Share

Madu untuk istriku
Madu untuk istriku
Author: Hikma Abdillah

Bab 1

last update Last Updated: 2025-06-28 13:05:52

Angin sore menyusup lewat celah-celah jendela ruang tamu. Wawan menghempaskan tubuhnya ke sofa dengan napas berat. Baju kerjanya masih menempel, belum sempat diganti, dan keringat masih membasahi bagian leher. Di pangkuannya, gajinya hari itu hanya tersisa dua lembar lima puluh ribuan. Sisa untuk bayar utang, listrik, dan susu Ayana.

“Udah pulang?” suara Nayla terdengar datar dari dapur. Ia tak menoleh.

“Iya,” jawab Wawan pelan.

Ayana merengek dari kamar. Tangisnya membuat dada Wawan terasa sesak. Ia berdiri, berjalan cepat ke kamar, lalu mengangkat putri kecilnya yang sudah mulai rewel karena lapar atau popoknya basah.

“Nay, Ayana nangis. Susunya habis, kan?” tanyanya dari dalam kamar.

Nayla muncul sambil mengaduk-aduk panci. “Ya kamu kan tahu. Aku udah bilang dari kemarin. Kamu yang kerja, masak aku juga harus mikirin semuanya?”

Wawan menunduk. Ia tahu akhir-akhir ini uang selalu jadi pemicu pertengkaran. Tapi hatinya tetap perih setiap kali Nayla melempar kalimat seolah semua beban rumah tangga ada di pundaknya seorang.

“Aku cuma punya seratus ribu. Nanti aku beliin susunya, ya,” ucap Wawan pelan.

Nayla mendengus. “Seratus ribu? Mana cukup buat susu seminggu?”

Wawan diam. Ia tahu, Nayla tak akan puas. Sejak melahirkan Ayana, istrinya berubah. Tak ada lagi belaian hangat, tak ada pelukan, bahkan sentuhan pun jadi hal yang langka. Tiap malam ia hanya menatap langit-langit kamar, memeluk hasrat yang tak tersalurkan. Ia mencoba memahami, mungkin karena kelelahan. Tapi bulan demi bulan berlalu, dan Wawan tak tahu sampai kapan harus terus menahan.

**

Malam itu, setelah Nayla dan Ayana tidur, Wawan duduk sendirian di depan rumah. Ia membuka ponselnya dan tanpa sadar membuka media sosial. Jari-jarinya menggulir tanpa arah, sampai satu nama muncul di layar: Nadia.

Foto profil wanita itu masih menawan seperti dulu. Wawan terpaku. Hatinya bergetar, bukan karena cinta, tapi karena kenangan yang perlahan mencuat dari dasar ingatan. Ia tak berniat membuka obrolan, tapi entah bagaimana, jemarinya mengetik: “Hai, Nad. Lama nggak ngobrol. Apa kabar?”

Pesan terkirim. Wawan menarik napas panjang.

Detik demi detik berlalu, hingga akhirnya sebuah balasan muncul:

“Hai, Wan... kamu? Astaga, aku nggak nyangka kamu masih ingat aku.”

Dan dari sana, pintu yang seharusnya tetap tertutup… perlahan mulai terbuka.

---

Pagi itu, aroma bawang tumis menyeruak dari dapur. Tapi tak seperti pagi-pagi yang dulu pernah mereka lalui bersama, kali ini rumah itu sunyi. Tak ada obrolan hangat, tak ada tawa kecil menyambut hari. Ayana yang baru bangun, digendong Nayla dengan wajah letih. Matanya sembab—entah karena lelah atau menangis diam-diam semalam.

Wawan duduk di meja makan, memandangi nasi putih dan telur dadar yang diletakkan Nayla di hadapannya. Ia menatap istrinya, ingin mengucap terima kasih, tapi bibirnya kelu. Semuanya terasa hambar. Bukan karena masakan Nayla, tapi karena hatinya tak lagi bisa mencicipi kebahagiaan.

“Aku ada lembur hari ini,” ucap Wawan akhirnya, memecah sunyi.

Nayla tidak menjawab. Ia hanya mengangguk, lalu duduk di sofa, menidurkan Ayana di pelukannya. Wawan memandangi wanita yang dulu ia puja mati-matian. Wanita yang dulu membuatnya merasa jadi pria paling beruntung. Tapi kini Nayla seperti cangkang kosong. Dingin. Tak tersentuh.

Beberapa menit berlalu tanpa kata. Wawan akhirnya berdiri, mengenakan jaket dan tas kecilnya.

“Nay…,” panggilnya pelan.

Nayla menoleh.

“Kalau aku pulang malam, kamu jangan nunggu, ya. Langsung istirahat aja.”

Nayla hanya menjawab dengan anggukan. Bahkan senyum pun tak sempat tercipta di wajahnya.

