LOGINJean membeku. Nadia? Dia tidak mengenal wanita ini. Bagaimana dia tahu namanya? Dan apa maksud "hal-hal tak biasa"?
Dari balik rak minuman, Jean mendengar suara geraman rendah. Lycus berdiri di sana, bulu-bulu di punggungnya berdiri, matanya menatap Nadia dengan tatapan waspada. Jean belum pernah melihat Lycus bereaksi seperti ini terhadap siapa pun.Nadia mengabaikan geraman Lycus dan mengambil botol airnya. "Sampai jumpa, Jean. Aku yakin kita akan bertemu lagi."Dia berbalik dan berjalan keluar toko, meninggalkan Jean dengan perasaan campur aduk antara bingung dan waspada. Lycus mendekat dan menggosok-gosok badannya ke kaki Jean, mengeong khawatir.Jean memandangi pintu toko yang sudah tertutup. "Siapa dia, Lycus? Kenapa dia tahu namaku?"Lycus hanya mengeong lagi, lalu berjalan ke arah tempat Nadia berdiri tadi. Kucing itu mengendus-endus lantai, ekornya bergerak-gerak gelisah.Security tua yang bertugas mendekat. "Ada apa, JeNadia mendesis, matanya yang hijau berkilat marah. Sihirnya telah pecah. “Berani-beraninya kau merusak rencanaku!” geram Nadia, kini wajahnya tak lagi cantik dan lembut, tetapi keriput oleh amarah dan keserakahan. “Bodoh! Liontin itu bukan sekadar perhiasan! Itu adalah kunci!” Jean merasakan liontin di lehernya semakin panas dan bergetar hebat. Cahaya putih kebiruan, seperti es, tiba-tiba memancar dari liontin, menerangi seluruh ruangan. “Kunci untuk apa?” tanya Jean sambil terus melindungi Rara di belakangnya. “Untuk sesuatu yang tak akan kau pahami, manusia biasa!” hardik Nadia. Ia mengangkat tangan, energi gelap terkumpul di telapaknya. Rara memegang erat lengan Jean. “Bang, kita harus lari! Sekarang!” Tiba-tiba, cahaya dari liontin semakin terang, membentuk sebuah pola rumit di dinding kosan. Pola itu berputar, membuka semacam portal berwarna ungu tua. Di balik portal, terlihat pemanda
Ancaman itu datang lagi, dan kali ini lebih dekat dari yang mereka duga. Hujan deras menghantam atap seng kosan Nadia, menciptakan irama gaduh yang memenuhi seluruh ruangan. Angin malam menerpa melalui pintu yang terbuka lebar, membawa serta percikan air hujan dan sosok Pak Cello yang basah kuyup. Pria paruh baya itu berdiri di ambang pintu, napasnya tersengal-sengal, matanya melotot penuh ketakutan. Air mengalir dari ujung rambutnya yang acak-acakan dan menetes dari ujung hidungnya. “Losmen... losmenku kebakaran lagi!” teriak Pak Cello, suaranya parau dan hampir hilang diterpa deru hujan. “Ada makhluk baru! Aneh sekali wujudnya!” Jean yang tadinya duduk di sofa, langsung melompat berdiri. Tangannya refleks meraih liontin perak yang menggantung di lehernya. Benda itu terasa hangat, bahkan hampir panas, dan bergetar kencang di genggamannya, seolah punya hidup sendiri. Nadia yang berdiri di dekat jendela, memalingkan wajahnya dari hujan. Matany
Jean berdiri di bawah pohon kelapa di Pantai Losari, menatap laut yang berwarna keemasan di bawah sinar matahari sore. Angin laut bertiup lembut membawa aroma asin dan sedikit aroma ikan. Dia memegang dua gelas es kelapa muda, kondensasi air membasahi tangannya. Rasanya aneh berada di sini, dalam situasi yang seharusnya berupa kencan, tapi motivasinya sama sekali bukan romantis. Ingatannya kembali ke liontin yang bergetar dan simbol es yang muncul di dadanya tadi pagi. Itu pertanda yang tidak bisa dia abaikan. Tapi Nadia berjanji akan memberitahukan hal penting tentang Rara dan dunia sihir. Jean merasa tidak punya pilihan.Dia melihat Nadia datang dari arah parkiran. Wanita itu berjalan dengan langkah ringan, tapi ada kecanggungan dalam caranya melangkah, berbeda dengan ketegasan yang dia tunjukkan semalam. Rambutnya yang bergelombang tertiup angin, dan kali ini dia mengenakan jeans dan kaus casual berwarna biru muda, bukan jubah pemburu."Maaf ya, macet di ja
