Share

Bab 2

Rumah Papa mertua menjadi tujuan pertamaku untuk mencari Hilya. Meskipun tidak yakin, aku tetap datang ke tempat ini sekaligus mengunjungi Papa Adi yang keadaannya sudah mulai membaik.

Papa mertuaku terserang stroke sewaktu dulu Hilya dinyatakan meninggal. Meskipun Papa Adi pernah tidak memberikan restunya padaku untuk menikahi Hilya, tetapi aku tetap menghormatinya.

Dulu beliau pernah mengusirku karena aku hanya pemuda biasa yang tidak punya apa-apa. Namun, Hilya tetap meyakinkan papanya sehingga akhirnya beliau memberikan restu pada hubungan kami.

Sekarang keadaan sudah terbalik. Usaha Papa Adi mengalami kebangkrutan, sedangkan diriku meraih kesuksesan atas kerja kerasku selama ini.

Tidak ada dendam di hatiku untuknya. Bahkan sampai saat ini aku masih membayar seorang perawat untuk mengurus mertuaku yang hanya bisa duduk di kursi roda.

"Bagaimana keadaan Papa?" tanyaku saat kami sudah duduk berhadapan.

"Alhamdullillah semakin membaik," jawabnya dengan nada bicara yang sudah terdengar lebih jelas.

"Nak Agam sendiri? Hilya tidak ikut?" tanyanya kemudian.

Aku menghela napas kasar sebelum menjawab pertanyaan Papa mertua. Malu rasanya karena sudah kedua kali aku gagal menjaga putri kesayangannya.

"Itulah maksud kedatangan Agam ke sini, Pa. Selain untuk menjenguk Papa, Agam juga sedang mencari Hilya siapa tahu dia berada di sini," jelasku seraya menundukkan kepala. Tidak berani melihat sorot kekecewaan di mata mertuaku untuk yang kesekian kalinya.

"Maksud Nak Agam? Kenapa Hilya sampai harus dicari?"

"Sudah dua hari Hilya pergi dari rumah."

"Kenapa bisa begitu?" desaknya.

"Maafkan Agam, Pa. Agam gagal lagi menjaga putri Papa. Bahkan untuk saat ini kepergian Hilya murni karena kesalahan Agam."

"Bisa Nak Agam perjelas apa maksudnya? Papa masih tidak mengerti."

"Hilya pergi ... karena Agam yang menyuruhnya. Saat itu Agam sedang panik karena Safia jatuh dari tangga hingga pendarahan dan anak kami dinyatakan meninggal. Agam tidak bisa berpikir jernih. Saat Mama Mirna menuduh Hilya yang sengaja mencelakakan Safia, Agam langsung percaya dan mengusir Hilya dari rumah. Ternyata dia tidak salah, Pa. Safia sudah menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Agam menyesal ... benar-benar menyesal karena sudah menyakiti dia untuk yang kesekian kali," tuturku sembari meremas rambut dengan kasar. Sungguh, penyesalan yang aku rasakan atas kepergian Hilya membuat separuh jiwaku rasanya ikut menghilang.

"Sudah Papa duga hal seperti ini akan terjadi. Nak Agam ... seminggu yang lalu Hilya pernah datang ke sini. Dia menangis dalam pangkuan Papa, meluapkan rasa sakit yang selama ini ia tahan. Ia ingin menyerah, putri Papa ingin Nak Agam melepaskannya, tetapi Nak Agam tetap enggan. Dia tersiksa setiap melihat kemesraan Nak Agam dengan Safia. Ia ingin keluar dari lingkaran poligami yang diciptakan Nak Agam karena Hilya merasa keikhlasan tidak pernah muncul di hatinya. Itulah mengapa selama ini ia bersikap seenaknya bahkan cenderung mengabaikan Nak Agam. Hilya sengaja melakukannya agar Nak Agam jengah dan melepaskan dia."

"Pa ... "

"Tidak ada satu orang perempuan pun yang benar-benar ikhlas mempunyai madu. Apa lagi putri Papa yang baru saja pulang dengan harapan besar, sang suami masih menunggunya dengan setia. Ternyata kenyataan yang dihadapi Hilya terlalu menyakitkan saat Nak Agam menyambutnya dengan madu yang dihadirkan untuknya. Maafkan sikap putri Papa jika selama ini sudah membuat Nak Agam jengkel. Jika Nak Agam berkenan, Papa mohon dengan sangat. Lepaskan Hilya dari penderitaannya. Tolong biarkan putri Papa mencari kebahagiaan sendiri meskipun tanpa ada Nak Agam yang terlibat di dalamnya."

Papa Adi menitikkan air mata. Menangisi sang putri yang ternyata begitu menderita karena keegoisanku yang memintanya ikhlas untuk menerima madu. Namun, jika harus melepaskan Hilya tentu saja aku tidak bisa. Dia belahan jiwaku, aku begitu mencintainya. Bukan hanya aku, Safia pun tahu akan hal itu.

