Rumah Papa mertua menjadi tujuan pertamaku untuk mencari Hilya. Meskipun tidak yakin, aku tetap datang ke tempat ini sekaligus mengunjungi Papa Adi yang keadaannya sudah mulai membaik.
Papa mertuaku terserang stroke sewaktu dulu Hilya dinyatakan meninggal. Meskipun Papa Adi pernah tidak memberikan restunya padaku untuk menikahi Hilya, tetapi aku tetap menghormatinya.Dulu beliau pernah mengusirku karena aku hanya pemuda biasa yang tidak punya apa-apa. Namun, Hilya tetap meyakinkan papanya sehingga akhirnya beliau memberikan restu pada hubungan kami.Sekarang keadaan sudah terbalik. Usaha Papa Adi mengalami kebangkrutan, sedangkan diriku meraih kesuksesan atas kerja kerasku selama ini.Tidak ada dendam di hatiku untuknya. Bahkan sampai saat ini aku masih membayar seorang perawat untuk mengurus mertuaku yang hanya bisa duduk di kursi roda."Bagaimana keadaan Papa?" tanyaku saat kami sudah duduk berhadapan."Alhamdullillah semakin membaik," jawabnya dengan nada bicara yang sudah terdengar lebih jelas."Nak Agam sendiri? Hilya tidak ikut?" tanyanya kemudian.Aku menghela napas kasar sebelum menjawab pertanyaan Papa mertua. Malu rasanya karena sudah kedua kali aku gagal menjaga putri kesayangannya."Itulah maksud kedatangan Agam ke sini, Pa. Selain untuk menjenguk Papa, Agam juga sedang mencari Hilya siapa tahu dia berada di sini," jelasku seraya menundukkan kepala. Tidak berani melihat sorot kekecewaan di mata mertuaku untuk yang kesekian kalinya."Maksud Nak Agam? Kenapa Hilya sampai harus dicari?""Sudah dua hari Hilya pergi dari rumah.""Kenapa bisa begitu?" desaknya."Maafkan Agam, Pa. Agam gagal lagi menjaga putri Papa. Bahkan untuk saat ini kepergian Hilya murni karena kesalahan Agam.""Bisa Nak Agam perjelas apa maksudnya? Papa masih tidak mengerti.""Hilya pergi ... karena Agam yang menyuruhnya. Saat itu Agam sedang panik karena Safia jatuh dari tangga hingga pendarahan dan anak kami dinyatakan meninggal. Agam tidak bisa berpikir jernih. Saat Mama Mirna menuduh Hilya yang sengaja mencelakakan Safia, Agam langsung percaya dan mengusir Hilya dari rumah. Ternyata dia tidak salah, Pa. Safia sudah menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Agam menyesal ... benar-benar menyesal karena sudah menyakiti dia untuk yang kesekian kali," tuturku sembari meremas rambut dengan kasar. Sungguh, penyesalan yang aku rasakan atas kepergian Hilya membuat separuh jiwaku rasanya ikut menghilang."Sudah Papa duga hal seperti ini akan terjadi. Nak Agam ... seminggu yang lalu Hilya pernah datang ke sini. Dia menangis dalam pangkuan Papa, meluapkan rasa sakit yang selama ini ia tahan. Ia ingin menyerah, putri Papa ingin Nak Agam melepaskannya, tetapi Nak Agam tetap enggan. Dia tersiksa setiap melihat kemesraan Nak Agam dengan Safia. Ia ingin keluar dari lingkaran poligami yang diciptakan Nak Agam karena Hilya merasa keikhlasan tidak pernah muncul di hatinya. Itulah mengapa selama ini ia bersikap seenaknya bahkan cenderung mengabaikan Nak Agam. Hilya sengaja melakukannya agar Nak Agam jengah dan melepaskan dia.""Pa ... ""Tidak ada satu orang perempuan pun yang benar-benar ikhlas mempunyai madu. Apa lagi putri Papa yang baru saja pulang dengan harapan besar, sang suami masih menunggunya dengan setia. Ternyata kenyataan yang dihadapi Hilya terlalu menyakitkan saat Nak Agam menyambutnya dengan madu yang dihadirkan untuknya. Maafkan sikap putri Papa jika selama ini sudah membuat Nak Agam jengkel. Jika