“Deposit enam puluh juta?!” pekik Helena dengan mata melebar, diikuti rona merah di wajahnya yang menghilang. Mendengar angka yang baru saja diucapkan oleh pihak rumah sakit, membuat tubuhnya menggigil seketika. Selama ini dia mati-matian hidup kekurangan karena hampir semua gajinya digunakan untuk pengobatan sang suami, tapi ternyata masih ada tambahan-tambahan tak terduga yang harus ditutupi.
“Benar, Bu… Suami anda sangat hebat karena mampu bertahan sampai saat ini, tapi koma yang dialami selam satu tahun ini perlahan mematikan organ-organ di dalam tubuhnya hingga harus mendapat suplay obat-obatan terus menerus. Hal tersebut membuat ginjalnya bermasalah dan harus menjalani cuci darah rutin. Untuk itu, anda harus mendapatkan deposit sebesar enam puluh juta agar proses cuci darahnya bisa dilakukan,” terang salah seorang wanita yang berdiri di balik meja kasir rumahsakit.
Dada Helena terasa begitu sesak, bahkan matanya mulai memanas. Rasa frustasi perlahan mulai menyergap, memunculkan ketakutan sendiri di dalam dirinya. Dia tidak tahu lagi harus mencari uang di mana, karena sudah tidak ada lagi barang yang bisa dijual. Di tengah kebingungannya, Helena berjalan tertatih keluar dari rumah sakit, menerjang hujan deras di luar sana.
“Ya Tuhan… apa yang harus aku lakukan?” isaknya di tengah guyuran hujan yang menyamarkan airmata dan isak tangisnya. Kakinya terus melangkah tak tentu arah, membawa keputusasaan yang terus menyerang dirinya. Hingga pada satu titik, terbesit sebuah keinginan konyol untuk mengahiri hidupnya, setidaknya mungkil ginjal dan organ-organ tubuhnya yang lain bisa diberikan untuk Vian, suaminya.
Helena berdiri di tepi jalan, menatap nanar pada cahaya lampu mobil yang menyorot cukup jauh darinya. Jantungnya terasa berdegup kencang, berbanding lurus dengan jarak mobil yang semakin dekat ke arahnya. Dia memejamkan mata sejenak, memantapkan diri untuk berkorban demi sang suami, hingga kakinya benar-benar melangkah ke tengah jalan tepat saat mobil itu bersiap menerjangnya.
Suara derit ban yang bergesekan dengan aspal jalan yang licin terdengar memekakkan, bersamaan dengan suara jeritan dari Helena tanpa sadar. Tiba-tiba tubuh mungilnya ambruk begitu saja, walaupun masih ada jarak sejengkal dari bamper mobil mewah tersebut.
“Shit!”
Suara umpatan itu masih terdengar oleh telinga Helena sebelum keheningan menyergapnya hingga tak sadarkan diri.
***
Helena mengerang pelan dengan kening berkerut dalam, perlahan mencoba membuka kelopak mata walaupun masih terasa berat. Dia linglung untuk sesaat, hanya menatap nyalang pada langit-langit kamar. Namun, perlahan Indera penciumannya yang lebih dulu tersadar, menghirup aroma maskulin yang belum pernah dirasakan.
“Kau sudah bangun?”
Suara bariton itu membuat Helena berjingkat pelan, refleks menoleh dengan kedua tangan mencengkeram ujung selimut yang menutupi tubuhnya. Matanya melebar, mendapati pria tinggi tegap yang tampak memamerkan tubuh berotot hanya dengan boxer di bawah pinggang. Perlahan ketakutan membayang di depan mata, memikirkan kemungkinan-kemungkinan kotor yang terjadi pada dirinya.
“Kamu- siapa?” tanya Helena tergagap dengan semakin mengeratkan cengkeramannya pada selimut, walaupun dia bisa merasakan tubuhnya yang masih berbalut baju lengkap. “Ini… di mana?”
Alih-alih menjawab, pria itu malah kembali bertanya, “Apa tadi kau mau bunuh diri?”
Helena beringsut duduk, mengabaikan denyutan nyeri di kepalanya. Kini matanya turun ke arah tubuhnya yang ternyata tidak mengenakan pakaian miliknya. “Apa yang kamu lakukan padaku?! Di mana bajuku?!”
“Wait… tenanglah, aku tidak menyentuhmu walaupun sebenarnya sangat ingin,” jawab pria itu, dengan mata biru pucat yang kini menyusuri tubuh Helana dari atas ke bawah, lalu berhenti pada bibir merekah wanita itu. “Bajumu basah kuyup dan pelayanku yang menggantinya. Seharusnya kau berterimakasih padaku.”
