**Bab 004: Mencurigakan**
*****
AWAL CERITA DIMULAI
*****
Kota Nauruan adalah sebuah kota besar di ujung perbatasan sebelah timur dari wilayah Kerajaan Xipil. Dari pusat Kota Nauruan, beralih ke sebuah wilayah yang masih dalam yurisdiksi Kota Nauruan. Wilayah ini sangat luas, lima belas kali lebih besar dari pusat kotanya sendiri.
Caihina adalah sebuah wilayah tandus dan kering yang nyaris tidak tersentuh megahnya pusat Kota Nauruan. Wilayah terpencil ini memiliki belasan desa yang nasibnya kurang lebih sama. Desa-desa kecil yang sangat terisolasi, namun luasnya belasan kali lipat dari pusat kota. Wilayah ini terdiri dari gurun pasir dan sabana yang terlupakan oleh bangsawan yang memimpin kota, yaitu Count Veraga.
Angga adalah salah satu desa dari jajaran sembilan desa terluar di wilayah Caihina, Kota Nauruan. Untuk mencapai pusat kota, diperlukan waktu sepuluh hari dengan kereta kuda karena medan yang sulit. Namun, jika berkuda, perjalanan itu dapat ditempuh dalam waktu lima hari. Desa Angga terletak di antara area gurun dan sabana. Di desa inilah Atthy lahir dan dibesarkan.
Caihina adalah dataran kering yang sangat luas dengan beberapa laguna besar sebagai sumber air utama bagi penduduknya. Di bagian utara Caihina, terdapat perbukitan batu kapur raksasa yang terselubungi pasir, membentuk cekungan menyerupai mangkuk raksasa. Di tengahnya, terbentang sabana luas sejauh mata memandang. Sedangkan di bagian selatan, terdapat hutan lebat yang penuh dengan binatang buas. Hutan ini terbagi menjadi dua wilayah: Caihina dan Nauruan. Wilayah Nauruan lebih sejuk meski tetap lebih hangat dibandingkan Skythia.
Di luar Nauruan, tidak banyak orang yang memahami Caihina. Wilayah ini dianaktirikan oleh penguasanya sehingga jarang disebut-sebut. Karena ketidakpedulian Count Veraga, banyak bandit perampok yang bersembunyi di perbatasan hutan. Medan yang berat dan berbahaya membuat wilayah ini sulit dijangkau, sehingga perdagangan pun terhambat. Akibatnya, desa-desa di Caihina semakin terisolasi.
"Ayah!... Ayah!... Lihat!" seru Damian, anak lelaki berusia enam tahun, berlari dari kejauhan sambil memanggil ayahnya.
"Dimi!... Hentikan teriakanmu!" seru Atthy, gadis remaja yang baru tiga bulan menginjak usia delapan belas tahun. Ia adalah anak perempuan tertua Ashton Galina.
Huf... Huf... Huf...
Damian berhenti sejenak, berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah saat tiba di pagar pekarangan rumah.
"Ada apa denganmu?... Apa yang membuatmu harus berlari seperti itu?" tanya Ashton, ayahnya, sambil terus memukul besi panas di hadapannya.
"Pengantar pesan baru saja datang," jawab Damian dengan mata berbinar-binar.
"Lalu?" tanya Atthy acuh sambil menjaga nyala api untuk membantu ayahnya.
"Dia membawa surat," jawab Dimi dengan ekspresi bahagia.
"Dia pengantar pesan, tentu saja dia membawa surat," balas Atthy meledek adiknya namun tetap fokus pada pekerjaannya.
"Suratnya untuk kita," ujar Dimi dengan wajah semringah, mengabaikan ledekan Atthy.
"Hm?!" sahut Ash dan Atthy bersamaan dengan ekspresi heran.
"Lebih hebat lagi, ini dari Xerces, ibu kota Kerajaan," lanjut Dimi, bangga seolah sudah mengetahui reaksi mereka.
Mendengar itu, Atthy melirik ayahnya. Ashton hanya menanggapi dengan mengerutkan dahi karena heran.
