Share

Bab 2

Penulis: Hikma Abdillah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-28 13:09:03

Wawan tidak bisa tidur malam itu.

Satu kata dari Nayla terus terngiang di telinganya: "Kalau kamu udah nggak bahagia, kenapa nggak bilang dari awal?"

Ia meringkuk di tepi ranjang, sementara Nayla tidur membelakangi, memeluk Ayana erat-erat. Tak ada percakapan, tak ada air mata—tapi justru itulah yang paling menakutkan. Diam Nayla adalah tanda bahwa ia sudah melewati batas kecewa. Bukan lagi menanti penjelasan. Hanya menunggu kehancuran.

Wawan ingin berkata, ingin menjelaskan, ingin meminta maaf. Tapi bibirnya seperti terkunci. Hatinya sendiri masih gamang. Ia memang marah dan kecewa pada Nayla—atas penolakan demi penolakan, atas dinginnya perlakuan yang terasa seperti tembok tak terlihat di rumah mereka. Tapi apakah semua itu pantas dibalas dengan pengkhianatan?

Pagi datang tanpa suara. Seperti biasa, Nayla bangun lebih dulu, menyusui Ayana di ruang tamu. Tak ada sapa, tak ada tatap. Wawan hanya bisa memandangi punggung istrinya yang tampak kurus, seakan kelelahan telah menggerogoti tubuhnya.

“Nay…” panggil Wawan dengan suara pelan.

“Hmm?”

“Aku mau bicara.”

Nayla tak menoleh. “Bicaralah.”

Wawan menarik napas panjang, lalu berdiri dari tempat tidur. Ia berjalan ke arah Nayla dan duduk di hadapannya. Ayana masih menyusu, matanya terpejam dengan damai, tak menyadari badai yang mengintai keluarganya.

“Aku minta maaf,” kata Wawan akhirnya. “Aku… aku salah. Aku tahu. Tapi semuanya nggak sesederhana itu, Nay.”

Nayla menatapnya. Wajahnya tidak marah. Justru kosong.

“Kamu tahu rasanya tidur sendiri berbulan-bulan? Ditolak terus-terusan? Bahkan disentuh pun nggak boleh. Aku merasa bukan suami kamu lagi,” lanjut Wawan, suaranya mulai bergetar. “Aku kerja banting tulang, Nay. Tapi kamu selalu bilang kurang. Aku sabar, aku tahan. Tapi… manusia juga ada batasnya.”

Nayla mengusap rambut Ayana pelan. “Dan batasmu adalah perempuan lain?”

Wawan tertunduk.

“Kenapa kamu nggak jujur dari awal? Kenapa harus sembunyi-sembunyi? Kalau kamu memang nggak bahagia, kenapa nggak kita cari jalan keluar bareng-bareng?” ucap Nayla. Kali ini suaranya mulai meninggi.

“Aku takut, Nay. Aku takut kamu tambah benci sama aku. Aku takut kamu pergi bawa Ayana. Aku—”

“Justru karena kamu takut, kamu malah ngelakuin hal yang paling menyakitkan,” potong Nayla tajam. “Kamu tahu nggak, Wan… Aku bukan nggak mau tidur sama kamu. Aku trauma.”

Wawan menoleh cepat. “Trauma?”

Nayla mengangguk, matanya mulai basah. “Waktu hamil Ayana, setiap kali kamu minta, aku takut. Karena setiap kali selesai, perutku keram, badan lemas, aku sampai pernah keluar flek. Tapi aku tahan. Sampai akhirnya dokter bilang aku harus total bed rest. Dari situ aku takut, Wan. Tapi aku nggak pernah cerita karena kamu juga nggak pernah nanya kenapa. Kamu cuma marah, lalu diam.”

