“Selvia…” suara sang Raja Dragneel bergetar dengan berat, bergema di seluruh penjuru aula istana, memecah kesunyian yang tegang. “Kerajaan Dracul telah kalah telak dalam perang seratus tahun. Jika kita tidak mengikat perjanjian damai dengan Draco, klan kita akan punah. Karena itu, kau akan dinikahkan dengan Pangeran Lucius de Draco.”
Selvia De Dracul menatap wajah sang ayah. Ia hanya bisa terdiam dengan titah yang akan diberikan kepadanya. Kata-kata itu mengguncang aula. Bisikan para bangsawan terdengar, bagai desiran ular yang berbisik khawatir. “Pernikahan politik… demi bertahan hidup,” bisik seorang bangsawan tua, suaranya serak dan sedikit parau. “Putri Selvia… dengan musuh abadi kita?” sela yang lain dengan suara bergetar. “Tidak bisa di Terima..Ini… penghinaan bagi darah Dracul…” Suara samar jadi bisik-bisik para bangsawan. Mereka semua saling menatap satu sama lain, mata berbinar penuh dengan gejolak pertanyaan. Selvia hanya bisa diam, dadanya terasa sesak. Ingatan tentang perang mengalir deras di kepalanya, dan menghantui seperti mimpi buruk. Seratus tahun lalu, langit Transilvania berwarna merah darah. Pasukan vampir Dracul berbaris di bawah panji-panji bayangan kelelawar hitam. Taring-taring tajam mereka berkilau, tombak perak diangkat tinggi menatap langit. Mereka menyerbu, menaklukkan desa-desa manusia, menjadikan darah manusia sebagai sumber kekuatan dan kehidupan. Namun dari timur, muncul kerajaan saingan. DRACO, sang pengendali naga. Raja Artarius de Draco menunggangi naga merah besar raksasa, bersamaan dengan pasukan Dragon Rider yang menyalakan langit dengan api-api yang membara dan tak kenal ampun. Pertempuran berlangsung di sebuah lembah, dibawah kaki pegunungan, hingga menjalar ke kastil-kastil. Suara raungan naga beradu dengan pekikan kelam vampir. Tanah menjadi retak, langit pun terbelah oleh sayap api dan bayangan kelelawar, saling menerjang satu sama lain tanpa hentinya. Seratus tahun lamanya, darah mengalir membasahi bumi, generasi silih berganti. Hingga akhirnya, pasukan Dracul terhimpit, kalah telak, hingga mereka dipaksa berlutut di hadapan pasukan Draco dengan malu. Ingatan itu masih membekas di seluruh jiwa dan raga penghuni kerajaan Dracul, luka yang tak kunjung sembuh. Selvia mengepalkan tangannya, kukunya menusuk telapak tangannya. “Ayahanda…” suaranya bergetar, tapi tegas, lantang hingga memenuhi ruang. “Aku tidak akan jadi pion politik dalam permainan kotor ini! Menikah dengan musuh? Dengan darah Draco yang telah membantai ribuan rakyat kita? Tidak Ayahandaku... tidak!” Para bangsawan bergumam, sebagian terkejut, sebagiannya lagi kagum kepada keberanian sang putri, namun tak ada yang berani bersuara lebih, semuanya di paksa menerima titah sang raja. Raja Dragneel menatap putrinya itu, mata merahnya menyala bagaikan bara api. “Selviaku sayang! Ini bukan tentang kehendakmu nak. Ini tentang kelangsungan kerajaan kita. Dan kau akan tunduk, sebagaimana semua pewaris tahta Kekaisaran Dracul sebelum dirimu!” Selvia menggigit bibirnya, hampir sampai berdarah. Hatinya memberontak, darah vampirnya mendidih. “Jika itu takdir yang kau pilih untukku ayahanda… maka aku dengan tegas akan menolak takdir itu, meski harus menghadapi dunia!” Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik, gaunnya berkibar seperti bayangan sayap kelelawar. Ia berlari menembus lorong-lorong kastil, melewati pelayan yang membungkuk ketakutan, melewati pasukan penjaga dengan tatapan bingung. Para bangsawan hanya bisa terdiam, sesekali ada yang berbisik dan saling menatap. Sang ayah tak ingin mengejar anaknya yang sedang merajuk. Selvia meninggalkan tempat itu. Carmila de Draco hanya bisa menyapu dada seolah-olah ia ingin mendukung sang anak, tapi ia segan karena rasa takut. "Suamiku, kamu yakin dengan pilihanmu ini? apakah kamu tidak memikirkan perasaan anak kita?. " Tanya Carmila dengan wajah cemas. Artarius hanya menoleh sekejap ke sang Ratu, tanpa sepatah kata pun. Ia segera duduk kembali di singgasananya yang megah. Pelarian ke Hutan menjadi jawaban yang Selvia tak tahu apakah ini mesti ia lakukan atau tidak, sebuah pilihan yang lahir dari keputusasaan. Ia berlari dengan derai air mata yang menetes perlahan membasahi pipinya yang merah merona. Para penjaga tak menahan langkahnya sang putri. Mereka hanya menatap seolah-olah paham apa arti sakit hati itu. "Penjaga, aku ingin cari udara segar di luar. " Ujar Selvia kepada penjaga gerbang kastil kerajaan. "Maaf putri, kami kira sedang ada pertemuan di aula. " jawab Penjaga dengan segan. "Jangan bertanya. Buka saja... bisa? " "Siap putri. maafkan hamba. " trakk...!!! . Pintu kastil terbuka, rantai jembatan kayu pun di putar hingga jembatan pun turun membentang di atar sungai yang mengelilingi kastil. Malam menyambut Selvia dengan kabut pekat di luar kastil, tak ada penjaga yang mengikuti atas permintaanya. Ia segera berlari, melewati jembatan, menuju hutan Transilvania, memasuki kegelapan yang seolah siap menelannya." Aku bukan pion. Jika orang tuaku menyayangiku, aku tidak akan di jual seperti barang loak di pasar. " Ketusnya sembari terus melangkahkan kakinya masuk ke dalam hutan yang rimbun. Hutan itu seperti labirin kegelapan. Pohon-pohon pinus menjulang bagai menara hitam, dahan-dahannya seperti cakar, menggapai siapa pun yang lewat. Serigala melolong di kejauhan, burung hantu menatap dengan mata kuningnya yang menyala, mengikuti gerakan Selvia yang tak kenal henti. Setiap langkah Selvia terdengar nyaring di tanah basah berlumut, seakan hutan sendiri sedang mengawasi pelariannya, menyimpan rahasia dan bahaya. “Aku… tidak akan menyerah. Aku bukan boneka…” gumam kembali dalam pelarian itu, napasnya sedikit tersengal. Kabut semakin tebal, menyelimuti segala arah, hingga ia tiba di sebuah gua kuno. Mulutnya besar, seperti rahang monster yang siap menelan. Di atasnya, terukir lambang kelelawar bersayap lebar, dipenuhi lumut dan darah kering, simbol yang telah lama terlupakan. Dari dalam gua, terdengar suara—gemuruh rendah bercampur bisikan ribuan sayap, berdesis penuh misteri. Selvia menelan ludah, tenggorokannya kering, lalu melangkah masuk." Seharusnya ada portal rahasia yang kutemui di buku tua dalam perpustakaan. " Gumamnya pelan, sembari melangkah pelan. Suasana di dalam gua basah dan dingin, menusuk hingga ke tulang. Tetesan air jatuh dari stalaktit, menggema seperti dentang lonceng kematian. Aroma tanah tua bercampur bau besi, menusuk hidung. Mata Selvia menatap ke langit-langit. Rasa kagum bercampur merinding ia rasakan. Lalu, dari kegelapan, muncul sosok raksasa. Sayap kelelawar hitam terbentang, menutupi hampir separuh ruangan goa, tubuhnya kekar, separuh manusia separuh beast. Matanya merah menyala, suaranya dalam dan berat bergema. “Putri dari Dracul… apa yang mendorongnlmu hingga datang ke tempat terlarang ini?” tanyanya, suaranya seperti guruh dari dalam bumi. Selvia berdiri tegak menatap sosok bongsor itu, gaunnya berlumur