**Bab 005: Utara dan Selatan**
Sejak zaman dahulu, sistem hierarki sosial yang kental, baik dalam pemerintahan maupun masyarakat, memperburuk kesulitan rakyat jelata untuk keluar dari belenggu gurun pasir dan sabana yang keras.
Awalnya, garam dan kulit hewan adalah komoditas utama yang menopang ekonomi Caihina. Namun, setelah ditemukan pertambangan besi, banyak masyarakat Caihina mulai mempelajari seni pandai besi. Kehidupan yang keras di wilayah ini memaksa mereka untuk menguasai berbagai keterampilan demi bertahan hidup.
Berkat ketangguhan masyarakatnya, meski Caihina terpencil dan sering terlupakan oleh pemerintahan kerajaan, wilayah ini tetap mampu mandiri.
Sebagian besar masyarakat Caihina sebenarnya tidak miskin. Namun, latar belakang mereka yang berasal dari rakyat jelata dan dikenal sebagai suku terbelakang membuat mereka selalu terpinggirkan. Padahal, garam dan kulit binatang dari Caihina sangat mahal di pasaran, meski sebagian besar orang luar tidak mengetahuinya.
Awalnya, perdagangan garam dan kulit binatang di Caihina dikuasai oleh pembesar-pembesar Nauruan. Namun, sejak Rowt mendapat gelar Baron, ia memperoleh akses kekuasaan atas jalur perdagangan, dan perlahan, monopoli perdagangan hasil bumi Caihina mulai berubah. Masyarakat Caihina akhirnya dapat menikmati hasil jerih payah mereka, baik dari menambang garam maupun mengolah kulit binatang. Namun, keberhasilan ini membuat Rowt dibenci oleh kalangan aristokrat, sebab kesuksesan itu mengancam dominasi mereka. Melihat kondisi ini, Rowt tetap mempertahankan gelar Baronnya meski harus membayar pajak tinggi.
Bagi para aristokrat, kejadian seperti ini menjadi pelajaran berharga. Mereka melihat Rowt—seorang rakyat jelata yang menjadi bangsawan—sebagai ancaman. Sejak saat itu, mereka terus mewaspadai dan menghalangi setiap usaha Rowt untuk bangkit kembali.
Meskipun Rowt dan Ash berjuang keras melawan elit bangsawan yang terus menekan mereka, mereka tak pernah menyerah. Mereka berusaha agar perdagangan Caihina tetap berjalan, meski harus menghadapi kondisi perbatasan yang semakin berbahaya, terutama di hutan yang berbatasan dengan Nauruan. Setiap kali dagangan mereka terkumpul, baik Rowt maupun Ash selalu ada di depan untuk memimpin perdagangan. Dan lebih membanggakan lagi, Atthy dan Ay pun mulai mengikuti jejak mereka.
Menjadi penambang garam, pemburu, pandai besi, dan pedagang adalah pekerjaan sehari-hari bagi keluarga Rowt. Bahkan Atthy, sebagai wanita, ikut terjun mengerjakannya. Bukan hanya keluarga Rowt, tetapi sebagian besar masyarakat Caihina menjalani hidup serupa. Pekerjaan ekstrem seperti berburu dan menjadi pandai besi bahkan dilakukan oleh wanita seperti Atthy. Ini bukan hal luar biasa di Caihina, sebab banyak remaja wanita Caihina lainnya yang dibesarkan dengan didikan keras. Sejak usia sembilan tahun, anak laki-laki sudah bisa berburu secara mandiri, sementara remaja wanita baru bisa berburu bersama saudara laki-laki atau ayah mereka setelah mereka berusia tiga belas tahun. Tradisi ini sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Caihina.
Gurun dan sabana adalah wilayah yang keras dan tidak mengenal ampun. Tak hanya dibutuhkan fisik yang kuat, tetapi juga mental yang kokoh untuk bertahan hidup di tempat seperti ini. Karena itulah, wanita-wanita Caihina dikenal sebagai sosok yang tangguh dan berwibawa, tidak kalah dengan para pria. Meski wilayah ini terkenal dengan iklim yang terik, masyarakatnya tidak menjadi keras. Justru, mereka sangat terbuka dan saling membantu satu sama lain.