Wawan terdiam. Seperti tertampar oleh realita yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

“Aku capek, Wan. Aku ngurus rumah, ngurus anak, aku juga capek secara emosional. Tapi kamu nggak pernah tanya aku kenapa selalu dingin. Kamu cuma mikir kamu yang paling menderita,” ucap Nayla, suaranya bergetar. “Aku kecewa. Tapi aku juga sadar, kita berdua udah jauh banget dari kata ‘suami-istri’.”

Wawan menunduk. Hatinya seperti diremas. Mungkin selama ini ia terlalu sibuk menyalahkan, sampai lupa mencoba memahami.

“Aku nggak mau Ayana tumbuh di rumah penuh dusta, Wan. Aku bisa bertahan untuk Ayana. Tapi aku nggak mau pura-pura bahagia,” ujar Nayla. “Sekarang, aku cuma mau tahu satu hal...”

Wawan menatapnya.

“Kamu masih mau memperbaiki semuanya? Atau kamu lebih memilih dia?”

Pertanyaan itu menghantam dada Wawan seperti batu. Ia tahu Nadia bisa memberinya kenyamanan, pelarian dari rumah yang dingin. Tapi Nadia bukan Ayana. Bukan masa depan yang ia impikan sejak awal menikah.

“Aku mau memperbaiki semuanya…” jawab Wawan lirih. “Tapi aku tahu, aku mungkin terlambat.”

Nayla mengangguk pelan. “Terlambat bukan berarti nggak bisa. Tapi kamu harus buktiin, bukan cuma janji.”

**

Dua hari kemudian, Wawan memutuskan untuk bertemu Nadia untuk terakhir kalinya.

Mereka bertemu di kafe yang sama seperti sebelumnya. Nadia sudah duduk, wajahnya penuh tanya. Begitu Wawan duduk, wanita itu tersenyum lembut.

“Aku senang kamu datang,” kata Nadia.

“Aku juga… senang pernah ketemu kamu lagi, Nad,” jawab Wawan.

“Tapi?” tanya Nadia, langsung menangkap arah pembicaraan.

“Aku harus kembali. Ke rumahku. Ke istri dan anakku.”

Nadia menunduk, menahan napas. Tapi ia tidak marah. Ia hanya tersenyum pahit. “Aku tahu ini akan datang. Tapi tetap saja sakit.”

“Aku minta maaf,” ucap Wawan.

Nadia menggeleng. “Jangan minta maaf. Kita cuma manusia. Kadang hati kita nyasar ke tempat yang salah.”

Wawan menggenggam tangannya sebentar, lalu melepasnya. “Terima kasih. Karena kamu pernah buat aku merasa berarti saat aku merasa hancur.”

Dan dengan itu, mereka berpisah. Tanpa drama. Tanpa kata cinta terakhir. Hanya dengan pengakuan bahwa mereka tidak ditakdirkan untuk saling memiliki.

**

Setelah malam itu, Wawan mencoba berubah. Ia pulang tepat waktu, ikut bangun malam saat Ayana menangis, mencuci piring, menyapu rumah, bahkan membantu Nayla memasak. Awalnya Nayla masih dingin, tapi perlahan ia mulai luluh.

Mereka pergi ke konseling pasangan. Tidak mudah. Banyak luka dibuka kembali, banyak air mata tumpah. Tapi di balik semua itu, ada keinginan untuk bertahan.

Suatu malam, Nayla menggenggam tangan Wawan sambil berkata, “Kita nggak akan pernah kembali jadi seperti dulu, Wan. Tapi kita bisa mulai dari awal.”

Wawan menatap mata istrinya. Untuk pertama kali setelah sekian lama, ia melihat cahaya di sana. Mungkin tak secerah dulu, tapi cukup untuk menuntun mereka keluar dari gelap.

“Aku akan perjuangkan kamu. Setiap hari,” jawab Wawan.

Dan di kamar itu, saat Ayana tertidur lelap di tengah ranjang, Wawan dan Nayla untuk pertama kalinya berpelukan lagi. Bukan karena nafsu. Tapi karena harapan.

