Share

Bab 6 | Rumit

Penulis: Dara Kirana
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-01 12:34:00

Pukul lima sore Embun pulang ke rumah, dengan malas ia menyeret langkahnya masuk ke dalam yang kini terasa hampa. Di dalam tampak sepi, entah kemana penghuni rumah itu, tetapi Embun tidak mempedulikan. Justru bagus ia tidak harus melihat wajah orang-orang yang hanya akan membuatnya sakit.

Embun menghempas tubuhnya di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar, lelah karena seharian ini bermandi air mata. Tadi pagi ia sudah berusaha untuk kuat. Namun, ada saja hal yang membuat air matanya untuk tumpah.

Embun melirik ke sampingnya, dimana biasanya sang suami terbaring. Kini ranjang itu tidak lagi sehangat dulu, bahkan semalaman ia hanya berteman dingin."

"Aku harus terbiasa sendiri sekarang," gumam Embun dan tersenyum getir.

Embun belum ada niat beranjak dari kasur empuk itu, malas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Lama-kelamaan kantuk menyapa dan ia pun tertidur.

Entah berapa lama Embun tertidur hingga sebuah usapan lembut di pipinya membangunkannya dari buaian mimpi. Embun membuka mata, pemandangan pertama yang dilihatnya adalah wajah tampan sang suami. Senyum dan tatapan mata Lintang seolah-olah menghipnotis Embun sehingga ia lupa apa yang telah terjadi dalam hidupnya.

"Sudah mau maghrib ayo bangun!" ucap Lintang lembut sambil terus membelai pipi sang istri.

"Kamu lelah," lanjut Lintang sambil tangannya berpindah ke pundak Embun dan memijatnya lembut. Embun merasa nyaman, sentuhan tangan Lintang membuat rasa lelahnya hilang.

"He'em," jawab Embun manja seperti biasa.

Embun mengalungkan tangannya di leher sang suami, ia ingin bermanja dengan lelaki itu sebelum mandi. Lintang kemudian mendekatkan wajahnya karena dia sinyal dari sang istri, mata mereka bertemu dan saling menyelami.

"Kamu cantik, sayang," ujar Lintang membuat seluas senyum manis terukir di bibir Embun.

"Mas!"

Lengkingan suara Jasmine mengembalikan kesadaran Embun dan seketika senyuman itu lenyap. Embun mendorong tubuh Lintang dan segera bangkit, hatinya kembali sakit mengingat kenyataan saat ini.

"Kenapa Embun?" Lintang mengernyitkan dahi, lelaki itu teduduk disamping Embun.

"Aku mau mandi." Embun bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Lintang hanya menatap pintu kamar mandi yang tertutup hingga suara Jasmine kembali terdengar yang mengharuskannya keluar dari kamar itu.

Makan malam tiba, Lintang dan dua istrinya sudah duduk manis di meja makan untuk mengisi perut sebelum istirahat. Jasmine menunjukkan perhatiannya dengan mengambilkan sang suami makan. Embun hanya melihat tanpa ingin berkomentar, yang jelas saat ini perasaannya sangat tidak nyaman karena tugas itu kini diambil alih oleh madunya.

Setelah mengambilkan Lintang makan, Jasmine berinisiatif untuk mengambilkan makan untuk Embun juga. Namun, Embun langsung menolak.

"Biar aku sendiri." Embun langsung membubuhkan nasi dalam piringnya. Jasmine tertunduk menunjukkan ketidak berdayaanya pada Lintang, menegaskan jika ia butuh dilindungi dari sikap Embun yang arogan.

"Embun, jangan seperti itu. Jasmine hanya ingin ….."

"Aku punya tangan sendiri, Mas!" sela Embun sambil menyendok lauk. Tidak ingin mendengar pembelaan suaminya untuk sang madu, ia geram.

"Jasmine, maafkan Mba-mu, ya? Dia belum terbiasa dengan kamu, nanti lama-lama tidak akan bersikap seperti itu lagi, Mba-mu orang yang baik. Jangan salah paham," papar Lintang sambil melihat ke arah Jasmine.

"Iya, Mas. Aku ngerti, kok," sahut Jasmine berpura-pura memaklumi untuk meyakinkan Lintang jika dirinya orang yang baik. Padahal, dalam hati ia mengumpat sikap Embun tadi.