Sebagai seseorang yang pernah berada di dunia sosialita bangsawan, Rowt sangat mengerti betapa pentingnya pendidikan. Meskipun hidup dalam kemiskinan, dia yakin bahwa belajar adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik. Pengalaman hidupnya yang penuh liku itulah yang membuat Rowt berhasil mendidik anak cucunya, meski hanya dengan pendidikan dasar. Ash, yang pernah mengenyam pendidikan akademi hingga lulus, memiliki pemahaman yang lebih luas dan memudahkannya untuk menikahi Laura. Pendidikan yang dimiliki Ash juga yang membuatnya mampu melawan intimidasi para bangsawan, aristokrat, atau pun pembesar-pembesar yang masih suka mengganggu masyarakat Caihina, khususnya pedagang, dengan mengatasnamakan hukum pemerintahan.
Atthy, meski tidak mengenyam pendidikan formal, mendapat pendidikan dasar seorang bangsawan dari ibunya yang dulu merupakan guru etiket sebelum menikah dengan Ash. Pendidikan tersebut menjadi bekal bagi Atthy untuk menjalani hidup meskipun dalam kesulitan.
Namun, saat ini Atthy belum memiliki keinginan untuk menikah. Di satu sisi, dia merasa terikat pada keluarganya yang membutuhkan, terutama Gafy. Keinginan adiknya untuk melihat dunia lebih luas membuat Atthy mulai mempertimbangkan masa depannya. Meskipun demikian, dia tahu bahwa kehidupannya tidak semudah yang dibayangkan Gafy.
Atthy sangat menyadari betapa kerasnya hidup mereka. Keluarganya memang bahagia meski hidup serba kekurangan, tetapi dia juga tahu bahwa kenyataan yang mereka hadapi jauh lebih sulit daripada yang tampak di luar. Namun, yang lebih mengkhawatirkannya adalah kesehatan Gafy. Atthy merasa jika memiliki lebih banyak sumber daya, dia bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi adik-adiknya. Gafy dan Dimi berhak merasakan kehidupan yang lebih layak, dan Atthy berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan berusaha semampunya untuk mewujudkannya.
---
---
Alpen di utara tidak jauh berbeda dengan Nauruan di selatan. Kedua kota tersebut merupakan kota besar yang terletak di perbatasan Kerajaan Xipil, dan keduanya sangat dihindari oleh banyak orang karena medan dan kontur wilayahnya yang sangat berbahaya. Wilayahnya memang luas, namun banyak bangsawan yang enggan terlibat dalam urusan di Alpen, mengingat tingginya risiko konflik yang melibatkan wilayah-wilayah perbatasan kerajaan.
Namun, meskipun keduanya berbagi kesamaan dalam hal tantangan geografis, perbedaan mencolok antara Alpen dan Nauruan terletak pada siapa yang menguasainya. Alpen, yang beriklim dingin, dikuasai oleh seorang Grand Duke yang tegas dan berwibawa. Kepemimpinannya yang kuat menjaga stabilitas di wilayah tersebut meskipun sering kali dilanda potensi konflik. Sementara itu, Nauruan, yang memiliki iklim tropis hingga cenderung panas dan seharusnya bisa makmur dengan tanahnya yang subur, justru dilanda gejolak akibat penguasa yang sombong dan gemar berfoya-foya, yang lebih mementingkan kemewahan pribadi daripada kesejahteraan rakyatnya.
Pola kehidupan masyarakat di kedua wilayah ini pun sangat berbeda. Penduduk Alpen terkenal tenang dan teratur, seolah-olah hidup dalam harmoni dengan alam yang keras di sekitar mereka. Sebaliknya, Nauruan lebih semarak dan ramai, meskipun kenyataannya mereka jauh lebih miskin dibandingkan Alpen. Ketidakseimbangan ini sebagian besar disebabkan oleh Count Veraga yang selalu iri dengan kemewahan Xerces, ibu kota kerajaan yang berkilau. Untuk mengatasi rasa iri tersebut, Count Veraga penerima mandat kerajaan untuk mengurus Nauruan. Dia berusaha keras agar Nauruan bisa tampil serupa dengan megahnya Xerces, meski kondisi sosial dan ekonomi wilayahnya tidak mendukung. Sedangkan banyak bangsawan dan aristokrat yang merasa penilaian kerajaan tidak adil, akibatnya pemerintahan Nauruan kacau balau karena yang berkepentingan sibuk dengan kepentingan masing-masing dan tidak saling mempercayai.
