Pukul lima sore Embun pulang ke rumah, dengan malas ia menyeret langkahnya masuk ke dalam yang kini terasa hampa. Di dalam tampak sepi, entah kemana penghuni rumah itu, tetapi Embun tidak mempedulikan. Justru bagus ia tidak harus melihat wajah orang-orang yang hanya akan membuatnya sakit.
Embun menghempas tubuhnya di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar, lelah karena seharian ini bermandi air mata. Tadi pagi ia sudah berusaha untuk kuat. Namun, ada saja hal yang membuat air matanya untuk tumpah.Embun melirik ke sampingnya, dimana biasanya sang suami terbaring. Kini ranjang itu tidak lagi sehangat dulu, bahkan semalaman ia hanya berteman dingin.""Aku harus terbiasa sendiri sekarang," gumam Embun dan tersenyum getir.Embun belum ada niat beranjak dari kasur empuk itu, malas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Lama-kelamaan kantuk menyapa dan ia pun tertidur.Entah berapa lama Embun tertidur hingga sebuah usapan lembut di pipinya membangunkannya dari buaian mimpi. Embun membuka mata, pemandangan pertama yang dilihatnya adalah wajah tampan sang suami. Senyum dan tatapan mata Lintang seolah-olah menghipnotis Embun sehingga ia lupa apa yang telah terjadi dalam hidupnya."Sudah mau maghrib ayo bangun!" ucap Lintang lembut sambil terus membelai pipi sang istri."Kamu lelah," lanjut Lintang sambil tangannya berpindah ke pundak Embun dan memijatnya lembut. Embun merasa nyaman, sentuhan tangan Lintang membuat rasa lelahnya hilang."He'em," jawab Embun manja seperti biasa.Embun mengalungkan tangannya di leher sang suami, ia ingin bermanja dengan lelaki itu sebelum mandi. Lintang kemudian mendekatkan wajahnya karena dia sinyal dari sang istri, mata mereka bertemu dan saling menyelami."Kamu cantik, sayang," ujar Lintang membuat seluas senyum manis terukir di bibir Embun."Mas!"Lengkingan suara Jasmine mengembalikan kesadaran Embun dan seketika senyuman itu lenyap. Embun mendorong tubuh Lintang dan segera bangkit, hatinya kembali sakit mengingat kenyataan saat ini."Kenapa Embun?" Lintang mengernyitkan dahi, lelaki itu teduduk disamping Embun."Aku mau mandi." Embun bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Lintang hanya menatap pintu kamar mandi yang tertutup hingga suara Jasmine kembali terdengar yang mengharuskannya keluar dari kamar itu.Makan malam tiba, Lintang dan dua istrinya sudah duduk manis di meja makan untuk mengisi perut sebelum istirahat. Jasmine menunjukkan perhatiannya dengan mengambilkan sang suami makan. Embun hanya melihat tanpa ingin berkomentar, yang jelas saat ini perasaannya sangat tidak nyaman karena tugas itu kini diambil alih oleh madunya.Setelah mengambilkan Lintang makan, Jasmine berinisiatif untuk mengambilkan makan untuk Embun juga. Namun, Embun langsung menolak."Biar aku sendiri." Embun langsung membubuhkan nasi dalam piringnya. Jasmine tertunduk menunjukkan ketidak berdayaanya pada Lintang, menegaskan jika ia butuh dilindungi dari sikap Embun yang arogan."Embun, jangan seperti itu. Jasmine hanya ingin …..""Aku punya tangan sendiri, Mas!" sela Embun sambil menyendok lauk. Tidak ingin mendengar pembelaan suaminya untuk sang madu, ia geram."Jasmine, maafkan Mba-mu, ya? Dia belum terbiasa dengan kamu, nanti lama-lama tidak akan bersikap seperti itu lagi, Mba-mu orang yang baik. Jangan salah paham," papar Lintang sambil melihat ke arah Jasmine."Iya, Mas. Aku ngerti, kok," sahut Jasmine berpura-pura memaklumi untuk meyakinkan Lintang jika dirinya orang yang baik. Padahal, dalam hati ia mengumpat sikap Embun tadi.Embun tersenyum sinis tanpa sepengetahuan mereka. Muak mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Jasmine yang ia yakini adalah palsu. Setelah drama singkat itu, makan malam pun