Embun tersenyum sinis tanpa sepengetahuan mereka. Muak mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Jasmine yang ia yakini adalah palsu. Setelah drama singkat itu, makan malam pun dimulai.

"Makanan ini rasanya berbeda," ucap Lintang setelah memasukkan suapan pertama ke dalam mulutnya. Dahinya mengkerut.

"Bi Mar yang masak," jawab Embun apa adanya. Ia tidak ingin lagi memegang urusan dapur.

"Tapi enak, kok, Mas," sahut Jasmine tidak mau ketinggalan.

"Kenapa kau tidak masak?" Lintang menatap Embun.

"Apa menurutmu aku harus seperti bi Marsinah dan Tuti?" Embun membalas tatapan Lintang.

"Bukan seperti itu maksudku, biasanya, kan …."

"Aku tidak mau lagi mengurusi pekerjaan dapur, aku ingin fokus pada toko kueku apa itu salah?" Tatapan mata Embun menyiratkan sesuatu yang membuat Lintang tertampar.

"Baiklah, aku tidak akan memaksa," ujar Lintang pada akhirnya. Ia sadar Embun berubah karena kecewa padanya, Lintang mencoba memaklumi berada di posisi Embun tidaklah mudah.

"Apa kau pikir aku ini pembantu, setiap hari harus memasak untukmu dan istri barumu," gerutu Embun dalam hati.

"Nanti aku akan belajar masak dari Mba Embun biar aku bisa memasakkanmu setiap hari, Mas." Penuturan Jasmine terdengar manja.

Perut Embun terasa mual mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Jasmine, memang ia mau mengajari wanita itu masak, pikir Embun.

"Kau mau mengajariku, kan, Mba?" Jasmine menatap Embun dengan wajah manis.

"Sebaiknya kau lihat googtube saja, aku sibuk!" jawab Embun datar, Jasmine terlihat kesal karena jawaban Embun tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya.

"Sudah, sudah, mari kita makan saja, aku sudah lapar." Lintang menengahi. Embun maupun Jasmine kembali fokus ke piring masing-masing.

Untuk beberapa saat ruang makan itu hening, hanya terdengar denting peralatan makan yang beradu dengan piring. Semua membisu dan larut dengan pikiran masing-masing, hingga Lintang bersuara memecah kebisuan.

"Malam ini aku tidur dengan Embun," ujar Lintang disela-sela makannya. Kedua istrinya yakni Embun dan Jasmine sontak mengangkat kepala dan menatap Lintang. Suara lelaki itu membuyarkan sesuatu yang ada di kepala mereka.

"Mas, kita ini baru saja menikah masa sudah tidur terpisah?" sergah Jasmine tidak terima.

"Embun juga istriku, malam ini aku tidur dengannya dan besok aku tidur denganmu, Jasmine. Begitu seterusnya," ucap Lintang sambil meletakkan sendoknya di dalam piring, menjeda kegiatan makannya.

"Tidak bisa, Mas. Kapan aku bisa hamil jika terus seperti itu? Untuk sementara waktu Mas tidur denganku, apa Mas mau menunda memiliki anak? Apa Mas tidak memikirkan Papa Yolan dan Mama Inggrid?" papar Jasmine, berusaha menghalangi niat Lintang.

Perkataan Jasmine itu membuat jantung Embun berdenyit perih, lagi-lagi ia merasa tidak berdaya karena kekurangannya. Embun mengalihkan perhatiannya pada makanan dalam piringnya dan tersenyum getir. Kata-kata yang keluar dari mulut Jasmine sungguh melukainya.

"Mba Embun, aku minta pengertiannya, biarkan Mas Lintang sementara waktu tidur denganku karena kami sedang melakukan program hamil. Aku melakukan ini bukan semata-mata untuk diriku sendiri, tapi karena aku memikirkan mertua kita." Jasmine menatap Embun penuh arti.

"Terserah kalian saja," jawab Embun singkat, lalu meraih gelas dan minum. Jiwanya lelah jika harus berdebat dengan madunya yang tentu tidak mau kalah.

"Jasmine …."

