Share

Bab 2

Novel, segelas susu hangat, dan musik klasik, perpaduan yang sangat di sukai oleh Risa. Tiga benda tersebut tidak pernah terlewatkan setiap harinya, apalagi jika malam Minggu seperti ini bukannya jalan-jalan atau hanya sekedar telepon dengan gebetan, Risa justru lebih menikmati menghabiskan malam minggunya dengan novel-novel koleksinya.

Risa tidak pernah iri dengan orang-orang yang menghabiskan malam Minggu bersama pasangan mereka, Risa justru malah merasa tidak suka dengan hal itu. Risa tidak phobia pacaran, ia juga masih menyukai lawan jenis, tetapi Risa paling tidak suka menjalani hubungan yang dia sendiri tidak tahu bagaimana endingnya karena itu hanya membuang-buang waktu, bagi Risa waktu adalah uang dan ia tidak boleh menyia-nyiakannya.

Kini Risa kembali sibuk dengan novel bacaannya, ia bertekad malam ini ia harus selesai membaca satu novel tidak perduli jika ia harus begadang demi menamatkan bacaannya.

Risa selalu terobsesi untuk menjadi pemeran utama dalam sebuah fiksi, setiap kali ia membaca buku fiksi seolah dirinya terbawa dalam cerita tersebut, Risa seperti merasakan bahwa dirinya adalah pemeran dalam cerita tersebut dan selalu saja seperti itu. 

Di saat Risa sedang asyik membaca bukunya, tiba-tiba ponselnya berbunyi menandakan ada satu panggilan masuk. Dengan malas ia mengambil benda pipih tersebut dan satu nama orang yang sangat menyebalkan tertulis di sana. Bukannya menjawab panggilan tersebut, Risa justru malah mengabaikannya, membuat ponselnya menjadi mode hening agar ia tidak terganggu lagi dengan suara ponselnya. Malam ini Risa harus benar-benar fokus agar bisa menamatkan satu novel lagi, karena masih banyak list novel yang harus ia baca selanjutnya.

Tok tok tok

Suara ketukan terdengar dari luar kamar, lagi-lagi ada saja orang yang mengganggunya.

"Siapa?" Teriak Risa tanpa bangkit dari tempatnya.

"Aku."

"Aku siapa?"

"Ya aku." 

Risa menghela napas pelan, ia tahu siapa orang itu hal itu diketahui Risa dari suaranya yang sangat khas.

"Ngapain sih, Randi. Please deh enggak usah mengganggu dulu, aku lagi sibuk," ucap Risa yang masih belum membukakan pintu.

"Halah, paling juga sibuk ngehalu kan. Udah deh, Ris, dari pada menghalu terus mending kamu ikut aku, kita jalan-jalan, cari makan, enggak bosan apa di kamar kost terus." Randi masih tidak menyerah, ia harus bisa mengajak Risa untuk jalan dengannya malam ini.

"Ogah, enakan di kamar lagi. Di luar banyak orang ngebucin, ih enggak banget."

"Ayo lah, bukain dulu pintunya bentar. Aku bawa makanan juga, ni," 

Mendengar kata makanan membuat mata Risa berbinar, kebetulan sekali kalau begitu, tanpa menunggu lama Risa langsung bangkit dari tempatnya dan  membukakan pintu untuk Randi.

"Kalau denger makanan aja langsung gercep," ucap Randi.

Risa terkekeh, "Mana makanannya?" Tanyanya.

"Enggak ada."

"Dih, tadi kamu bilang ada makanan."

"Ikut aku dulu, baru kita beli makanan."

"Ih curang, tau gitu tadi enggak usah aku bukain pintunya," ucap Risa kesel, bisa-bisanya Randi membohonginya padahal tadi Risa sudah sangat semangat.

"Yakin enggak mau ikut? Aku yang traktir, loh. Ini kan lagi bulan tua, jarang loh aku baik gini," ucap Randi mencoba untuk mempengaruhi Risa.

Risa tampak berpikir sejenak, Randi ada benarnya juga. Ini lagi bulan tua dan stok uang jajan Risa juga sudah mau habis sementara orang tuanya belum mengirim uang. Maklum saja namanya juga anak kostan, jika sudah mendekati bulan tua pasti bokeknya minta ampun bahkan untuk makan saja harus mikir dua kali.

"Gimana? Kalau enggak mau yaudah, kalau gitu aku pergi ya—"

"Ih tunggu, iya aku ikut. Bentar siap-siap dulu." Risa langsung siap-siap, ia tidak mau mensia-siakan kesempatan ini.

Sementara Randi hanya tersenyum, Risa sangat lucu. Randi tahu bahwa gadis itu tidak mungkin menolak ajakannya, apalagi saat ini Risa lagi krisis keuangan dan dengan begitu ia tidak mungkin menolak kesempatan itu.

"Udah siap, ayo berangkat." Risa langsung berjalan lebih dulu, meninggalkan Randi di belakangnya.

"Tadi gayaan sok nolak, lah ini malah jalan paling depan," ledek Randi.