bekas kabut samar. Mata ungunya bersinar, penuh tekad dan api pemberontakan. “Aku menolak takdir yang dituliskan untukku,” jawabnya, suara jelas meski bergetar. “Takdir manusia di tetapkan oleh dirinya sendiri. Tanpa campur tangan orang lain!” Penjaga itu terdiam sejenak, lalu perlahan menundukkan kepala. Dari cakarnya, ia membentuk segel kelelawar, dan udara di gua bergetar. Cahaya merah darah memancar, membentuk pusaran hitam pekat yang berputar pelan. "Maaf kelancanganku yang mulia," ia berjalan pelan menuntun langkah wanita itu. Sayap ribuan kelelawar terdengar dari dalam, bergema memenuhi goa. Selvia menatap cahaya itu, bibirnya berbisik lirih. "Pilihlah takdir anda yang mulia." ucapnya saat perjalanan mereka hampir tiba di sebelah ruangan yang penuh dengan simbok asing. Langkah mereka berhenti di depan sebuah altar. Di depannya terdapat sebuah gerbang kecil dari batu dengan hiasan simbol emas di sisi kiri dan kanan. Mata Selvia berbinar melihat pemandangan itu. Ia berjalan pelan, sesekali tangannya menyentuh artefak indah yang hanya bisa ia lihat di buku-buku. "Putri, gigit jari anda, kemudian sentuh titik altar sebagai pengorbanan." Selvia menuruti kata Darkbat itu tanpa bertanya. Seketika pintu kuno itu terbuka. Didalamnya hanua sebuah portal yang berbentuk angin. "Apakah ini aman? terlihat menakutkan." Kata Selvia, ia menatap Beast itu. "Pilihlah takdirmu. " Selvia menepis ragunya. Ia menutup matanya dan langsung masuk ke portal itu..... .Selvia mengangguk, meski ada sedikit ketegangan di wajahnya. “Desa… berarti banyak orang, ya?” tanyanya pelan, suaranya penuh kehati-hatian. Jean tersenyum menenangkan. “Tenang aja, mereka baik kok. Lagipula, aku di sampingmu yang akan selalu menjaga kamu. Kalau ada apa-apa, tinggal aku yang urus.” Ia menepuk dadanya dengan percaya diri, meski dalam hati ia sedikit khawatir bagaimana menjelaskan kehadiran Selvia kepada warga desa. Matahari sudah condong ke barat ketika mereka akhirnya tiba di desa kecil di pinggir hutan. Desa itu sederhana, dengan rumah-rumah kayu dan jalan tanah yang ramai oleh anak-anak yang bermain dan ibu-ibu yang membawa keranjang sayur. Di ujung desa, ada sebuah penginapan kecil dengan papan nama sederhana bertuliskan “Penginapan Bunga Hutan”. Jean menghela napas lega—"akhirnya, ada juga tempat untuk istirahat!" Jean tersenyum tipis." Jangan takut desa ini bukan tempat asing, aku akrab dengan warganya hehe." Ucap Jean. Sementara Selvia hanya mengangguk seola
Jean terbangun dalam keadaan setengah sadar. Kepalanya masih pusing. Dia merasa ada kehangatan di pipinya. Perlahan dia membuka mata. Selvia masih tertidur di sampingnya. Kepala gadis itu bersandar di bahu Jean. Tangannya masih memegang lengan Jean dengan lembut. Rambut hitamnya yang panjang berantakan menutupi sebagian wajahnya. Jean melihat sekeliling. Gubuk masih gelap. Hujan sudah berhenti. Hanya suara angin malam yang terdengar. Api unggun sudah padam, hanya menyisakan bara yang masih kemerahan. Dia mencoba mengingat apa yang terjadi. Ingatannya samar-samar. Dia ingat hujan deras. Ingat suara geraman dari luar. Tapi setelah itu... kosong. Seperti ada bagian yang terhapus. Dia melihat Selvia yang tertidur. Gadis itu menggigil kedinginan. Napasnya mengeluarkan uap putih di udara dingin. "Kasihan, mungkin dia kedinginan," gumam Jean pelan. Sembari menatap wajah Selvia hingga ia terpesona. Dia mencoba bergerak perlahan. Tangannya meraih selimut yang terlipat di dekatnya.