"Mas! Hanya sampai aku hamil saja, setelah itu kau boleh seperti yang kau katakan tadi," sela Jasmine tidak ingin mendengar protes dari suaminya.

"Mba Embun pasti mengerti dan aku rasa Mba tidak keberatan, ya, kan, Mba?" Jasmine menatap Embun penuh arti.

"Kalau kau merasa seperti itu, lalukan saja!" ucap Embun datar, setelahnya istri pertama Lintang itu meninggalkan meja makan. Ia sengaja menghabiskan makanannya dengan cepat, meski tidak bernafsu agar bisa segera berlalu dari pengantin baru itu.

"Aku duluan," pamit Embun sambil menahan sesak yang bersarang di dada. Belum genap sehari mereka tinggal bersama, sudah ada hal yang membuatnya sakit.

"Jasmine, kau …."

"Kalau Mas tidak mau biar aku telpon Papa, biar kita cerai sekalian!" ancam Jasmine. Karena ia tahu kelemahan Lintang.

"Apa Mas pikir aku mau menikah denganmu yang adalah suami orang? Di sini aku berkorban, Mas! Demi kebahagiaan papa dan mama. Kalau saja Papa kita tidak bersahabat beliau pasti tidak akan setuju anak gadisnya menikah dengan suami orang. Dimana orang-orang pasti akan menganggapku pelakor dan gelar itu melekat seumur hidupku!" lanjut Jasmine dengan mata yang berkaca-kaca, ia mulai memainkan Actingnya. Padahal, sudah sejak lama ia jatuh cinta pada Lintang, sementara Lintang sendiri terdiam dan mulai memikirkan perkataan Jasmine. Dilema dibuatnya, hidupnya menjadi rumit.

"Aku hanya ingin adil untuk kalian berdua, kalau aku terus denganmu apa itu adil untuk Embun?"

"Mas! Adil itu bukan sama rata, tapi sesuai kebutuhan. Seperti sekarang, aku lebih membutuhkan kamu karena kita akan menjalani program hamil." Setetes air mata berhasil lolos dari sudut mata Jasmine.

"Kalau kau tidak mau katakan sekarang, Mas! Mumpung belum terlalu jauh, aku bisa kembali pada orang tuaku dan semoga orang tuamu tidak kecewa," lanjut Jasmine yang membuat Lintang semakin resah.

"Maafkan aku Jasmine, Jangan lakukan itu. Baiklah, aku akan lebih banyak waktu denganmu," ujar Lintang sambil menahan sesak yang menghantam dada.

"Janji." Jasmine menatap Lintang dengan bola mata basahnya.

"I-iya," jawab Lintang ragu. .

Jasmine tersenyum kecil, dengan sedikit air mata buaya ia berhasil mengendalikan Lintang. Ia ingin memiliki hati Lelaki itu sepenuhnya.

Embun meremas dadanya yang terasa nyeri mendengar pembicara itu dari balik tembok. Betapa liciknya Jasmine, wanita itu sangat mahir memainkan perannya sehingga Lintang tidak berkutik dibuatnya.

Embun berlari menuju kamarnya, tidak bisa ungkapkan dengan kata-kata perasaan saat ini. Sakit, kecewa dan sedih karena sang suami menuruti apa keinginan Jasmine.

Air mata yang sempat kering kembali membasahi pipi. Baru sehari mereka tinggal bersama, sudah berpuluh kali air matanya keluar, hatinya remuk redam. Tidak ada keadilan yang dirasakannya.

****

Tengah malam Embun terbagun, diliriknya jam yang menempel di dinding menujukkan angka setengah dua belas malam. Tenggorokannya terasa kering, ia melirik pitcher di atas nakas yang ternyata kosong. Embun menghela napas kasar, ia lupa mengisi pitcher itu karena pikirannya terlalu kalut

Dengan langkah malas Embun menyeret kaki keluar kamar untuk mengisi pitcher itu. Saat melewati kamar Jasmine, tidak sengaja Embun mendengar suara Jasmine dan Lintang mendesah meracau tidak karuan, suara tersebut terdengar cukup jelas di rumah sepi itu.

Tubuh Embun bergetar, hatinya menjerit karena suara mereka bagaikan pedang yang menikam jantung. Sebuah bulir bening mengalir begitu saja dari sudut mata.