**

Di luar, udara pagi terasa segar. Tapi Wawan merasa tercekik. Kepalanya penuh. Ia merasa seperti pria gagal. Suami tak berguna. Ayah yang tak mampu memberi yang terbaik. Namun di antara semua beban itu, ada satu hal yang membuatnya merasa… hidup.

Nadia.

Semalam mereka mengobrol cukup lama. Nadia masih seperti dulu: lembut, ramah, dan tahu bagaimana membuat Wawan merasa berharga. Bedanya, kini Nadia jauh lebih dewasa. Ia menjalankan bisnis butik mewah warisan keluarganya. Mobil, rumah, semuanya ada. Tapi Nadia mengaku kesepian. Tak menikah, dan baru saja putus dengan pacar yang berselingkuh.

“Kadang aku iri sama kamu, Wan. Kamu udah punya keluarga kecil, anak, istri. Itu kan impian semua perempuan.”

Wawan tertawa kecut semalam saat membaca kalimat itu. Kalau saja Nadia tahu betapa rapuhnya rumah tangga yang ia jalani, mungkin wanita itu tak akan iri sedikit pun.

Pagi ini, Wawan tak langsung ke tempat kerja. Ia memutar arah menuju sebuah kedai kopi kecil yang tenang di pinggiran kota. Nadia sudah duduk di sudut, mengenakan blouse putih dan celana kain hitam. Elegan seperti biasa.

“Wan…” sapanya pelan sambil berdiri dan menyambut Wawan dengan senyuman lebar.

Hati Wawan mencelos. Entah kenapa, senyuman itu menghangatkan sesuatu yang sudah lama dingin dalam dirinya.

“Maaf, aku agak pagi,” ucap Nadia sambil duduk kembali.

“Nggak apa-apa. Aku juga butuh tempat buat mikir,” jawab Wawan, jujur.

Nadia menatapnya dengan pandangan penuh simpati. “Kamu nggak kelihatan bahagia, Wan. Padahal kamu dulu tuh pria paling optimis yang aku kenal.”

Wawan menghela napas. “Kadang hidup nggak sesuai ekspektasi.”

“Apa Nayla masih sesibuk dulu? Masih sibuk urus Ayana?” tanya Nadia hati-hati.

Wawan tak langsung menjawab. Ia menunduk, menggenggam cangkir kopi yang masih mengepul. Lalu berkata lirih, “Nayla berubah, Nad. Sejak hamil, semuanya berubah. Dia selalu capek, selalu dingin. Dan sekarang… aku bahkan nggak ingat kapan terakhir kali kami benar-benar bicara.”

Nadia memegang tangan Wawan di atas meja. “Kamu nggak pantas diperlakukan kayak gitu. Kamu kerja keras. Kamu ayah yang bertanggung jawab.”

Sentuhan itu lembut. Tapi juga berbahaya.

“Jangan bikin aku nyaman, Nad,” bisik Wawan nyaris tak terdengar.

Tapi Nadia hanya tersenyum. “Kadang yang kita butuhkan cuma tempat untuk pulang. Bukan secara fisik, tapi hati yang bisa nerima kita seutuhnya.”

**

Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan itu. Wawan mulai sering lembur. Tapi bukan di kantor—melainkan bersama Nadia. Ia tak pernah merencanakan untuk selingkuh. Tapi semua berjalan begitu alami. Pelukan pertama itu terjadi di dalam mobil, saat hujan deras mengguyur jalanan. Nadia menangis karena masalah pribadi, dan Wawan menenangkannya.

Lalu bibir mereka bersatu. Rasa bersalah menghantam keras, tapi tubuh Wawan seperti tak bisa berhenti.

Setiap pulang ke rumah, ia semakin sulit menatap mata Nayla. Tapi anehnya, Nayla tak pernah bertanya. Ia tak peduli Wawan pulang larut malam, tak menanyakan makan malam, bahkan tak lagi mengomel soal uang.

Di satu sisi, Wawan merasa bebas. Tapi di sisi lain, ia seperti hidup di dua dunia: satu dunia di mana ia hanya kepala rumah tangga yang gagal, dan satu dunia lain di mana ia kembali jadi pria yang dicintai.

Namun semuanya tidak bisa selamanya tersembunyi.

Suatu malam, Wawan lupa mengunci ponselnya. Ia tertidur dengan posisi ponsel terbuka di samping tempat tidur. Dan untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, Nayla melihat isi hati suaminya—melalui percakapan W******p yang panjang dengan Nadia.