"Apa kau tidak salah baca, Dimi?" tanya Ash, masih dengan wajah herannya.
Bagaimana tidak? Sejak lulus dari akademi dua puluh tahun lalu, Ash tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di ibu kota Kerajaan.
"Tidak, Ayah. Di surat itu tertulis jelas, 'Untuk Baron Galina'," jawab Dimi sambil menyerahkan surat itu kepada ayahnya, menunjukkan tulisan di muka amplop.
"Kalau begitu, itu untuk kakekmu," ujar Ash sambil menepuk lembut kepala putra bungsunya.
"Bukan untuk Ayah?!" seru Dimi, bertanya dengan wajah heran.
"Bodoh!" hardik Ash, "Bangsawan bergelar 'Baron' itu kakekmu."
"Dasar kau!... Sudah sini bantu aku!" seru Atthy terkekeh melihat adiknya yang masih bingung.
"Tapi, tetap saja... Surat itu ditujukan untuk keluarga kita," ujar Dimi berkilah, kemudian melakukan yang diperintahkan Atthy.
Ashton mengambil surat dari Dimi dan masuk ke dalam rumah untuk memberikannya kepada ayahnya, Rowtag Galina.
Atthy kembali melanjutkan pekerjaannya menempa besi, sementara Damian menjaga nyala api.
Sejak kecil, Atthy dan adik-adiknya selalu membantu Ashton bekerja sebagai pandai besi. Bahkan, Atthy sering ikut berburu di hutan bersama Ashton dan Aydan, adik laki-lakinya yang berusia tiga belas tahun.
"Ayah, ada surat untukmu dari ibu kota," ujar Ashton, menyerahkan surat itu kepada Rowtag, kakeknya Atthy.
"Surat?... Dari ibu kota?... Untukku?" tanya Rowtag dengan wajah heran.
"Ya," jawab Ashton santai.
"Apa kau tidak salah?" tanya Rowtag lagi, masih dengan ekspresi bingung.
"Kurasa tidak. Mataku masih bisa melihat dengan jelas. Di situ tertulis, 'Baron Galina'," jawab Ashton santai.
Rowtag menerima surat itu dari Ashton dan mulai membacanya. Beberapa saat kemudian, wajahnya berubah dari heran menjadi terkejut.
"Ash... Surat ini bukan untukku, tapi untukmu," ujar Rowtag sambil menunjukkan surat itu.
"Untukku?! Tapi, Ayah, di situ jelas tertulis BARON..." sahut Ashton bingung.
"Sudah lebih dari empat puluh tahun... Mungkin, mereka mengira aku sudah mati," ujar Rowtag dengan nada kecewa.
"Ayah, ada apa denganmu?" tanya Ashton khawatir. Ia tidak tega melihat wajah keriput ayahnya semakin sedih. "Apakah surat itu membawa kabar buruk?"
"Sebaliknya, mungkin ini adalah kabar baik. Tapi jelas, surat ini untukmu, Ash... Karena Atthy adalah putrimu," ujar Rowtag menjelaskan sambil tersenyum, mencoba menenangkan putranya.
"Atthy?... Apa hubungannya dengan Atthy?" tanya Ashton bingung.
"Surat ini adalah surat lamaran untuk putri sulungmu, Atthy," ujar Rowtag dengan wajah senang.
Ashton terbelalak mendengar itu. Ia terkejut, lebih dari keterkejutan Rowtag saat membaca suratnya.
"Ayah... Kau pasti sudah terlalu tua, matamu rabun. Berikan padaku, biar aku yang membacanya!" seru Ashton tak percaya.
"Terserah... Lagi pula, aku sudah bilang surat itu untukmu," jawab Rowtag sambil menyerahkan surat itu kepada Ashton.
Beberapa saat kemudian, wajah Ash kembali memperlihatkan ekspresi heran yang tak percaya. Dia terus melirik ayahnya dan memandangi surat itu berulang kali, seolah-olah matanya akan menemukan kesalahan yang tersembunyi di antara baris-baris tulisan rapi itu.
