"Naikkan gaji, tingkat kesejahteraan buruh. Gaji yang pantas fasilitas yang memadai akan menaikkan kinerja dan produktivitas kami para buruh” suara Melati menyerukan aspirasi buruh.
Melati, 25 tahun yang bekerja sebagai buruh pabrik pengolahan teh. Ia memimpin demonstrasi mogok massal para buruh pabrik yang menuntut kenaikan gaji untuk kehidupan yang lebih baik. Pratiwi, 25 tahun yang menjabat sebagai sekretaris di perserikatan para buruh dan ia pun adalah sahabat baik Melati. “Tingkatkan kesejahteraan kami” seru Pratiwi mengiyakan suara sahabatnya tersebut. Di saat yang bersamaan sebuah mobil melintas di antara kerumunan para buruh pabrik tersebut. Seorang pemuda turun dari mobil. Dia adalah Prayoga, 28 tahun Pewaris tunggal keluarga besar Mardi Dinata pemilik dan menjabat sebagai pemimpin di pabrik pengolahan teh tersebut. “Ada keributan apa ini?” tanya Prayoga kepada Marsudi sopir sekaligus menjabat sebagai asisten pribadi dan juga sahabat baik Prayoga. “Sepertinya ada demonstrasi mogok massal para buruh pabrik. Sebaiknya kita berbalik arah dan kembali pulang saja, Yog.” ujar Marsudi khawatir. “Siapa wanita yang memimpin demonstrasi itu? Dia sangat tegas dan lumayan cantik.” Pikir Prayoga. “Yoga, apak kau ingin pulang?” ulang Marsudi setelah melihat Prayoga hanya diam saja. “Tidak perlu, biar ku temui perwakilan dari mereka. Aku tidak ingin gara-gara masalah seperti ini membuat pabrik merugikan” tandas Prayoga tegas. Sekilas matanya menatap kedepan ke arah seorang gadis yang sedang berorasi memimpin demonstrasi. “Cantik dan tegas” gumamnya “Siapa gadis yang sedang berorasi itu? “ tunjuk Prayoga mengarahkan telunjuknya ke arah Melati, Ia masih lantang menyampaikan tuntutannya, serempak disusul suara para buruh yang bergabung dalam demonstrasi tersebut. “Melati, ia adalah ketua perserikatan para buruh pabrik. Ia terkenal tegas dan berkarakter.” Jawab Marsudi “Aku akan turun untuk memanggil tiga orang perwakilan dari mereka untuk menemuimu di kantor.” lanjutnya. Marsudi bergegas mendekati Melati dan kawan-kawannya “Siapa diantara kalian yang akan mewakili untuk melakukan perundingan dengan pihak Dewan pabrik?” Marsudi bertanya kepada salah satu dari mereka yang kemudian disampaikan langsung kepada Melati. “Baiklah, Aku, Pratiwi dan Aryo yang akan mewakili.” ucap Melati ketika mendengar bisikan dari salah seorang temannya. Melati dan kedua temannya kemudian memasuki kantor dan telah ditunggu oleh Prayoga dan beberapa dewan. Setelah beberapa jam lamanya akhirnya perundingan itu pun selesai, para anggota dewan pabrik menyetujui tuntutan para buruh dengan menaikan upah buruh. “Cari tahu tentang Melati selengkapnya. “ perintah Prayoga kepada Marsudi asistennya setelah Melati keluar dari kantornya. Mata Prayoga tak luput dari wajah Melati. “Baik, Pak.” Sahut Marsudi Mata Prayoga tak luput dari wajah Melati. Sepertinya Ia jatuh hati kepada Melati, yang diketahui kemudian sebagai seorang gadis biasa putri dari seorang petani. Di kediaman keluarga besar Mardi Dinata “Semua bisnis keluarga kita, mulai dari perkebunan teh, peternakan sapi dan juga pabrik gula akan aku wariskan kepada Prayoga, cucu kesayanganku,” ujar Kakek Mardi Dinata. “Baik, ayah. Semuanya akan ditangani oleh Prayoga