Pesan terakhir yang terbuka:

“Aku sayang kamu, Wan. Andai kita bisa hidup bersama…”

Air mata Nayla jatuh tanpa suara. Ia tak membangunkan Wawan. Ia tak marah. Ia hanya duduk diam di sudut kamar, memeluk Ayana yang tidur dengan damai. Hatinya remuk, tapi ia tahu luka itu bukan datang tiba-tiba.

Ia menyadari betapa mereka berdua sudah lama kehilangan arah.

**

Pagi harinya, saat Wawan bangun, Nayla sedang menyuapi Ayana. Ia tampak biasa. Tak ada amarah. Tak ada konfrontasi.

Wawan duduk perlahan. “Pagi…”

“Pagi,” jawab Nayla, tanpa menoleh.

Lalu hening.

Hingga Nayla meletakkan sendok dan berkata, “Kamu cinta dia?”

Wawan membeku. Detak jantungnya berdegup keras. Tangannya dingin.

“Aku nggak sengaja baca… Aku nggak sengaja tahu. Tapi aku pengen dengar langsung dari kamu,” ujar Nayla, suaranya datar tapi menusuk.

Wawan menunduk. “Aku… nggak tahu, Nay.”

“Jawaban yang paling menyakitkan adalah ketidaktahuan, Wan,” kata Nayla lirih. “Kalau kamu udah nggak bahagia, kenapa nggak bilang dari awal? Kenapa harus cari pelarian?”

Wawan tak menjawab. Karena apa pun yang dia ucapkan tak akan menghapus luka itu.

Nayla berdiri, lalu berjalan masuk ke kamar. Ia tak menangis, tapi punggungnya gemetar. Sementara Wawan duduk membatu, memikirkan satu hal yang menakutkan:

Ia mungkin telah menghancurkan satu-satunya rumah yang pernah ia miliki.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Madu untuk istriku   Bab 6

    Pagi itu, hujan turun dengan deras. Suara rintik-rintik air di atap rumah seolah ikut menggambarkan suasana hati Wawan yang sedang gelisah. Hujan mengurungnya dalam ruang kecil pikiran yang penuh pergolakan.Sudah hampir dua minggu sejak Nadia mulai intens mengirim pesan dan mencoba menghubunginya. Wawan berusaha mengabaikan, tapi ada kalanya rasa rindu dan penyesalan menyelinap di sela-sela kesibukan.Ia tahu, jalan yang ia pilih sekarang penuh risiko. Ia bisa kehilangan segalanya—istri, anak, dan rasa hormat diri.Di sisi lain, Nayla juga tak lepas dari pergulatan batin. Ia mulai merasa ada yang berubah dalam diri suaminya. Waktu yang dulunya penuh perhatian kini mulai berkurang. Suara telepon yang tiba-tiba berbunyi di tengah malam membuatnya tidak nyaman.Pagi itu, Nayla duduk di depan meja makan dengan wajah serius. Wawan datang membawa segelas kopi, mencoba tersenyum, tapi mata mereka saling bertemu tanpa kata.“Nay…” Wawan memulai, suaranya berat.“Wan, kita harus bicara,” Nayl

  • Madu untuk istriku   Bab 5

    Beberapa bulan setelah upaya perbaikan rumah tangga itu, Wawan mulai merasa beban hidupnya semakin berat. Tekanan ekonomi yang tak kunjung reda, tanggung jawab sebagai suami dan ayah, serta rasa bersalah yang masih menjerat hatinya.Suatu sore, Wawan menerima telepon dari nomor yang tak dikenalnya. Saat mengangkat, suara Nadia terdengar jelas di ujung telepon.“Wan, lama nggak dengar kabar. Aku cuma mau tahu kamu baik-baik saja.”Jantung Wawan berdegup kencang. Rasa takut sekaligus penasaran berkecamuk di hatinya. Ia berusaha menenangkan diri.“Aku baik, Ni. Terima kasih sudah tanya.”Nadia tertawa kecil. “Kamu tahu, aku selalu percaya kamu bisa bangkit. Tapi aku juga nggak mau kamu terlalu keras pada dirimu sendiri.”Wawan terdiam. Kata-kata Nadia seperti racun manis yang kembali menusuk.“Aku harus bilang, aku sedang berjuang keras demi Nayla dan Ayana,” jawab Wawan pelan.Nadia bergumam, “Kalau begitu, aku nggak mau ganggu. Tapi kalau kamu butuh teman bicara, aku selalu ada.”Telep