Wilayah Alpen, meskipun sangat luas, bahkan puluhan kali lebih besar daripada Xerces yang glamor, tidak menjadikannya kota yang penuh dengan kemewahan. Kota Alpen adalah kota yang makmur, namun kemakmuran itu berasal dari hasil tambang mereka, seperti batu bara, emas, dan berlian. Meskipun Alpen terletak di ujung negara, jauh dari hiruk-pikuk dunia, mereka tidak tertinggal berkat kepemimpinan Klan Griffith yang terkenal dengan tangan dinginnya. Kepemimpinan yang penuh ketegasan namun juga bijaksana ini menjadikan Alpen tetap bertahan dalam stabilitas meski dikelilingi ketegangan dan konflik.
Alpen memang luas, tiga kali lipat lebih besar dari Nauruan, namun wilayah tersebut sangat berbahaya. Letaknya yang bersinggungan langsung dengan tiga negara yang hingga kini masih enggan meraih perdamaian, menjadikannya wilayah yang rawan. Alpen, Skythia, dan Kargavs adalah tiga wilayah yang masih diperebutkan oleh enam kerajaan besar. Perang perebutan wilayah ini sudah berlangsung lebih dari dua abad, sejak era kepemimpinan Grand Duke Griffith generasi sebelumnya yang secara tegas dan mutlak menguasai Alpen setelah mengalahkan Zorthen dan Karzeth. Hingga saat ini telah menjaga Alpen dan Klan Griffith tetap mengendalikan wilayah ini dengan penuh kewibawaan.
---
---
Pagi itu, keluarga Galina menjalani rutinitas mereka seperti biasa. Atthy, seperti hari-hari sebelumnya, bangun lebih pagi untuk membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Rowt, dengan kebiasaannya, mulai menyiapkan sarapan, dibantu oleh Gafy yang dengan cekatan mengatur bahan-bahan yang diperlukan. Dimi, si bungsu, mengurus hewan peliharaan mereka serta memastikan stok protein hewani untuk keluarga cukup. Sementara itu, Ash dan Ay bertugas mengolah hasil buruan mereka, mengurus daging, kulit, dan bulu hewan yang mereka tangkap.
Berburu adalah keahlian utama penduduk Caihina. Kulit dan bulu binatang buruan menjadi komoditas unggulan yang sangat dihargai, menjadikan mereka terkenal di kalangan para pedagang. Kualitas kulit dan bulu yang mereka hasilkan sangat unggul, membuatnya dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan produk serupa dari wilayah lain.
Setelah sarapan, saat mereka duduk bersama di ruang makan, suasana hening sejenak. Hanya terdengar dentingan sendok beradu dengan piring dan suara napas yang tertahan. Atthy menggenggam erat ujung pakaiannya, merasa tekanan di dadanya semakin berat. Namun, ia tahu bahwa ia harus mengatakannya sekarang, sebelum keberaniannya goyah.
"Ayah, Kakek," panggilnya, suaranya terdengar mantap meskipun ada ketegangan yang terselip di dalamnya. "Aku sudah memikirkan mengenai lamaran pernikahan itu."
Ash, yang semula hanya menikmati sarapannya dengan diam, langsung mengangkat wajah. Sorot matanya tajam, penuh dengan evaluasi. "Atthy, jangan terburu-buru mengambil keputusan. Pikirkan dulu baik-baik!" serunya, suaranya sarat dengan kekhawatiran. "Baru semalam kami memberitahumu... Tidak ada keharusan untuk memutuskan secepat ini."
Atthy menghela napas panjang, seolah mencoba menenangkan diri. "Aku tahu, Ayah... Aku tidak tahu apakah keputusan ini terlalu terburu-buru atau tidak. Tapi, Ayah, aku merasa sudah memikirkannya dengan matang, dan aku memutuskan untuk menerima lamaran pernikahan itu."
Rowt, yang sejak tadi diam, kini menatap cucunya dengan serius. Tatapan pria tua itu tidak menyiratkan kemarahan, melainkan sorot tajam yang menguji keyakinan Atthy. "Atthy, kau yakin dengan keputusanmu?"
