**Bab 005: Utara dan Selatan**
Sejak zaman dahulu, sistem hierarki sosial yang kental, baik dalam pemerintahan maupun masyarakat, memperburuk kesulitan rakyat jelata untuk keluar dari belenggu gurun pasir dan sabana yang keras.
Awalnya, garam dan kulit hewan adalah komoditas utama yang menopang ekonomi Caihina. Namun, setelah ditemukan pertambangan besi, banyak masyarakat Caihina mulai mempelajari seni pandai besi. Kehidupan yang keras di wilayah ini memaksa mereka untuk menguasai berbagai keterampilan demi bertahan hidup.
Berkat ketangguhan masyarakatnya, meski Caihina terpencil dan sering terlupakan oleh pemerintahan kerajaan, wilayah ini tetap mampu mandiri.
Sebagian besar masyarakat Caihina sebenarnya tidak miskin. Namun, latar belakang mereka yang berasal dari rakyat jelata dan dikenal sebagai suku terbelakang membuat mereka selalu terpinggirkan. Padahal, garam dan kulit binatang dari Caihina sangat mahal di pasaran, meski sebagian besar orang luar tidak mengetahuinya.
Awalnya, perdagangan garam dan kulit binatang di Caihina dikuasai oleh pembesar-pembesar Nauruan. Namun, sejak Rowt mendapat gelar Baron, ia memperoleh akses kekuasaan atas jalur perdagangan, dan perlahan, monopoli perdagangan hasil bumi Caihina mulai berubah. Masyarakat Caihina akhirnya dapat menikmati hasil jerih payah mereka, baik dari menambang garam maupun mengolah kulit binatang. Namun, keberhasilan ini membuat Rowt dibenci oleh kalangan aristokrat, sebab kesuksesan itu mengancam dominasi mereka. Melihat kondisi ini, Rowt tetap mempertahankan gelar Baronnya meski harus membayar pajak tinggi.
Bagi para aristokrat, kejadian seperti ini menjadi pelajaran berharga. Mereka melihat Rowt—seorang rakyat jelata yang menjadi bangsawan—sebagai ancaman. Sejak saat itu, mereka terus mewaspadai dan menghalangi setiap usaha Rowt untuk bangkit kembali.
Meskipun Rowt dan Ash berjuang keras melawan elit bangsawan yang terus menekan mereka, mereka tak pernah menyerah. Mereka berusaha agar perdagangan Caihina tetap berjalan, meski harus menghadapi kondisi perbatasan yang semakin berbahaya, terutama di hutan yang berbatasan dengan Nauruan. Setiap kali dagangan mereka terkumpul, baik Rowt maupun Ash selalu ada di depan untuk memimpin perdagangan. Dan lebih membanggakan lagi, Atthy dan Ay pun mulai mengikuti jejak mereka.
Menjadi penambang garam, pemburu, pandai besi, dan pedagang adalah pekerjaan sehari-hari bagi keluarga Rowt. Bahkan Atthy, sebagai wanita, ikut terjun mengerjakannya. Bukan hanya keluarga Rowt, tetapi sebagian besar masyarakat Caihina menjalani hidup serupa. Pekerjaan ekstrem seperti berburu dan menjadi pandai besi bahkan dilakukan oleh wanita seperti Atthy. Ini bukan hal luar biasa di Caihina, sebab banyak remaja wanita Caihina lainnya yang dibesarkan dengan didikan keras. Sejak usia sembilan tahun, anak laki-laki sudah bisa berburu secara mandiri, sementara remaja wanita baru bisa berburu bersama saudara laki-laki atau ayah mereka setelah mereka berusia tiga belas tahun. Tradisi ini sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Caihina.
Gurun dan sabana adalah wilayah yang keras dan tidak mengenal ampun. Tak hanya dibutuhkan fisik yang kuat, tetapi juga mental yang kokoh untuk bertahan hidup di tempat seperti ini. Karena itulah, wanita-wanita Caihina dikenal sebagai sosok yang tangguh dan berwibawa, tidak kalah dengan para pria. Meski wilayah ini terkenal dengan iklim yang terik, masyarakatnya tidak menjadi keras. Justru, mereka sangat terbuka dan saling membantu satu sama lain.
