Alya tidak bisa tidur. Permintaan Arka semalam terus berputar di kepalanya seperti film rusak. Menjadi "partner"-nya? Apa maksudnya? Kepalanya pusing memikirkan semua kemungkinan terburuk. Bagaimana jika ia mempermalukan Arka di depan klien penting? Bagaimana jika ia salah bicara atau salah menggunakan garpu? Gambaran dirinya tersandung gaun mahal di tengah restoran mewah melintas di benaknya, membuatnya meringis ngeri.
Tapi di sisi lain, ada suara kecil di hatinya yang berbisik. Ini adalah kesempatan. Kesempatan untuk membuktikan bahwa ia bisa diandalkan, bukan hanya sebagai anak magang, tapi sebagai seseorang yang dipercaya oleh Arka. Ini juga caranya membalas kebaikan pria itu. Setelah bergulat dengan pikirannya sendiri hingga larut malam, Alya akhirnya sampai pada satu kesimpulan pasrah: ia tidak punya alasan kuat untuk menolak. Keesokan paginya, ia turun ke dapur dengan mata panda dan perasaan pasrah. Ia terkejut mendapati Arka sudah ada di sana, berdiri di depan mesin kopi yang terlihat lebih rumit dari panel kendali pesawat. Pria itu masih mengenakan kaus hoodie dan celana panjang gelap, rambutnya tampak sedikit basah dan wangi sampo tercium samar-samar. “Mau kopi?” tawar Arka tiba-tiba, tanpa menoleh. Rupanya ia menyadari kehadiran Alya. Alya, yang masih mengumpulkan nyawa, langsung panik. “Eh... b-bisa, Pak. Tapi jangan yang bikin deg-degan. Saya udah deg-degan sendiri dari semalem.” Kalimat polos itu sukses membuat Arka berhenti sejenak. Ia melirik Alya dari balik bahunya, dan dengan tekad yang sudah bulat, Alya memberanikan diri. “Pak… soal permintaan Bapak semalam… Baik, Pak. Saya… saya bersedia menemani Bapak ke acara makan malam itu.” Arka berbalik, menatapnya sambil bersandar pada meja dapur. Ia mengangguk pelan, seolah sudah menduga jawaban itu. “Bagus. Keputusan yang tepat.” Ia kemudian menyerahkan secangkir kopi yang baru ia buat kepada Alya. “Kalau begitu, hari ini sepulang kerja, Mbak Rini akan menemanimu mencari gaun. Saya sudah siapkan anggarannya. Pilih saja yang kamu suka.” Alya menerima cangkir itu. “Soal gaunnya… harus yang seperti apa ya, Pak?” Arka menyesap kopinya, matanya menatap Alya dari atas ke bawah sekilas. “Jangan yang terlalu tertutup... tapi jangan juga terlalu terbuka. Pilih gaun yang membuatmu terlihat cantik dan berkelas… tapi tidak terlihat murahan.” Alya nyaris tersedak udara. “Itu… penjelasan paling membingungkan yang pernah saya dengar, Pak,” ceplos Alya. Di luar dugaannya, Arka tertawa. Bukan senyum sinis, tapi tawa tulus yang ringan dan renyah. Suara tawa yang membuat seluruh aura dingin di sekelilingnya seolah retak. Alya terpaku. Arka yang tertawa seratus kali lebih berbahaya daripada Arka yang dingin. Menyadari keterkejutan Alya, Arka cepat-cepat berdeham. “Pokoknya, buat klien saya terkesan, tapi jangan buat pria lain salah fokus. Kamu mengerti,” ujarnya, lalu berjalan pergi, meninggalkan Alya dengan jantung berdebar kencang. Sore harinya, sesuai janji, Alya pergi bersama Mbak Rini ke sebuah butik mewah. Ia nyaris pingsan melihat label harga, tapi Mbak Rini dengan sabar menenangkannya. Pilihan jatuh pada sebuah midi dress berwarna biru dongker yang sederhana namun elegan. Saat melihat pantulan dirinya di cermin, Alya nyaris tidak percaya. Ia terlihat... dewasa. Malam harinya, kamar Alya disulap menjadi ruang rias darurat. Dengan bantuan tutorial dari internet dan polesan tangan Mbak Rini, ia siap. Saat ia menuruni tangga, Arka sudah menunggunya di ruang tengah. Pria itu tampak luar biasa dalam setelan jas hitam yang pas di badan. Saat Arka melihatnya, ia terdiam sejenak. Tatapannya intens dan sulit diartikan. Tidak ada pujian, tapi