Suara bel rumah terdengar saat aku sedang di ruang makan bersama Naya. Kami sama-sama diam menerka siapa yang datang.
"Biar simbok yang bukain." ART-ku itu lekas pergi setelah beres menuangkan air mineral pada gelas. Naya menunda sendok pada piring kemudian meneguk minum. Kulihat makanannya sudah habis. Aku sendiri menikmati suapan terakhir. Kami sudah selesai. "Assalamualaikum!" Naya lekas berdiri mengetahui siapa yang datang dan menjawab salamnya. Ia menyalami Mamaku. "Apa kabar, Nay?" "Alhamdulillah, baik. Mama sendiri bagaimana?" Naya bertanya balik."Alhamdulillah baik sekali." Mama menjawabnya ramah. "Hallo, Kak." Mela—adikku—menyapa Kakak Iparnya. Mama datang bersamanya. "Hai, Mela." "Wah, lagi makan ganggu nih berarti." Mela berujar kembali."Sudah selesai, kok. Ayo, Ma, Mel." Naya membawa keduanya pergi ke ruangan lain. Betapa hangat perempuan itu pada keluargaku. Aku senang Naya bisa bersikap ramah dan sopan pada mereka meski kepadaku sendiri belum bisa sebaik itu. Meski itu sekedar sandiwaranya, aku tetap suka. "Ini lho, Nay. Mama ada sesuatu buat kamu." Mama memberikan paverbag berukuran sedang pada Naya. "Apa ini?" "Buka aja, Kak." Mela memberitahunya untuk melihat sendiri.Naya menurut mengeluarkan isinya. Bibir istriku itu mengembang mendapat sebuah longdress dengan motif dan warna cerah. "Makasi, Ma.""Sama-sama." Mama menjawab sumringah. Ia senang melihat ekspresi menantunya yang sangat menerima pemberiannya. "Kemaren kita abis belanja. Yaudah beliin buat Kak Nay sekalian." Mela menjelaskan. "Iya, Mel. Bagus bajunya." Istriku memuji dan memperhatikan gaun di pangkuannya itu. Dia pandai membuat orang lain tidak curiga dan terkesan natural. "Kalo mau banyak Kakak bisa minta beliin ke Kak Sendy. Iya, kan Ma?"Mamaku mengangguk. "Tidak masalah." Aku yang diam saja menyimak dari kejauhan mendekat dan duduk di sisi Naya. "Untuk istriku apapun akan kuberikan." "Jangan ngomong doang lho, ya." Mela memperingatkanku. "Selama aku mampu aku akan mencukupi dengan baik semua kebutuhan Naya." Itu bukan sekedar ikrar, aku serius. "Percaya ...." Mama berkata seraya tersenyum. Dia tidak mempedulikan status Naya yang bukan gadis, toh aku juga bukan perjaka. Mama menyukai Naya dan sangat merestui hubungan kami. Sayangnya menantunya itu belum bisa menerimaku tanpa beliau tahu. Penampilan Naya dan Mama sama. Sama-sama berpakaian tertutup dan berhijab. Termasuk Mela adikku. Naya sedikit tersentak saat tanganku menyelinap ke belakang tubuhnya merangkul pundaknya. Meski begitu dia tetap diam. Di hadapan Mama dia tidak berani menolakku. Dalam hati bersyukur atas kedatangan Mama. Aku bisa lama-lama bersentuhan merasakan hangat tubuh Naya. "Semoga cepet dapat momongan. Naya jangan pake KB dulu ya." Naya menanggapi ucapan Mama dengan mengangguk kaku. "Mama pengen cepet gendong cucu." "Aku juga pengen gendong ponakan. Udah lama gak ada bayi di keluarga kita." Aku tersenyum mendengar celotehan Mama dan Mela. Tanganku yang satunya tergerak mengelusi perut rata Naya. Meski tidak berkenan, sekali lagi dia tidak bisa menghindar. "Doakan saja, mudah-mudahan dedek bayi cepet tumbuh di sini." Bukankah kata-kata bagian dari doa? Semoga yang aku katakan