Sebagai seseorang yang pernah berada di dunia sosialita bangsawan, Rowt sangat mengerti betapa pentingnya pendidikan. Meskipun hidup dalam kemiskinan, dia yakin bahwa belajar adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik. Pengalaman hidupnya yang penuh liku itulah yang membuat Rowt berhasil mendidik anak cucunya, meski hanya dengan pendidikan dasar. Ash, yang pernah mengenyam pendidikan akademi hingga lulus, memiliki pemahaman yang lebih luas dan memudahkannya untuk menikahi Laura. Pendidikan yang dimiliki Ash juga yang membuatnya mampu melawan intimidasi para bangsawan, aristokrat, atau pun pembesar-pembesar yang masih suka mengganggu masyarakat Caihina, khususnya pedagang, dengan mengatasnamakan hukum pemerintahan.
Atthy, meski tidak mengenyam pendidikan formal, mendapat pendidikan dasar seorang bangsawan dari ibunya yang dulu merupakan guru etiket sebelum menikah dengan Ash. Pendidikan tersebut menjadi bekal bagi Atthy untuk menjalani hidup meskipun dalam kesulitan.
Namun, saat ini Atthy belum memiliki keinginan untuk menikah. Di satu sisi, dia merasa terikat pada keluarganya yang membutuhkan, terutama Gafy. Keinginan adiknya untuk melihat dunia lebih luas membuat Atthy mulai mempertimbangkan masa depannya. Meskipun demikian, dia tahu bahwa kehidupannya tidak semudah yang dibayangkan Gafy.
Atthy sangat menyadari betapa kerasnya hidup mereka. Keluarganya memang bahagia meski hidup serba kekurangan, tetapi dia juga tahu bahwa kenyataan yang mereka hadapi jauh lebih sulit daripada yang tampak di luar. Namun, yang lebih mengkhawatirkannya adalah kesehatan Gafy. Atthy merasa jika memiliki lebih banyak sumber daya, dia bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi adik-adiknya. Gafy dan Dimi berhak merasakan kehidupan yang lebih layak, dan Atthy berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan berusaha semampunya untuk mewujudkannya.
---
---
Alpen di utara tidak jauh berbeda dengan Nauruan di selatan. Kedua kota tersebut merupakan kota besar yang terletak di perbatasan Kerajaan Xipil, dan keduanya sangat dihindari oleh banyak orang karena medan dan kontur wilayahnya yang sangat berbahaya. Wilayahnya memang luas, namun banyak bangsawan yang enggan terlibat dalam urusan di Alpen, mengingat tingginya risiko konflik yang melibatkan wilayah-wilayah perbatasan kerajaan.
Namun, meskipun keduanya berbagi kesamaan dalam hal tantangan geografis, perbedaan mencolok antara Alpen dan Nauruan terletak pada siapa yang menguasainya. Alpen, yang beriklim dingin, dikuasai oleh seorang Grand Duke yang tegas dan berwibawa. Kepemimpinannya yang kuat menjaga stabilitas di wilayah tersebut meskipun sering kali dilanda potensi konflik. Sementara itu, Nauruan, yang memiliki iklim tropis hingga cenderung panas dan seharusnya bisa makmur dengan tanahnya yang subur, justru dilanda gejolak akibat penguasa yang sombong dan gemar berfoya-foya, yang lebih mementingkan kemewahan pribadi daripada kesejahteraan rakyatnya.
Pola kehidupan masyarakat di kedua wilayah ini pun sangat berbeda. Penduduk Alpen terkenal tenang dan teratur, seolah-olah hidup dalam harmoni dengan alam yang keras di sekitar mereka. Sebaliknya, Nauruan lebih semarak dan ramai, meskipun kenyataannya mereka jauh lebih miskin dibandingkan Alpen. Ketidakseimbangan ini sebagian besar disebabkan oleh Count Veraga yang selalu iri dengan kemewahan Xerces, ibu kota kerajaan yang berkilau. Untuk mengatasi rasa iri tersebut, Count Veraga penerima mandat kerajaan untuk mengurus Nauruan. Dia berusaha keras agar Nauruan bisa tampil serupa dengan megahnya Xerces, meski kondisi sosial dan ekonomi wilayahnya tidak mendukung. Sedangkan banyak bangsawan dan aristokrat yang merasa penilaian kerajaan tidak adil, akibatnya pemerintahan Nauruan kacau balau karena yang berkepentingan sibuk dengan kepentingan masing-masing dan tidak saling mempercayai.