Atthy menelan ludah, tapi matanya tetap teguh. "Eum," jawabnya sambil mengangguk. "Ayah, Kakek... Seperti yang kalian katakan, ini adalah kesempatan langka. Lagi pula, dia seorang Grand Duke yang sangat disegani, dengan wilayah besar seperti Alpen..." Ia mengucapkannya dengan keyakinan yang dibuat-buat, meskipun ada sedikit kegelisahan yang mengintip di balik matanya.
Rowt tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, seolah mencari celah dalam keyakinan cucunya. "Atthy, apa kau yakin tidak mau memikirkannya lagi?" tanyanya sekali lagi, suaranya dalam dan penuh tekanan. "Masih ada waktu sebelum kita memberikan jawaban."
Atthy menatap wajah ayah dan kakeknya satu per satu, memastikan mereka melihat keteguhan dalam dirinya. "Ayah dan Kakek memintaku untuk memikirkannya, dan aku sudah melakukannya. Keputusan ini aku ambil setelah semalaman berpikir." Ia berhenti sejenak, sebelum melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih lembut, "Tapi... seandainya nanti kalian menemukan bahwa dia bukan pria yang baik untukku, aku akan menerima keputusan kalian. Kalian bisa menolaknya tanpa harus bertanya padaku."
Suaranya terdengar kuat, tetapi di balik ketegasannya, ada sesuatu yang tidak terucapkan—sebuah ketakutan halus yang berusaha ia sembunyikan. Ia mencoba memberi ruang untuk keputusan keluarganya, meskipun hatinya sudah mantap dengan pilihannya.
Rowt dan Ash saling berpandangan. Keheningan yang menyelimuti ruangan itu terasa semakin berat. Mereka mengenal Atthy dengan baik—anak ini tidak akan mengatakan sesuatu dengan setengah hati. Namun, keputusan ini bukan sesuatu yang bisa diambil dengan mudah.
Di tengah keheningan itu, Atthy kembali melanjutkan makannya dengan tenang, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang berselimut dalam dirinya. Tapi, meskipun ia terlihat tenang di luar, dadanya terasa sesak.
Ia tahu, keputusannya hari ini akan mengubah hidupnya selamanya.
''Baiklah kalau itu keputusanmu,'' ujar Ash, menatap lama wajah putrinya. Matanya yang biasanya tajam kini dipenuhi rasa khawatir yang sulit disembunyikan. Hatinya berat, tetapi ia tahu Atthy sudah memutuskan dengan tekad yang bulat. Dalam diam, ia merenungkan semua kemungkinan yang akan datang, sementara Atthy memandangnya dengan keyakinan. Begitu banyak yang dipertaruhkan, dan ia tak ingin Atthy merasakan beban keputusan ini sendirian.
''Atthy, kuharap ini akan jadi keputusan terbaik untukmu...'' ujar kakeknya, Rowtag, dengan suara berat, sambil menepuk kepala Atthy dengan lembut. Ada kehangatan dalam sentuhannya, namun juga kekhawatiran yang tidak bisa disembunyikan. Usianya sudah lanjut, tetapi semangatnya tetap menyala, meski ia tahu setiap langkah Atthy membawa mereka lebih jauh dari kenyamanan yang mereka kenal.
Atthy tersenyum tipis, meski di dalam hatinya, ia merasa seolah ada gumpalan ketegangan yang mengganjal. ''Terima kasih, Kek...'' jawabnya, matanya sedikit berkilau, namun senyumnya mengandung sedikit keraguan yang hanya bisa dirasakannya sendiri.
Ash bangkit dari sofa tua di ruang keluarga dengan gerakan cepat, memutus keheningan yang menggantung. ''Baiklah...'' ujarnya, suaranya penuh perintah yang biasa terdengar di rumah ini, meskipun ada kecemasan yang masih mengerling di matanya. ''Ay, kabari yang lain. Kita akan melakukan konvoi!''
''Baik, Ayah,'' jawab Ay dengan suara tegas, tetapi ada kerutan tipis di dahinya, menandakan pikirannya melayang, mengkhawatirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia tahu betul keputusan ini bukan hanya soal bisnis. Ini adalah keputusan yang bisa mengubah hidup mereka, terutama kakaknya.
''Kak, aku akan membantumu,'' ujar Dimi dengan wajah semringah, langsung mengejar kakaknya. Meskipun ceria, ada kilatan kecemasan di matanya yang tak terucapkan, merasa terjebak di antara rasa hormat pada keputusan Atthy dan kecemasan yang menggelayuti hatinya.