cepat terwujud, meski saat ini masih mustahil."Aamiin yaa Allah ...." Naya yang menunduk diam mencoba tersenyum menanggapi Mama. Setelahnya melirikku. Aku menaikkan sebelah alis dan tersenyum penuh kemenangan melihatnya yang tak berdaya menghindar. Belum puas aku meraih telapak tangan Naya menggenggamnya. Juga mengecup punggung tangan itu. "Kami selalu berusaha kok." Berbohong sekali demi kebaikan tak apa-apa kan? "Duh ... Romantisnya." Mela berucap seraya tersenyum, Mama juga. "Semoga keluarga kalian sakinah selamanya ya." "Iya, Ma." ***Kepergian Mama menyisakan aku yang melamun sendiri. Terngiang lagi ucapannya. "Mama pengen cepet gendong cucu." Aku tersenyum miris. Entah kapan Naya bersedia aku berikan nafkah batin? Tidak ada yang tahu kami belum membaur. Apa semua perempuan yang ditinggal mati suaminya seperti itu, sulit muve-on? Hhh. Aku mendesah dan menegapkan duduk. Meneguk minuman oranye sampai habis. Kutinggalkan gelas itu di meja setelahnya. Terdengar jeritan Naya saat aku masuk dalam kamar. "Kalau mau masuk kamar ketuk pintu dulu dong," ucapnya protes seraya membetulkan handuk yang melilit di tubuhnya. "Loh, kenapa? Ini kamarku. Biasanya juga gak apa-apa." Aku abaikan raut gelisahnya dan perlahan mendekat."Aku baru habis mandi dan belum pake baju." Naya mundur seraya menutup-nutupi bawah lehernya. "Gak usah ditutupi, gak dosa kok dilihat suami sendiri." Baru kali ini aku melihatnya seterbuka ini. Tubuhnya bagus. Dia membuatku terpana saat baru membuka pintu tadi."Keluar dulu gih.""Gak mau." "Sebentar aja." "Aku pengen tetap di sini. Ngeliatin kamu." Naya berdecak. Dia berbalik berjalan tergesa menuju lemari. Mengambil baju dan dengan cepat memakai long dress itu. Tubuhnya tertutup sekarang. "Kenapa, takut?" Naya tidak menjawab. Memilih menyisiri rambutnya, di ikat, setelahnya membungkusnya dengan hijab. Semua dilakukan dengan gerakan gesit seakan tak rela aku terlalu lama melihat tubuhnya. Naya lalu meninggalkanku begitu saja.Ketika malam menjelang larut. Aku masih belum bisa tidur. Dibenakku terbayang selalu Naya yang belum memakai baju. Rasanya sore tadi ingin aku berhambur memeluknya lalu meninggalkan banyak jejak di tubuhnya. Hingga saat ini keinginan itu masih kuat dan membuatku nelangsa sendiri. Berkali-kali aku embuskan napas dan mencoba menetralkan degup yang kencang. Tidak kunjung reda aku bangkit duduk melihat Naya yang sudah lelap. Tanganku terulur menyentuh pipinya menyingkirkan anak-anak rambut. Arah mataku lalu tertuju pada bibirnya yang mengatup. Perlahan wajah ini dicondongkan ke dekatnya. Naya mendadak membuka mata. Dia mendorongku, menghindar beringsut duduk. "Aku merindukanmu, Naya.""Jangan menyentuhku!" "Kamu istriku. Aku berhak atas tubuhmu." "Aku tidak mau ...." Naya terlihat ketakutan dan cemas.Aku menunduk, meresapi gejolak dalam diri yang terus mendesak. Haruskah aku memaksanya? Kuhembuskan napas kuat-kuat untuk lebih tenang. "Mas Akbar ...." Tetapi mendengar nama itu disebut, aku kembali meradang. Wajah kuangkat seketika. Menarik tubuh Naya sekaligus ke dekatku. Tak segan aku mencium bibirnya. Kedua tangannya yang memberontak kucekal kuat-kuat. Naya tidak lagi melakukan perlawanan. Aku