Selvia berdiri, wajahnya pucat. "Beast... utusan ayah..." katanya sambil menunjuk ke luar. Dia berbicara campuran bahasa Transilvania dan beberapa kata yang Jean tidak pahami. "Kamu tidak perlu takut," kata Jean, meski tahu Selvia mungkin tidak mengerti. Dia mengambil sebatang kayu dari lantai. Kayu itu kokoh dan cukup berat. Selvia menarik lengan Jean. "Tidak Jean! Ini berbahaya!" katanya dengan mata membesar. "Beast itu kuat... sangat kuat!" Jean menggeleng. "Saya tidak mengerti semua yang kamu katakan, tapi saya tahu kamu dalam bahaya." Dia berdiri lebih tegak di depan Selvia. Matanya menatap tajam ke arah mahkluk itu. Pintu gubuk berderak keras. Sebuah cakar besar muncul menerobos kayu pintu. Cakar itu seperti besi, panjang dan tajam. Makhluk itu mendorong masuk, memperlebar lubang di pintu. Beast memasukkan kepalanya. Kepala serigala raksasa dengan mata merah. Sisik hitam menutupi wajahnya. Asap keluar dari hidungnya. "Selvia, kamu akan menyesal melarikan diri," ge
Selvia melihat gaun hitamnya yang sudah kusam, lalu menatap Jean dengan mata berbinar. Dia ingin menjelaskan, tapi tahu itu tidak mungkin."Mungkin hanya hewan hutan," gumam Jean, tapi dia juga mulai merasa tidak nyaman. Meskipun ia tahun Selvia tak paham yang ia ucapkan. Mereka terus berjalan, tapi sekarang dengan kewaspadaan yang lebih tinggi. Hutan yang awalnya terang oleh sinar matahari mulai berubah lebih gelap, meski hari masih siang. Awan hitam mulai berkumpul di langit."Sepertinya akan hujan," kata Jean sambil melihat ke atas. "Kita harus mencari tempat berteduh."Mereka berbalik arah menuju gubuk tempat Selvia tinggal. Baru saja mereka sampai, hujan mulai turun dengan deras. Butiran air menghantam atap daun dan kayu reyot, menciptakan suara gemericik yang konstan.Jean berhasil menyalakan api kecil dengan ranting-ranting kering yang dia kumpulkan. Cahaya api menerangi sudut gubuk, menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding kayu. Aroma asap kayu bercampur dengan wangi
"Dasar peta murahan... tersesat lagi aku," gumam seorang pria yang muncul dari balik pepohonan. Dia mengenakan jaket hiking berwarna biru tua dengan celana cargo, ransel besar terlihat berat di punggungnya. Pria itu tertegun ketika melihat Selvia. Matanya membulat, seolah tidak menyangka menemukan seseorang di tengah hutan terpencil. Selvia sendiri membeku, siap untuk melarikan diri kapan saja. "Eh... halo?" kata pria itu perlahan, mengangkat tangannya seperti menenangkan hewan liar. "Saya tidak bermaksud buruk." Selvia tidak memahami kata-katanya, tapi dia bisa merasakan nada suara yang ramah. Lycus, yang awalnya menggeram, sekarang mulai mendekati pria itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Wah, kucing yang cantik," kata pria itu, berjongkit dan mengulurkan tangan untuk membelai Lycus. Dengan santainya, Lycus menggosokkan kepalanya ke tangan pria tersebut. Selvia memperhatikan bagaimana pria itu memperlakukan Lycus dengan lembut. Ada sesuatu tentang caranya tersenyum yang memb
Selvia masuk ke portal, melewati ruang dan waktu yang berbeda. Hingga ia tak sadarkan diri akibat perjalanan itu. Selvia de Dracul masih setengah sadar, tangannya memegang gaun hitamnya yang telah sobek di beberapa bagian, rambut panjangnya terurai menutupi bahu. Nafasnya pelan, tubuhnya lelah setelah menempuh perjalanan menembus portal ajaib yang hanya bisa dibuka dengan segel kelelawar dari penjaga Darkbat. Wajahnya yang cantik dan pucat, dengan bibir mungil yang sedikit gemetar, membuatnya tampak seperti boneka rapuh di tengah kegelapan. Ia menunduk, memejamkan mata sejenak. Ia terdampar di dunia manusia meninggalkan Negeri Transylvania Tak berapa lama, tiba-tiba di telinganya terdengar suara imut dan tak asing. Ia memperhatikan sekelilingnya. Mencari sumber suara. "Lycus...? " Seketika seekor kucing hitam meloncat ke pangkuan Selvia. Wajah Selvia yang awalnya bermuram durja, seketika menjadi ceria dengan senyum manis dan indah yang ia pancarkan. "Ihhh kamu ikuti aku ya...?