"Apakah mataku ini rabun?" tanya Rowt, sengaja melemparkan ekspresi meledek pada Ash.
"Ayah..." panggil Ash, masih dengan ekspresi tak percaya yang jelas terlihat di wajahnya. "Lamaran ini... untuk Atthy?" tanyanya dengan nada heran, suaranya bergetar.
"Ya," jawab Rowt dengan senyum nakal, balas meledek dengan sengaja.
"Dari seorang Grand Duke?!" seru Ash, suaranya penuh pertanyaan. Ia masih merasa tak percaya.
"Jika mata kita berdua masih normal," jawab Rowt dengan tenang, "itulah yang tertulis di situ."
Ash merasakan tenggorokannya mengering. Matanya kembali menelusuri tulisan itu, seolah-olah setiap huruf bisa mengubah makna surat tersebut.
"Apakah mungkin ada kesalahan dari Ibu Kota Kerajaan?" tanya Ash dengan nada hampir putus asa.
"Kau bertanya padaku?" Rowt menatap putranya dengan senyum menggoda. "Aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Aku tidak pernah merasakan pendidikan di akademi seperti dirimu."
Dengan lemas, Ash merosot dan jatuh ke kursi panjang di hadapan ayahnya. Tubuhnya terasa lemah, masih terperangkap dalam ketidakpercayaan yang mendalam. Di luar, angin berembus pelan, membawa suara dedaunan yang bergesekan, seakan ikut membisikkan misteri yang menyelimuti kabar ini.
---
Malam itu, setelah makan malam selesai, Ash meminta semua orang, termasuk keempat anaknya, untuk berkumpul. Lilin-lilin menyala, bayangannya bergetar di dinding kayu rumah mereka. Aydan, adik lelaki Atthy yang berusia tiga belas tahun, duduk di sampingnya, bersebelahan dengan si kembar Dimi dan Agafya yang baru berusia delapan tahun. Agafya, yang sejak lahir memiliki tubuh lemah, menatap kakaknya dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan.
"Atthy, masalah yang akan kita bicarakan adalah tentang dirimu," ujar Ash, memulai pembicaraan dengan santai, meskipun matanya tetap fokus pada hidangan yang hampir habis di piringnya. Namun, ada ketegangan di balik nada santainya yang tak bisa disembunyikan.
"Ya, Ayah..." jawab Atthy dengan sopan. Suaranya tenang, tetapi hatinya bergejolak. Entah kenapa, firasat buruk mulai menyusup di benaknya.
"Kau tahu tadi pagi ada surat dari Ibu Kota, bukan?" tanya Ash, memastikan Atthy mengikuti.
Atthy mengangguk, meskipun pikirannya masih berusaha memahami ke mana arah pembicaraan ini.
"Surat itu adalah surat lamaran pernikahan untukmu," lanjut Ash.
Kata-kata itu menggantung di udara. Sejenak, hanya suara kayu terbakar di perapian yang terdengar.
Atthy membeku. Napasnya tercekat. Matanya bergerak dari wajah ayahnya ke kakeknya, lalu kembali ke kertas yang sekarang sudah tergulung rapi di atas meja. Ini... tidak mungkin.
"Kenapa, Ayah?" serunya, nadanya dipenuhi kebingungan dan keterkejutan.
Ash terdiam sejenak. Ada ragu di matanya, tetapi ia segera menenangkan diri. "Atthy, aku tahu ini sangat mendadak... Kami tidak akan memaksamu, tapi kami ingin kau memikirkannya. Ini adalah kesempatan yang sangat baik untukmu."
Atthy menelan ludah. Kepalanya terasa penuh dengan pikiran yang berkelindan. Pernikahan? Dengan seseorang yang bahkan tak dikenalnya? Hidupnya di Caihina selama ini sederhana—damai, tenang. Tapi kini, dengan satu lembar surat, segalanya tampak seperti akan berubah.
Rowt menambahkan dengan suara berat, "Atthy, aku mengerti perasaanmu. Tapi seperti yang ayahmu katakan, pikirkanlah baik-baik."