Wilayah Alpen, meskipun sangat luas, bahkan puluhan kali lebih besar daripada Xerces yang glamor, tidak menjadikannya kota yang penuh dengan kemewahan. Kota Alpen adalah kota yang makmur, namun kemakmuran itu berasal dari hasil tambang mereka, seperti batu bara, emas, dan berlian. Meskipun Alpen terletak di ujung negara, jauh dari hiruk-pikuk dunia, mereka tidak tertinggal berkat kepemimpinan Klan Griffith yang terkenal dengan tangan dinginnya. Kepemimpinan yang penuh ketegasan namun juga bijaksana ini menjadikan Alpen tetap bertahan dalam stabilitas meski dikelilingi ketegangan dan konflik.
Alpen memang luas, tiga kali lipat lebih besar dari Nauruan, namun wilayah tersebut sangat berbahaya. Letaknya yang bersinggungan langsung dengan tiga negara yang hingga kini masih enggan meraih perdamaian, menjadikannya wilayah yang rawan. Alpen, Skythia, dan Kargavs adalah tiga wilayah yang masih diperebutkan oleh enam kerajaan besar. Perang perebutan wilayah ini sudah berlangsung lebih dari dua abad, sejak era kepemimpinan Grand Duke Griffith generasi sebelumnya yang secara tegas dan mutlak menguasai Alpen setelah mengalahkan Zorthen dan Karzeth. Hingga saat ini telah menjaga Alpen dan Klan Griffith tetap mengendalikan wilayah ini dengan penuh kewibawaan.
---
---
Pagi itu, keluarga Galina menjalani rutinitas mereka seperti biasa. Atthy, seperti hari-hari sebelumnya, bangun lebih pagi untuk membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Rowt, dengan kebiasaannya, mulai menyiapkan sarapan, dibantu oleh Gafy yang dengan cekatan mengatur bahan-bahan yang diperlukan. Dimi, si bungsu, mengurus hewan peliharaan mereka serta memastikan stok protein hewani untuk keluarga cukup. Sementara itu, Ash dan Ay bertugas mengolah hasil buruan mereka, mengurus daging, kulit, dan bulu hewan yang mereka tangkap.
Berburu adalah keahlian utama penduduk Caihina. Kulit dan bulu binatang buruan menjadi komoditas unggulan yang sangat dihargai, menjadikan mereka terkenal di kalangan para pedagang. Kualitas kulit dan bulu yang mereka hasilkan sangat unggul, membuatnya dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan produk serupa dari wilayah lain.
Setelah sarapan, saat mereka duduk bersama di ruang makan, suasana hening sejenak. Hanya terdengar dentingan sendok beradu dengan piring dan suara napas yang tertahan. Atthy menggenggam erat ujung pakaiannya, merasa tekanan di dadanya semakin berat. Namun, ia tahu bahwa ia harus mengatakannya sekarang, sebelum keberaniannya goyah.
"Ayah, Kakek," panggilnya, suaranya terdengar mantap meskipun ada ketegangan yang terselip di dalamnya. "Aku sudah memikirkan mengenai lamaran pernikahan itu."
Ash, yang semula hanya menikmati sarapannya dengan diam, langsung mengangkat wajah. Sorot matanya tajam, penuh dengan evaluasi. "Atthy, jangan terburu-buru mengambil keputusan. Pikirkan dulu baik-baik!" serunya, suaranya sarat dengan kekhawatiran. "Baru semalam kami memberitahumu... Tidak ada keharusan untuk memutuskan secepat ini."
Atthy menghela napas panjang, seolah mencoba menenangkan diri. "Aku tahu, Ayah... Aku tidak tahu apakah keputusan ini terlalu terburu-buru atau tidak. Tapi, Ayah, aku merasa sudah memikirkannya dengan matang, dan aku memutuskan untuk menerima lamaran pernikahan itu."
Rowt, yang sejak tadi diam, kini menatap cucunya dengan serius. Tatapan pria tua itu tidak menyiratkan kemarahan, melainkan sorot tajam yang menguji keyakinan Atthy. "Atthy, kau yakin dengan keputusanmu?"
Atthy menelan ludah, tapi matanya tetap teguh. "Eum," jawabnya sambil mengangguk. "Ayah, Kakek... Seperti yang kalian katakan, ini adalah kesempatan langka. Lagi pula, dia seorang Grand Duke yang sangat disegani, dengan wilayah besar seperti Alpen..." Ia mengucapkannya dengan keyakinan yang dibuat-buat, meskipun ada sedikit kegelisahan yang mengintip di balik matanya.