"Biar." Risa melanjutkan jalannya tanpa melirik ke arah Randi. Hal seperti ini sudah biasa di antara keduanya, Risa tidak lagi sungkan pada Randi karena ia dan Randi berteman sudah lama dan mereka sudah seperti kakak dan adik.

Risa tidak memiliki perasaan apa-apa pada Randi, ia justru malah menganggap Randi sebagai kakaknya tidak lebih dari itu, berbeda dengan Randi yang justru malah berharap lebih pada Risa.

"Kamu mau makan apa, Ris?" Tanya Randi yang kini tengah berjalan beriringan dengan Risa.

"Yakin ni nanya gitu?"

"Emang kenapa?" 

"Kamu nanya gitu berarti kamu siap bayarin apapun makanan yang aku mau."

"Iya, tenang aja, sih."

Risa tersenyum. "Apa aja, deh, yang penting kamu ikhlas aja," jawab Risa.

"Dih, tumben. Biasanya kalau aku tanya gini kamu jawabnya antusias banget, semua dah tu kamu beliin," ucap Randi yang merasa heran, jarang-jarang Risa seperti ini.

"Gimana ya, enggak enak aku tu sama kamu."

"Dih, enggak-enggak. Kamu lagi ada masalah ya? Biasanya kamu enggak gini, ini kok malah beda."

Risa terkekeh, "Serius, Randi. Aku nggak enak sama kamu, aku sering banget ngerepotin kamu."

Randi terus menggeleng tidak percaya, ia tahu pasti Risa sedang ada masalah makanya dia seperti ini.

"Risa, jujur deh sama aku. Kamu lagi ada masalah ya?" Tanya Randi lagi.

Risa terdiam sesaat, tangannya bergerak mengeluarkan ponsel dari saku celananya lalu mengotak- atik seolah mencari sesuatu. Tak lama ia menunjukkan layar ponselnya ke arah Randi dan dengan sigap Randi mengambil ponsel tersebut agar ia bisa melihat lebih jelas.

Randi tertawa terbahak-bahak, ia tidak menyangka Risa bisa berpikir seperti itu.

"Oh, jadi kamu takut kalau semua yang aku kasih ke kamu jadi hutang? Dan kamu jika sewaktu-waktu aku tagih?" Tanya Randi. Tadi Risa menunjukkan sebuah video di mana seorang wanita di ancam oleh mantannya untuk mengembalikan semua yang telah di berikan lelaki itu untuk wanita tersebut, dan kerena itu Risa jadi takut jika hal itu terjadi pada dirinya makanya ia menolak pemberian Randi.

"Kurang lebih seperti itulah," jawab Risa.

Randi tertawa lagi, ia tidak menyangka bisa-bisanya Risa berpikir seperti itu.

"Ris, kamu kenal aku udah berapa lama, sih?"

"Kurang lebih tiga tahun."

"Terus kamu masih mikir aku sejahat itu?" 

"Ya bisa aja kan, namanya juga manusia kadang pikirannya bisa berubah-ubah."

"Risa, dengar ya, aku ngasih ini ke kamu ikhlas, tulus dari hati aku. Kamu enggak perlu takut jika suatu saat nanti aku tagih atau malah menganggap itu sebagai hutang kamu, karena itu enggak bakalan terjadi dan aku tidak sejahat itu," jelas Randi.

"Bener?"

"Iya bener, Risa."

"Tapi tetap aja sih aku masih takut, gimana kalau kamu ngomong terus aku rekam. Nah, nanti jika suatu saat kamu malah nagih ke aku, aku bisa tunjukin rekaman suara kamu sebagai bukti bahwa kamu yang memberikan bukan aku yang meminta."

"Oke, mana sini ponsel kamu." Randi mengambil ponsel Risa, lalu mulai merekam suaranya. 

"Saya, Randi Putra Satria, hari ini pada tanggal 13 November 2020, aku mengatakan bahwa semua yang telah aku kasih ke Risa baik itu barang, uang, makanan, atau lainnya aku berikan secara ikhlas, tanpa ada paksaan dari siapa pun dan aku berjanji untuk tidak menagih apa yang telah aku berikan kepada Risa di kemudian hari."

Setelah selesai merekam, Randi langsung mengembalikan ponsel Risa.

"Udah, kan?" Tanyanya.

Risa tersenyum lalu mengangguk.

"Oke, kalau gitu sekarang aku boleh minta apa aja, kan?"

"Tentu."

Risa tersenyum. "Okay, kalau gitu aku mau bakso, nasi goreng, cireng—"

"Satu-satu, kita cari dulu yang paling terdekat di sini karena aku sudah sangat lapar." Randi membekap mulut Risa dengan telapak tangannya, jika tidak begitu Risa tidak akan diam.

Sementara Risa ia meronta-ronta agar Randi melepaskan tangannya dari mulut Risa. Randi tertawa, semua tingkah laku Risa sangat lucu di mata Randi dan lagi-lagi Randi jatuh hati untuk kesekian kalinya pada gadis itu.

[][][][]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status