  • Madu untuk istriku   Bab 4

    Waktu terus berjalan. Hubungan Wawan dan Nayla perlahan-lahan mulai membaik. Ada gelak tawa kecil yang kembali hadir di antara obrolan sarapan. Ada genggaman tangan yang mulai terasa hangat setiap mereka menyeberang jalan bersama Ayana. Rumah yang dulunya dingin kini mulai terasa hidup.Namun, tidak semua luka bisa sembuh begitu saja. Ada bekas yang kadang perih saat disentuh.Suatu sore, saat Nayla membuka aplikasi pesan di ponselnya, ia tak sengaja melihat notifikasi lama—sebuah chat dari nomor yang dulu disimpan dengan nama “Nadia 🥀”. Rasa penasaran muncul. Ia tahu Wawan sudah memutus hubungan itu. Tapi tetap saja, hatinya mencubit.Dengan jari gemetar, ia membuka isi percakapan lama itu.> “Aku senang bisa ketemu kamu lagi, Wan. Dunia ini kecil, ya?”> “Iya. Kamu masih seperti dulu. Ceria.”> “Dan kamu masih seperti dulu juga… hangat.”Nayla mengembuskan napas panjang. Percakapan itu sudah lama, sebelum semua pengakuan terjadi. Tapi membaca kata-kata itu membuat hatinya terasa se

  • Madu untuk istriku   Bab 3

    Sudah dua bulan sejak malam pengakuan itu.Hari-hari yang Wawan dan Nayla jalani bukan sepenuhnya damai. Ada hari-hari di mana Nayla masih terdiam lama, menatap kosong ke arah dapur sambil menggoyangkan sendok tanpa sadar. Ada pula hari di mana Wawan merasa ingin menyerah karena luka masa lalu selalu menyelinap dalam setiap percakapan.Namun, ada satu perbedaan besar: mereka kini mencoba. Bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi untuk menciptakan masa depan baru, meski dengan fondasi yang sempat retak.Pagi ini, Wawan sedang mengganti popok Ayana. Tangannya canggung, tapi ia tetap berusaha. Ayana tertawa kecil, mempermainkan mulutnya dengan jari. Nayla yang sedang membuat bubur di dapur mencuri pandang dan tersenyum kecil. Wawan melihat senyum itu. Singkat, tapi cukup membuat hatinya berdesir.“Aku masak bubur ayam hari ini. Mau?” tanya Nayla.Wawan mengangguk. “Kalau buatan kamu, pasti mau.”Senyum Nayla melebar, tapi masih menyimpan hati-hati. Ia belum sepenuhnya percaya, belum sepenu

  • Madu untuk istriku   Bab 2

    Wawan tidak bisa tidur malam itu.Satu kata dari Nayla terus terngiang di telinganya: "Kalau kamu udah nggak bahagia, kenapa nggak bilang dari awal?"Ia meringkuk di tepi ranjang, sementara Nayla tidur membelakangi, memeluk Ayana erat-erat. Tak ada percakapan, tak ada air mata—tapi justru itulah yang paling menakutkan. Diam Nayla adalah tanda bahwa ia sudah melewati batas kecewa. Bukan lagi menanti penjelasan. Hanya menunggu kehancuran.Wawan ingin berkata, ingin menjelaskan, ingin meminta maaf. Tapi bibirnya seperti terkunci. Hatinya sendiri masih gamang. Ia memang marah dan kecewa pada Nayla—atas penolakan demi penolakan, atas dinginnya perlakuan yang terasa seperti tembok tak terlihat di rumah mereka. Tapi apakah semua itu pantas dibalas dengan pengkhianatan?Pagi datang tanpa suara. Seperti biasa, Nayla bangun lebih dulu, menyusui Ayana di ruang tamu. Tak ada sapa, tak ada tatap. Wawan hanya bisa memandangi punggung istrinya yang tampak kurus, seakan kelelahan telah menggerogoti t

  • Madu untuk istriku   Bab 1

    Angin sore menyusup lewat celah-celah jendela ruang tamu. Wawan menghempaskan tubuhnya ke sofa dengan napas berat. Baju kerjanya masih menempel, belum sempat diganti, dan keringat masih membasahi bagian leher. Di pangkuannya, gajinya hari itu hanya tersisa dua lembar lima puluh ribuan. Sisa untuk bayar utang, listrik, dan susu Ayana.“Udah pulang?” suara Nayla terdengar datar dari dapur. Ia tak menoleh.“Iya,” jawab Wawan pelan.Ayana merengek dari kamar. Tangisnya membuat dada Wawan terasa sesak. Ia berdiri, berjalan cepat ke kamar, lalu mengangkat putri kecilnya yang sudah mulai rewel karena lapar atau popoknya basah.“Nay, Ayana nangis. Susunya habis, kan?” tanyanya dari dalam kamar.Nayla muncul sambil mengaduk-aduk panci. “Ya kamu kan tahu. Aku udah bilang dari kemarin. Kamu yang kerja, masak aku juga harus mikirin semuanya?”Wawan menunduk. Ia tahu akhir-akhir ini uang selalu jadi pemicu pertengkaran. Tapi hatinya tetap perih setiap kali Nayla melempar kalimat seolah semua beban

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status