Rowt tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, seolah mencari celah dalam keyakinan cucunya. "Atthy, apa kau yakin tidak mau memikirkannya lagi?" tanyanya sekali lagi, suaranya dalam dan penuh tekanan. "Masih ada waktu sebelum kita memberikan jawaban."
Atthy menatap wajah ayah dan kakeknya satu per satu, memastikan mereka melihat keteguhan dalam dirinya. "Ayah dan Kakek memintaku untuk memikirkannya, dan aku sudah melakukannya. Keputusan ini aku ambil setelah semalaman berpikir." Ia berhenti sejenak, sebelum melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih lembut, "Tapi... seandainya nanti kalian menemukan bahwa dia bukan pria yang baik untukku, aku akan menerima keputusan kalian. Kalian bisa menolaknya tanpa harus bertanya padaku."
Suaranya terdengar kuat, tetapi di balik ketegasannya, ada sesuatu yang tidak terucapkan—sebuah ketakutan halus yang berusaha ia sembunyikan. Ia mencoba memberi ruang untuk keputusan keluarganya, meskipun hatinya sudah mantap dengan pilihannya.
Rowt dan Ash saling berpandangan. Keheningan yang menyelimuti ruangan itu terasa semakin berat. Mereka mengenal Atthy dengan baik—anak ini tidak akan mengatakan sesuatu dengan setengah hati. Namun, keputusan ini bukan sesuatu yang bisa diambil dengan mudah.
Di tengah keheningan itu, Atthy kembali melanjutkan makannya dengan tenang, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang berselimut dalam dirinya. Tapi, meskipun ia terlihat tenang di luar, dadanya terasa sesak.
Ia tahu, keputusannya hari ini akan mengubah hidupnya selamanya.
''Baiklah kalau itu keputusanmu,'' ujar Ash, menatap lama wajah putrinya. Matanya yang biasanya tajam kini dipenuhi rasa khawatir yang sulit disembunyikan. Hatinya berat, tetapi ia tahu Atthy sudah memutuskan dengan tekad yang bulat. Dalam diam, ia merenungkan semua kemungkinan yang akan datang, sementara Atthy memandangnya dengan keyakinan. Begitu banyak yang dipertaruhkan, dan ia tak ingin Atthy merasakan beban keputusan ini sendirian.
''Atthy, kuharap ini akan jadi keputusan terbaik untukmu...'' ujar kakeknya, Rowtag, dengan suara berat, sambil menepuk kepala Atthy dengan lembut. Ada kehangatan dalam sentuhannya, namun juga kekhawatiran yang tidak bisa disembunyikan. Usianya sudah lanjut, tetapi semangatnya tetap menyala, meski ia tahu setiap langkah Atthy membawa mereka lebih jauh dari kenyamanan yang mereka kenal.
Atthy tersenyum tipis, meski di dalam hatinya, ia merasa seolah ada gumpalan ketegangan yang mengganjal. ''Terima kasih, Kek...'' jawabnya, matanya sedikit berkilau, namun senyumnya mengandung sedikit keraguan yang hanya bisa dirasakannya sendiri.
Ash bangkit dari sofa tua di ruang keluarga dengan gerakan cepat, memutus keheningan yang menggantung. ''Baiklah...'' ujarnya, suaranya penuh perintah yang biasa terdengar di rumah ini, meskipun ada kecemasan yang masih mengerling di matanya. ''Ay, kabari yang lain. Kita akan melakukan konvoi!''
''Baik, Ayah,'' jawab Ay dengan suara tegas, tetapi ada kerutan tipis di dahinya, menandakan pikirannya melayang, mengkhawatirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia tahu betul keputusan ini bukan hanya soal bisnis. Ini adalah keputusan yang bisa mengubah hidup mereka, terutama kakaknya.
''Kak, aku akan membantumu,'' ujar Dimi dengan wajah semringah, langsung mengejar kakaknya. Meskipun ceria, ada kilatan kecemasan di matanya yang tak terucapkan, merasa terjebak di antara rasa hormat pada keputusan Atthy dan kecemasan yang menggelayuti hatinya.
''Baiklah, aku mempersiapkan barang dagangan kita,'' ujar Atthy dengan keyakinan yang ia coba tunjukkan, meski di dalam hatinya, ada suara kecil yang bertanya-tanya apakah ia telah membuat keputusan yang tepat. Dia berpamitan pada kakeknya dan juga Gafy yang sudah mulai sibuk dengan meja makan.