dimulai."Makanan ini rasanya berbeda," ucap Lintang setelah memasukkan suapan pertama ke dalam mulutnya. Dahinya mengkerut."Bi Mar yang masak," jawab Embun apa adanya. Ia tidak ingin lagi memegang urusan dapur."Tapi enak, kok, Mas," sahut Jasmine tidak mau ketinggalan."Kenapa kau tidak masak?" Lintang menatap Embun."Apa menurutmu aku harus seperti bi Marsinah dan Tuti?" Embun membalas tatapan Lintang."Bukan seperti itu maksudku, biasanya, kan ….""Aku tidak mau lagi mengurusi pekerjaan dapur, aku ingin fokus pada toko kueku apa itu salah?" Tatapan mata Embun menyiratkan sesuatu yang membuat Lintang tertampar."Baiklah, aku tidak akan memaksa," ujar Lintang pada akhirnya. Ia sadar Embun berubah karena kecewa padanya, Lintang mencoba memaklumi berada di posisi Embun tidaklah mudah."Apa kau pikir aku ini pembantu, setiap hari harus memasak untukmu dan istri barumu," gerutu Embun dalam hati."Nanti aku akan belajar masak dari Mba Embun biar aku bisa memasakkanmu setiap hari, Mas." Penuturan Jasmine terdengar manja.Perut Embun terasa mual mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Jasmine, memang ia mau mengajari wanita itu masak, pikir Embun."Kau mau mengajariku, kan, Mba?" Jasmine menatap Embun dengan wajah manis."Sebaiknya kau lihat googtube saja, aku sibuk!" jawab Embun datar, Jasmine terlihat kesal karena jawaban Embun tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya."Sudah, sudah, mari kita makan saja, aku sudah lapar." Lintang menengahi. Embun maupun Jasmine kembali fokus ke piring masing-masing.Untuk beberapa saat ruang makan itu hening, hanya terdengar denting peralatan makan yang beradu dengan piring. Semua membisu dan larut dengan pikiran masing-masing, hingga Lintang bersuara memecah kebisuan."Malam ini aku tidur dengan Embun," ujar Lintang disela-sela makannya. Kedua istrinya yakni Embun dan Jasmine sontak mengangkat kepala dan menatap Lintang. Suara lelaki itu membuyarkan sesuatu yang ada di kepala mereka."Mas, kita ini baru saja menikah masa sudah tidur terpisah?" sergah Jasmine tidak terima."Embun juga istriku, malam ini aku tidur dengannya dan besok aku tidur denganmu, Jasmine. Begitu seterusnya," ucap Lintang sambil meletakkan sendoknya di dalam piring, menjeda kegiatan makannya."Tidak bisa, Mas. Kapan aku bisa hamil jika terus seperti itu? Untuk sementara waktu Mas tidur denganku, apa Mas mau menunda memiliki anak? Apa Mas tidak memikirkan Papa Yolan dan Mama Inggrid?" papar Jasmine, berusaha menghalangi niat Lintang.Perkataan Jasmine itu membuat jantung Embun berdenyit perih, lagi-lagi ia merasa tidak berdaya karena kekurangannya. Embun mengalihkan perhatiannya pada makanan dalam piringnya dan tersenyum getir. Kata-kata yang keluar dari mulut Jasmine sungguh melukainya."Mba Embun, aku minta pengertiannya, biarkan Mas Lintang sementara waktu tidur denganku karena kami sedang melakukan program hamil. Aku melakukan ini bukan semata-mata untuk diriku sendiri, tapi karena aku memikirkan mertua kita." Jasmine menatap Embun penuh arti."Terserah kalian saja," jawab Embun singkat, lalu meraih gelas dan minum. Jiwanya lelah jika harus berdebat dengan madunya yang tentu tidak mau kalah."Jasmine ….""Mas! Hanya sampai aku hamil saja, setelah itu kau boleh seperti yang kau katakan tadi," sela Jasmine tidak ingin mendengar protes dari suaminya."Mba Embun pasti mengerti dan aku rasa Mba tidak keberatan, ya, kan, Mba?" Jasmine menatap Embun penuh arti."Kalau kau merasa seperti itu, lalukan saja!" ucap Embun datar, setelahnya istri pertama Lintang itu meninggalkan meja makan. Ia sengaja menghabiskan makanannya dengan cepat, meski tidak bernafsu agar bisa segera berlalu dari pengantin baru itu."Aku duluan," pamit Embun sambil menahan