dengan sebaik-baiknya.” Sahut Jarot Dinata, ayah Prayoga yang selalu tunduk dengan keputusan orang tuanya. Ia selalu menganggap perkataan sang ayah adalah perintah. Mardi Dinata adalah seorang pengusaha kaya yang sangat sukses, namun ia adalah seorang diktator. Hal ini membuat Jarot selalu dianggap tidak mampu untuk meneruskan semua bisnis yang ia pegang. Pernikahan Jarot pun telah ditetapkan oleh sang ayah, ia menikah dengan seorang gadis pilihan. Putri dari kerabat jauhnya, dan akhirnya lahirlah Prayoga. Prayoga dididik dengan baik dan bersekolah ke luar negeri agar dapat mengenyam pendidikan yang lebih baik dan dapat memimpin perusahaan yang akan diwariskan oleh sang kakek kepadanya. Sepulang dari luar negeri, Prayoga langsung membantu sang ayah untuk mengurus perkebunan teh dan sebuah pabrik pengolahan teh. Esok paginya Pagi itu Prayoga sedang jalan-jalan menyusuri perkebunan teh. Tanpa sengaja ia melihat seorang gadis manis berjilbab coklat yang sedang melintasi perkebunan dengan membawa rantang stainless di tangannya. Gadis itu bernama Melati, putri dari seorang petani yang tinggal di desa sekitar perkebunan teh. “Assalamualaikum Mbak, apa jalan ini nanti tembus ke pabrik pengolahan teh?” sapa Prayoga “Walaikumsalam,” sahut Melati “Benar, lurus saja nanti didepan belok kanan.” Lanjutnya Melati menjawab seraya membalas senyum Prayoga. “Apa kamu salah seorang petani teh di kebun ini? Sepertinya aku pernah melihamu di pabrik pengolahan teh itu?” tanya Prayoga berbasa-basi agar Melati tidak mencurigainya “Benar, saya bekerja di pabrik. Saat ini saya libur dan mengantar makanan untuk ayah yang bekerja di kebun teh milik Tuan Mardi ini. Dan saya juga sering menggantikan pekerjaan ayah ketika sedang berhalangan.” Sahut Melati Prayoga hanya mendengarkan dengan seksama. “Apa boleh saya ikut membantu mu?” ucap Prayoga “Hmm ...,” gumam Melati seraya melirik Prayoga. Melati Tersenyum melihat Prayoga yang menawarkan diri untuk membantunya memetik teh. Senyuman itu adalah bahasa isyarat, mana kala Melati membalas sapaan Prayoga. Hal itu membuat hati Prayoga bahagia. Pertemuan pertama mereka, pagi itu membuat bunga-bunga mulai merekah seiring berjalannya waktu. Musim pun berganti dan aroma wangi bunga melati mulai merasuk dan menguasai hati Prayoga. Semenjak hari itu setiap hari Prayoga selalu melakukan rutinitas yang sama agar bisa bertemu dengan Melati. “Huff, kenapa wajah Melati selalu melekat dan membayang diingatanku.” gumam Prayoga “Apa yang terjadi sebenarnya dengan diriku?” banyak tanya yang bermunculan di dalam benaknya. Ia berbaring telentang dan sesekali tengkurap diatas tempat tidurnya sembari mengusap wajah dan mengacak-acak rambutnya. Prayoga mulai dihantui wajahnya yang selalu hadir di setiap waktu. Pikiran Prayoga dipenuhi angan dan rasa rindu kepada Melati. Sehingga ia berusaha untuk mencuri curi waktu agar bisa selalu menemui Melati. “Maaf, boleh saya tahu nama mbaknya?” tanya Prayoga yang menghampiri Melati yang sedang sibuk membantu memetik teh di perkebunan milik keluarga besar Prayoga. “Saya hanya gadis desa, Mas. Tidak penting nama saya untuk di kenal.” ucap Melati. “Tetapi saya ingin mengenal mbak lebih dekat lagi,” seru Prayoga “Melati,” jawab Melati