Setelah meyakinkan Pak Cello untuk pergi ke kamarnya dan mengemasi barang-barang, Nadia kembali menghadap Jean dan Rara. Hujan mulai reda di luar, meninggalkan suasana lembap dan sunyi yang menyesakkan."Nadia," kata Jean, memecah keheningan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Mereka akan kembali, bukan?"Nadia mengangguk, wajahnya serius. "Mereka pasti akan kembali. Itulah sebabnya kita harus proaktif." Dia menatap langsung ke mata Jean. "Bang Jean, besok malam. Aku ingin kau ikut denganku."Jean mengerutkan kening. "Ikut? Ke mana? Masih mau ajak aku jalan setelah semua ini?""Ini bukan sekadar jalan-jalan biasa," tegas Nadia. "Ini adalah bagian dari misi. Aku perlu memberitahumu hal-hal penting. Hal-hal tentang Rara, tentang dunia lain yang kusebut tadi, dan..." dia berhenti sebentar, "...tentang dirimu sendiri.""Tentang aku?" Jean terkejut. "Apa tentangku? Aku cuma seorang pelayan bar biasa.""Kau bukan 'hanya'
Bayangan itu mendarat dengan lembut di atas ubin yang retak, suara langkahnya hampir tak terdengar di balik deru hujan dan desis sisa api yang padam. Sosoknya tinggi, mengenakan jubah hitam yang basah kuyup, sebuah busur panjang terlihat di punggungnya. Jean mengencangkan pelukannya pada Rara yang masih gemetar, tubuhnya siaga. Siapa orang ini? Apakah dia yang menembak makhluk itu? Atau musuh baru? Lycus melangkah maju, tubuhnya rendah, sebuah geraman dalam terdengar dari kerongkongannya. Dia mengendus udara, mencoba mengenali aroma sang pendatang. Pak Cello masih tak bergerak di sudut, tergeletak di antara puing-puing sebuah meja yang hancur. Sosok berjubah itu berjalan mendekat, langkahnya pelan tapi penuh keyakinan. Dia berhenti beberapa meter dari mereka, tangannya yang bersarung tangan mengangkat dan melepas tudung yang menutupi kepalanya. Rambut panjang bergelombang yang basah terurai, dikenali Jean seketika. Mata
"Dia di sini, Bang. Selamat," kata Rara, melihat ke arah meja terbalik dimana sepasang mata hijau bersinar dari balik kegelapan.Jean kemudian melihat sekeliling. Losmen Barokah hancur sebagian. Sebagian atap di dekat tangga bawah tanah ambruk, membuat air hujan deras masuk, membantu memadamkan sebagian api. Ruangan dipenuhi puing-puing kayu dan pecahan kaca. Lampu neon sudah mati total, hanya cahaya dari api yang masih menyala dan sesekali kilat dari luar yang menerangi.Dan kemudian, dari balik asap yang mulai memudar di lorong bawah tanah yang terbuka, sesuatu mulai muncul.Pertama-tama, yang terlihat adalah sepasang mata merah menyala, besar dan penuh kebencian. Kemudian, bayangan besar itu perlahan menaiki tangga yang rusak, menginjak puing-puing dengan berat. Makhluk itu muncul sepenuhnya.Tingginya sekitar tiga meter, hampir menyentuh langit-langit losmen yang rendah. Tubuhnya tampak terbuat dari asap hitam pekat yang terus berger