Harapan bahwa rumah yang sempat retak, masih bisa dibangun kembali. Pelan-pelan. Dengan cinta yang tak sempurna, tapi tulus.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Madu untuk istriku   Bab 29

    Setelah badai gosip dan kontroversi reda, datang tawaran yang tak pernah mereka duga: sebuah rumah produksi ternama ingin mengangkat kisah mereka ke layar lebar. Film yang akan menampilkan perjalanan penuh luka, pengkhianatan, dan akhirnya pengampunan serta harapan.Wawan menerima telepon itu saat tengah sibuk di kantor kecilnya. Suara sang produser, penuh antusiasme, mengalir melalui speaker.“Kami ingin membawa cerita Anda ke publik yang lebih luas. Ini bukan sekadar film, tapi sebuah pesan yang harus disebarkan.”Di sisi lain, Nayla menatap pesan tersebut dengan campur aduk. Ada kegembiraan, tapi juga kegelisahan yang sulit ia jelaskan.**Malamnya, mereka duduk berdua di ruang tamu. Ayana sudah tertidur pulas di kamar. Lampu temaram menciptakan suasana hening.“Aku senang cerita kita bisa menginspirasi banyak orang,” kata Wawan.Nayla mengangguk pelan. “Tapi… aku takut, Wan. Kalau kisah kita jadi tontonan, apakah orang akan benar-benar mengerti maknanya? Atau cuma jadi bahan sensa

  • Madu untuk istriku   Bab 28

    Buku Bernapas Setelah Luka resmi diluncurkan di sebuah acara sederhana namun penuh haru di Jakarta Selatan. Penerbit Lentera mengemasnya dengan elegan—dekorasi putih bersih, lampu temaram, dan latar belakang panggung bergambar siluet seorang wanita menggandeng anak kecil di tengah kabut.Wawan dan Nayla duduk berdampingan di atas panggung, sesekali tersenyum, sesekali menunduk ketika pembawa acara membacakan kutipan-kutipan paling menyayat hati dari buku mereka.Tamu yang hadir bukan hanya teman dan keluarga, tapi juga influencer pernikahan, aktivis perempuan, dan beberapa media nasional. Di antara kerumunan, tampak kamera-kamera media merekam setiap detik momen peluncuran buku itu.“Buku ini bukan tentang menggurui,” kata Nayla dalam sesi tanya jawab. “Tapi tentang proses. Kami tidak menyebut diri sebagai pasangan ideal. Tapi kami mencoba jujur, sejujur-jujurnya.”Salah satu jurnalis perempuan muda mengangkat tangan. Namanya Ayla, dari salah satu portal berita online. Dengan wajah ne

  • Madu untuk istriku   Bab 27

    Musim hujan datang lagi. Jalanan di depan rumah Nayla dan Wawan basah, daun-daun jatuh terbawa angin, dan langit mendung seperti enggan memberi cahaya. Pagi itu, mereka duduk bersama Ayana di meja makan, menikmati sarapan sederhana: roti panggang dan telur dadar.Ayana sedang menceritakan tentang teman barunya di PAUD, ketika suara ketukan pintu menggema di ruang tamu. Tak terlalu keras, tapi cukup untuk membuat suasana mendadak berubah tegang.Wawan bangkit lebih dulu. Saat membuka pintu, ia sejenak terdiam, tubuhnya kaku seperti tertahan waktu.Nayla yang menyusul ke depan langsung ikut terpaku.Di depan pintu berdiri seseorang yang mereka pikir sudah sepenuhnya menjadi masa lalu.Nadia.Perempuan itu tampak sangat berbeda dari terakhir kali Nayla melihatnya. Rambut panjangnya kini tergerai tak terurus. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan tubuhnya tampak lebih kurus dari sebelumnya.“Wawan…” ucap Nadia pelan. “Aku… aku cuma mau bicara sebentar. Tolong.”Wawan menoleh ke Nayla. Ada k

