Share

Bab 3

"Bagaimana, Mas? Ada kabar dari Mbak Hilya?"

Safia langsung menodongku dengan pertanyaan begitu aku memasuki kamar. Istri keduaku itu sedang duduk dengan tubuh yang bersandar pada kepala ranjang. Keadaannya pasca keluar dari rumah sakit masih sangat lemah. Dokter menyarankan agar dia lebih banyak beristirahat.

"Tadi hampir saja Mas menemukannya, tetapi sayang Hilya keburu pergi. Sepertinya dia sengaja menghindari Mas."

Wajah Safia terlihat semakin sendu. Aku pun mendekat kemudian membawa tubunya ke dalam dekapan.

"Jangan bersedih. Mas yakin, tidak lama lagi Hilya bisa Mas temukan," ucapku seraya mengelus punggungnya. Aku tidak ingin Safia terlalu stres memikirkan kepergian Hilya. Dia baru saja kehilangan dan aku tidak mau hal ini akan berdampak buruk pada kesehatannya.

"Aku merasa bersalah, Mas. Mbak Hilya pergi karena diriku."

"Sstt, jangan berbicara seperti itu. Hilya pergi murni karena kesalahan Mas. Andai Mas bisa menahan emosi, mungkin saat ini Hilya masih bertahan di rumah ini."

"Maafkan aku yang telah hadir di antara kalian. Karena aku Mbak Hilya harus rela berbagi raga Mas denganku. Aku bisa merasakan sakitnya dia saat suami harus memberi perhatian pada wanita lain."

Kueratkan pelukan pada Safia yang kini mulai terisak. "Dengan kata lain, kamu pun cemburu saat Mas bersama Hilya?" tanyaku bermaksud mencairkan suasana. Safia mendongakkan kepala hingga jarak wajah kami kini begitu dekat.

"Apa salah kalau aku merasakan cemburu?" ujarnya lirih.

"Tentu saja tidak. Kamu juga istri, Mas. Wajar jika kamu punya rasa cemburu di saat Mas sedang bersama kakak madumu."

"Tapi ... Mas tidak mencintaiku," lirihnya.

Kukecup kening Safia cukup lama untuk menghindari pembahasan mengenai ini. Jika sudah membahas soal cinta, aku tidak bisa menjawab apa pun karena takut akan menyakitinya.

"Tidurlah. Ingat kata Dokter, kamu harus banyak beristirahat dan jangan terlalu stres. Malam ini, Mas akan menemanimu di sini," kataku seraya mengurai pelukan, lalu membantu Safia untuk berbaring.

"Mas sudah sholat isya?" tanyanya saat aku mulai merebahkan diri di sampingnya.

"Sudah. Tadi sebelum pulang, Mas sempatkan sholat isya di Mushola kantor," terangku.

Safia diam dan mulai memejamkan mata. Kuraih tubuhnya untuk kupeluk dan kuelus punggungnya. Hal sederhana yang selalu membuat Safia tenang jika ia sedang dilanda kegelisahan.

***

Mata tak jua terpejam padahal waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Ingatan terus melayang, memikirkan Hilya yang kini entah di mana.

Teringat pria yang menolongnya, hati ini tiba-tiba dilanda kegelisahan yang tak berkesudahan. Siapakah pria itu? Ada hubungan apa antara dia dengan istriku?

Diri ini tidak sanggup membayangkan jika sampai Hilya mempunyai hubungan spesial dengan pria itu. Aku takut istriku akan merasa nyaman dengan pria lain selain diriku.

Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Hilya selamanya akan tetap menjadi milikku.

Kugerakan tubuh dengan perlahan agar Safia tidak terbangun. Setelah mengecup keningnya, aku keluar dari kamar ini menuju kamar utama. Tempat di mana aku dan Hilya menghabiskan malam-malam kami yang terasa begitu indah.

Namun, itu dulu. Saat sebelum Hilya dinyatakan meninggal dan kembali lagi ketika aku sudah menikahi Safia. Semenjak Hilya tahu aku menghadirkan madu untuknya, sikap dan perangainya berubah drastis padaku.

