Part 17"Alhamdulillah!" Luna mencium pucuk kepalaku. Wajahnya terlihat bahagia.Dokter Ferdinan merasa terharu dengan kedekatanku dan Luna. Menurutnya jarang dia menemui orang-orang seperti kami. Luna menjelaskan, jika kami bertiga memiliki keakraban yang erat."Mungkin penyebab Pak Ridwan tidak memiliki anak ada pada istri Bapak. Lebih baik, Bapak bawa istrinya ke sini untuk kita periksa. Setelah keluar hasilnya kita bisa mengetahui kendalannya dimana. Sehingga kita bisa mencari solusi agar Bapak segera memiliki momongan. Seharusnya dalam urusan beginian harus periksa suami-istri, biar tidak ada saling tuduh-menuduh. Biar dalam hubungan tidak ada saling curiga," terang Dokter Ferdinan.Aku menatap ke arah Luna. Adik tersayangku mengedipkan mata pelan."Baik, dok. Akan tetapi, Kakak Ipar saya sedang dinas ke Medan. Setelah dia pulang, saya yang akan membawa dia kesini," jelas Luna."Baiklah, lebih cepat lebih baik," sahut Dokter Ferdinan."Oh ya, adakah pemeriksaan lanjutan terhadap
Part 18"Bu-bukan, Anda salah Pak Ustaz. Istri saya tidak mungkin menyakiti saya. Dia sangat mencintai saya," ujarku dengan perut yang masih terasa mual.Ustaz Irsyad tersenyum penuh arti ke arahku. Lalu, mengeleng pelan."Jiwamu terlalu kosong, Wan. Bagaimana bisa kamu yang ahli ibadah ketika masih muda bisa krisis iman sedemikian rupa. Wan, ingat ada Allah yang memegang kendali atas hidup kita. Ngucap, Wan," ujar Ustaz Irsyad.Tiba-tiba saja Ibu memekik hebat, mengeser tubuhnya ke belakang. Penyebabnya, keluar belatung dari bekas mutahanku."Wan, sini tangan kamu," pinta Ustaz Irsyad seraya mengulurkan tangannya ke depanku.Aku menjulurkan tangan ke arah telapak tangannya. Secepat kilat, lelaki senja itu menarik cincin pemberian Risna. Suara tangisan Risna mengalun di telinga."Tega kamu menyakitiku, Mas. Kamu jahat!" teriakan Risna terdengar jelas di telinga. Mataku memindai seluruh ruangan. Namun, sosok Risna tidak kutemui."Pak Ustaz, kembalikan cincin saya. Saya tak mau istri sa
Part 19"Sini!" teriak Luna. Wajah Risna pucat pasi. Kakinya mundur ke belakang, hingga tubuhnya hampir tumbang tersandung anak tangga pertama."Luna!" teriakku membuat langkah Luna terhenti dan menoleh ke arahku."Tolong, jangan hentikan aku, Mas," ujar Luna dengan raut wajah gelisah.Aku melangkah mendekat ke arah Luna. Kutarik tubuhnya ke dalam pelukanku."Lun, kalau kamu sayang sama Mas, tolong hentikan ini, Lun," lirihku pelan."Mas, aku tidak bisa diam, Mas. Aku tidak bisa melihat wanita ini terus mempermainkan Mas, Luna tak terima!" Luna meronta-ronta dalam pelukanku. Matanya memerah, memandang sarkas ke arah Risna yang tak berkutik."Risna, katakan yang sejujurnya, setidaknya kami bisa memaafkanmu," celutuk Mbak Mia datar. Ibu hanya melihat seraya menarik napas kasar. Drama menyayat hati, sedang ditampilkan di hadapannya."Apa yang harus aku katakan, Mbak. Aku tidak melakukan apa-apa," kilah Risna. Tubuhnya melorot ke lantai. Derai air mata membasahi wajah cantiknya."Alah, ng
Part 20"Bu, tolong suruh Risna keluar," pintaku pada Ibu. Tulang-tulang terasa lemas seketika. Sebelah tanganku memegang kepala, sebelah lagi meraba tempat untuk bersandar."Mas, Mas kenapa?" tanya Risna panik."Keluar!" tegasku."Risna, jangan keras kepala keluar dulu," ujar Ibu masih dengan nada bicara normal.Risna berisi keras ingin bersamaku. Kuarahkan tangan ke arah Ibu sebagai tanda mengusir Risna dari kamar Ibu. Semakin mendengar suaranya, kepalaku semakin sakit. Ibu menarik paksa Risna keluar dari kamar. Teriakannya tak menghentikan Ibu untuk mengusirnya.Tubuhku berguncang bagaikan di landa gempa. Peluh membasahi wajah dan kemeja yang kukenakan. Debaran jantung berpacu laksana orang berlari jauh. Tubuhku terjatuh di atas ranjang. Ibu meraih tubuhku, dilafalkan asma Allah di telingaku. Semua itu tak mengurangi rasa sakit. Semakin Ibu membaca ayat kursi, semakin kepalaku bagai dilindas dengan alat berat. Napas memburu, dada terasa panas. Hingga puncaknya, semua gelap.****En