keheningannya sudah cukup membuat pipi Alya memanas. “Sudah siap?” hanya itu yang ia katakan, suaranya sedikit lebih dalam dari biasanya. Restoran tempat mereka makan malam terletak di puncak salah satu hotel tertinggi di Jakarta, dengan pemandangan kerlip lampu kota yang spektakuler. Pasangan Tanaka, mitra dari Jepang, ternyata sangat ramah. Istri Pak Tanaka tampak menyukai kepolosan dan senyum tulus Alya. Alya berhasil menjalankan perannya dengan baik, menjadi teman mengobrol yang menyenangkan. Dari sudut matanya, ia bisa melihat Arka sesekali meliriknya dengan tatapan yang… sulit dijelaskan. Ada kelegaan, dan mungkin, sedikit rasa bangga. Saat acara hampir berakhir, Arka mencondongkan tubuhnya. “Kamu melakukannya dengan sangat baik,” bisiknya. Pujian langsung itu seperti sengatan listrik bagi Alya. Jantungnya berdebar kencang, dan senyum tulus terkembang di wajahnya. “Terima kasih, Pak.” Mungkin malam ini akan berakhir dengan sempurna, pikirnya. Namun, saat mereka berjalan keluar dari restoran, seorang wanita cantik dengan gaun merah menyala tiba-tiba berhenti di hadapan mereka. Wajahnya yang familier dari majalah mode itu tampak terkejut, lalu berubah menjadi senyum lebar yang sangat akrab. “Arka? Ya Tuhan, ini beneran kamu?” sapanya, suaranya terdengar manja. Arka tampak sedikit terkejut. “Dian. Kamu di sini juga?Perjalanan dari Bandung ke Garut terasa sangat berbeda dari semua perjalanan yang pernah Alya lalui bersama Arka. Keheningan di dalam mobil tidak lagi terasa dingin atau canggung. Keheningan itu kini terisi oleh sebuah tujuan bersama yang genting, sebuah misi yang membuat mereka berdua sama-sama tegang.Alya lebih banyak menatap ke luar jendela, melihat pemandangan kota yang perlahan berganti menjadi hamparan sawah hijau. Pikirannya berkecamuk. Apa yang akan Ibu katakan? Apa Ibu akan membenciku? Apa Ibu akan mengusirku dan pria di sampingku ini?Arka sepertinya bisa merasakan kegelisahannya. Di tengah perjalanan, tangannya yang besar terulur dan dengan ragu-ragu menyentuh punggung tangan Alya yang terkepal di pangkuannya. Alya sedikit tersentak, tapi kali ini ia tidak menarik tangannya. Ia justru membiarkan tangan Arka menggenggamnya, sebuah gestur kecil yang memberikan kekuatan luar biasa.Saat mobil mewah itu kembali memasuki jalanan desanya yang sempit, semua mata kembali tertuju p
Mereka kembali ke suite hotel dalam keheningan yang sarat makna. Gema dari detak jantung kecil itu seolah masih tertinggal di udara, mengubah segalanya. Alya memegang sebuah amplop kecil berisi beberapa lembar foto USG hitam putih. Benda itu terasa begitu nyata, begitu berat di tangannya.Di dalam kamar hotel yang luas, Alya duduk di tepi ranjang, menatap lekat-lekat gambar buram di dalam foto itu. Sebuah titik kecil. Sebuah kehidupan. Anaknya. Air matanya kembali mengalir, tapi kali ini bukan karena putus asa. Ini adalah air mata yang rumit—campuran antara takut, haru, dan secercah rasa sayang yang baru mulai tumbuh. Naluri keibuannya yang selama ini terkubur di bawah trauma, kini bangkit dengan kekuatan penuh.Arka masuk ke kamar, membawakan segelas teh hangat untuknya. Ia meletakkannya di meja, lalu berdiri canggung di dekat jendela, seolah tidak tahu harus berbuat apa.“Alya,” panggilnya pelan. “Aku tahu… semua ini rumit.”Alya tidak menjawab, hanya terus menatap foto di tangannya