Hilyaku menjadi pembangkang, Hilyaku menjadi pendiam, dan Hilyaku tidak pernah mau kusentuh jika aku sedang menginginkannya.

Pernah di suatu malam, aku mendatangi dia yang sudah tertidur lelap. Rasa rindu terhadapnya yang sudah tidak bisa aku tahan, membuatku nekad memaksa dia untuk melayaniku.

Hilya histeris, dia menampar bahkan mencakarku berulang kali hingga aku menghentikan aktifitasku. Akhirnya, dengan perasaan marah dan kecewa, aku pun keluar dari kamar ini seraya membanting pintu dengan kasar, kemudian menuju kamar tamu untuk menenangkan diri. Sejak saat itu, Hilya semakin menjauh bahkan enggan untuk sekedar menyapaku.

Kurebahkan tubuh pada ranjang yang terasa dingin karena ditinggalkan pemiliknya. Kuambil foto Hilya yang sengaja aku simpan di atas nakas samping ranjang.

Kutatap foto cantiknya, lalu kuciumi berulang kali. Rasa sesak tiba-tiba menyeruak saat rindu ini kembali menghujam dada. Betapa aku ingin segera menemukan dia dan membawanya kembali ke rumah ini.

Di saat bersama Hilya, aku selalu merasa nyaman meskipun sekedar menatap fotonya saja. Rasa kantuk yang sedari tadi tidak menyerang, kini mulai menyapa, sampai akhirnya aku terlelap sembari memeluk foto belahan jiwa.

***

"Nak Agam, boleh Mama meminta sesuatu?" tanya Mama Mirna saat kami tengah menikmati sarapan.

Aku dan Safia saling padang, kemudian menganggukkan kepala sebagai jawaban. Entahlah, aku masih merasa kecewa pada Mama Mirna yang sudah tega menuduh Hilya. Aku bisa melihat raut tidak suka yang sangat kentara dari wajahhya jika sedang berhadapan dengan istri pertamaku.

"Hari ini Mama ada janji bertemu teman untuk membicarakan bisnis yang akan kami jalani. Kalau boleh, Mama ingin meminjam uang untuk modal bisnis ini. Tidak semuanya, kok. Mama masih punya simpanana, jadi yang Mama pinjam hanya setengahnya. Nanti kalau bisnisnya mulai berjalan lancar, Mama pasti akan segera menggantinya" tutur Mama Mirna disertai senyuman.

Sebenarnya aku sudah bisa menebak pasti tentang uang. Akan tetapi biarlah, toh dia juga mertuaku yang harus aku bahagiakan.

"Berapa?" tanyaku tanpa menoleh ke arahnya.

"Cuma dua puluh juta. Sisanya biar Mama pakai uang simpanan Mama sendiri."

"Oke, nanti Agam transfer."

"Terima kasih, Nak Agam. Kamu memang suami dan menantu yang pengertian. Beruntung Safia bisa mendapatkan suami seperti Nak Agam," ujarnya semringah yang hanya aku tanggapi dengan senyum sekilas.

Safia yang duduk di sebelahku hanya diam. Aku tahu dia sebenarnya malu dengan sikap Mama Mirna yang selalu meminta uang padaku.

"Mas berangkat dulu. Jangan lupa istirahat dan diminum obatnya," pesanku padanya yang langsung mengulurkan tangan untuk mencium punggung tanganku. Setelah mengecup keningnya, aku pun keluar rumah bersama Safia yang mengantar sampai ke teras.

***

Pekerjaan yang seharusnya aku selesaikan akhirnya terbengkalai. Terpaksa aku meminta Nindi, sekretarisku untuk menghandlenya karena pikiranku terus tertuju pada Hilya. Orang suruhanku sampai saat ini belum memberikan kabar. Membuat rasa cemas yang tadi pagi sempat hilang kini kembali mendera.