''Kak, aku akan segera membantumu setelah aku membereskan meja makan...'' sahut Gafy dengan semangat, dan Atthy mengangguk dengan senyum di bibirnya. Melihat adik bungsunya begitu penuh semangat sedikit membantu meredakan ketegangan di hatinya, meskipun dia tahu, keputusan besar sedang menunggu mereka di luar sana.
Namun, dalam diam, Atthy merasakan ketegangan yang semakin menggelayuti pikirannya. Keputusan ini bukan hanya tentang pernikahan. Ini adalah pintu yang akan membawanya ke dunia yang jauh lebih besar, dengan potensi bahaya yang tak terlihat. Meskipun ia mencoba menenangkan dirinya dengan senyum, di balik tatapannya, ada ketidakpastian yang menyelimuti hati kecilnya. Apa yang akan terjadi setelah ini?
---
Hai, aku wolfy... Penulis cerita ini. Simak juga ceritaku yang lainnya... WANITA UNTUK MANUSIA BUAS (sudah tamat tapi sulit sekali mendapat kontrak dari GOODNOVEL) PAMANKU SUAMIKU MENJEMPUT ISTRIKU DUNIA MANUSIA BUAS SUAMIKU YANG BERBAHAYA KARENA KEBODOHANKU, AKU HAMPIR KEHILANGAN SUAMIKU SINGA BETINA MILIKKU (sequel lanjutan dari WANITA UNTUK MANUSIA BUAS, hanya saja kali ini wanita dari DUNIA MANUSIA BUAS yang terlempar ke DUNIA MODERN dan bertemu dengan CEO gahar.
**Bab 085 Perjamuan 2**Pengumuman resmi berkumandang, menggema di seluruh aula perjamuan yang telah dipenuhi aristokrat dari seluruh penjuru Xipil."Yang Mulia Ratu Silvia dan Yang Mulia Putra Mahkota Cavero memasuki aula perjamuan."Sekejap, semua perhatian tertuju ke arah pintu utama. Pembicaraan yang semula memenuhi ruangan sontak mereda. Para hadirin segera memberi salam dengan penuh hormat, beberapa membungkukkan badan, sementara yang lain hanya menundukkan kepala dengan elegan.Ratu Silvia melangkah dengan anggun, gaun mewahnya berkilauan di bawah cahaya chandelier. Senyum manis terukir di bibirnya, tetapi mata tajamnya menelusuri ruangan seperti seorang pemburu yang menilai keadaan sebelum bergerak. Di sisinya, Putra Mahkota Cavero berjalan dengan tenang, wajahnya tetap tegas dan penuh wibawa, berbeda dengan adik lain ibunya, Pangeran Davion, yang tampak tersenyum penuh percaya diri di samping Grand Duke Darram.Tak butuh waktu lama sebelum Darram dan sekutunya menghampiri."S
**Bab 084 Perjamuan**Aula istana bersinar di bawah cahaya ratusan lilin yang tergantung pada chandelier kristal raksasa. Musik gesekan biola dan dentingan piano mengalun lembut, menciptakan suasana yang tampak hangat tetapi sarat ketegangan tersembunyi. Para tamu mulai berdatangan, mengenakan pakaian terbaik mereka, menyapa satu sama lain dengan senyum penuh perhitungan.Kelompok aristokrat berkumpul dalam lingkaran-lingkaran kecil, masing-masing sibuk dengan kepentingan mereka sendiri."Duke Laurent tampaknya semakin berpengaruh tahun ini," bisik seorang Count dari wilayah barat. "Lihat saja bagaimana dia dikerumuni oleh para saudagar besar.""Tentu saja," sahut seorang Count dengan nada geli. "Pelabuhan barat tetap menjadi urat nadi perdagangan internasional Xipil. Siapa pun yang ingin bertahan dalam dunia bisnis di barat harus tetap berada di sisinya."Tak jauh dari mereka, kelompok para istri bangsawan juga sibuk dengan pembicaraan mereka sendiri."Hei, Hugh Skythia malam ini dat
**Bab 083 Rapat Tahunan 2**Ruangan kembali sunyi sejenak setelah pernyataan Vadim. Kata-katanya tidak menyudutkan secara langsung, tetapi cukup untuk membuat semua orang merenung.Cavero menatap Aldrich dengan ekspresi netral. "Saya ingin bertanya satu hal, Count Veraga. Jika selatan ingin diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri, strategi konkret apa yang Anda miliki untuk memastikan