''Baiklah, aku mempersiapkan barang dagangan kita,'' ujar Atthy dengan keyakinan yang ia coba tunjukkan, meski di dalam hatinya, ada suara kecil yang bertanya-tanya apakah ia telah membuat keputusan yang tepat. Dia berpamitan pada kakeknya dan juga Gafy yang sudah mulai sibuk dengan meja makan.
''Kak, aku akan segera membantumu setelah aku membereskan meja makan...'' sahut Gafy dengan semangat, dan Atthy mengangguk dengan senyum di bibirnya. Melihat adik bungsunya begitu penuh semangat sedikit membantu meredakan ketegangan di hatinya, meskipun dia tahu, keputusan besar sedang menunggu mereka di luar sana.
Namun, dalam diam, Atthy merasakan ketegangan yang semakin menggelayuti pikirannya. Keputusan ini bukan hanya tentang pernikahan. Ini adalah pintu yang akan membawanya ke dunia yang jauh lebih besar, dengan potensi bahaya yang tak terlihat. Meskipun ia mencoba menenangkan dirinya dengan senyum, di balik tatapannya, ada ketidakpastian yang menyelimuti hati kecilnya. Apa yang akan terjadi setelah ini?
---
Hai, aku wolfy... Penulis cerita ini. Simak juga ceritaku yang lainnya... WANITA UNTUK MANUSIA BUAS (sudah tamat tapi sulit sekali mendapat kontrak dari GOODNOVEL) PAMANKU SUAMIKU MENJEMPUT ISTRIKU DUNIA MANUSIA BUAS SUAMIKU YANG BERBAHAYA KARENA KEBODOHANKU, AKU HAMPIR KEHILANGAN SUAMIKU SINGA BETINA MILIKKU (sequel lanjutan dari WANITA UNTUK MANUSIA BUAS, hanya saja kali ini wanita dari DUNIA MANUSIA BUAS yang terlempar ke DUNIA MODERN dan bertemu dengan CEO gahar.
**Bab 079 Perasaan Hati**Dapur Manor Eldoria terasa sunyi meski api di perapian masih menyala redup. Aroma teh yang mulai mendingin bercampur dengan udara dingin yang menyelinap masuk dari celah jendela. Helena duduk diam di kursinya, jemarinya mengaduk perlahan cangkir teh yang sudah kehilangan uapnya. Matanya menatap kosong ke permukaan meja, pikirannya melayang entah ke mana.Saihan melangkah masuk dengan ekspresi datar, namun sorot matanya tajam. Ia bersedekap sambil bersandar pada ambang pintu, memperhatikan Helena yang tampak muram."Kau belum tidur sejak semalam," ujar Saihan akhirnya.Helena menghela napas panjang sebelum menjawab lirih, "Aku tidak bisa. Aku terus memikirkan Duchess. Dia pasti ketakutan..."Saihan menggerakkan bahunya sedikit, seolah menepis pemikiran itu. "Leah tidak akan mudah menyerah. Aku mengenalnya lebih lama daripada kalian semua. Dia akan bertahan."Helena mengangkat pandangannya, menatap Saihan penuh keraguan. "Aku ingin percaya itu. Tapi tiga minggu
**Bab 078 Tekad**Manor Eldoria – Ruang Kerja DukeMalam telah larut, tetapi Hugh masih berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, menatap hamparan salju yang perlahan menutupi halaman Manor Eldoria. Udara dingin merayap masuk melalui celah kecil di jendela, seakan mencerminkan kebekuan yang masih tersisa dalam dirinya. Di luar sana, Ash telah pergi, membawa serta beban kekhawatiran seorang ayah. Namun, tanggung jawab kini sepenuhnya berada di pundaknya.Ruang kerja yang biasanya teratur kini tampak kacau. Beberapa peta terbuka di meja, dokumen berserakan, dan lilin yang hampir habis terbakar menunjukkan berapa lama Hugh telah tenggelam dalam pikirannya. Api di perapian menyala redup, menciptakan bayangan samar di dinding batu yang dingin.Hugh mengambil salah satu lembaran peta yang terbuka di mejanya. Matanya menelusuri titik-titik yang terhubung, mencoba merangkai jejak yang menghilang. Dengan gerakan tegas, ia mulai menunjuk satu per satu kemungkinan, mengolah setiap