Share

MULUTMU, RACUN UNTUKKU
MULUTMU, RACUN UNTUKKU
Author: bundaRey

Bab 1 Aku Masih Sabar, Mas

"Ck!" Seorang lelaki tengah memakai celananya lagi. Setelah sebelumnya dia usai melampiaskan hasratnya pada seorang wanita yang juga memunguti baju yang tergeletak di lantai.

"Kapan tubuh kamu itu bisa seksi, Nay? Kayak yang lainnya. Tubuh kok adanya cuman tulang sama kulit saja!" Laki-laki melihat wanita yang bernama Nayla itu dengan tatapan jijik.

"Aku juga pengen gemuk, Mas. Tapi, nyatanya makan banyak juga nggak gemuk-gemuk," jawab Nayla santai. Dia merasa tidak ada yang salah dengan makannya. Seperti yang lainnya, sehari makan tiga kali. Tapi, mungkin Tuhan menganugerahkan tubuh yang tidak bisa gemuk kepadanya. Bukankah dia harus bersyukur? sedang banyak temannya yang sering mengeluh dengan berat badan yang selalu naik tiap bulannya.

"Mas itu pengen punya istri yang semok, yang mantep kalau dipegang. Nggak kayak gini, sana sini adanya cuma tulang doang." Perkataan seperti ini, bukan hanya sekali Nayla dengar dari mulut suaminya. Berkali-kali lelaki itu berkata hal yang begitu menyakitkan sesaat setelah mereka selesai melakukan percintaan.

Nayla hanya bisa membuang napas kasar kalau sudah begini. Dia tidak tahu lagi bagaimana cara untuknya bisa gemuk dan sedikit berisi.

"Jadi Mas nggak seneng punya istri kerempeng gini?" Buliran bening seakan ingin menetes dari ujung mata Nayla. Tapi, dia berusaha menahannya agar Lukman, suaminya itu tidak semakin merendahkannya.

"Ya, nggak gitu, Nay. Kamu makan yang banyak biar bisa sedikit gemuk. Atau KB saja kayak Mbak Ririn itu. Tubuhnya itu benar-benar mantep pokoke." Lukman mengucapkannya dengan posisi tangan seakan membentuk gitar spanyol. Dengan pandangan menerawang, seakan benar-benar memenuhi otaknya dengan gambaran tubuh Ririn, tetangga sebelah mereka.

Nayla hanya bisa terus menahan isakan yang hampir saja lolos dari matanya. Melihat wajah suaminya yang terlihat begitu bergairah kini, semakin membuatnya terluka.

Ririn adalah seorang ibu muda dengan seorang anak. Sebenarnya Nayla pun sama, dia juga memiliki seorang anak perempuan lucu yang berumur 3 tahun. Bedanya, suami Ririn bekerja di pelayaran yang tidak bisa pulang setiap hari. Tapi, hal itu sebanding dengan banyaknya uang yang dia kirimkan untuk istri dan anaknya. Tentu saja tidak sama dengan yang Lukman berikan untuk Nayla.

Lukman hanya seorang kuli bangunan yang kerjanya tidak tentu. Kadang sebulan kerja, dua bulan nganggur. Begitulah siklusnya setiap bulan. Uang bulanan pun tak tentu masih untuk membeli rokok yang hanya dia nikmati sendiri. Untuk menutup kebutuhan hidup, Nayla harus rela menjadi buruh cuci di tetangganya. Mengandalkan gajian Lukman, bisa-bisa mereka tidak makan.

"Ngomongin Mbak Ririn terus kamu, Mas. Sadar, Mas. Mbak Ririn punya suami yang bisa nyukupin semuanya. Nggak perlu mikir kerjaan sudah ada yang datang buat bantuin. Ke salon tinggal berangkat nggak perlu mikirin dapet duit dari mana." Nayla merasa begitu geram dengan suaminya itu. Bukannya berkaca malah membandingkan istrinya dengan perempuan lain.

"Ck! Kamu itu bisanya melawan. Bisa nggak, sih, kalau suami ngomong itu didengerin? Jadi istri kok nggak ada syukurnya. Semua hasil keringat suami itu diterima dengan ikhlas. Baik banyak ataupun dikit. Bukannya bersyukur malah bandingin sama Mas Harun yang kerja di kapal itu. Ya, jauh." Lukman memakai kaosnya dan beranjak dari kasur. Dia mengambil rokok yang ada di atas meja.

Hidup dengan Lukman memang harus mempunyai stok sabar yang banyak. Jika bukan karena Allah membenci perceraian, mungkin Nayla sudah menuntut cerai dari laki-laki macam Lukman itu. Dan juga, Kina, anak perempuan mereka satu-satunya masih membutuhkan sosok lengkap dalam perkembangannya. Kedua hal itu yang membuat Nayla tetap bertahan dalam pernikahan toksik ini.

Setelah Lukman ke luar kamar, Nayla mengenakan bajunya dan ikut keluar. Anaknya tengah tidur siang saat mereka bergumul tadi. Sungguh suaminya itu adalah tipe yang tidak bisa menahan hasratnya. Bisa setiap hari minta haknya tanpa diimbangi dengan kewajiban yang seharusnya dia tunaikan.