Helena terdiam untuk sesaat, mulai mencoba mengulang memori dari beberapa saat yang lalu. Dia tertampar oleh kebodohannya sendiri, menyadari kalau pilihanya untuk bunuh diri benar-benar sangat konyol. Dia mulai menutup kedua wajah dengan telapak tangan sembari bergumam, “Ya Tuhan… apa yang telah aku lakukan?”
“Jadi, kau memang berniat bunuh diri?”
Helena kembali menatap pria asing itu, baru menyadari kalau sejak tadi pria tampan itu berbicara dengannya menggunakan Bahasa Inggris, tapi sepertinya tetap mengerti ucapannya meskipun berbahas Indonesia. “Terimakasih karena telah menolongku, tapi aku harus pergi.”
“Kau bekerja di Perusahaan Hamilton?”
Pertanyaan itu menghentikan pergerakan Helena yang hendak turun dari ranjang, kembali menatap pria berambut kecoklatan itu. “Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Aku terpaksa melihat identitasmu di dalam tas dan menemukan kartu karyawanmu,” terang pria itu dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang cukup kaku.
“Benar, aku bekerja di sana,” jawab Helena sembari bergegas menyambar tasnya di atas meja. Dia berbalik badan saat tiba-tiba mendapati tubuh tinggi itu sudah menjulang di hadapannya, refleks kakinya mengambil langkah mundur, tapi tangan kekar itu malah menahan pinggangnya. “Kamu- mau apa?”
“Kau ingin pergi begitu saja tanpa menanyakan namaku, hem?” Mata kebiruan itu menyorot intens, seolah ingin menelanjangi Helena hanya dari sebuah tatapan. “Apa bagimu aku tidak menarik sama sekali.”
“Apa- maksudmu?” Helena membawa kedua telapak tangannya di dada pria itu, mencoba menjadikannya penahan karena mereka benar-benar tak berjarak.
Pria itu menyeringai, tercetak gurat tak terima dari wajahnya. “Kau tahu, selama ini tidak ada satu pun wanita yang mampu berpaling dariku, dan kau malah terlihat tak tertarik sedikit pun denganku… kau membuatku sangat terhina, Nona.”
“Maaf, tapi aku tidak bermaksud untuk-“ Mendadak kalimat Helena terhenti saat ibu jari pria itu menyentuh permukaan bibirnya, membelainya dengan begitu lembut. Tubuh Helena membeku, merasakan gelenyar aneh berbalut ketakutan yang menyiksa. Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel yang seolah menyelamatkannya, membuat kedua tangannya kembali memiliki kekuatan untuk mendorong tubuh kekar itu.
“Hallo, Dokter Rony?” sapa Helena sembari menempelkan ponsel di telinga, mengabaikan pria asing itu yang terus menatapnya.
“Datanglah ke rumahsakit sekarang, ada yang harus saya bicarakan denganmu,” jawab suara di seberang sana.
“Anda butuh saya sekarang?” pekik Helena lirih, melirik ke arah jam di pergelangan tangannya yang menunjukkan waktu hampir tengah malam.
“Iya, sekarang juga karena ini menyangkut suamimu.”
“Baik, Dokter. Saya ke sana sekarang,” ucap Helena yang langsung menutup sambungan telepon. Dia bersiap melangkah saat lagi-lagi tertahan oleh pria di hadapannya.
“Siapa yang menelponmu?”
“Maaf, tapi aku harus pergi.” Helena melewati pria itu begitu saja, mengabaikan seruan yang terdengar tak masuk akal baginya.
“Besok kita akan bertemu lagi!”
Pria itu kembali menyeringai, dengan mata tak lepas dari pintu kamarnya yang telah tertutup. Dia meraih sebuah benda di atas meja yang berisikan nama dan foto Helena, matanya berkilat menatap identitas kerja wanita itu. “Helena Sasmita… aku tidak akan melepaskanmu.”
To be continue….