potongan
**Bab 077 Kembali Ke Caihina**Lorong di Manor Eldoria terasa sunyi ketika Ash akhirnya menemukan Helena berdiri di dekat jendela besar, menatap langit malam yang kelam. Cahaya lilin dari dinding menerangi wajahnya yang terlihat tenang, tetapi Ash tahu ada beban berat yang disembunyikannya."Lady Helena," panggil Ash dengan suara lembut.Helena menoleh, sedikit terkejut. "Tuan Galina.""Ash, saja."Helena terdiam sesaat, seolah menimbang sesuatu sebelum menjawab. "Bagaimana saya akan memanggil begitu pada—""Lady Helena, putriku telah mengakuimu sebagai sosok pengganti ibunya. Aku tahu siapa putriku, dia tidak akan mengakui itu pada sembarangan orang."Helena tertegun. Tatapan Ash serius, penuh kehangatan seorang ayah yang menilai seseorang tidak hanya dari tindakan, tetapi juga dari hatinya."Aku sendiri pun memahami kenapa putriku bisa bersikap seperti itu padamu. Kau memang memberikan kenyamanan. Aku tidak tahu bagaimana Atthy melihatnya, tapi aku nyaman bersamamu."Helena menunduk
**Bab 076 Meyakinkan**Manor Eldoria – Ruang Perjamuan PribadiHawa dingin masih terasa meskipun api di perapian menyala terang. Dua pria duduk berhadapan, keduanya memancarkan aura yang tak bisa diabaikan. Ashton Galina, dengan ekspresi tegas dan bahunya yang menegang, menatap Vadim Griffith yang tetap duduk tenang, meski sorot matanya tajam dan tak kalah kuat.Sejenak, keduanya hanya diam, menakar satu sama lain dalam keheningan yang penuh ketegangan.“Bagaimana bisa hingga saat ini, tidak ada satu pun petunjuk tentang keberadaan putri saya?” tanya Ash akhirnya, suaranya terdengar berat dan dipenuhi kekecewaan. “Dengan kekuasaan sebesar ini, Anda ingin saya percaya bahwa Anda benar-benar tidak memiliki apa pun di tangan?”Vadim tetap tak bereaksi. Dia hanya mengambil cangkir teh di depannya, meniup uapnya sebentar, lalu menyeruputnya dengan tenang sebelum akhirnya menjawab, “Aku mengerti frustrasimu, Tuan Galina. Kau ingin jawaban cepat, seperti seorang ayah yang kehilangan putrinya
**Bab 075 Introspeksi**Ruang Rapat Manor EldoriaSalju yang terus turun di luar jendela membuat suasana di dalam ruangan terasa semakin dingin dan suram. Cahaya lampu minyak berpendar samar di dinding batu, menciptakan bayangan yang bergerak seiring api yang bergetar.Vadim Griffith duduk di kursinya, wajahnya tanpa ekspresi seperti patung marmer. Di hadapannya berdiri tiga orang: Helena, Alwyn, dan Saihan."Grand Duke," Alwyn akhirnya memecah keheningan, "kami harus membicarakan sesuatu yang penting."Vadim menatapnya sekilas, lalu menoleh ke arah Saihan dan Helena. "Bicaralah.""Tiga minggu sudah berlalu, tapi kita belum memiliki kepastian tentang keberadaan Duchess," ujar Saihan, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Tuan Ash jelas semakin tidak sabar. Dan Duke Hugh… kondisinya semakin buruk.""Aku tahu itu." Suara Vadim tetap datar."Tapi apakah Anda benar-benar menyadari dampaknya?" kali ini Helena yang angkat bicara. "Duke Hugh adalah pemimpin Skythia, tetapi dia juga seorang p
**Bab 074 Tamparan**Salju yang turun perlahan membungkus Manor Eldoria dalam keheningan yang semakin menyesakkan. Di beranda kamar Atthy, Hugh berdiri mematung, memandangi hamparan putih yang seolah tak berujung. Dingin yang menggigit tidak ia pedulikan, sama seperti ia tidak memedulikan waktu yang terus berjalan."Tuanku Duke..." panggil Helena, suaranya lembut namun cukup tegas untuk menembus lamunan Hugh.Hugh tidak menjawab, tapi Helena tahu bahwa ia sadar akan keberadaannya."Tuanku