Hujan turun deras di kota New York malam itu. Jalanan basah, lampu-lampu jalan berpendar redup, menciptakan bayangan samar di trotoar yang lengang. Aurora DeLuca menarik mantel medisnya lebih erat, berusaha mengusir dingin yang merayapi kulitnya. Ia baru saja menyelesaikan shift panjang di rumah sakit dan hanya ingin pulang, menenggelamkan diri dalam tidur setelah seharian berurusan dengan pasien dan kondisi darurat.
Langkah kakinya tergesa-gesa melewati gang kecil yang menjadi jalan pintas ke tempat parkir. Ia sudah terbiasa mengambil rute ini meski banyak rekannya memperingatkan bahwa gang ini terlalu sepi dan berbahaya. Tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda. BANG! Suara tembakan menggema di udara. Aurora sontak berhenti, napasnya tercekat. Dalam sekejap, tubuhnya tegang, matanya mencari sumber suara. Di kejauhan, di balik bayangan gedung tua, ia melihat sosok seseorang yang tersandar di dinding bata. Aurora bisa melihat darah merembes dari bahunya, bercampur dengan air hujan yang turun membasahi aspal. Sosok itu tampak kesakitan, tetapi matanya tetap tajam, penuh kewaspadaan. Aurora tahu seharusnya dia berbalik dan pergi. Ini bukan urusannya. Tapi sebagai dokter, nalurinya lebih kuat daripada ketakutannya. Ia menghela napas dan melangkah maju. "Kau butuh bantuan," katanya tegas, berlutut di samping pria itu. Mata pria itu menatapnya tajam, penuh kecurigaan. "Siapa kau?" suaranya berat, meski napasnya tersengal. "Aku dokter," jawab Aurora cepat. Ia merogoh kantong mantelnya, mengeluarkan kain kasa dan perban darurat yang selalu ia bawa. "Kau harus membiarkan aku menghentikan pendarahan ini, atau kau akan mati kehabisan darah sebelum sempat keluar dari gang ini." Pria itu mengerjap, seolah menimbang kata-kata Aurora. Setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan, meski sorot matanya tetap penuh waspada. Aurora buru-buru merobek lengan jas mahalnya dan menemukan luka tembak yang cukup dalam di bahunya. Darah masih mengalir deras. Dengan cekatan, ia menekan kain kasa ke luka itu, membuat pria tersebut mendesis pelan. "Sakit?" tanyanya sambil meliriknya. Pria itu tersenyum samar. "Aku pernah merasakan yang lebih buruk." Aurora mengabaikan jawabannya dan terus bekerja. Tangannya lincah membebat luka, berusaha menghentikan pendarahan secepat mungkin. Saat ia sedang fokus, ia merasakan tatapan pria itu yang terus mengawasinya. "Siapa namamu?" tanyanya tiba-tiba. Aurora ragu sejenak sebelum menjawab, "Aurora." Pria itu mengangguk pelan, seolah menghafal namanya. "Aku Leonardo. Tapi orang-orang memanggilku Leo." Aurora tidak terlalu memikirkan namanya saat itu. Yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana cara menyelamatkan nyawa pria ini. Namun, andai ia tahu siapa pria itu sebenarnya, mungkin ia akan berpikir dua kali sebelum membantunya. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Aurora akhirnya menyelesaikan perbannya. "Kau harus pergi ke rumah sakit. Luka ini cukup dalam, dan—" Leo tiba-tiba tertawa kecil, meski suaranya terdengar lemah. "Rumah sakit bukan tempat yang baik untukku, dokter." Aurora menatapnya dengan bingung. "Apa maksudmu?" Sebelum Leo sempat menjawab, suara langkah kaki terdengar mendekat. Aurora menoleh dan melihat beberapa pria berpakaian hitam berjalan ke arah mereka. Nalurinya langsung berteriak bahaya. "Leo!" Salah satu pria itu berseru, tampak panik. "Kau baik-baik saja?" Leo mengangguk lemah. "Aku baik-baik saja, Lorenzo." Lorenzo, pria yang tampak lebih tua dengan wajah keras dan ekspresi penuh waspada, menatap Aurora dengan tajam. "Siapa dia?" Leo menatap Aurora sejenak sebelum menjawab, "Dia