Atthy mengepalkan tangannya di atas pangkuan. "Ayah... Aku belum ingin menikah. Aku sama sekali tidak pernah memikirkan hal itu."
"Aku mengerti," kata Ash, suaranya lebih lembut. "Tapi, ini bisa menjadi kesempatan untuk kehidupan yang lebih baik. Pikirkanlah baik-baik, Atthy. Setidaknya, jangan terburu-buru menolak."
Di sampingnya, Atthy bisa merasakan tatapan Agafya yang penuh harapan. Mata kecilnya berkilauan, menatapnya seakan ingin mengatakan sesuatu yang tak terucapkan.
---
Setelah selesai makan malam dan berbincang sebentar, mereka segera kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap tidur. Rumah sederhana itu memiliki empat kamar. Rowt dan Ash masing-masing menempati kamar mereka sendiri, sementara Ay sekamar dengan Dimi, saudara kembar Agafya. Atthy dan Gafy, meskipun beda usia, tidur dalam kamar yang sama.
Agafya, yang biasa dipanggil Gafy atau Gaff, dilahirkan dengan kondisi tubuh lemah. Namun meski begitu, Gafy selalu ceria dan cerewet. Ia adalah salah satu sumber kebisingan di rumah yang sunyi ini, terutama setelah Dimi yang selalu aktif, seolah-olah energi Gafy yang terbatas itu dipinjam oleh saudaranya yang penuh semangat.
Malam itu, sambil membantu kakaknya melipat pakaian, Gafy tiba-tiba bertanya dengan mata berbinar, "Kak... Apa kakak akan menerimanya?"
Atthy yang sedang sibuk mengangkat sekeranjang jemuran dari luar rumah hanya melirik sekilas, kemudian menjawab dengan sikap santai, "Apa?" Seolah tak terlalu peduli.
"Lamaran pernikahan itu?!" seru Gafy, suaranya penuh semangat dan sedikit kesal, meskipun dia tetap melanjutkan membantu Atthy dengan melipat pakaian yang sudah kering.
Atthy tersenyum tipis, melihat antusiasme Gafy yang berlebihan. "Entah," jawabnya sambil mengangkat bahu, "Aku tidak terlalu memikirkannya," lanjut Atthy dengan nada yang cukup acuh.
Gafy mendengus, tetap berusaha menggoda kakaknya dengan harapan yang jelas tertulis di wajahnya. "Kak, kalau kakak pergi ke Ibu Kota, kakak akan melihat banyak hal baru yang tidak pernah kakak lihat di sini," ujarnya dengan optimis, berusaha membujuk.
Atthy berhenti sejenak, menatap adiknya dengan mata yang sedikit meledek. "Kenapa? Kau ingin pergi ke Ibu Kota?" tanyanya, nada suaranya bercampur rasa penasaran dan sedikit bercanda.
"Kalau kakak bertanya begitu, tentu saja aku jawab iya..." Gafy tersenyum lebar, namun napasnya terdengar sedikit berat. Sekejap, dia memegangi lengannya, seolah kelelahan, tapi kemudian kembali tersenyum cerah. "Tapi kak, kau tahu dengan jelas bahwa itu akan sangat sulit untukku. Aku memang menginginkannya, tapi bukan berarti aku harus mendapatkannya... Aku bertubuh lemah, sulit bagiku meninggalkan tempat ini dengan keadaan kita sekarang... Tapi, sama sepertimu, aku bahagia di sini, menjadi adikmu, menjadi anak ayah, menjadi cucu kakek. Ini adalah tempat aku dilahirkan dan dibesarkan, dan aku sangat bersyukur... Namun, aku juga ingin melihat seperti apa dunia selain tempat ini."
Atthy terdiam, merasakan sesuatu mengganjal di hatinya. "Tapi Gaff," katanya akhirnya, "Aku bukan akan ke Ibu Kota Kerajaan, tapi Alpen, wilayah Utara. Sangat jauh dari Ibu Kota... Surat itu memang datang dari Ibu Kota, tetapi lamaran itu berasal dari seorang Grand Duke yang tinggal di sana."