Sampai jam makan siang, aku tetap berada di dalam ruangan tanpa berniat memakan suatu apa pun. Rasa lapar menguap begitu saja ketika pikiranku tak bisa berhenti memikirkan Hilya.

Kuambil ponsel yang diletakan di atas meja. Sebelum aku menekan nomor orang suruhan, ternyata dia telah lebih dulu menghubungiku.

"Ya, bagaimana San? Ada kabar terbaru?" tanyaku langsung tak ingin berbasa basi.

"Sebainya Bapak cepat datang ke sini. Bu Hilya sekarang sedang berada di sebuah Cafe dengan seseorang. Nanti saya share lock tempatnya."

"Bagus. Saya segera ke sana."

Tak ingin membuang waktu, aku pun bergegas menuju basemant kemudian mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Aku harus bergerak cepat sebelum Hilya berhasil lolos lagi.

Lima belas menit perjalanan, akhirnya aku sampai di lokasi yang dikirim Sandi. Orang suruhanku itu sudah berdiri di depan pintu Cafe, berjaga jika Hilya berinisiatif melarikan diri seperti kemarin.

"Bagaimana?"

"Bu Hilya masih ada di dalam, Pak."

Kuanggukkan kepala, kemudian memasuki Cafe yang sedang ramai oleh pengunjung. Sandi berjalan di belakangku setelah menunjukkan meja tempat di mana Hilya duduk dengan seseorang.

Jarak kami semakin dekat. Aku sengaja berdiri di belakang Hilya yang belum menyadari kehadiranku, pun dengan pria itu yang sedang fokus berbicara dengan istriku.

"Kamu yakin mau kerja di tempat aku? Nanti kalau suami kamu tahu bagaimana?" Kata pria itu yang masih fokus menatap Hilya.

"Aku yakin. Please, Dan. Aku butuh banget pekerjaan itu. Kamu tahu, kan kalau papaku lagi sakit? Aku butuh banyak biaya untuk pengobatan beliau. Aku tidak mau lagi bergantung pada Mas Agam karena sebentar lagi kami akan berpisah--"

"Hanya dalam mimpimu, Sayang," selaku cepat.

Hilya dan pria itu terperanjat ketika mendengar suaraku. Wajah mereka sama-sama pucat saat melihat aku yang sudah berdiri tidak jauh dari tempat mereka.

"Mas Agam?"

"Ya, Sayang?"

Kuukir senyum miring ketika Hilya mulai gelisah. Istriku berdiri, berniat pergi tetapi aku dengan sigap menahan lengannya.

"Mau lari lagi, hmm?"

"Lepas!"

"Tidak akan. Kita pulang sekarang!"

"Aku tidak mau! Bukankah kamu sudah mengusirku?" pekiknya.

"Mas tidak bermaksud seperti itu. Sekarang kita pulang, bicarakan baik-baik di rumah!" tegasku yang mulai hilang kesabaran.

"Sudah aku bilang, aku tidak mau!" sentaknya berusaha melepaskan diri dari cengkramanku.

"Jangan paksa Mas untuk berbuat nekad, Hilya."

Tak ingin membuang waktu, kubopong tubuhnya hingga ia memekik tertahan. Tak aku hiraukan pandangan semua pengunjung Cafe yang meilhat ke arah kami dengan padangan aneh.

Hilya terus memberontak sampai akhirnya kami tiba di dekat mobil.

"Sandi, buka pintunya!"

"Baik, Pak."

Sandi membukakan pintu dan menahannya untukku. Kuhempaskan tubuh Hilya ke atas jok depan. Ia terus memberontak, memukul dada hingga aku menangkap tangannya dan menguncinya.

Kudaratkan kecupan sekilas di b*bir ranumnya sampai ia terkesiap dengan wajah yang memerah.

"Diam, atau Sandi akan menyaksikan adegan kita berikutnya."

*

*

Bersambung.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kenapa harus menyakiti hati kedua istri2 mu. lepaskan salah satu dari mereka. jgn egois. cinta g akan pernah menyakiti
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
laki "egis srmoga cepet pisah dari azsm
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status