menyelamatkanku." Lorenzo masih terlihat tidak percaya, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya mengisyaratkan kepada pria lain untuk membantu Leo berdiri. Aurora melihat Leo bangkit dengan susah payah. Ia seharusnya merasa lega karena sudah melakukan tugasnya, tetapi ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman. "Aku bisa mengantarmu ke rumah sakit," tawarnya, meski ia tahu jawabannya akan tetap sama. Leo menatapnya dengan mata gelapnya yang tajam. "Aku sudah bilang, rumah sakit bukan tempat yang aman untukku." Aurora mengernyit. "Kenapa? Kau ini siapa sebenarnya?" Leo tidak menjawab. Sebaliknya, ia melangkah mendekat, membuat Aurora sedikit mundur tanpa sadar. Tangannya terangkat, menyentuh lembut dagu Aurora, membuatnya merinding. "Kau terlalu polos untuk tahu jawabannya, Aurora," bisiknya. "Tapi aku akan memastikan kita bertemu lagi." Aurora tidak punya kesempatan untuk bertanya lebih lanjut. Dalam sekejap, Leo dan anak buahnya sudah menghilang di balik bayangan malam. Ia berdiri diam di tempat, mendengar suara deru mobil menjauh. Malam itu, Aurora mengira pertemuannya dengan Leo hanyalah kebetulan belaka. Yang ia tidak tahu, pertemuan itu baru saja mengikat nasibnya dengan dunia yang penuh bahaya. Dunia milik Leonardo Moretti—bos mafia paling berbahaya di New York.Dua hari telah berlalu sejak kehancuran The Core. Eden gempar. Informasi tentang proyek rahasia yang dijalankan oleh Sylvarin menyebar ke berbagai penjuru dunia. Media internasional memberitakan eksperimen biogenetik dan manipulasi manusia yang dilakukan oleh kelompok rahasia bernama Silsilah Pertama. Nama-nama lama yang selama ini hilang dari sejarah kembali mencuat.Namun, bagi Leo, kemenangan itu terasa sementara.Di markas utama, Leo berdiri di ruang strategi bersama Aurora, Rania, Matteo, dan Elena. Peta kota Eden terpampang di layar besar, diselimuti titik-titik merah yang terus bertambah.“Aku sudah periksa semua jalur komunikasi bawah tanah,” kata Rania. “Dan ini bukan hanya sisa-sisa pasukan Sylvarin. Ada pergerakan baru. Sistem mereka aktif kembali.”Aurora menyipitkan mata. “Apa maksudmu?”Rania menghela napas dan mengetuk layar. “Ada penyusup dalam sistem kita. Seseorang dari dalam mencoba merebut kembali kendali atas jaringan Eden. Aku tidak yakin siapa... tapi kode enkri
Langit di utara Eden dipenuhi awan kelabu, menandai bahwa malam ini bukan malam biasa. Konvoi kecil yang terdiri dari tiga kendaraan lapis baja berhenti di batas hutan mati—area terlarang yang bahkan oleh penjaga Eden dianggap sebagai “zona tak kembali.” Tapi di sanalah The Core—fasilitas rahasia tempat Sylvarin, sosok misterius dari Silsilah Pertama, menjalankan eksperimen genetika tanpa batas.Leo turun dari kendaraan, helm hitam dengan teknologi taktis terpasang rapat di kepalanya. Di belakangnya, Aurora mengecek perlengkapan tempurnya dengan tenang. Rania berada di mobil kedua, membawa peralatan enkripsi dan komunikasi. Elena dan Marco memimpin pasukan infiltrasi.“Sensor thermal menunjukkan jalur terowongan ini masih aktif,” ujar Rania sambil menatap tablet di tangannya. “Tapi sinyal gangguan sudah terasa. Kemungkinan besar kita akan buta begitu masuk.”Leo memandang lubang masuk kanal yang tertutup semak dan besi tua. Bau lembab dan karat menyengat dari dalam.“Kita masuk dalam
