Share

MY BASTARD BOSS
MY BASTARD BOSS
Author: Difi

Sebuah Keputusasaan

“Deposit enam puluh juta?!” pekik Helena dengan mata melebar, diikuti rona merah di wajahnya yang menghilang. Mendengar angka yang baru saja diucapkan oleh pihak rumah sakit, membuat tubuhnya menggigil seketika. Selama ini dia mati-matian hidup kekurangan karena hampir semua gajinya digunakan untuk pengobatan sang suami, tapi ternyata masih ada tambahan-tambahan tak terduga yang harus ditutupi.

“Benar, Bu… Suami anda sangat hebat karena mampu bertahan sampai saat ini, tapi koma yang dialami selam satu tahun ini perlahan mematikan organ-organ di dalam tubuhnya hingga harus mendapat suplay obat-obatan terus menerus. Hal tersebut membuat ginjalnya bermasalah dan harus menjalani cuci darah rutin. Untuk itu, anda harus mendapatkan deposit sebesar enam puluh juta agar proses cuci darahnya bisa dilakukan,” terang salah seorang wanita yang berdiri di balik meja kasir rumahsakit.

Dada Helena terasa begitu sesak, bahkan matanya mulai memanas. Rasa frustasi perlahan mulai menyergap, memunculkan ketakutan sendiri di dalam dirinya. Dia tidak tahu lagi harus mencari uang di mana, karena sudah tidak ada lagi barang yang bisa dijual. Di tengah kebingungannya, Helena berjalan tertatih keluar dari rumah sakit, menerjang hujan deras di luar sana.

“Ya Tuhan… apa yang harus aku lakukan?” isaknya di tengah guyuran hujan yang menyamarkan airmata dan isak tangisnya. Kakinya terus melangkah tak tentu arah, membawa keputusasaan yang terus menyerang dirinya. Hingga pada satu titik, terbesit sebuah keinginan konyol untuk mengahiri hidupnya, setidaknya mungkil ginjal dan organ-organ tubuhnya yang lain bisa diberikan untuk Vian, suaminya.

Helena berdiri di tepi jalan, menatap nanar pada cahaya lampu mobil yang menyorot cukup jauh darinya. Jantungnya terasa berdegup kencang, berbanding lurus dengan jarak mobil yang semakin dekat ke arahnya. Dia memejamkan mata sejenak, memantapkan diri untuk berkorban demi sang suami, hingga kakinya benar-benar melangkah ke tengah jalan tepat saat mobil itu bersiap menerjangnya.

Suara derit ban yang bergesekan dengan aspal jalan yang licin terdengar memekakkan, bersamaan dengan suara jeritan dari Helena tanpa sadar. Tiba-tiba tubuh mungilnya ambruk begitu saja, walaupun masih ada jarak sejengkal dari bamper mobil mewah tersebut.

“Shit!”

Suara umpatan itu masih terdengar oleh telinga Helena sebelum keheningan menyergapnya hingga tak sadarkan diri.

***

Helena mengerang pelan dengan kening berkerut dalam, perlahan mencoba membuka kelopak mata walaupun masih terasa berat. Dia linglung untuk sesaat, hanya menatap nyalang pada langit-langit kamar. Namun, perlahan Indera penciumannya yang lebih dulu tersadar, menghirup aroma maskulin yang belum pernah dirasakan.

“Kau sudah bangun?”

Suara bariton itu membuat Helena berjingkat pelan, refleks menoleh dengan kedua tangan mencengkeram ujung selimut yang menutupi tubuhnya. Matanya melebar, mendapati pria tinggi tegap yang tampak memamerkan tubuh berotot hanya dengan boxer di bawah pinggang. Perlahan ketakutan membayang di depan mata, memikirkan kemungkinan-kemungkinan kotor yang terjadi pada dirinya.

“Kamu- siapa?” tanya Helena tergagap dengan semakin mengeratkan cengkeramannya pada selimut, walaupun dia bisa merasakan tubuhnya yang masih berbalut baju lengkap. “Ini… di mana?”

Alih-alih menjawab, pria itu malah kembali bertanya, “Apa tadi kau mau bunuh diri?”

Helena beringsut duduk, mengabaikan denyutan nyeri di kepalanya. Kini matanya turun ke arah tubuhnya yang ternyata tidak mengenakan pakaian miliknya. “Apa yang kamu lakukan padaku?! Di mana bajuku?!”

