penampilan Naya dan Mama sama. Sama-sama berpakaian tertutup dan berhijab. Termasuk Mela adikku. 

Naya sedikit tersentak saat tanganku menyelinap ke belakang tubuhnya merangkul pundaknya. Meski begitu dia tetap diam. Di hadapan Mama dia tidak berani menolakku. Dalam hati bersyukur atas kedatangan Mama. Aku bisa lama-lama bersentuhan merasakan hangat tubuh Naya. 

"Semoga cepet dapat momongan. Naya jangan pake KB dulu ya." 

Naya menanggapi ucapan Mama dengan mengangguk kaku. 

"Mama pengen cepet gendong cucu." 

"Aku juga pengen gendong ponakan. Udah lama gak ada bayi di keluarga kita." 

Aku tersenyum mendengar celotehan Mama dan Mela. Tanganku yang satunya tergerak mengelusi perut rata Naya. Meski tidak berkenan, sekali lagi dia tidak bisa menghindar. 

"Doakan saja, mudah-mudahan dedek bayi cepet tumbuh di sini." Bukankah kata-kata bagian dari doa? Semoga yang aku katakan cepat terwujud, meski saat ini masih mustahil.

"Aamiin yaa Allah ...." Naya yang menunduk diam mencoba tersenyum menanggapi Mama. Setelahnya melirikku. Aku menaikkan sebelah alis dan tersenyum penuh kemenangan melihatnya yang tak berdaya menghindar. 

Belum puas aku meraih telapak tangan Naya menggenggamnya. Juga mengecup punggung tangan itu. "Kami selalu berusaha kok." Berbohong sekali demi kebaikan tak apa-apa kan? 

"Duh ... Romantisnya." Mela berucap seraya tersenyum, Mama juga. 

"Semoga keluarga kalian sakinah selamanya ya." 

"Iya, Ma." 

***

Kepergian Mama menyisakan aku yang melamun sendiri. Terngiang lagi ucapannya. "Mama pengen cepet gendong cucu." 

Aku tersenyum miris. Entah kapan Naya bersedia aku berikan nafkah batin? Tidak ada yang tahu kami belum membaur. Apa semua perempuan yang ditinggal mati suaminya seperti itu, sulit muve-on? 

Hhh. Aku mendesah dan menegapkan duduk. Meneguk minuman oranye sampai habis. Kutinggalkan gelas itu di meja setelahnya. 

Terdengar jeritan Naya saat aku masuk dalam kamar. "Kalau mau masuk kamar ketuk pintu dulu dong," ucapnya protes seraya membetulkan handuk yang melilit di tubuhnya. 

"Loh, kenapa? Ini kamarku. Biasanya juga gak apa-apa." Aku abaikan raut gelisahnya dan perlahan mendekat.

"Aku baru habis mandi dan belum pake baju." Naya mundur seraya menutup-nutupi bawah lehernya. 

"Gak usah ditutupi, gak dosa kok dilihat suami sendiri." Baru kali ini aku melihatnya seterbuka ini. Tubuhnya bagus. Dia membuatku terpana saat baru membuka pintu tadi.

"Keluar dulu gih."

"Gak mau." 

"Sebentar aja." 

"Aku pengen tetap di sini. Ngeliatin kamu." 

Naya berdecak. Dia berbalik berjalan tergesa menuju lemari. Mengambil baju dan dengan cepat memakai long dress itu. Tubuhnya tertutup sekarang. 

"Kenapa, takut?" 

Naya tidak menjawab. Memilih menyisiri rambutnya, di ikat, setelahnya membungkusnya dengan hijab. Semua dilakukan dengan gerakan gesit seakan tak rela aku terlalu lama melihat tubuhnya. Naya lalu meninggalkanku begitu saja.

Ketika malam menjelang larut. Aku masih belum bisa tidur. Dibenakku terbayang selalu Naya yang belum memakai baju. Rasanya sore tadi ingin aku berhambur memeluknya lalu meninggalkan banyak jejak di tubuhnya. Hingga saat ini keinginan itu masih kuat dan membuatku nelangsa sendiri. 

Berkali-kali aku embuskan napas dan mencoba menetralkan degup yang kencang. Tidak kunjung reda aku bangkit duduk melihat Naya yang sudah lelap. Tanganku terulur menyentuh pipinya menyingkirkan anak-anak rambut. Arah mataku lalu tertuju pada bibirnya yang mengatup. Perlahan wajah ini dicondongkan ke dekatnya. 

Naya mendadak membuka mata. Dia mendorongku, menghindar beringsut duduk. 

"Aku merindukanmu, Naya."

"Jangan menyentuhku!" 

"Kamu istriku. Aku berhak atas tubuhmu." 

"Aku tidak mau ...." Naya terlihat ketakutan dan cemas.

Aku menunduk, meresapi gejolak dalam diri yang terus mendesak. Haruskah aku memaksanya? Kuhembuskan napas kuat-kuat untuk lebih tenang. 

"Mas Akbar ...." Tetapi mendengar nama itu disebut, aku kembali meradang. Wajah kuangkat seketika. Menarik tubuh Naya sekaligus ke dekatku. Tak segan aku mencium bibirnya. Kedua tangannya yang memberontak kucekal kuat-kuat. 

Naya tidak lagi melakukan perlawanan. Aku membuka mata, mendapati pipinya yang basah. Seketika, aku melepaskannya. Aku beringsut ke tepi ranjang menurunkan sepasang kaki. Satu kali menyugar rambut frustrasi. 

"Tidurlah." Kulangkahkan kaki ini ke kamar mandi. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status