Dia segera menghapus air bening itu dan mempercepat langkah kaki yang gemetar menuju dapur.

"Ya, Tuhan. Kenapa harus seperti ini," gumam Embun sambil membendung air mata yang ingin kembali tumpah.

Bersambung ….

Dara Kirana

Find me on : Instagram : dara_kirana21 Facebook : Dara Kirana

| Sukai
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MADU YANG BERACUN   Bab 65 | Permintaan Jenar

    Malam semakin larut, semua penghuni rumah sudah terlelap. Namun, tidak dengan Jenar. Dia tidak bisa tidur karena terus memikirkan masalah-masalah yang kini menghimpit hidupnya. Jenar meremas kuat ujung selimut. Perasaan cemas, takut dan bayangan-bayangan buruk berputar di kepala membuatnya sangat tidak tenang. Di kamar yang sunyi dan tenang itu, isi kepala Jenar begitu berisik. “Ya, Tuhan. Tolong berikan aku jalan agar aku bisa menyelesaikan masalah ini,” kata Jenar dalam hati dengan penuh harap.“Aku tahu aku pernah salah, Tuhan, tapi kali ini tolonglah aku. Maafkan kesalahan yang pernah kulakukan. Aku mohon kali ini tolong aku.” Jenar memohon dalam hati. Matanya terpejam. Kepalanya sudah panas berpikir namun tak kunjung menemukan jalan.“Apa aku harus bekerja agar dapat uang?” Jenar bertanya pada dirinya sendiri karena sebuah ide muncul di kepala. “Tapi … apakah Mas Eros akan mengizinkan?” Dia ragu, mengingat Eros hanya ingin Jenar di rumah, mengurus suami dan anak saja. Semangatn

  • MADU YANG BERACUN   Bab 64 | Langit Malam yang Indah

    Lintang berdiri di balkon kamar, memandangi gemerlap bintang di langit yang terlihat indah malam ini. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah membuat perasaannya tenang.“Aku bersyukur sekali, akhirnya Embun sadar. Meskipun harus membiarkannya sendiri dulu saat ini, tapi itu bukanlah suatu hal yang buruk. Nanti juga aku akan bisa memeluknya seperti dulu. Lebih tepatnya memeluk kedua istriku.” gumam Lintang sembari mendongak, matanya tak lepas dari keindahan langit. “Aku tidak harus kecewa dengan keputusannya, ini hanya sementara,” tambahnya merasakan sedikit kekecewaan. Kepalanya menunduk.“Aku tahu, kau tidak sekejam itu. Kau hanya kecewa di awalnya saja. Aku tidak salah mempertahankanmu karena akhirnya hatimu luluh juga.” Bibir Lintang melengkung membentuk sebuah senyuman. Pandangannya lurus ke depan seolah Embun berada di sana. “Aku berhasil,” lanjutnya bangga. “Kalau sudah begini, nanti aku tidak akan susah lagi membujuknya agar mau melakukan sidang.” Bibir itu tersenyum semakin lebar.

  • MADU YANG BERACUN   Bab 63 | Mertua Datang

    “Oh, ya, Jenar. Mulai hari ini Mama mau tinggal di sini, tinggal sama kalian dan cucu-cucu Mama yang lucu,” kata Bu Riana membuat Jenar semakin terkejut.“Ke-kenapa begitu, Ma? Bagaimana dengan Eris?” Jenar gugup, tapi tetap berusaha agar ekspresi wajahnya biasa saja. “Eriska Minggu depan mau ke Malaysia, dia dipindah tugas ke sana. Mama tidak mau di rumah sendirian, sepi, tidak ada teman ngobrol. Setelah Mama pikir lebih baik Mama tinggal sama kalian,” jelas Bu Riana. Jenar menghela napas kasar tanpa sepengetahuan mertuanya, seketika beban di pundaknya terasa bertambah.Jenar jadi kesal terhadap wanita paruh baya itu. Bukan tidak ingin wanita itu tinggal di rumahnya, tetapi saat ini dia tidak ingin ada lebih banyak orang di rumah. Ia takut rahasianya terbongkar. “Wanita tua ini hanya akan menambah masalahku saja!” umpatnya dalam hati.Di lubuk hati yang paling dalam, sungguh Jenar tidak ingin satu atap dengan mertua. Terlebih dari rumor yang dia dengar jika mertua sering menjadi b