Kapsul kaca tempat Kirana Vale terbaring perlahan dibuka, disertai desisan udara yang dilepaskan dari sistem pengaman biologis. Di ruangan medis markas bawah tanah mereka, Rania dan dua teknisi bekerja cepat. Aurora berdiri tak jauh dari ranjang darurat, jari-jarinya saling menggenggam erat. Leo berada di sampingnya, matanya tak lepas dari sosok wanita yang mulai menunjukkan tanda-tanda kesadaran.“Kita berhasil menstabilkan tekanan darahnya,” kata Rania pelan. “Suhu tubuhnya kembali normal. Tapi... masih ada efek samping dari masa pembekuan. Ia mungkin tidak langsung ingat semuanya.”Aurora menahan napas. “Berapa lama dia bisa mulai bicara?”“Beberapa menit ke depan, jika semua berjalan baik.”Suasana di ruangan itu menegang. Setiap detik terasa seperti selamanya. Dan akhirnya, kelopak mata Kirana bergerak, lalu perlahan terbuka.Matanya yang hijau tajam menatap kosong pada langit-langit ruangan, sebelum berpindah ke wajah putrinya. Ada keraguan di sana... lalu ketakutan... lalu air
Pintu logam berkarat itu bergemuruh pelan saat terbuka, memperlihatkan lorong sempit yang dilapisi tembok logam usang. Bau besi tua dan lembap langsung menyergap penciuman Leo dan timnya. Di balik lorong itu, mereka tahu, tersembunyi rahasia yang bisa mengubah nasib Eden.Leo melangkah pertama. Lampu sorot helmnya menyapu dinding yang dipenuhi bekas goresan—entah dari alat kerja atau sisa-sisa pertempuran masa lalu. Marco dan dua anggota lain membuntuti dengan senjata terangkat. Mereka tahu: satu kesalahan saja, dan sistem pertahanan Eden yang belum aktif selama bertahun-tahun bisa saja menyala kembali.“Aku menangkap energi panas di depan,” bisik Marco sambil memeriksa alat pendeteksi. “Tapi... tidak stabil. Seperti—”“—Seperti ada yang mencoba menyalakan sistem dari dalam,” potong Leo.Mereka mempercepat langkah, menuruni tangga spiral menuju ruang pusat kendali yang disebut dalam pesan Cassian. Semakin dalam mereka melangkah, semakin jelas terlihat bahwa tempat ini belum mati—ia ha
Udara pagi di sekitar Eden terasa asing bagi Leo, seakan dunia mencoba menjadi normal setelah malam penuh ledakan dan pengejaran. Tapi ia tahu, ketenangan ini hanyalah jeda—bukan akhir. Di atas reruntuhan fasilitas tua tempat mereka meloloskan diri semalam, Leo berdiri menatap horizon, matanya tajam menembus kabut tipis.Aurora berdiri beberapa langkah di belakangnya, mengenakan jaket tebal dan membawa secangkir kopi panas. Tangannya yang gemetar tak bisa menipu siapa pun—perasaan waswas dan rasa bersalah masih membekas sejak mereka meninggalkan Cassian di ruang bawah tanah Eden.“Aku tak bisa tidur,” ucap Aurora pelan, menyodorkan cangkir ke Leo.Leo menerimanya, mengangguk tanpa bicara. Mereka menikmati keheningan itu sejenak, hingga suara langkah kaki mendekat. Rania dan Lorenzo muncul dari balik reruntuhan, wajah mereka lelah, tapi mata mereka menyala oleh kegigihan yang sama.“Kami berhasil memulihkan sebagian peta jaringan lama,” kata Rania, menyerahkan tablet ke Leo. “Tapi... a
Udara pagi di sekitar Eden terasa asing bagi Leo, seakan dunia mencoba menjadi normal setelah malam penuh ledakan dan pengejaran. Tapi ia tahu, ketenangan ini hanyalah jeda—bukan akhir. Di atas reruntuhan fasilitas tua tempat mereka meloloskan diri semalam, Leo berdiri menatap horizon, matanya tajam menembus kabut tipis.Aurora berdiri beberapa langkah di belakangnya, mengenakan jaket tebal dan membawa secangkir kopi panas. Tangannya yang gemetar tak bisa menipu siapa pun—perasaan waswas dan rasa bersalah masih membekas sejak mereka meninggalkan Cassian di ruang bawah tanah Eden.“Aku tak bisa tidur,” ucap Aurora pelan, menyodorkan cangkir ke Leo.Leo menerimanya, mengangguk tanpa bicara. Mereka menikmati keheningan itu sejenak, hingga suara langkah kaki mendekat. Rania dan Lorenzo muncul dari balik reruntuhan, wajah mereka lelah, tapi mata mereka menyala oleh kegigihan yang sama.“Kami berhasil memulihkan sebagian peta jaringan lama,” kata Rania, menyerahkan tablet ke Leo. “Tapi... a