"Saya tunggu di poli penyakit dalam."Helena membaca pesan yang dikirimkan dr. Rony sembari terus melangkah memasuki gedung rumahsakit yang tampak sepi. Logikanya benar-benar tertutup setiap kali menyangkut sang suami, sehingga dia tidak merasa aneh sedikit pun dengan permintaan salah satu dokter yang menangani suaminya itu untuk bertemu di tengah malam.Helena mengetuk pintu ruangan poli yang tertutup sampai terdengar seruan dari dalam. Dia tersenyum kecil saat melihat pria lima puluh tahunan itu duduk di salah satu kursi, lalu berjalan masuk. Suasana ruangan tersebut tak kalah sepi dari di luar, apalagi saat tidak semua lampu dinyalakan."Duduk Helena," pinta dr. Rony.Helena duduk di depan meja dokter tersebut. "Maaf, Dok. Sebenarnya apa yang ingin dokter bicarakan dengan saya. Apa ada masalah lagi dengan suami saya?""Apa kamu sudah diberitahu tentang deposit yang harus kamu tambahkan?" tanya dr. Rony sembari bangkit dari kursinya.Helena mengangguk pelan dengan wajah berubah mura
“Untuk apa dia butuh uang enam puluh juta sampai berlutut seperti itu?” gumam Keyland dengan iris biru pucatnya yang menyorot tajam ke arah layar komouter di hadapannya, melihat biodata Helena dari file kepegawaian perusahaan. Berbagai macam pertanyaan terus berlarian di kepala Keyland saat ini tentang wanita itu, hal yang tidak pernah dia lakukan pada seorang wanita.Dia mendengus keras dengan senyum miring tersungging di bibirnya. “Sepertinya dia tidak ada beda dengan wanita-wanita murahan yang pernah aku tiduri, wanita yang selalu tidak pernah cukup dengan uang.”Rahang Keyland mengetat, apalagi saat teringat bagaimana semalam Helena langsung pergi setelah mendapat panggilan dari seorang dokter, membuatnya berspekulasi bahwa wanita itu mungkin juga menjual tubuhnya demi uang. Anehnya, ada rasa marah saat membayangkan hal tersebut, padahal sebelumnya dia tidak pernah peduli dengan wanita mana pun.“Ke mana dia? kenapa belum datang juga?” gerutu Keyland gusar. Dia baru akan mengangka
“Dasar munafik.” Keyland tersenyum miring dengan tatapan merendahkan. “Bahkan malam belum berganti sejak kau menamparku dan sekarang kau kembali untuk menjual tubuhmu, hem?” Helena menunduk dengan kedua tangan terkepal erat di sisi tubuh, menahan hantaman nyeri di dadanya oleh segala macam hinaan yang siap diterima. Dia benar-benar putus asa, tak mampu lagi memikirkan solusi lagi selain menjual tubuhnya pada pria arogan ini. Baginya pria seperti Keyland Hamilton pasti sudah terbiasa dengan hubungan ranjang seperti ini, dan mungkin akan lebih mudah saat nanti akan mengahirinya begitu saja. “Apa memang selalu seperti ini caramu?” Helena tersentak kaget saat tiba-tiba lengan kekar pria itu menarik pinggangnya seperti sebelum-sebelumnya, mau tak mau membuat wajahnya refleks mendongak. Sekali lagi, dia harus bertatapan dengan iris biru pucat yang seolah ingin mengoyaknya, begitu tajam dan menakutkan. “Cara… apa?” “Cara untuk memikat pria dengan sok jual mahal dan membuat mereka penasar
“Buka bajumu di depanku.” Keyland menyeringai sembari membuka sebuah koper di depannya, menunjukkan kepada Helena bahwa tumpukan uang di dalam koper tersebut yang akan membeli tubuh wanita itu.Keyland menaikkan sebelah alisnya saat mendapati Helena yang masih mematung, hanya kedua tangan wanita itu yang tampak meremas ujung bajunya yang basah. Dia semakin dibuat bingung oleh Helena, sikap dan tindakan wanita itu seolah mencerminkan seorang wanita polos seperti dugaan awalnya. Tapi, logikanya membantah dengan cepat setiap kali mengingat kegilaan Helena akan uang.“Harus berapa lama lagi aku menunggumu, hah?!”Bentakan itu membuat Helena berjingkat, disusul dengan matanya yang kembali terasa memanas. Dengan tangan yang gemetar, dia mulai membuka satu per satu kancing bajunya. Terlihat matanya yang terpejam sembari menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan isakan yang siap keluar. Hantaman rasa bersalah kini mulai menyerang, apalagi saat wajah Vian terus membayang di matanya.“Oh shit!” ump