“Wait… tenanglah, aku tidak menyentuhmu walaupun sebenarnya sangat ingin,” jawab pria itu, dengan mata biru pucat yang kini menyusuri tubuh Helana dari atas ke bawah, lalu berhenti pada bibir merekah wanita itu. “Bajumu basah kuyup dan pelayanku yang menggantinya. Seharusnya kau berterimakasih padaku.”

Helena terdiam untuk sesaat, mulai mencoba mengulang memori dari beberapa saat yang lalu. Dia tertampar oleh kebodohannya sendiri, menyadari kalau pilihanya untuk bunuh diri benar-benar sangat konyol. Dia mulai menutup kedua wajah dengan telapak tangan sembari bergumam, “Ya Tuhan… apa yang telah aku lakukan?”

“Jadi, kau memang berniat bunuh diri?”

Helena kembali menatap pria asing itu, baru menyadari kalau sejak tadi pria tampan itu berbicara dengannya menggunakan Bahasa Inggris, tapi sepertinya tetap mengerti ucapannya meskipun berbahas Indonesia. “Terimakasih karena telah menolongku, tapi aku harus pergi.”

“Kau bekerja di Perusahaan Hamilton?”

Pertanyaan itu menghentikan pergerakan Helena yang hendak turun dari ranjang, kembali menatap pria berambut kecoklatan itu. “Bagaimana kamu bisa tahu?”

“Aku terpaksa melihat identitasmu di dalam tas dan menemukan kartu karyawanmu,” terang pria itu dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang cukup kaku.

“Benar, aku bekerja di sana,” jawab Helena sembari bergegas menyambar tasnya di atas meja. Dia berbalik badan saat tiba-tiba mendapati tubuh tinggi itu sudah menjulang di hadapannya, refleks kakinya mengambil langkah mundur, tapi tangan kekar itu malah menahan pinggangnya. “Kamu- mau apa?”

“Kau ingin pergi begitu saja tanpa menanyakan namaku, hem?” Mata kebiruan itu menyorot intens, seolah ingin menelanjangi Helena hanya dari sebuah tatapan. “Apa bagimu aku tidak menarik sama sekali.”

“Apa- maksudmu?” Helena membawa kedua telapak tangannya di dada pria itu, mencoba menjadikannya penahan karena mereka benar-benar tak berjarak.

Pria itu menyeringai, tercetak gurat tak terima dari wajahnya. “Kau tahu, selama ini tidak ada satu pun wanita yang mampu berpaling dariku, dan kau malah terlihat tak tertarik sedikit pun denganku… kau membuatku sangat terhina, Nona.”

“Maaf, tapi aku tidak bermaksud untuk-“ Mendadak kalimat Helena terhenti saat ibu jari pria itu menyentuh permukaan bibirnya, membelainya dengan begitu lembut. Tubuh Helena membeku, merasakan gelenyar aneh berbalut ketakutan yang menyiksa. Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel yang seolah menyelamatkannya, membuat kedua tangannya kembali memiliki kekuatan untuk mendorong tubuh kekar itu.

“Hallo, Dokter Rony?” sapa Helena sembari menempelkan ponsel di telinga, mengabaikan pria asing itu yang terus menatapnya.

“Datanglah ke rumahsakit sekarang, ada yang harus saya bicarakan denganmu,” jawab suara di seberang sana.

“Anda butuh saya sekarang?” pekik Helena lirih, melirik ke arah jam di pergelangan tangannya yang menunjukkan waktu hampir tengah malam.

“Iya, sekarang juga karena ini menyangkut suamimu.”

“Baik, Dokter. Saya ke sana sekarang,” ucap Helena yang langsung menutup sambungan telepon. Dia bersiap melangkah saat lagi-lagi tertahan oleh pria di hadapannya.

“Siapa yang menelponmu?”

“Maaf, tapi aku harus pergi.” Helena melewati pria itu begitu saja, mengabaikan seruan yang terdengar tak masuk akal baginya.

“Besok kita akan bertemu lagi!”

Pria itu kembali menyeringai, dengan mata tak lepas dari pintu kamarnya yang telah tertutup. Dia meraih sebuah benda di atas meja yang berisikan nama dan foto Helena, matanya berkilat menatap identitas kerja wanita itu. “Helena Sasmita… aku tidak akan melepaskanmu.”

To be continue….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status