membuka mata, mendapati pipinya yang basah. Seketika, aku melepaskannya. Aku beringsut ke tepi ranjang menurunkan sepasang kaki. Satu kali menyugar rambut frustrasi. "Tidurlah." Kulangkahkan kaki ini ke kamar mandi.Suaranya ...."Evelyn?" "Ya, sayang. Ini aku." Keterkejutanku berusaha dinetralkan. Bukankah ini yang ditunggu-tunggu? Dia akhirnya menghubungiku juga. Aku berdehem pelan, sebisa mungkin tenang. "Ada apa?" "Tumben gak marah atau ngelarang saat kutelfon?" Sengaja kutanya baik-baik. "Ada perlu apa, Eve?" Kuulangi lagi pertanyaan itu ketimbang menanggapi keheranannya."Cuma kangen." "Mau ketemu?" "Ap-appa?" Dia tergagap pelan seperti tak menyangka. "Kalau gak mau yaudah." "Mau dong!" Sudut bibirku tersenyum miring. Perempuan itu perlu sedikit dibaiki. Memang maunya bertemu.Kami memutuskan dinner privat room. Hanya aku berdua dengannya. Evelyn tampak sumringah. Dia makan dengan lahap. Sedikit aneh, bukankah perempuan hamil di trimester pertama tidak selera makan? Aku tidak mau mempedulikan itu, mencoba tersenyum sambil mengiris steak sapi dan memakannya perlahan. "Kamu kangen juga sama aku kan?" Evelyn meminum air di gelas ramping berkaki satu. Makanannya sudah tandas. Kemudi
Aku dan mama mengintip dari balik pintu yang membuka sedikit, melihat Naya bersama seorang psikolog perempuan. Mereka duduk berhadapan. Entah mendapat pertanyaan apa, istriku menggeleng pelan sambil menunduk dalam. "Sudah, biarkan saja." Mama mengajak pergi. Aku mengikutinya. "Semoga konsultasi sama psikolog itu bisa membantu." Aku pun berharap begitu. Kami duduk tidak jauh dari kamar Naya berada. Menanti Psikolog itu selesai. Ingin mengetahui bagaimana hasilnya. "Semalam kamu habis dari mana, pulang malam sekali?""Ada perlu." "Kamu jangan lama-lama meninggalkan istrimu.""Untuk kebaikan Naya kok." Aku tersenyum ingat wajah takut Firman. Tidak mungkin aku senekat itu untuk melukai. Ternyata baru digertak begitu saja dia sudah kalah. "Gue belum kawin. Lo jangan apa-apain otong guee." Dia terus merengek saat aku tidak lantas menjauh dari bawahnya. "Gue bilang gue bakal ngaku!" Ingin menyemburkan tawa, tapi kutahan. Tetap memasang wajah serius, guna bisa mendapatkan info dariny
"Ya ampun, Tuan. Wajah Tuan kenapa?" Mbok Rum tampak panik saat membukakan pintu rumah."Awas, Mbok." Tidak menjawabnya langsung menerobos masuk membawa Naya digendongan tanganku."Ya ampun, Non Naya." Dia mengikut di belakang. Tangis Gathan terdengar, seakan ingin menyambut kedatangan mamanya. Tangis bahagia atau sedih, entah. Mungkin dua-duanya. "Urusi Gathan.""Ya, Tuan." Langkah Simbok yang ingin memasuki kamar bersamaku berputar arah. Di tempat tidur kubaringkan Naya langsung menyelimutinya. Meraba keningnya yang hangat. Dia demam. "Nay?" Dia tidak terusik. Apa aku harus hubungi dokter? Terdiam sejenak mempertimbangkan. Baiknya dikompres saja dulu mengingat waktu yang tidak memungkinkan. Aku keluar lagi untuk menyiapkan kompresan. Gathan sudah tidak rewel di tangan Simbok. Kembali ke kamar membawa wadah berisi air dan handuk kecil. Kain itu kuperas menempelkannya di kening Naya. Dia harus makan dan minum obat saat sudah bangun. Aku terdiam sesudahnya. Sudut bibirku perih.