sesak yang bersarang di dada. Belum genap sehari mereka tinggal bersama, sudah ada hal yang membuatnya sakit."Jasmine, kau ….""Kalau Mas tidak mau biar aku telpon Papa, biar kita cerai sekalian!" ancam Jasmine. Karena ia tahu kelemahan Lintang."Apa Mas pikir aku mau menikah denganmu yang adalah suami orang? Di sini aku berkorban, Mas! Demi kebahagiaan papa dan mama. Kalau saja Papa kita tidak bersahabat beliau pasti tidak akan setuju anak gadisnya menikah dengan suami orang. Dimana orang-orang pasti akan menganggapku pelakor dan gelar itu melekat seumur hidupku!" lanjut Jasmine dengan mata yang berkaca-kaca, ia mulai memainkan Actingnya. Padahal, sudah sejak lama ia jatuh cinta pada Lintang, sementara Lintang sendiri terdiam dan mulai memikirkan perkataan Jasmine. Dilema dibuatnya, hidupnya menjadi rumit."Aku hanya ingin adil untuk kalian berdua, kalau aku terus denganmu apa itu adil untuk Embun?""Mas! Adil itu bukan sama rata, tapi sesuai kebutuhan. Seperti sekarang, aku lebih membutuhkan kamu karena kita akan menjalani program hamil." Setetes air mata berhasil lolos dari sudut mata Jasmine."Kalau kau tidak mau katakan sekarang, Mas! Mumpung belum terlalu jauh, aku bisa kembali pada orang tuaku dan semoga orang tuamu tidak kecewa," lanjut Jasmine yang membuat Lintang semakin resah."Maafkan aku Jasmine, Jangan lakukan itu. Baiklah, aku akan lebih banyak waktu denganmu," ujar Lintang sambil menahan sesak yang menghantam dada."Janji." Jasmine menatap Lintang dengan bola mata basahnya."I-iya," jawab Lintang ragu. .Jasmine tersenyum kecil, dengan sedikit air mata buaya ia berhasil mengendalikan Lintang. Ia ingin memiliki hati Lelaki itu sepenuhnya.Embun meremas dadanya yang terasa nyeri mendengar pembicara itu dari balik tembok. Betapa liciknya Jasmine, wanita itu sangat mahir memainkan perannya sehingga Lintang tidak berkutik dibuatnya.Embun berlari menuju kamarnya, tidak bisa ungkapkan dengan kata-kata perasaan saat ini. Sakit, kecewa dan sedih karena sang suami menuruti apa keinginan Jasmine.Air mata yang sempat kering kembali membasahi pipi. Baru sehari mereka tinggal bersama, sudah berpuluh kali air matanya keluar, hatinya remuk redam. Tidak ada keadilan yang dirasakannya.****Tengah malam Embun terbagun, diliriknya jam yang menempel di dinding menujukkan angka setengah dua belas malam. Tenggorokannya terasa kering, ia melirik pitcher di atas nakas yang ternyata kosong. Embun menghela napas kasar, ia lupa mengisi pitcher itu karena pikirannya terlalu kalutDengan langkah malas Embun menyeret kaki keluar kamar untuk mengisi pitcher itu. Saat melewati kamar Jasmine, tidak sengaja Embun mendengar suara Jasmine dan Lintang mendesah meracau tidak karuan, suara tersebut terdengar cukup jelas di rumah sepi itu.Tubuh Embun bergetar, hatinya menjerit karena suara mereka bagaikan pedang yang menikam jantung. Sebuah bulir bening mengalir begitu saja dari sudut mata.Dia segera menghapus air bening itu dan mempercepat langkah kaki yang gemetar menuju dapur."Ya, Tuhan. Kenapa harus seperti ini," gumam Embun sambil membendung air mata yang ingin kembali tumpah.Bersambung ….Find me on : Instagram : dara_kirana21 Facebook : Dara Kirana
Embun menenggak segelas air putih meredakan haus dan tenggorokannya yang seperti tercekik. Matanya menerawang jauh memikirkan kesakitan hidupnya. Embun belum ingin beranjak dari dapur karena tidak kuasa ketika melewati kamar Jasmine. Wanita itu menghela napas kasar menghalau sesak yang menghimpit dada. "Berbagi itu indah, tapi berbagi suami itu menyakitkan," gumam Embun lalu kembali menenggak air minum. "Embun." Suara Lintang membuyarkan lamunannya. Embun terperanjat karena tiba-tiba Lintang sudah berada di sampingnya. Mata Embun memperhatikan Lintang dari ujung rambut sampai ujung kaki, terlihat keringat masih mengalir di pelipis lelaki itu. Embun bergidik, ia jijik membayangkan apa yang sudah Lintang dan Jasmine lakukan. Wanita itu menggeser tubuhnya sedikit menjauh dari Lintang. "Mas mau apa di sini?" tanya Embun pada akhirnya. "Aku haus," jawabnya singkat sambil tangannya terulur hendak mengambil gelas di tangan Embun. Embun segera menjauhkan gelas milikya, tidak sudih bibir