singkat. “Saya Prayoga,” Prayoga memperkenalkan diri dengan wajah berseri-seri. “Melati, Saya berharap kita bisa berteman baik." sambungnya. Percakapan tersebut selalu terngiang di kepala Prayoga, suara lembut Melati masih terdengar jelas ditelinganya. *** Melati masih sibuk dengan pekerjaannya, memetik daun-daun teh. Ia hanya diam tidak berani menatap wajah Prayoga. Sedangkan Prayoga masih menunggu jawaban dari melati. Tanpa mereka sadari, ada sepasang telinga yang mencuri dengar pembicaraan mereka dari balik pohon rindang tak jauh dari mereka. Apakah Melati akan luluh dengan perhatian Prayoga? dan akankah Prayoga mendapatkan keinginannya untuk bisa mendapatkan hati Melati? Lalu, siapakah orang yang bersembunyi dibalik pohon tersebut? Ikuti terus kelanjutan kisahnya di bab selanjutnya. 181224“Apa yang sedang kau pikirkan, Melati?” tanya Prayoga ketika melihat Melati tiba-tiba terdiam dalam lamunannya.“Ah, tidak ada mas. hanya saja aku merasa kau sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Wajahmu terlihat sangat pucat dan kenapa tiba-tiba sikapmu terasa berbeda seakan sedang kebingungan.” Melati menangkap sikap Prayoga yang sedang gundah.Prayoga terkejut mendengar ucapan Melati, sebenarnya ia tidak ingin mengatakan masalahnya kepada Melati. Prayoga tidak ingin Melati jadi mengkhawatirkan semuanya.“Tidak ada apa-apa, semua akan berjalan dengan baik “ Prayoga berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.“Tapi wajahmu telah menjelaskan semuanya Mas, tolong ceritakan kepadaku.” Melati yang menyadari ada sesuatu yang janggal, berusaha meminta Prayoga untuk berkata jujur.“Percayalah semua baik-baik saja, aku hanya sedikit lelah. Baiklah kalau begitu mari kita pulang. Aku ingin beristirahat dirumah. Mungkin setelah beristirahat akan lebih baik.” Ujar Prayoga menghindari pertanyaan Mel
Bab 5. SESUATU YANG TERSEMBUNYI Prayoga terdiam sambil mendengarkan cerita ibu. Di dalam pikirannya apa yang diceritakan oleh ibu itu adalah kisah dari ayahnya contoh yang diberikan Ibu adalah seorang anak yang penurut secara tidak langsung Ibu menginginkan Prayoga menuruti kemauan sang kakek dan menerima perjodohan tersebut walaupun ibu tidak mengatakan apa-apa. Prayoga merasa bimbang untuk memutuskan apa yang akan ia lakukan walau di dalam hati kecilnya masih bersikeras untuk menolak perjodohan tersebut. Dan memperjuangkan rasa cintanya kepada melati gadis pujaannya Prayoga sudah berjanji kepada orang tua melati dan juga melatih untuk datang dan segera meminang melati Putri mereka. Sang Kakek tidak akan pernah membiarkan Prayoga menikahi Melati begitu saja kakek pasti akan marah besar. Akhirnya Prayoga memutuskan menentang perjodohan itu. Ucapan kakek masih terngiang-ngiang di telinga Prayoga. “Perempuan yang kau pilih itu tidak jelas bobot dan bibitnya. Ia dari keluarga biasa
