Share

7. Melahirkan

Hari ini badanku terasa taknyaman. Tadi malam Nia sakit, badannya panas, tidurnya mengingau, dan dia sama sekali takingin kulepas hingga aku takbisa tidur meski sebentar saja. Untungnya, setelah kuberi obat penurun panas, suhu tubuhnya berangsur normal kembali.

Seperti biasa, karena tadi aku terlambat bangun dan keluar dari kamar, mertuaku memberi pekerjaan rumah yang banyak sekali, disertai omelan yang panjang.

Bukan hanya membersihkan seisi rumah, Mama Laely juga menyuruhku mengganti semua gorden di rumah ini, dan mencucinya juga. Alasannya karena sejak kami tinggal di sini, kurang lebih sudah sekitar lima bulan, aku belum pernah mencuci gorden di rumah ini sekali pun.

Sebenarnya takjadi masalah untukku mencucinya, hanya saja di kehamilan yang sudah memasuki bulan ke sembilan ini, menyulitkanku untuk melakukan itu.

Beruntung berat tubuhku tidak terlalu berisi, bahkan bisa dibilang kurus untuk ukuran ibu hamil, sehingga aku masih bisa memanjat kursi untuk membongkar dan memasangnya. Entah apa yang ada dalam pikiran mertuaku itu, sehingga membiarkan aku mengerjakan semuanya sendiri.

"Bunda, Nia mau minum," ucap Nia yang datang dari dalam kamar, saat aku sedang membuka gorden di depan pintu kamar kami.

"Nia haus, ya? Sebentar, ya, bunda ambilin dulu minumnya," jawabku sembari turun dari kursi.

Setelah selesai meladeni Nia, aku melanjutkan pekerjaanku. Selesai membongkar semuanya, aku memasukkan gorden-gorden itu ke dalam mesin cuci untuk merendamnya terlebih dahulu. Sembari menunggu rendaman cucian, aku memutuskan memasang yang baru.

Baru saja selesai dengan urusan gorden, mertuaku sudah memanggil untuk mengerjakan pekerjaan lain. Padahal, tubuhku sudah begitu lelah. Terlebih cucian tadi harus dicuci dengan tangan karena ada besi-sesi bolongannya untuk pengait penyangga.

"Risa, kalau sudah selesai, ikut mama ke halaman, ya,” ucap Mama Laely.

" Ngapain, Ma?" tanyaku.

"Sudah, ikut saja. Jangan banyak tanya!" jawabnya kesal.

Aku pun beranjak dan mengikuti langkah kaki Mama Laely karena pekerjaanku memang sudah selesai. Ternyata Mama Laely membawaku ke halaman depan rumahnya yang cukup luas.

"Nih, lihat rumput-rumput ini sudah panjang. Sekarang tugasmu membersihkan semua rumput ini. Terus susun semua pot-pot yang sudah kosong itu!" titahnya padaku.

"Tapi, Ma. Aku capek banget habis mencuci gorden. Tadi malam juga kurang tidur karena Nia sakit. Ini besok aja, ya, aku ngerjainnya, Ma," pintaku memelas.

"Ah, gak ada besok-besok. Kulihat, kamu tuh kurang gerak, jadi harus banyak gerak. Ingat ya, ngerjainnya sambil jongkok. Kamu 'kan, sebentar lagi mau lahiran. Harus banyak gerak dan jongkok biar mudah lahirannya!" serunya padaku.

Aku pun akhirnya mengerjakan pekerjaan itu, mencabut rumput-rumput liat, memindahkan tanah yang masih ada dalam pot, lalu menyusun pot-pot kosong agar semuanya terlihat rapi. 

Saat sedang sibuk, terdengar suara Nia menangis. Mungkin dia terbangun dari tidurnya dan mencariku karena tadi dia kutinggalkan saat sedang tidur. Lalu menangis karena mendapatiku takada di dalam rumah.

Aku berdiri dengan tergesa-gesa. Lalu, ketika akan berjalan, terasa sensasi letusan, seperti ada yang mengetuk dinding rahimku, lalu kurasakan air ketuban mengalir deras dari jalan lahir.

"Ya, Allah, pecah ketuban. Padahal kata bidan HPL** masih seminggu lagi. Aku juga belum ada tanda-tanda kontraksi," ucapku pada diri sendiri.

Aku pun berjalan dan masuk ke rumah, segera menuju ke kamarku untuk membersihkan diri di kamar mandi, juga menghampiri Nia. Benar saja, saat sampai di kamar, Nia sudah menangis tersedu-sedu. Padahal neneknya ada di rumah, tetapi seolah takmau tahu dengan cucunya.

Sebelum ke kamar mandi, aku mendiamkan Nia terlebih dahulu. "Sayang, ini bunda. Nia kenapa nangis?" tanyaku lembut untuk membujuknya.

"Nia cari Bunda. Bunda gak ada, hiks," ucapnya masih tersedu.

"Oh. Nih, Bunda udah di sini. Jangan nangis lagi, ya. Bunda mau ke kamar mandi sebentar, badan Bunda basah. Bunda izin ke kamar mandi dulu. Janji gak nangis, ya," pamitku padanya.

"Iya, Bun. Tapi jangan lama-lama. Nia takut," ucapnya.