Part 21Aku meronta, tapi Luna mengancamku. Dia menarik kunci dari dalam sakuku. Membuka pintu mobil dan mendorong tubuhku kekursi penumpang. Tak lama kemudian Risna berlari ke arah mobil."Kau puas! Lihat Masku menjadi gila karenamu. Sekarang, bawa dia pulang! Aku akan membuat perhitungan denganmu setelah ini!"sentak Luna seraya mendorong Risna kasar ke kursi kemudi.Risna menatapku jengah."Apa-apaan kamu, Mas. Bikin malu saja. Gara-gara kamu, aku yang dimarahin Adikmu," gerutu Risna seraya menginjak pedal gas kasar."Kamu jangan banyak bicara, kepalaku sakit. Suara kamu menambah sakit kepalaku," ujarku dingin.Risna melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Dia tidak peduli dengan keselamatan kami berdua berulang kali memintanya berhenti percuma. Suaraku dianggap bagai angin lalu."Risna, kamu sudah gila, hah? Kamu ingin kita mati?!" tanyaku setengah berteriak.Dia bungkam, melirikku melalui ekor matanya. Dimainkan stir kemudi dengan lihai. Sukses membuat tubuhku tidak bisa diam di k
Para warga memberiku jalan, baru beberapa langkah, terdengar deru mobil yang berhenti tak jauh dari kerumun warga. Keluar seorang lelaki yang tak lain adalah Bintang. Hati semakin dongkol melihatnya menerobos warga. Aku tergugu di tempat melihat kepanikan Bintang yang tak mampu dia sembunyikan."Wan, masuk, ayo!" Ibu menarik tanganku.Aku tidak tahu lagi harus menaruh mukaku dimana. Risna dan tetua daerah tempat tinggalku berkumpul di ruang tamu sederhana milik Tisya.Tisya mempersilakan Ibu dan Bintang untuk duduk. Namun, dia abaikan denganku. Ah! Menyebalkan."Ada apa ini, Ris?" tanya Ibu seraya memegang pundak Risna pelan.Risna tidak menjawab, mukanya masam bak cuka. Terkesan santai dan tak tahu malu. Aku dibuat geram oleh sikapnya yang acuh tak acuh."Begini, Bu Andini. Menantu Ibu datang ke tempat Mbak Tisya dengan emosi yang tidak stabil. Bahkan, dia sempat menampar Mbak Tisya. Memaki-maki Mbak Tisya dengan keji. Saya tidak tahu permasalahan apa yang menyebabkan hal ini terjadi
"Sya, Mas tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Maafkan, Mas," ujar Mas Ridwan lelaki yang selama ini aku cintai.Aku tertunduk dengan debaran jantung yang tak beraturan. Pengakuan Mas Ridwan membuat hatiku luluh-lantak tak bersisa."Kenapa, Mas? Sya buat salah apa? Hingga Mas meninggalkan Sya?" tanyaku dengan suara parau."Mas tidak mencintai kamu lagi, Sya," desisnya dengan suara berat. Pelan dan hampir tak terdengar.Bagai dihantam dengan rantai berduri di sekujur tubuh. Sakit, tapi tidak berdarah. Seluruh sendi terasa tak berfungsi. Kaca-kaca mulai terbentuk, hingga pandanganku mulai kabur.Tujuh tahun mengikat janji, persiapan pernikahan sudah rampung. Akad nikah akan di laksanakan beberapa hari lagi."Kenapa, Mas? Selama ini kita baik-baik saja. Berikan Sya alasan, kenapa?" tanyaku dengan derai air mata yang membasahi pipi indahku.Dia yang selama ini ada untukku dalam duka dan suka. Harapan hidup telah aku rangkai dengannya. Bagaimana bisa dia meninggalkanku di hari menjelang
Suara azan subuh mengalun merdu dari gawaiku. Membangunkanku dari lelap yang sejenak membuat lupa akan sakit yang mendera.Namun, saat mata terbuka, sakit itu kembali menghujam jiwa. Kuhempaskan kembali tubuhku ke kasur yang tak lagi empuk. Bulir bening kembali mengalir dari sudut mata. Berusaha tegar, tapi tak mampu. Apa yang harus aku katakan kepada mereka?Notifikasi pesan dari gawaiku mengusik anganku.[Sya, ke kantor hari ini, Ya. Ada pekerjaan yang harus kamu selesaikan. Beberapa hari lagi kamu akan nikah, pastinya cutinya lama, 'kan?] pesan yang dikirimkan Risna-sahabat karibku di perusahaan tempatku bekerja.[Iya.] balasku malas. Padahal semua pekerjaan telah aku selesaikan tempat waktu.Beringsut pelan dari ranjang, melangkah gontai ke kamar mandi. Isak tangisku belum reda. Hati tak mampu menerima kenyataan yang menyerang hati. Tubuh bergetar menahan isak tangis yang semakin tak terbendung.Bayangan Mas Ridwan berputar-putar dalam otakku. Berusaha menyangkal, jika ini hanya m