Nayla merasa begitu gerah siang ini. Rasanya dia ingin segera mengguyur tubuhnya yang penuh dengan keringat itu. Meski lelah karena habis bekerja di tempat tetangga, nyatanya Nayla tak pernah bisa menolak ajakan suaminya itu. Dia tak mau menjadi istri berdosa yang tidak memberikan hak suaminya.

Kerja bangunan sedang sepi dan Lukman pun hanya berada di rumah. Tanpa berniat mencari sampingan lain untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Prinsipnya, dalam kehidupan rumah tangga mereka harus saling bahu membahu memenuhi kebutuhan. Tak harus laki-laki yang mencari uang. Jika wanita bisa, kenapa tidak? Tetapi, jika urusan dapur dan sumur tetap itu menjadi kewajiban wanita.

Nayla ke luar kamar, diliriknya Lukman yang telah berada di teras depan dengan rokok di tangan kirinya, sedang handphone di tangan kanannya. Seperti biasa, suaminya itu seperti orang gila jika sudah berhadapan dengan benda pipih berbentuk persegi panjang itu.

Sudah jenuh Nayla mempermasalahkan hal itu, karena hanya akan mendapat berbagai macam alasan yang tidak masuk nalar. Kini wanita berusia 24 tahun itu lebih memilih untuk diam. Yang penting setiap harinya mereka masih bisa makan.

Nayla masuk ke kamar mandi dan kembali melucuti pakaiannya. Dia melihat dan meraba setiap jengkal tubuhnya. Dia mendesah penuh kekecewaan. Memang benar apa yang dibilang Lukman, bahwa tubuhnya hanya tersisa tulang dan kulit saja.

Dirabanya kedua bukit kembarnya yang memang tidak menantang seperti milik Ririn. Hanya gumpalan kecil yang bahkan tidak akan terasa penuh di tangan suaminya itu. Apalagi setelah menyusui Kina, miliknya semakin terlihat kendor dan tidak kencang lagi.

Rabaan tangannya beralih pada bokongnya. Tepos dan juga tidak padat seperti punya Ririn. Dan seluruh tubuhnya seperti tidak ada daging yang menjadi sekat antara tulang dan kulitnya.

"Hah ...!" Nayla mendesah menyadari dirinya memang tidak bisa seperti orang lain yang bisa merawat tubuhnya. Boro-boro merawat, duit aja selalu habis untuk makan dan jajan anak.

"Hilangkan, Nay! Hilangkan!" Nayla menggelengkan kepalanya mencoba tak memikirkan hal itu lagi. Jujur dia sangat terluka tatkala mengingat jika yang dikatakan suaminya itu benar. Dulu dia tidak seperti ini. Meski tidak seseksi Ririn, nyatanya Nayla memiliki bobot tubuh yang ideal sebelum menikah. Baru setelah menikah, bobot tubuhnya melorot sedikit demi sedikit.

Nayla mulai mengguyur badannya yang lengket itu. Tidak mungkin dia tidak mandi setelah melakukan itu. Wanita itu merasakan segar setelah membilas tubuhnya yang telah dia lumuri sabun.

Saat hendak menuju ke dalam kamar, Nayla mendapati suaminya itu masih dalam posisinya tadi. Dan suara gelak tawanya semakin terdengar nyaring hingga terdengar olehnya meski lokasi mereka sedikit berjauhan. Kini Nayla tengah duduk di depan meja riasnya menatap ke arah cermin. Dilihatnya wajah yang terlihat lelah dan sayu.

Nayla meraba ke arah pipinya terlihat begitu tirus, hingga tulang pipinya terlihat begitu menonjol. Sentuhan tangannya berpindah ke bawah mata yang terlihat cekung itu, yang sering dibilang dengan sebutan mata panda.

Kembali Nayla menghela napas panjang melihat ke arah dirinya. Dia sendiri merasa jijik apalagi Lukman. Jika bisa, dia pun ingin menjadi seperti Ririn yang tidak perlu bekerja memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

"Tidak!" Kembali dia menepis pikiran itu, "Maaf, Tuhan jika aku jadi tidak bersyukur seperti ini." Kepala Nayla menengadah menatap ke arah langit-langit kamarnya seakan dia sedang berbicara dengan Tuhannya.

"Nayla! Benar seperti yang dibilang suami kamu, kamu harus bersyukur," gumamnya seorang diri.

"Kret ...!" Nayla menoleh ke arah pintu kamar yang terbuka. Suaminya itu masuk dengan wajah yang berseri, masih dengan handphone di tangannya, tak sedikit pun melihat ke arah Nayla.

Lukman mengambil jaket dan juga dompetnya serta kunci motor yang ada di atas nakas.

"Mau ke mana, Mas?" tanya Nayla keheranan melihat suaminya itu telah mengenakan jaket dan menyemprotkan parfum ke seluruh tubuhnya, hingga hidung Nayla sedikit terganggu dengan aroma wangi yang keluar dari tubuh suaminya itu.

"Mas pergi bentar, Nay." Sambil bersiul, Lukman keluar dari kamarnya dan membuat pikiran Nayla menjadi tidak tenang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status