Nak Agam berkenan, Papa mohon dengan sangat. Lepaskan Hilya dari penderitaannya. Tolong biarkan putri Papa mencari kebahagiaan sendiri meskipun tanpa ada Nak Agam yang terlibat di dalamnya."Papa Adi menitikkan air mata. Menangisi sang putri yang ternyata begitu menderita karena keegoisanku yang memintanya ikhlas untuk menerima madu. Namun, jika harus melepaskan Hilya tentu saja aku tidak bisa. Dia belahan jiwaku, aku begitu mencintainya. Bukan hanya aku, Safia pun tahu akan hal itu."Maaf, untuk yang satu itu Agam tidak bisa. Agam sangat mencintai Hilya dan sampai kapan pun, dia akan tetap menjadi istri Agam," jawabku dengan mantap.Papa Adi terlihat mengeraskan rahangnya. Mungkin ia marah karena aku bersikeras tidak ingin melepaskan putrinya."Nak Agam jangan bersikap egois. Hilya tidak akan pernah bahagia selama masih ada Safia di antara kalian. Putri Papa sudah berbaik hati untuk mengalah dan membiarkan Nak Agam hidup bahagia bersama istri Nak Agam yang lain.""Kenyataannya yang menjadi kebahagiaan Agam itu Hilya, Pa. Agam tekankan sekali lagi, tidak akan pernah melepaskan Hilya sampai kapan pun," tegasku.Papa Adi semakin mengeratkan rahangnya. Aku yang merasa percuma saja berada di sini karena hanya akan membuang waktu, gegas berpamitan untuk melanjutkan mencari Hilya. Biarlah Papa Adi menyimpan kemarahannya padaku. Aku yakin, suatu saat ia akan berterima kasih karena aku tetap mempertahankan putrinya.🌷🌷🌷"Bagaimana, sudah ada kabar?""Menurut informan kita, ada yang pernah melihat Nyonya Hilya keluar dari salah satu Hotel masih di daerah Jakarta. Berdasarkan informasi yang kami dapat, sudah dua hari Nyonya Hilya menginap di sana.""Bagus. Tunggu saya di lobi kantor, kita langsung menuju ke sana."Setelah menutup telepon, bergegas kuambil jas dan kunci mobil. Aku memang sengaja menyewa beberapa orang suruhan untuk mencari istriku. Cara itu akan mempermudah pencarian Hilya karena aku pun tidak bisa setiap saat melakukannya. Masih ada istri lain yang menjadi tanggung jawabku dan harus aku perhatikan. Saat ini Safia sudah berada di rumah setelah tiga hari dirawat di rumah sakit pasca pendarahan waktu itu.Jalanan nampak lengang karena waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Aktifitas kendaraan mulai longgar karena para pekerja sudah banyak yang beristirahat di rumahnya.Hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai di Hotel tempat Hilya menginap. Orang suruhanku sudah menunggu di sana, berjaga-jaga jika Hilya keluar dari Hotel ini."Langsung ke recepcionist saja," kataku saat mereka menghampiri.Kami berjalan beriringan menuju meja receptionist untuk menanyakan kamar nomor berapa yang ditempati Hilya. Setelah mendapat informasi, aku bergegas menuju kamar 108 sesuai pemberitahuan. Dadaku berdebar kencang karena sudah tidak sabar untuk bertemu dengan istriku dan meminta maaf padanya.Kutekan bel pintu beberapa kali tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Karena sudah tidak sabar, aku menyuruh orang suruhanku untuk meminta kunci cadangan kamar ini.Beruntung hotel ini milik salah satu teman, sehingga ia memberikan akses yang lebih leluasa padaku.Pintu berhasil dibuka. Aku langsung menerobos masuk seraya memanggil nama istriku."Hilya, ini Mas, Sayang!"Tak ada jawaban. Kubuka pintu kamar mandi berharap Hilya berada di sana, tetapi hasilnya nihil. Hanya koper yang teronggok di dekat ranjang yang berhasil aku temukan. Koper milik Hilya yang berisi pakain