"Sebenarnya apa tujuanmu? kau membuatku semakin bingung, Helena," gumam Keyland dengan mata yang tak bisa lepas dari wajah cantik Helena yang masih terlelap. Tubuh mereka masih sama-sama polos tertutup selimut, saling berhadapan tanpa penghalang. Biasanya Keyland akan langsung meninggalkan wanita jalang yang habis ditiduri, tapi tidak untuk kali ini- bahkan dia memilih menghabiskan malam bersama Helena hingga pagi menjelang. Tangan Keyland terus bergerak, membelai wajah yang terpahat sempurna di hadapannya. Dia masih tidak bisa menghilangkan bayangan kenikmatan semalam, benar-benar membuatnya menggila hanya karena seorang wanita. Bayangan saat mata cantik Helena yang menyorot sayu, pipi yang merona, dan bibir berlekuk yang terus menjerit karena gairah. Semua itu telah menjadi sajian tak terlupakan untuknya. Keyland tersenyum kecil, dengan ibu jari yang berganti membelai bibir merekah itu. “Harus kuakui bahwa kau adalah wanita paling nikmat yang pernah kutiduri, Bahkan rasanya aku t
Helena tampak berdiri mematung di tengah kamar, menatap ke arah sebuah simple dres cantik yang tergeletak di atas ranjang. Tentu saja gaun itu bukan miliknya, karena bajunya yang basah semalam masih teronggok tak berguna di kamar mandi. Sebenarnya tidak perlu dipertanyakan siapa yang membelikannya, sudah pasti pria yang telah membuatnya hampir tidak bisa bangun pagi ini. Tapi di mana dia, karena nyatanya hanya aromanya saja yang masih tertinggal di kamar ini. “Itu lebih baik,” gumam Helena saat mengira bahwa Keyland sudah pergi meninggalkannya. Dia tidak akan membutuhkan pria itu lagi selama koper berisi uang enam puluh juta masih ada di sana. Helena menghela nafas lega, segera meraih gaun berwana salem itu untuk segera dikenakan. Dia memutar badan, berjalan ke arah sebuah cermin besar yang ada di sudut ruangan. Terlihat bibirnya yang mengulas senyum getir, melihat pantulan dirinya yang tampak begitu menjijikkan. Rambutnya tampak basah, tapi tetap tak akan bisa menghilangkan jejak do
Helena bagaikan seorang Cinderella, hidupnya berubah hanya dalam satu malam. Dia yang sebelumnya hanya seorang wanita dari panti asuhan dengan hidup sangat sederhana, mendadak bisa tinggal di sebuah apartemen mewah. Tentu saja dia tidak bisa menolak saat Keyland memaksanya untuk pindah dari rumah kontrakan, apalagi dengan ancaman pelanggaran kontrak dan harus mengembalikan uang enam puluh juta yang telah didapat. Alhasil, sekarang dia resmi menempati apartemen mewah milik pria itu. “Ada dua kamar di apartemen ini, terserah kau mau menggunakan yang mana,” ucap Keyland setelah membawa wanita itu masuk. “Kamar anda yang mana?” tanya Helena, bermaksud untuk tidak satu kamar dengan pria itu. Keyland tersenyum kecil. “Kau pikir aku tinggal di sini?” Kening Helena tampak berkerut tak mengerti. Pasalnya pria itu mengatakan tidak mau repot-repot datang ke tempatnya saat ingin bercinta, dan bersikeras membawanya pindah agar bisa lebih leluasa. Lalu untuk apa dia diminta pindah kalau bukan un
Ah sial… sudah kubilang jangan datang sekarang.” Keyland menahan lengan wanita berambut pendek itu, tapi langsung ditepis kasar. “Aku hanya penasaran, seperti apa wanita jalangmu kali ini,” jawab wanita itu dengan tatapan masih tertuju pada Helena di hadapannya. Perlahan dia mendekat, dengan mata yang mengamati wajah dan penampilan Helena dengan seksama. Mendadak sebelah alisnya terangkat dengan kening berkerut samar. “Apa benar kamu wanita yang dibeli sama Keyland? Aku rasa wajahmu nggak cocok untuk seorang wanita jalang.” “She is different,” sahut Keyland dengan senyum kecil, kembali mendaratkan pantat tepat di samping Helena. Dia menarik wanita itu, memeluk pinggangnya posesif. “She is still virgin-“ “Masih perawan?!” pekik wanita itu dengan mata melebar. “Apa kalian pacarana?!” Sontak Helena menggeleng cepat. “Tidak, kami tidak memiliki hubungan seperti itu.” Wanita itu mendengus keras dan ikut duduk di sofa lain. Matanya bergerak-gerak menatap Helena dan Keyland bergantian.