Evelyn. Pasti dari dia. Mencoba menghubungi tapi nomornya sudah tidak aktif. Jika tahu akan ada pesan masuk darinya, tidak akan diberikan pada Naya. Akan kuperiksa lebih dulu. Ceroboh lagi. "Astaghfirullah, ya Allah ...." Naya luruh di lantai. Memegangi dada tersedu-sedu. "Sakit sekali."Aku harus bagaimana? "Nay?" Terpaksa mendekati dia lagi. "Aku bersumpah itu bukan anakku." "Tapi kamu sudah berzina dengannya."Kupeluk dirinya. Dia terus tersedu-sedu. Wajahnya kuangkat menyeka linangan air mata wujud sakit hati yang kembali menggelora. Mata indah itu terpejam tapi terus mengeluarkan cairan. "Akan aku buktikan semuanya." Membenamkan wajah itu kembali di dada. Menangislah sepuas hatimu. Mau memukulku juga tidak apa. Aku siap. Pantas menerima itu. Entah lelah atau terlalu larut dalam kesedihan Naya diam saja. Masih dalam keadaan terisak aku menggendongnya memindahkan di tempat tidur. Bantal yang berserak kuambil meletakkan di bawah kepalanya. Juga menutupi dengan selimut. Dia me
"Aku gak ngapa-ngapain kamu.""Pergi!""Tenang, Naya."Dia terus menggeleng-geleng sambil mempertahankan selimut menutupi dadanya. "Pergi, kamu." Dia melempar bantal. Dada yang tertutup melorot lagi. Aku memungut benda itu di lantai setelah mengenaiku. Meletakkan kembali di kasur. Naya beranjak turun membawa selimut. "Kamu mau ke mana, jangan pergi, Nay!" "Enggaa!" Dia berjalan tergesa menuju pintu. Aku mengejar. Dia keburu sudah membukanya. Tertegun saat didapatinya mama berdiri di depan."Ada apa?" Mama bertanya panik. Naya terisak. "Kenapa Naya?""Dia mau memperkosaku ...." Tangannya menunjuk ke belakang. Ke arahku. Mama seketika melotot padaku. Aku menggeleng tersudut. Istriku menyusut duduk di lantai. Selimutnya sedikit melorot menampakan separuh dada. Mama melihat itu. "Sendy." Mama bergumam geram. "Sudah mama peringatkan kenapa begitu lagi?!" "Salah paham, Ma.""Salah paham apa? Pasti kamu yang sudah buka bajunya, iya?!" "Engga, Ma." "Tidak ada gunanya menyangkal."
"Tolong ke sini, Ma.""Naya sudah sadar?""Mama cepat ke sini.""Iya, iya, mama akan segera ke sana. Lagi kasih Gathan susu ini.""Kasih ke Mbok Rum.""Iyaa."Telepon bersama mama kumatikan. Mengusap wajah gusar sesudahnya. Naya bersama perawat sedang ditenangkan di dalam. Dia menjerit dan marah-marah. Sama sekali tidak mau kudekati. "Enggaa. Bajingan. Biadab. Pergi kamuu!" Dia mengusirku saat mengajaknya ke luar dari kamar mandi. Melemparkan apa yang ada di dekatnya. Aku terpaksa membiarkannya dulu. Memanggil perawat melalui interkom yang ada. Tidak lama perawat perempuan datang menghampiri Naya membujuknya. Sedangkan aku diperintahkan ke luar dulu. Aku hanya diam di luar tidak berani masuk juga tidak ingin pergi. "Kenapa, Sen?" "Ma." Aku lekas berdiri setelah menunggunya cukup lama. "Naya sudah sadar?""Iya, sudah lumayan lama.""Kok baru kasih tau mama.""Maaf." "Kok kamu gak menemani, kenapa dibiarkan sendiri?""Naya gak mau kutemani. Dia marah tau apa yang kulakukan padany