Lintang menoleh pada jasmine lalu berkata, "Sebentar Jasmine, aku sedang berpamitan pada Mba-mu, apa kau tidak mau berpamitan juga?" "Ah, iya, aku hampir lupa. Maaf, Mas. Aku terlalu bahagia dan ingin segera tiba di tempat tujuan." Jasmine menghela napas kasar kemudian dengan berat melangkah masuk ke dalam rumah menghampiri Embun dan Lintang. Jasmine tidak mau terlalu menampakkan jika ia tidak suka pada Embun, entah apa alasannya, yang jelas hatinya menolak Embun berada dalam kehidupannya dan sang suami. Padahal, Embun lebih dulu memiliki Lintang ketimbang dirinya yang baru beberapa hari saja. Jasmine tersenyum palsu agar semua berjalan mulus. "Mba, aku sama Mas Lintang pergi dulu, ya. Mba, baik-baik di rumah. Doakan kami, Mba. Semoga pulang dari honeymoon aku segera hamil, biar mertua kita bahagia," ujar Jasmine menggores hati Embun. Lagi-lagi ucapan Jasmine melukainya, semakin menegaskan jika Embun bukanlah wanita sempurna. Embun tersenyum getir, akhir-akhir ini ia berubah menja
Dering ponsel Embun membangunkannya dari alam mimpi dan mendapati hari sudah pagi, ia belum ingin bangkit dari kasur, tubuhnya terasa remuk.Tangan Embun kemudian meraba ke atas nakas dimana ponselnya masih berdering. Embun melihat siapa yang menelpon, kemudian mengucek mata yang terasa aneh memastikan tidak salah lihat nama si pebelpon. "Mas Lintang," gumamnya dengan suara serak. Embun rasanya tidak ingin menerima panggilan itu. Ia tidak mengerti, saat sang suami jauh ia merasa rindu. Namun, bila melihat wajah lelaki itu ia muak. Setelah menimbang-nimbang akhirnya Embun menerima telpon dari lelaki yang sejak semalam mengganggu pikirannya. "Halo," jawab Embun setelah bangkit dan duduk. "Selamat pagi, matahariku!" ucap Lintang sambil tersenyum. Kata-kata yang tidak Embun dengar selama beberapa hari ini. Wanita tersebut bergeming, kalau dulu kalimat itu terdengar manis dan membuat hatinya berbunga-bunga. Namun, sekarang ia mendengarnya hanya sebatas bualan semata. Bibir Embun terkatup
"Saya mau kamu buatkan kue ulang tahun unicorn yang cantik, mewah dan berbeda dari yang lain. Saya ingin memberikan yang terbaik untuk putri saya, sebagai ibu saya ingin membuat dia bahagia," lanjut Jenar. "Sayang, jangan seperti itu, kita bisa cari di toko yang lain," bisik Eros pada Jenar. Namun, terdengar jelas di telinga Embun. "Tidak mau! Aku maunya di sini!" rajuk Jenar seperti anak kecil, membuang wajah ke arah lain sambil tangannya bersilang dada. Perut buncitnya semakin jelas. "Iya, sayang. Jangan marah, dong. Kan, Mas cuma memberi saran saja," bujuk Eros sambil mengelus perut Jenar. Mata Embun perih melihat itu, bukan karena ia masih mencintai Eros, tapi merasa semakin tidak berdaya karena kekurangannya. Jujur dia iri pada Jenar. "Embun, apa bisa buatkan kue permintaan istri saya?" tanya Eros. Sebenarnya lelaki itu tidak enak hati meminta seperti yang Jenar inginkan, meskipun ia tahu toko Embun pasti menerima request pelanggan. Sebagai lelaki yang pernah menorehkan luk