  • Madu untuk istriku   Bab 26

    Ayana kini berusia hampir tiga tahun. Tumbuh lincah, cerewet, dan makin pintar berkata-kata. Di usia itu, anak-anak biasanya belum paham apa itu luka hati atau konflik orang dewasa. Tapi Ayana punya kepekaan yang mengejutkan.Suatu malam, ketika Wawan membacakan buku dongeng sebelum tidur, Ayana menatap wajah ayahnya dan bertanya polos, “Papa, dulu papa pernah bikin mama sedih ya?”Wawan tertegun. Buku dongeng di tangannya seakan beku. Ia melirik Nayla yang berdiri di ambang pintu kamar, wajahnya tenang, tapi matanya menanti.“Kenapa Ayana tanya gitu?” Wawan balik bertanya sambil tersenyum.“Soalnya... waktu aku kecil banget, mama suka nangis. Aku nggak ingat, tapi kayak pernah denger suara mama di kamar. Pelan… kayak orang sedih.”Wawan menarik napas, memeluk tubuh mungil putrinya.“Iya, Ayana. Dulu papa pernah bikin mama sedih. Tapi papa juga belajar untuk nggak ngulangin itu lagi.”Ayana mengangguk pelan. “Sekarang Ayana sayang mama, sayang papa. Tapi Ayana juga nggak suka kalau ma

  • Madu untuk istriku   Bab 25

    Hujan reda menjelang pagi. Udara lembap masih menggantung, aroma tanah basah menyatu dengan wangi teh manis yang baru diseduh. Di ruang tengah rumah sederhana itu, Nayla duduk di depan laptopnya, membuka dasbor blognya yang kini bernama "Ibu Bernapas."Apa yang dulu hanya pelampiasan emosi dan keresahan seorang istri yang terluka, kini berubah menjadi gerakan kecil yang tumbuh cepat. Komunitas digital itu telah menjangkau ribuan perempuan—istri-istri yang merasa lelah, marah, kecewa, namun tak punya ruang untuk bersuara.Postingan Nayla yang terakhir tentang “kemenangan kecil suaminya atas godaan” dibaca lebih dari 200.000 kali. Komentar datang dari berbagai penjuru Indonesia. Ada yang mengagumi keteguhan hatinya, ada yang memuji kesabaran Wawan, dan—tak sedikit pula—yang mencibir, menyebutnya sebagai “istri bodoh yang terlalu memaafkan suami selingkuh.”Di antara komentar itu, satu DM masuk dari akun anonim bernama @realistrimandiri.> “Apa kamu pikir semua perempuan seberuntung kamu

  • Madu untuk istriku   Bab 24

    Langit mendung menutupi langit Sumatera sore itu. Wawan duduk di ruang kerjanya yang sederhana. Di hadapannya, layar laptop menampilkan blueprint resort dengan skema rumit, menguras konsentrasi. Tapi pikirannya tak bisa fokus.Sejak pertemuan pertama itu, Tiara makin sering menghubungi Wawan. Awalnya profesional, sebatas diskusi soal rancangan dan revisi. Tapi belakangan, mulai muncul kalimat-kalimat personal dalam percakapan mereka."Kamu dulu lebih kurus, ya. Sekarang kelihatan makin matang.""Kalau istrimu sibuk, boleh dong aku temani kamu survei lokasi.""Jangan terlalu keras sama diri sendiri, Wan. Kadang, kamu butuh teman buat sekadar melupakan beban."Wawan membacanya dengan napas berat. Ia tak pernah membalas godaan itu. Tapi ia juga belum memblokir atau menyetop. Diam-diam, ia merasa diuji. Bukan karena ia masih menyimpan rasa, tapi karena ia tahu… inilah titik paling lemah dari seorang lelaki: pujian dari perempuan yang tahu bagaimana menggoda tanpa terlihat jahat.Sementara

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status