Gafy terdiam sejenak, mencerna kata-kata kakaknya. "Oh... Jadi begitu?" Wajahnya memerah, seolah kecewa, namun tetap ada harapan yang berkilau di matanya. "Tapi tetap saja, kak... Kau punya kesempatan itu, bukan?"
Atthy hanya tersenyum tipis. Kata-kata Gafy menggugah sesuatu dalam dirinya. Dia tahu, Gafy tidak hanya berbicara soal melihat dunia luar. Adiknya menginginkan harapan. Impian yang dia sendiri tidak bisa kejar, tetapi yang mungkin bisa Atthy wujudkan.
Namun, ada sesuatu yang janggal. Lamaran dari seorang Grand Duke? Bahkan jika keluarga mereka memiliki darah bangsawan, status mereka terlalu rendah untuk menarik perhatian sebesar itu. Kakek adalah seorang baron yang nyaris tak diingat siapa pun. Jadi bagaimana mungkin pihak kerajaan bisa mengenal mereka?
"Kakak!" Gafy memanggil, sedikit kesal karena Atthy melamun terlalu lama, "Tapi kak... apa itu berarti lamaran ini belum pasti?"
Atthy menatap Gafy sejenak, lalu menghela napas. "Pihak kerajaan sering kali menjodohkan kaum bangsawan. Biasanya ini adalah manuver politik, Gaff... Bukankah ayah dan aku sudah mengajarkanmu? Ada dua kemungkinan untuk ini: untuk melemahkan atau menguatkan salah satu pihak... masalahnya, kedudukan kakek sangat jauh untuk bisa terlibat dalam kancah politik sekelas kerajaan... itu sebabnya ayah memintaku untuk memikirkannya, karena aku tahu, ayah juga merasa ada yang tidak biasa dengan lamaran ini."
''Apakah akan buruk?''
''Aku tidak tahu, Gaff, karena kita tidak mengenal siapa Grand Duke Griffith, atau siapa yang telah merekomendasikanku.'' Atthy menghela napas pelan, berpikir keras. ''Banyak hal yang masih gelap dan tidak pasti.''
''Itu artinya, masih ada kemungkinan...'' Gafy menjawab, masih dengan keyakinan polos di matanya, seakan seluruh dunia masih penuh harapan.
''Apa kau sebegitu inginnya melihat seperti apa dunia di luar sana?'' tanya Atthy, menatap serius pada adiknya, mencoba mengerti lebih dalam.
''Eum,'' jawab Gafy, mengangguk dengan penuh harapan, seakan dunia yang ada di luar sana adalah segala-galanya.
Atthy terdiam, menimbang segala kemungkinan dalam pikirannya. ''Baiklah Gaff, aku akan lebih memikirkannya...'' jawabnya akhirnya, meskipun perasaan tidak pasti masih menggelayuti hatinya. Ia ingin sekali memberikan adiknya kesempatan untuk melihat dunia lebih luas, tapi ia juga tak bisa menepis kekhawatiran yang terus menghantuinya.
''Pikirkan baik-baik, kak... pasti menyenangkan bisa pergi ke mana pun dan melihat banyak hal baru di luar sana,'' kata Gafy dengan senyum cerah, penuh keyakinan pada kakaknya.
''Ya baiklah, aku mengerti... Sekarang, tidurlah!'' seru Atthy, sambil mendorong adiknya yang penuh semangat untuk berbaring.
Gafy mengangguk dan tersenyum lebar, seakan seluruh dunia tidak ada yang bisa menghalanginya. Malam itu, Atthy berbaring, namun pikirannya tak bisa lepas dari perbincangan yang baru saja terjadi. Semua ucapan keluarganya, harapan-harapan mereka tentang lamaran, membayangi benaknya. Selama ini, keluarganya selalu bahagia meski hidup dalam kekurangan. Mereka menerima keadaan dengan lapang dada, tidak pernah merasa kecewa.
Namun, sesuatu terasa janggal. Lamaran ini bukan sekadar lamaran biasa.