istriku itu.Hampir saja kutendang koper itu jika salah satu anak buahku tidak bergegas masuk dengan napas yang memburu."Pak!" serunya."Ada apa?""Nyonya Hilya, tadi kami lihat dia berlari keluar dari Hotel. Kami sudah berusaha mengejarnya tetapi sayang Nyonya Hilya sudah lebih dulu memasuki taksi. Sepertinya dia dibantu seorang pria," terangnya yang seketika membuat emosiku meluap naik."Dasar b*doh! Mengejar seorang wanita saja kalian tidak becus!"Kutendang sofa yang terletak di sudut kamar untuk meluapkan emosi. Ternyata Hilya cukup cerdik dengan bersembunyi dariku terlebih dahulu sebelum pergi.Kuremas rambutku dengan frustasi. Ke mana lagi aku harus mencari dia yang sepertinya tidak ingin aku temukan.Akan tetapi aku tidak akan menyerah. Tidak akan aku sia-siakan jabatan dan koneksiku untuk menemukan dia. Hilya harus kembali padaku. Dia milikku dan sampai kapan pun tetap akan menjadi milikku!**Bersambung.Semenjak kelahiran putra pertama kami, aku memang belum pernah lagi menemui Safia. Selain karena ingin menjaga perasaan Hilya--istriku, aku pun tidak ingin Safia salah paham. Aku tahu wanita itu masih berharap padaku. Namun tentu saja aku tidak bisa membalas perasaan serta mengabulkan keinginannya untuk rujuk, karena hati ini sudah dikuasai Hilya sepenuhnya. Bahkan semenjak ia melahirkan, rasa cinta ini kian bertambah besar. Aku makin tergila-gila padanya.Hilya. Satu-satunya wanita yang mampu membuat seorang Agam rela menyamar menjadi orang lain. Wanita yang mampu membuatku ketakutan setengah mati ketika dia dikelilingi oleh pria yang menyukainya. Aku takut Hilya akan berpaling kepada salah satu dari mereka dan memilih meninggalkanku, apalagi dengan kondisiku yang harus bisa membagi waktu kepada Safia.Namun aku bersyukur karena ketakutan itu tidak menjadi kenyataan. Hilya tetap memilih berada di sampingku dan mendampingiku hingga kini. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk
"Sayang."Mata Hilya mengerjap saat tangan ini mengelus pipinya. Wajah mulus yang biasanya menampilkan rona kemerahan itu kini terlihat pucat. "Mas.""Ya, Sayang.""Kok sudah pulang? Ini jam berapa?" tanyanya seraya berusaha bangkit, tetapi dengan cepat aku mencegahnya."Tidur saja, kamu masih lemah," titahku."Mas pulang karena ditelepon Mbok Parmi. Katanya tadi kamu pingsan. Kenapa? Ada yang sakit? Kita ke Dokter, ya.""Gak usah," tolaknya cepat. "Aku gak sakit, kok.""Gak sakit tapi bisa pingsan? Kamu pikir Mas akan percaya?""Tapi beneran bukan karena sakit. Mungkin karena ini."Hilya mengambil sesuatu dari bawah bantal. Benda pipih panjang itu ia serahkan padaku."Ini apa?""Testpack.""Lalu?""Itu garisnya ada dua, berarti positif.""Po ... kamu hamil?""Iya."Pekik kegirangan tak bisa aku tahan. Refleks tubuh ini luruh dan bersujud karena saking bahagianya. Keinginan yang selama ini aku impikan, akhirnya kini bisa terwujud."Terima kasih, Sayang. Mas senang sekali," kataku pad
"Gimana, San?""Saya menemukan Nyonya Safia, Pak. Dia masih berada di kota ini. Sekarang dia tinggal di sebuah kontrakan.""Syukurlah kalau dia masih di Jakarta. Tetap awasi dia dan kabari saya jika terjadi sesuatu yang buruk.""Baik, Pak."Setelah menutup sambungan telepon, aku kembali berkutat dengan pekerjaan yang masih menumpuk. Hati ini sedikit tenang setelah mengetahui keadaan Safia baik-baik saja. Aku sudah mempunyai rencana akan membelikan dia sebuah rumah dan modal usaha. Anggap saja sebagai harta gono gini dari perceraian kami dan semuanya sudah atas persetujuan Hilya. Tepat jam lima sore aku sudah sampai di rumah dan langsung disambut istriku dengan manis. Kecupan aku berikan di kening, pipi, tapi saat bibir ini akan mendarat di bibirnya, Hilya menghindar sambil memberi isyarat dengan kerlingan mata. Ah, rupanya ada Mbok Parmi yang tengah memperhatikan kami."Wangi banget sih yang sudah mandi," kataku sambil mengendus lehernya yang kini tidak tertutup jilbab karena kami s