keadaan tidak akan terus seperti ini di tahun-tahun mendatang?"Aldrich terdiam. Ia jelas tidak menyangka pertanyaan itu akan langsung diarahkan kepadanya. Beberapa perwakilan selatan yang hadir tampak gelisah, menyadari bahwa jawaban yang diberikan bisa menentukan bagaimana mereka akan diperlakukan ke depannya.Laurent tersenyum tipis dan melirik Cavero. "Pertanyaan yang menarik. Jika selatan memang ingin mempertahankan otonominya, maka seharusnya ada solusi yang bisa mereka tawarkan. Saya kira kita semua di sini ingin mendengar itu."Aldrich menarik napas dalam. "Kami... kami sedang berupaya mening
**Bab 082 Rapat Tahunan**Tegang menyelimuti para bangsawan selatan seketika itu juga ketika Cavero akhirnya menunjuk giliran mereka untuk tampil bersuara setelah diam hampir di sepanjang rapat.Cavero menatap Aldrich dengan penuh perhatian. Jawaban yang diberikan perwakilan selatan barusan tidak lebih dari pengakuan terselubung bahwa mereka memang tidak memiliki kendali penuh atas wilayah mereka sendiri. Beberapa peserta rapat mulai berbisik satu sama lain, tetapi tidak ada yang secara langsung menanggapi. Hingga akhirnya, suara Laurent terdengar di ruangan."Rumit, ya?" Laurent mengulangi kata-kata Veraga dengan nada datar. "Saya kira itu adalah penjelasan yang paling sering kita dengar dari faksi selatan setiap tahunnya. Tapi mungkin kali ini Anda bisa menjelaskan lebih rinci, Count Aldrich Veraga. Apa yang sebenarnya terjadi di wilayah Anda? Apakah ada ancaman nyata, atau ini hanya sekadar masalah ketidakmampuan untuk mengelola para aristokrat di sana?"Beberapa kepala menoleh ke
**Bab 081 Dampak****Di barak para prajurit**''Yang benar saja...'' ujar Kevin dengan nada kesal, matanya menyapu ruangan yang terasa begitu berat oleh ketegangan.''Apa? Baru datang dan langsung mengeluh...'' sahut Saihan, nada suaranya tajam, tak kalah kesal.''Justru itu! Setelah sebulan penuh berkutat dengan dokumen yang tidak ada habisnya, akhirnya aku punya waktu untuk mengunjungi kalian. Tapi... apakah separah ini?''''Kau mau mengeluh?''Kevin menghela napas panjang, menekan emosinya yang mulai mendidih. ''Duchess menghilang tanpa jejak selama satu bulan, dan penyelidikan yang dilakukan Grand Duke hingga bersitegang dengan Margrave tetap tidak menemukan apa pun. Apa ini masuk akal? Sejak kapan kualitas kita menurun seperti ini?''---FLASHBACK satu minggu yang lalu**Rapat Tahunan Kerajaan **Di aula megah istana kerajaan Xipil, para bangsawan terkemuka telah berkumpul untuk menghadiri rapat tahunan. Meja besar yang melingkar di tengah ruangan diisi oleh perwakilan dari berba
**Bab 080 Kerja Sama**Siang itu, sinar matahari yang masuk melalui jendela besar ruang kerja Alwyn tidak cukup untuk menghangatkan suasana. Ketegangan memenuhi udara, seakan ruangan itu semakin sempit akibat amarah yang beradu."Tuan Alwyn!" suara Saihan meledak, penuh kemarahan. Ia berdiri di depan meja, tubuhnya menegang, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Jangan bercanda denganku!"Alwyn yang duduk di balik meja hanya mengangkat sebelah alisnya, tetap tenang menghadapi luapan emosi di hadapannya. "Apa aku tampak sedang bermain-main?" suaranya datar, tajam, dan tanpa keraguan."Aku tidak peduli jika Anda mengirimku ke mana pun," tukas Saihan cepat, nadanya penuh penolakan, "tapi kenapa harus bersamanya?"Alwyn menyandarkan punggungnya ke kursi, menautkan jemarinya di atas meja. "Karena dia tahu seluk-beluk Nauruan.""Aku juga!" sahut Saihan, suaranya meninggi. "Jangan lupa, aku lahir dan besar di Nauruan!""Di jalanan, Saihan Malaken." Alwyn menekankan namanya dengan nada