Siapa sebenarnya yang menarik benang di balik bayang-bayang?
---
Hai, aku wolfy... Penulis cerita ini. Simak juga ceritaku yang lainnya... WANITA UNTUK MANUSIA BUAS (sudah tamat tapi sulit sekali mendapat kontrak dari GOODNOVEL) PAMANKU SUAMIKU MENJEMPUT ISTRIKU DUNIA MANUSIA BUAS SUAMIKU YANG BERBAHAYA KARENA KEBODOHANKU, AKU HAMPIR KEHILANGAN SUAMIKU SINGA BETINA MILIKKU (sequel lanjutan dari WANITA UNTUK MANUSIA BUAS, hanya saja kali ini wanita dari DUNIA MANUSIA BUAS yang terlempar ke DUNIA MODERN dan bertemu dengan CEO gahar.
**Bab 085 Perjamuan 2**Pengumuman resmi berkumandang, menggema di seluruh aula perjamuan yang telah dipenuhi aristokrat dari seluruh penjuru Xipil."Yang Mulia Ratu Silvia dan Yang Mulia Putra Mahkota Cavero memasuki aula perjamuan."Sekejap, semua perhatian tertuju ke arah pintu utama. Pembicaraan yang semula memenuhi ruangan sontak mereda. Para hadirin segera memberi salam dengan penuh hormat, beberapa membungkukkan badan, sementara yang lain hanya menundukkan kepala dengan elegan.Ratu Silvia melangkah dengan anggun, gaun mewahnya berkilauan di bawah cahaya chandelier. Senyum manis terukir di bibirnya, tetapi mata tajamnya menelusuri ruangan seperti seorang pemburu yang menilai keadaan sebelum bergerak. Di sisinya, Putra Mahkota Cavero berjalan dengan tenang, wajahnya tetap tegas dan penuh wibawa, berbeda dengan adik lain ibunya, Pangeran Davion, yang tampak tersenyum penuh percaya diri di samping Grand Duke Darram.Tak butuh waktu lama sebelum Darram dan sekutunya menghampiri."S
**Bab 084 Perjamuan**Aula istana bersinar di bawah cahaya ratusan lilin yang tergantung pada chandelier kristal raksasa. Musik gesekan biola dan dentingan piano mengalun lembut, menciptakan suasana yang tampak hangat tetapi sarat ketegangan tersembunyi. Para tamu mulai berdatangan, mengenakan pakaian terbaik mereka, menyapa satu sama lain dengan senyum penuh perhitungan.Kelompok aristokrat berkumpul dalam lingkaran-lingkaran kecil, masing-masing sibuk dengan kepentingan mereka sendiri."Duke Laurent tampaknya semakin berpengaruh tahun ini," bisik seorang Count dari wilayah barat. "Lihat saja bagaimana dia dikerumuni oleh para saudagar besar.""Tentu saja," sahut seorang Count dengan nada geli. "Pelabuhan barat tetap menjadi urat nadi perdagangan internasional Xipil. Siapa pun yang ingin bertahan dalam dunia bisnis di barat harus tetap berada di sisinya."Tak jauh dari mereka, kelompok para istri bangsawan juga sibuk dengan pembicaraan mereka sendiri."Hei, Hugh Skythia malam ini dat
**Bab 083 Rapat Tahunan 2**Ruangan kembali sunyi sejenak setelah pernyataan Vadim. Kata-katanya tidak menyudutkan secara langsung, tetapi cukup untuk membuat semua orang merenung.Cavero menatap Aldrich dengan ekspresi netral. "Saya ingin bertanya satu hal, Count Veraga. Jika selatan ingin diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri, strategi konkret apa yang Anda miliki untuk memastikan keadaan tidak akan terus seperti ini di tahun-tahun mendatang?"Aldrich terdiam. Ia jelas tidak menyangka pertanyaan itu akan langsung diarahkan kepadanya. Beberapa perwakilan selatan yang hadir tampak gelisah, menyadari bahwa jawaban yang diberikan bisa menentukan bagaimana mereka akan diperlakukan ke depannya.Laurent tersenyum