  • MADU YANG BERACUN   Bab 62 | Biarkan Aku Sendiri Dulu

    Matahari bersinar hangat menyambut hari yang istimewa. Di sepanjang trotoar, balon warna-warni menari tertiup angin, dan spanduk bertuliskan “Grand Opening Embun’s Cake - from oven to heart” terpampang di depan toko yang baru dibuka.Aroma harum kue panggang tercium dari balik etalase kaca. Barisan pengunjung mulai mengular, penasaran mencicipi aneka kue spesial yang menggoda selera. Dari brownies lembut, cheese tart creamy, hingga kue lapis legit khas racikan rumahan.Di dalam toko, nuansa hijau pastel berpadu dengan dekorasi bunga segar dan senyum ramah para staf. Musik lembut mengiringi langkah pengunjung yang masuk satu per satu, disambut dengan welcome drink dan potongan kue tester.Embun, dengan wajah penuh haru dan bangga, berdiri di tengah keramaian. Setelah kata sambutan singkat dan doa bersama, pita di depan pintu dipotong. Tepuk tangan pun bergema, menandai toko Embun’s Cake resmi dibuka.Lintang lewat di depan toko kue Embun dan melihat keramaian itu. Dia sedikit heran dan

  • MADU YANG BERACUN   Bab 61 | Pagi yang Menegangkan

    Bel rumah Jenar berbunyi, wanita yang tengah menemani anak-anaknya bermain di ruang depan langsung berdiri.“Pasti ada yang ketinggalan lagi,” gumam Jenar menuju pintu dan mengira itu suaminya.“Ya, ada apa ….” Ucapan Jenar menggantung ketika mendapati dua lelaki berseragam cokelat. Rasanya dia ingin menutup pintu kembali.“Selamat pagi, Maaf mengganggu, apakah Anda Ibu Jenar Zaira Wijaya?” tanya salah satu polisi.“I-iya, benar, Pak. Ada apa, ya?” jawab Jenar ragu. Dia bingung dan merasa sedikit takut. “Kami dari kepolisian sektor kota. Kami datang untuk menyampaikannya surat perintah penangkapan atas nama Anda, terkait penyelidikan atas dugaan keterlibatan Anda dalam kasus kecelakaan berencana sembilan tahun yang lalu,” lanjut rekan sang polisi.Duar! Bagai disambar petir, tiba-tiba rahasianya terbongkar dan entah siapa yang telah melaporkannya. Matanya melotot, jantungnya berdegup cepat. Jenar sangat ketakutan dan segala pikiran buruk muncul di kepala.“Apa? Saya … saya tidak men

  • MADU YANG BERACUN   Bab 60 | Wanita Pengganggu

    Mendengar suara orang yang ditunggu-tunggu, Jenar dan Jasmine berdiri dari duduknya. Keduanya tersenyum sinis dengan tatapan mengejek. “Halo Mba? Aku kemari hanya ingin tahu bagaimana kabarmu,” kata Jasmine manis lalu menatap Jenar sekilas dengan senyum penuh arti. Embun berdecih mendengar kata-kata Jasmine. Terdengar manis seperti madu namun sebenarnya mengandung racun. “Kabarku baik-baik saja seperti yang kau lihat.” Embun melipat tangannya di dada. “Oh, um … seperti itu, ya? Kau yakin? Kau tidak berbohong? Aku sedikit khawatir padamu?” Jasmine tertawa dalam hati. “Seperti yang kau lihat,” sahut Embun, “sekarang kau sudah tahu kabarku, jadi silakan pulang!” Jasmine geram mendengar Embun mengusirnya. Tangan di samping tubuhnya terkepal dengan mata menatap nyalang. “Mengapa kau mengusir kami? Ini juga rumah adikku. Dia juga istrinya Lintang dan kau selalu harus ingat itu!” ketus Jenar. “Ya benar, aku juga istrinya Mas Lintang dan sebentar lagi kami akan memiliki anak. Jadi, aku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status