"Oke, Sayang," janjiku pada Nia. Aku bergegas membersihkan diri ke kamar mandi. Air ketuban masih terasa menetes, meski taklagi sebanyak tadi.

Setelah selesai membersihkan diri dan mengenakan pakaian, aku menelepon Bang Doni. Namun sayangnya, suamiku itu tidak mengangkat telepon. Mungkin dia sedang sibuk dengan pekerjaannya. Aku akan mencoba meneleponnya sebentar lagi.

Setelah itu, aku meletakkan telpon genggamku di nakas. Perhatianku beralih ke lemari pakaian kami. Kubuka salah satu pintu lemari tiga pintu itu dan kuambil tas yang sudah kuiisi dengan perlengkapan untuk persalinan ku. Tas ini sudah kupersiapkan sebulan lalu. Di kehamilan ketiga ini, aku sudah takterlalu banyak keinginan untuk membeli perlengkapan bayi, karena milik Nia masih bagus, hingga aku hanya membeli seperlunya saja yang masih kurang. 

Aku kembali menelepon Bang Doni, tetapi lagi-lagi takada jawaban. Aku pun menghela napas, mau takmau aku harus mengatakan hal ini pada Mama Laely. Aku akan meminta tolong mertuaku itu untuk mengantarku ke klinik bidan sembari membawa anak-anak. Air ketubanku terasa masih merembes, tetapi takada tanda-tanda kontraksi sedikit pun.

"Ma, Mama," panggilku sembari mengetok pintu kamar Mama Laely. Namun, takada jawaban.

"Ma, Mama? Tidur, ya?" tanyaku.

"Ma-," 

Terdengar suara pintu terbuka saat aku sedang memanggil yang ketiga kalinya. Mama Laely keluar dengan wajah yang takenak dipandang.

"Kenapa manggil-manggil? Ganggu orang istirahat aja!" sentaknya marah.

"Maaf, Ma. Tolong antar aku ke klinik sama anak-anak, Ma. Ketubanku sudah pecah," pintaku.

"Belum sakit, kan?" tanyanya.

"Belum, Ma. Tapi aku harus periksa untuk memastikan keadaan janinnya. Aku gak kuat untuk pergi sendiri, badanku terlampau lelah setelah seharian mengurus rumah dan halaman," jelasku pada mertuaku.

"Heh! Apa maksudmu mengatakan itu? Kamu mau bilang kalau aku menjadikanmu babu, gitu?! hardiknya marah. "Sudah, kamu tunggu saja Doni pulang. Paling sebentar lagi juga Doni pulang dari tempat kerjanya. Lagi pula, mana mungkin kita ke klinik bawa anak-anak," tambahnya.

Aku akhirnya berbalik ke kamar. Saat berjalan menuju kamar, ku lihat Rizki sudah tampan dengan setelan baju tidurnya. Ternyata anak lelakiku itu sudah mandi. Pantas saja aku tidak melihatnya dari tadi.

Setelah menunggu kurang lebih sejam, akhirnya Bang Doni sampai ke rumah. Aku pun langsung menyambutnya dan menjelaskan kondisiku padanya. Saat ini perutku mulai terasa sakit, tetapi masih tergolong ringan untukku.

Ketika akan membawaku ke klinik, mertuaku meminta untuk ikut. Sehingga Bang Doni terpaksa meminjam mobil tetangga untuk membawa kami. Anak-anak pun terpaksa ikut serta.

"Bu, Pak, kalau menurut penjelasan ibu, berarti air ketubannya sudah pecah sekitar dua setengah jam. Kita hanya punya waktu tiga setengah jam lagi untuk menunggu ibu kontraksi dan lahiran normal. Menurut kami, sebaiknya lakukan tindakan operasi saja. Kami juga melihat ibunya sangat kelelahan. Takutnya nanti gak kuat mengejan," jelas Bidan yang bertugas di klinik yang kami datangi setelah memeriksa kondisiku dan mendengar keluhanku.

"Baiknya gimana, Ris?" tanya suamiku padaku.

Tiba-tiba mertuaku yang berdiri di dekat pintu kamar tempat periksa itu menyeletuk, "Eh, kok main operasi aja. Induksi saja dulu! Gak ada operasi-operasi!"

"Bu, induksi bisa dilakukan jika ada kontraksi," jelas Bidan tersebut.

"Ya, sudah, Bu Bidan. Sepertinya aku masih kuat. Kita tunggu saja sebentar lagi. Aku juga mulai merasakan kontraksi," jawabku memutuskan.

Setelah berjalan tiga jam, aku pun akhirnya diinduksi karena adanya penambahan pembukaan pada jalan lahir. Namun, taklama kemudian aku merasakan ada yang aneh dengan tubuhku. Tiba-tiba terasa ada yang mengalir deras dari jalan lahirku dan berbau amis. Aku memanggil Bang Doni, yang kemudian memanggil bidan.

Beberapa hal yang masih bisa kudengar, terjadi perdebatan antara petugas klinik dengan mertuaku. Hingga akhirnya aku dimasukkan ke dalam sebuah mobil. Terdengar samar-samar olehku suara sirine yang bersahutan dengan suara bidan yang memintaku untuk tetap sadar. Di sampingnya sayup-sayup terdengar suara Bang Doni, hingga entah sampai di mana dan kesadaranku sepenuhnya telah hilang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status