tipis dan melirik Cavero. "Pertanyaan yang menarik. Jika selatan memang ingin mempertahankan otonominya, maka seharusnya ada solusi yang bisa mereka tawarkan. Saya kira kita semua di sini ingin mendengar itu."Aldrich menarik napas dalam. "Kami... kami sedang berupaya mening
**Bab 082 Rapat Tahunan**Tegang menyelimuti para bangsawan selatan seketika itu juga ketika Cavero akhirnya menunjuk giliran mereka untuk tampil bersuara setelah diam hampir di sepanjang rapat.Cavero menatap Aldrich dengan penuh perhatian. Jawaban yang diberikan perwakilan selatan barusan tidak lebih dari pengakuan terselubung bahwa mereka memang tidak memiliki kendali penuh atas wilayah mereka sendiri. Beberapa peserta rapat mulai berbisik satu sama lain, tetapi tidak ada yang secara langsung menanggapi. Hingga akhirnya, suara Laurent terdengar di ruangan."Rumit, ya?" Laurent mengulangi kata-kata Veraga dengan nada datar. "Saya kira itu adalah penjelasan yang paling sering kita dengar dari faksi selatan setiap tahunnya. Tapi mungkin kali ini Anda bisa menjelaskan lebih rinci, Count Aldrich Veraga. Apa yang sebenarnya terjadi di wilayah Anda? Apakah ada ancaman nyata, atau ini hanya sekadar masalah ketidakmampuan untuk mengelola para aristokrat di sana?"Beberapa kepala menoleh ke
**Bab 081 Dampak****Di barak para prajurit**''Yang benar saja...'' ujar Kevin dengan nada kesal, matanya menyapu ruangan yang terasa begitu berat oleh ketegangan.''Apa? Baru datang dan langsung mengeluh...'' sahut Saihan, nada suaranya tajam, tak kalah kesal.''Justru itu! Setelah sebulan penuh berkutat dengan dokumen yang tidak ada habisnya, akhirnya aku punya waktu untuk mengunjungi kalian. Tapi... apakah separah ini?''''Kau mau mengeluh?''Kevin menghela napas panjang, menekan emosinya yang mulai mendidih. ''Duchess menghilang tanpa jejak selama satu bulan, dan penyelidikan yang dilakukan Grand Duke hingga bersitegang dengan Margrave tetap tidak menemukan apa pun. Apa ini masuk akal? Sejak kapan kualitas kita menurun seperti ini?''---FLASHBACK satu minggu yang lalu**Rapat Tahunan Kerajaan **Di aula megah istana kerajaan Xipil, para bangsawan terkemuka telah berkumpul untuk menghadiri rapat tahunan. Meja besar yang melingkar di tengah ruangan diisi oleh perwakilan dari berba
**Bab 080 Kerja Sama**Siang itu, sinar matahari yang masuk melalui jendela besar ruang kerja Alwyn tidak cukup untuk menghangatkan suasana. Ketegangan memenuhi udara, seakan ruangan itu semakin sempit akibat amarah yang beradu."Tuan Alwyn!" suara Saihan meledak, penuh kemarahan. Ia berdiri di depan meja, tubuhnya menegang, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Jangan bercanda denganku!"Alwyn yang duduk di balik meja hanya mengangkat sebelah alisnya, tetap tenang menghadapi luapan emosi di hadapannya. "Apa aku tampak sedang bermain-main?" suaranya datar, tajam, dan tanpa keraguan."Aku tidak peduli jika Anda mengirimku ke mana pun," tukas Saihan cepat, nadanya penuh penolakan, "tapi kenapa harus bersamanya?"Alwyn menyandarkan punggungnya ke kursi, menautkan jemarinya di atas meja. "Karena dia tahu seluk-beluk Nauruan.""Aku juga!" sahut Saihan, suaranya meninggi. "Jangan lupa, aku lahir dan besar di Nauruan!""Di jalanan, Saihan Malaken." Alwyn menekankan namanya dengan nada