“Melati sengaja menerima Mas Prayoga, kita akan lihat apa yang akan Melati lakukan selanjutnya.” Mata Melati menerawang membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.“Tetapi nduk, den Prayoga itu kelihatan sangat baik dan sepertinya dia serius dengan perasaannya terhadapmu.” Ujar bapak“Apa kurangnya Mas Bagas Pak, Mas Bagas juga sangat baik. Dia begitu perhatian dan sangat santun, tetapi lihat apa yang ia lakukan kepadaku.” Airmata mulai mengalir membasahi pipi Melati.Bayangan peristiwa 2 tahun silam kembali hadir. Sebuah peristiwa yang tidak ingin Ia ingat kembali. Peristiwa itu telah membuat hatinya hancur. Dan setiap kejadian begitu membekas di Hati melati, sehingga menimbulkan trauma dalam hidupnya.“Bapak mengerti Nduk. Tetapi Bapak juga tidak ingin kau mengalami luka yang sama, karena mencintai tuan muda dari keluarga yang kaya raya.” Kata bapak penuh kekhawatiran.“Ibu juga tidak ingin hal itu terulang lagi, nduk. Kamu harus berhati-hati sebelum mengambil keputusan. “ naseh
“Assalamualaikum selamat malam, pak.” Sapa Prayoga“walaikumsalam den Prayoga.” Jawab Bapak Melati“Silahkan masuk den, silahkan duduk” Bapak melati mempersilahkan Prayoga untuk duduk.“Iya pak” sahut Prayoga“Kalian dari mana saja, kenapa sampai selarut ini?” tanya Bapak“Begini pak, saya ingin bicara dengan bapak.” Ucap Prayoga“Ada apa den?” Bapak mulai penasaran“Maksud dantujuan saya datang kesini ingin meminta izin kepada bapak untuk melamar Melati, putri bapak dan menjadikan dia sebagai istri saya. Saya berjanji akan membahagiakan dan memenuhi kebutuhan lahir dan batinnya.” Ucap Prayoga kepada bapaknya Melati.“Apa saya tidak salah dengar, den?” tanya bapaknya tak percaya“Tidak pak, saya serius dengan perkataan saya yang ingin melamar putri bapak.” Jelas Prayoga.“Melati hanya lah seorang gadis desa, den. Tidak
Melati hanya tersipu malu dan tidak berani menatap wajah Prayoga. Ia hanya sesekali mencuri pandang secara diam-diam. Binar bening dimatanya seolah menunjukkan bahwa perasaan melati pun sama seperti yang dirasakan oleh Prayoga.“Kamu belum jawab pertanyaanku?” seru Prayoga “Pertanyaan yang mana yang Mas maksudkan?” Melati berbalik tanya.“Siapa namamu?” tukas Prayoga singkat.“Nama saya Melati Mas, cukup sederhana kan?” jawab Melati “Nama yang indah, walau terdengar sederhana tetapi cukup luas maknanya.” Sahut Prayoga. “Mas sendiri siapa namanya?” Melati berbalik melempar pertanyaan kepada Prayoga.“Saya Prayoga.’ “Tunggu sepertinya kita pernah bertemu sebelumnya,” ucap Melati ketika menyadari sesuatu “oh iya, benar. Kita bertemu di kantor pabrik pengolahan teh tempo hari.” Ucap Melati dengan wajah berkerut-kerut berusaha mengingat-ingat kejadian beberapa hari lalu.“J
"Naikkan gaji, tingkat kesejahteraan buruh. Gaji yang pantas fasilitas yang memadai akan menaikkan kinerja dan produktivitas kami para buruh” suara Melati menyerukan aspirasi buruh. Melati, 25 tahun yang bekerja sebagai buruh pabrik pengolahan teh. Ia memimpin demonstrasi mogok massal para buruh pabrik yang menuntut kenaikan gaji untuk kehidupan yang lebih baik. Pratiwi, 25 tahun yang menjabat sebagai sekretaris di perserikatan para buruh dan ia pun adalah sahabat baik Melati. “Tingkatkan kesejahteraan kami” seru Pratiwi mengiyakan suara sahabatnya tersebut. Di saat yang bersamaan sebuah mobil melintas di antara kerumunan para buruh pabrik tersebut. Seorang pemuda turun dari mobil. Dia adalah Prayoga, 28 tahun Pewaris tunggal keluarga besar Mardi Dinata pemilik dan menjabat sebagai pemimpin di pabrik pengolahan teh tersebut. “Ada keributan apa ini?” tanya Prayoga kepada Marsudi sopir sekaligus menjabat sebagai asisten pr