Hugh, Anda peduli pada Duchess, bukan?"Hugh tetap diam, tatapannya masih terpaku pada pemandangan luas di hadapannya dengan sorot mata sayu."Apakah Anda benar-benar peduli pada Duchess atau ini hanya formalitas karena harga diri Anda terusik?"Kali ini, mata Hugh beralih menatap Helena—bukan dengan kesedihan, melainkan dengan ketajaman yang menusuk.Helena menahan napas sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih mantap. "Saat ini saya tidak memposisikan diri saya sebagai pelayan Anda, melain
**Bab 073 Kegundahan Ash**Salju turun perlahan di luar Manor Eldoria, menambah kesan sunyi dan muram yang sudah menyelimuti tempat itu selama dua minggu terakhir. Dingin menusuk hingga ke dalam, merayapi dinding-dinding batu yang kokoh. Di halaman, prajurit-prajurit masih berjaga, wajah mereka menunjukkan kelelahan yang tak terucapkan. Pencarian terus berlanjut, namun harapan semakin menipis.Di dalam sebuah ruang tunggu yang diterangi api perapian, suasana tak kalah tegang. Beberapa orang berdiri dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri.''Tuan Ash, bagaimana dengan Tuan Rowt dan anak-anak?'' tanya Saihan, suaranya penuh kehati-hatian.Ash menghela napas panjang, sorot matanya yang lelah menatap lurus ke depan. ''Bagaimana aku akan pulang jika tidak ada kepastian mengenai putriku?''''Tuan Ash, Anda pun tahu kalau kami telah mengerahkan segala yang kami bisa... Lagi pula, Leah tidak akan diam-diam menunggu. Kita percaya padanya,'' ujar Saihan, mencoba meyakinkan.
**Bab 072 Vadim dan Ash**"Selamat siang, Yang Mulia Grand Duke Griffith." sapa Ash saat memasuki ruangan di mana Vadim telah menunggunya."Selamat siang, Tuan Ashton Galina," balas Vadim sambil mempersilakan Ash duduk di hadapannya. Tatapannya tajam, menilai pria di depannya dengan penuh kewaspadaan."Tuan Galina, mari kita langsung ke pokok permasalahan. Aku yakin kita berdua tidak menyukai basa-basi yang tidak perlu."Ash mengangguk, ekspresinya tetap tegas. "Terima kasih atas pengertiannya, Grand Duke. Kita sama-sama tahu situasi yang sedang terjadi. Maka, izinkan saya bertanya langsung. Sebagai pemimpin keluarga Griffith, bagaimana pertanggungjawaban Anda atas hilangnya anak perempuan saya?"Vadim tidak segera menjawab. Dia menatap Ash, membiarkan ketegangan menggantung di antara mereka sebelum akhirnya berbicara, suaranya dalam dan penuh otoritas. "Aku mengerti keresahanmu. Anak perempuanmu adalah menantuku. Kehormatan Griffith dipertaruhkan atas dirinya."Mata Ash menyipit sedi
**Bab 071 Vadim dan Athaleyah**Kediaman Manor Eldoria - Ruang Tamu KhususRuangan itu luas, namun atmosfernya terasa menekan. Api di perapian menyala redup, memancarkan cahaya keemasan yang membentuk bayangan panjang di dinding batu. Hawa dingin dari luar tetap terasa, meski ruangan ini sudah dihangatkan. Di dalamnya, duduklah seorang wanita dengan sorot mata yang tajam, tetapi posturnya tetap menunjukkan kehormatan yang dijunjungnya.Athaleyah Galina Nauruan.Di hadapannya, berdiri seorang pria dengan aura dominasi yang luar biasa. Vadim Griffith.Sejenak, tak ada yang berbicara. Hanya suara api yang berderak perlahan.Vadim menatapnya, dalam dan tajam. Dia telah mendapatkan cukup banyak informasi tentang wanita di hadapannya, wanita yang memiliki nama yang sama dengan istri putranya. Namun, mengetahui dari laporan dan menghadapinya secara langsung adalah dua hal yang berbeda.Athaleyah tidak gentar. Meskipun di hadapannya berdiri salah satu pria paling berkuasa di wilayah utara, ia