Pagi itu, Alya bangun di kamar hotel yang asing dengan perasaan gugup yang luar biasa. Janji Arka semalam memang sedikit menenangkannya, tapi hari ini adalah hari di mana ia akan menghadapi kenyataan dari kondisinya secara medis.Arka sudah menunggunya di ruang duduk suite hotel itu. Pria itu tampak sudah siap, wajahnya terlihat tenang, namun Alya bisa melihat ketegangan di bahunya yang kaku. Ia sudah memesan sarapan ringan untuk Alya.“Makan sedikit,” katanya. “Agar kamu tidak pusing.”Perjalanan menuju rumah sakit elit di Bandung itu terasa singkat. Alya terlalu sibuk dengan perangnya sendiri di dalam hati untuk memperhatikan jalanan. Di ruang tunggu klinik kandungan, perasaan tidak nyaman Alya semakin menjadi-jadi. Ruangan itu dipenuhi oleh pasangan-pasangan suami-istri yang tampak bahagia, saling berpegangan tangan, dan menatap perut buncit sang istri dengan penuh cinta.Alya secara refleks menyentuh perutnya yang masih rata. Ia dan Arka duduk berjauhan, tidak saling bicara, tampa
Perpisahan di depan teras rumah terasa begitu berat. Bu Aminah memeluk Alya erat-erat untuk terakhir kalinya, matanya yang basah menatap lurus pada Arka yang menunggu di samping mobil. Itu bukan tatapan benci, melainkan sebuah peringatan tanpa kata yang jauh lebih tajam. Jaga putriku, atau kau akan berhadapan denganku.Alya masuk ke dalam mobil mewah itu, tidak berani menoleh ke belakang. Ia tahu, jika ia melihat wajah ibunya lagi, ia akan lari keluar dari mobil dan membatalkan semuanya. Arka menyalakan mesin, dan mobil itu perlahan menjauh, meninggalkan gang kecil yang sunyi dan tatapan para tetangga yang penuh spekulasi.Perjalanan itu diliputi keheningan. Bukan keheningan yang dingin atau marah seperti sebelumnya. Ini adalah keheningan yang canggung, berat, dan dipenuhi oleh ribuan pertanyaan yang tak terucap. Alya menatap ke luar jendela, melihat sawah-sawah hijau Garut yang perlahan digantikan oleh jalanan yang lebih ramai.Ia melirik Arka. Pria itu fokus menyetir, wajahnya tampa
Permintaan maaf Arka menggantung di udara pagi yang sejuk, terasa begitu ganjil dan tidak pada tempatnya. Alya masih berdiri mematung, terlalu syok untuk bereaksi. Sementara Bu Aminah, setelah keterkejutan awalnya, menatap pria asing di hadapannya dengan tatapan tajam seorang ibu yang melindungi anaknya.“Bicara soal apa, Nak?” tanya Bu Aminah, suaranya terdengar tenang namun tegas. Ia menggunakan panggilan "Nak" yang sopan, namun ada jarak yang jelas di dalamnya. “Dan minta maaf untuk apa? Siapa kamu sebenarnya untuk putri saya?”Arka menelan ludah, terlihat jelas tidak nyaman menjadi pusat perhatian. Ia melirik Alya sekilas, seolah meminta izin, lalu kembali menatap Bu Aminah. “Nama saya Arka, Bu. Saya… atasan Alya di Jakarta.”Mendengar kata “atasan”, Bu Aminah mengerutkan kening. Ia menatap kondisi putrinya yang pucat dan kurus, lalu kembali menatap pria kaya di hadapannya. Cerita ini tidak sinkron.Melihat tatapan para tetangga yang semakin ingin tahu, Bu Aminah menghela napas. “
Jalan tol yang gelap terasa tak berujung. Arka menginjak pedal gas, membiarkan mobilnya melesat membelah malam. Pikirannya jauh lebih kacau daripada lalu lintas Jakarta yang baru saja ia tinggalkan. Ia tidak bisa berhenti memutar ulang bayangan-bayangan mengerikan itu di kepalanya: Alya yang terbaring pingsan, Alya yang menatapnya dengan mata kosong, dan yang terburuk, Alya yang duduk di lantai kamar mandi dengan pecahan kaca di tangan.Setiap kali bayangan itu muncul, cengkeraman tangannya di setir mengencang hingga buku-buku jarinya memutih. Bodoh. Arogan. Apa yang sudah kulakukan? makinya pada diri sendiri. Ia telah merebut segalanya dari gadis itu—pekerjaannya, teman-temannya, kebebasannya—dan hampir merebut nyawanya. Dan untuk apa? Untuk sebuah ego dan rasa memiliki yang buta.Laporan terakhir dari timnya bahwa Alya nyaris pingsan lagi menjadi pemicu terakhir. Persetan dengan memberinya ruang. Bagaimana jika gadis itu kembali nekat? Bagaimana jika kandungannya dalam bahaya? Rasa