"Maaf, untuk yang satu itu Agam tidak bisa. Agam sangat mencintai Hilya dan sampai kapan pun, dia akan tetap menjadi istri Agam," jawabku dengan mantap.

Papa Adi terlihat mengeraskan rahangnya. Mungkin ia marah karena aku bersikeras tidak ingin melepaskan putrinya.

"Nak Agam jangan bersikap egois. Hilya tidak akan pernah bahagia selama masih ada Safia di antara kalian. Putri Papa sudah berbaik hati untuk mengalah dan membiarkan Nak Agam hidup bahagia bersama istri Nak Agam yang lain."

"Kenyataannya yang menjadi kebahagiaan Agam itu Hilya, Pa. Agam tekankan sekali lagi, tidak akan pernah melepaskan Hilya sampai kapan pun," tegasku.

Papa Adi semakin mengeratkan rahangnya. Aku yang merasa percuma saja berada di sini karena hanya akan membuang waktu, gegas berpamitan untuk melanjutkan mencari Hilya. Biarlah Papa Adi menyimpan kemarahannya padaku. Aku yakin, suatu saat ia akan berterima kasih karena aku tetap mempertahankan putrinya.

🌷🌷🌷

"Bagaimana, sudah ada kabar?"

"Menurut informan kita, ada yang pernah melihat Nyonya Hilya keluar dari salah satu Hotel masih di daerah Jakarta. Berdasarkan informasi yang kami dapat, sudah dua hari Nyonya Hilya menginap di sana."

"Bagus. Tunggu saya di lobi kantor, kita langsung menuju ke sana."

Setelah menutup telepon, bergegas kuambil jas dan kunci mobil. Aku memang sengaja menyewa beberapa orang suruhan untuk mencari istriku. Cara itu akan mempermudah pencarian Hilya karena aku pun tidak bisa setiap saat melakukannya. Masih ada istri lain yang menjadi tanggung jawabku dan harus aku perhatikan. Saat ini Safia sudah berada di rumah setelah tiga hari dirawat di rumah sakit pasca pendarahan waktu itu.

Jalanan nampak lengang karena waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Aktifitas kendaraan mulai longgar karena para pekerja sudah banyak yang beristirahat di rumahnya.

Hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai di Hotel tempat Hilya menginap. Orang suruhanku sudah menunggu di sana, berjaga-jaga jika Hilya keluar dari Hotel ini.

"Langsung ke recepcionist saja," kataku saat mereka menghampiri.

Kami berjalan beriringan menuju meja receptionist untuk menanyakan kamar nomor berapa yang ditempati Hilya. Setelah mendapat informasi, aku bergegas menuju kamar 108 sesuai pemberitahuan. Dadaku berdebar kencang karena sudah tidak sabar untuk bertemu dengan istriku dan meminta maaf padanya.

Kutekan bel pintu beberapa kali tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Karena sudah tidak sabar, aku menyuruh orang suruhanku untuk meminta kunci cadangan kamar ini.

Beruntung hotel ini milik salah satu teman, sehingga ia memberikan akses yang lebih leluasa padaku.

Pintu berhasil dibuka. Aku langsung menerobos masuk seraya memanggil nama istriku.

"Hilya, ini Mas, Sayang!"

Tak ada jawaban. Kubuka pintu kamar mandi berharap Hilya berada di sana, tetapi hasilnya nihil. Hanya koper yang teronggok di dekat ranjang yang berhasil aku temukan. Koper milik Hilya yang berisi pakain istriku itu.

Hampir saja kutendang koper itu jika salah satu anak buahku tidak bergegas masuk dengan napas yang memburu.

"Pak!" serunya.

"Ada apa?"

"Nyonya Hilya, tadi kami lihat dia berlari keluar dari Hotel. Kami sudah berusaha mengejarnya tetapi sayang Nyonya Hilya sudah lebih dulu memasuki taksi. Sepertinya dia dibantu seorang pria," terangnya yang seketika membuat emosiku meluap naik.

"Dasar b*doh! Mengejar seorang wanita saja kalian tidak becus!"

Kutendang sofa yang terletak di sudut kamar untuk meluapkan emosi. Ternyata Hilya cukup cerdik dengan bersembunyi dariku terlebih dahulu sebelum pergi.

Kuremas rambutku dengan frustasi. Ke mana lagi aku harus mencari dia yang sepertinya tidak ingin aku temukan.

Akan tetapi aku tidak akan menyerah. Tidak akan aku sia-siakan jabatan dan koneksiku untuk menemukan dia. Hilya harus kembali padaku. Dia milikku dan sampai kapan pun tetap akan menjadi milikku!

*

*

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
semoga hiliya pergi jgn sampa8 ketemu azam
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status