Embun sudah rapi bersiap pergi ke toko kue, ia meraih tas dan beranjak meninggalkan kamar. Saat tangannya hampir menyentuh gagang pintu, pintu terbuka karena didorong dari luar. "Mas Lintang." Embun terkejut karena tiba-tiba Lintang muncul, lelaki yang sudah seminggu tidak ada kabar itu kini berada di depan mata. Embun melirik ke belakang sang suami mencari keberadaan Jasmine. Namun, perempuan itu tidak terlihat. "Aku merindukanmu." Lintang langsung memeluk Embun sambil menghirup aroma tubuh sang istri. Embun bergeming, matanya memanas mendengar kalimat tersebut, kalau memang sang suami merindukannya mengapa tidak menghubunginya. Mengapa setiap ungkapan yang keluar dari mulut lelaki itu terasa menyakitkan. Embun tidak membalas pelukan itu, tangannya hanya menggantung di samping badan. Lintang melepaskan pelukan, kedua tangan lelaki itu berpindah menangkup wajah Embun, mata mereka bertemu menyiratkan rindu yang menggebu. "Kau tidak merindukan aku?" kata itu meluncur dari mulu
Embun menatap pantulan dirinya di cermin, dadanya terasa sesak mengingat apa yang dilihat di meja makan tadi. Jasmine seperti tidak memberi kesempatan untuk ia dan sang suami berdua seolah-olah Lintang hanya miliknya seorang. Embun merapikan penampilan dan merias kembali wajahnya, setelah itu Embun beranjak keluar dari kamar. Rencana hari ini gagal total. Saat melewati kamar sang madu tidak sengaja Embun mendengar desahan Jasmine yang menggetarkan jiwa, tubuhnya serasa melayang karena lagi-lagi harus mendengar suara itu. Embun mempercepat langkahnya melewati kamar tersebut. "Ya, Tuhan. Apa mereka tidak memikirkan perasaanku?" Mata Embun berkaca-kaca, dengan tangan yang masih bergetar Embun menarik tuas mobil dan melajukannya ke toko kue. Pukul delapan malam, toko sudah tutup barulah Embun beranjak meninggalkan tempat itu bersamaan dengan para karyawan. Mungkin mereka bertanya-tanya karena tidak biasanya bos mereka pulang di jam yang sama dengan mereka. Embun menghela napas melepas
Di dalam kamar mandi Jasmine memuntahkan isi perutnya yang hanya berupa air. Wanita itu mual ketika mencium bau makanan yang di bawa oleh bi Mar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tubuhnya lemas. Jasmine membasuh wajah lalu menatap pantulan dirinya yang berantakan di cermin. Tidak lama kemudian perutnya kembali seperti diaduk-aduk dan kembali muntah, mulutnya terasa pahit. "Kau kenapa Jasmine?" Lintang menerobos masuk ke dalam kamar mandi, lelaki itu kemudian membantu memijat tengkuk Jasmine. Embun menyusul Lintang ke kamar Jasmine, penasaran apa yang terjadi pada madunya itu. Ia berdiri tidak jauh dari kamar mandi, melihat apa yang terjadi. "Aku tidak tahu, badanku lemas, Mas," ucap Jasmine lirih. Wajahnya pucat. "Kau sakit, ayo ke rumah sakit sekarang!" Lintang langsung mengangkat tubuh Jasmine, melewati Embun dan membawanya ke mobil. Wanita itu terkulai lemas dalam gendongan sang suami. Mata Embun mengikuti langkah suaminya sambil memegangi dada yang berdegup, perasaannya
"Tidak ada panggilan yang lebih special untukku? Seperti Mas panggil Mba Embun dengan sebutan sayang." tanya Jasmine lagi setelah memasang seat belt "kau juga ingin dipanggil sayang?" Lintang menoleh ke arah Jasmine sambil satu tangannya memegang tuas mobil. "Tidak mau! Aku tidak mau sama seperti Mba Embun." Jasmine menyilangkan tangan di dada dan memalingkan wajahnya ke luar jendela, ia akan memanfaatkan kehamilannya agar Lintang menuruti keinginannya. "Ya sudah kalau seperti itu." Lintang menyalakan mesin mobil dan menatap lurus ke depan. "Apa aku ini tidak spesial untukmu, Mas?" Jasmine menoleh ke arah Lintang dengan tatapan jengkel. Namun, sang suami tidak melihatnya. "Apalagi, Jasmine? Jangan bertanya yang ane-aneh." Lintang mulai menjalankan mobil. "Aku hanya ingin tahu, aku ini ada artinya atau tidak untukmu, Mas." Jasmine meluruskan pandangannya. "Kau mau apa sebenarnya?" Lintang menoleh sekilas lalu kembali fokus ke jalan. "Aku seperti tidak ada artinya untukmu,