Sudah satu jam aku berada di sini, duduk di samping Mama yang belum juga sadarkan diri. Keadaannya cukup kritis karena serangan jantung yang dialami beliau, sehingga harus dimasukkan ke ruang ICU. Sampai saat ini, Hilya masih belum aku kabari, sedangkan Safia, sepertinya dia berada di luar karena tadi ia pun ikut mengantar Mama ke rumah sakit.Meskipun rasa kecewa masih menyelimuti hati, tetapi tidak dapat melunturkan rasa sayang dan khawatir yang aku rasakan untuk Mama. Andai saja beliau mau bertobat dan menyadari kesalahannya selama ini, akan kubiarkan dia hidup tenang tanpa harus mempertanggung jawabkan perbuatannya hingga harus mendekam di penjara seperti Mama Mirna."G-gam."Diri ini terperanjat saat mendengar suara Mama. Jemarinya bergerak, menandakan dia telah benar-benar siuman. "Gam.""Iya, Ma. Agam di sini." Kuraih tangan Mama dan menggenggamnya."Ma-mafkan, Mama." ucapnya dengan napas yang tersengal. "Mama jangan banyak bicara dulu, istirahat saja. Agam panggilkan Dokt
"Apa benar apa yang Mama katakan, Mas? Kamu hampir saja meniduri Safia?"Kulirik Mama yang tengah tersenyum penuh arti. Aku mendengus kasar menyadari kalau semua ini pasti ulah Mama."Nanti Mas jelaskan. Sekarang, ayok kita ke kamar.""Tidak! Mas harus jelaskan di sini, sekarang juga!"Hilya menolak ketika tangan ini akan menyentuh lengannya. Pandangannya padaku begitu tajam, tidak ada lagi tatapan lembut dan manja."Di kamar saja, ayok!""Aku bilang tidak!""Oke!" teriakku akhirnya. "Waktu Mas sedang tidur. Entah karena masih jetlag atau terlalu merindukan kamu, yang ada di penglihatan Mas itu kamu, bukan Safia. Memang, Mas hampir saja melakukannya, tapi beruntung ada Mbok Parmi yang memergoki dan masuk ke kamar kita. Di saat itulah, Mas baru sadar bahwa itu Safia, bukan kamu," terangku. "Lalu untuk apa Safia berada di kamar kita?""Katanya mau memberitahu kalau makan malam sudah siap."Hilya mendengus seraya tersenyum miring. "Modus banget."Aku beralih menatap Mama yang sejak tad
Ego dan cemburu bercampur menjadi satu. Tanpa peduli dengan keadaan diri yang masih sangat lelah, gegas aku berganti pakaian dan menyuruh sopir kantor untuk datang ke rumah. Malam ini juga, aku akan ke Bandung demi menemani istriku yang tengah berduka. Seharusnya aku yang berada di sampingnya, menenangkannya, bahkan memberinya pelukan, bukan pria lain seperti Guntur.Ah, s*al!Di perjalanan, aku duduk dengan gelisah. Sesekali kusuruh sopir untuk mempercepat laju mobil karena sudah tidak sabar ingin secepatnya sampai di sana. Bayangan wajah Hilya yang tengah menangis dan wajah Guntur yang pasti tengah memanfaatkan keadaan, menari dalam pelupuk mata sampai rasa panas kembali menjalar di dalam dada.Dua jam perjalanan dirasa sangat lama. Begitu sampai di pekarangan rumah Pak Hilman yang sudah dipenuhi orang, aku langsung turun dan meminta izin untuk masuk. Tak kutemukan Sandi di sekitar sini. Mungkin anak buahku itu bergabung dengan Bapak-bapak pelayat yang lain.Untuk menghargai keluarg