Share

Bab 4

Cobalah untuk mencintai dirimu sebelum kamu mencintai orang lain.

~~~~~

Jatuh hati setelah bertahun-tahun memilih sendiri bukanlah perkara muda,   karena pada saat itu hati seolah telah mati. Dan memilih sendiri bukan berarti belum move on dari masa lalu melainkan hanya memberikan waktu agar bisa lebih mencintai diri sendiri, sebab pada dasarnya manusia tidak bisa mencintai orang lain jika ia belum mencintai dirinya sendiri.

"Woi, melamun kamu ya."

Di kejutkan pada saat lagi melamun membuat jantung Randi seolah mau copot, sontak ia langsung mengucap sangking terkejutnya.

"Tuh kan melamun, bilangin aku sering melamun tau-tau kamu sendiri juga melamun," ucap Risa. Ia langsung duduk di sebelah Randi, wajahnya berhadapan langsung dengan wajah Randi sehingga membuat Randi salah tingkah.

"Ngapain?" Ucap Randi gugup, namun ia berusaha terlihat biasa saja.

"Kamu kenapa melamun? Tumben banget, biasanya enggak pernah. Lagi ada pikiran, ya? Atau lagi ada masalah?" 

"Enggak, Ris, emang lagi mau melamun aja."

"Masa?"

"Iya, Risa. Lagian kenapa? Tumben kamu nanyain aku."

"Randi, aku tu udah kenal kamu lama jadi kalau ngelihat kamu aneh gini aku jadi risih, kayak nggak nyaman gitu. Lagian kan kamu satu-satunya teman aku, sebagai teman yang baik aku harus mendengarkan semua cerita kamu," jelas Risa.

Randi tersenyum kikuk saat Risa mengatakan bahwa mereka hanya teman. Risa benar, mereka hanya teman dan dari awal memang seperti itu. Hanya saja Randi yang berharap lebih sementara Risa tidak.

"Tenang aja kali, Ris, aku enggak apa-apa kok. Santai aja," ucap Randi lembut.

"Yakin?"

"Iya, Risa."

Risa tersenyum. "Kalau gitu kamu mau bantuin aku nggak?"

"Bantuin ngapain?"

"Hmm, jadi gini, hari ini tuh ada novel yang baru terbit dan udah ada di toko buku. Tapi ..." Risa menjeda kalimatnya, matanya menyorot manik mata Randi.

"Tapi?"

"Tapi aku lagi enggak megang uang banyak. Randi, kamu mau bantuin aku enggak?"

"Mau aku beliin?"

"Enggak, aku mau pinjam uang aja. Nanti janji bakalan aku bayar."

Randi terkekeh. "Santai aja, yaudah kapan mau perginya?"

"Beneran?"

Randi menjawab dengan anggukan.

Risa terlihat sangat senang, bahkan sangking senangnya ia sampai refleks memeluk Randi sehingga membuat jantung pria itu berdegup kencang.

"Thanks you, Randi. Jadi makin sayang, deh," ucapnya masih memeluk tubuh Randi.

"Iya iya, udah ih lepasin entar dilihat orang gimana," ucap Randi yang masih berusaha mengatur ritme jantungnya.

Risa tersenyum, "Maaf, namanya juga lagi senang," ucapnya sambil tersenyum.

"Hm, jadi kapan mau perginya?"

"Malam ini, ya."

"Oke."

Risa tersenyum, ia terlihat sangat bahagia. Selama kuliah dan jauh dari orang tua hanya Randi yang selalu ada untungnya, siap sedia 24 jam untuk Risa, dan dia selalu dengan senang hati membantu Risa.

Randi tersenyum melihat Risa terlihat bahagia seperti ini, bagi Randi hal-hal kecil sekalipun jika sudah berkaitan dengan Risa maka itu akan menjadi tanggung jawabnya sebab kebahagiaan Risa adalah kebahagiaan Randi juga.

***

Malam telah menyapa bumi, jalanan terlihat tidak pernah sepi walaupun malam telah datang, hiruk pikuk masih terdengar memenuhi jalanan, dan para pedagang masih berkeliaran untuk mencari nafkah demi orang tersayang.

Randi dan Risa berjalan menyusuri trotoar, saling berbincang dan tertawa hanya dengan lelucon sederhana.

Risa tampak bahagia begitu pun Rand yang merasakan dua kali lipat kebahagiaan.

"Ris, maaf ya karena motor aku mati kita jadi harus jalan kayak gini," ucap Randi merasa tidak enak. Tadi mereka mau pergi ke toko buku dengan menggunakan motor legenda Randi, namun baru saja jalan beberapa meter motornya sudah mati. Tidak tahu apa yang salah dengan motor tersebut, mungkin karena motornya sudah tua jadi tidak selalu bisa di gunakan.

"Enggak papa, Ran, lagian kan ada angkot. Dan seharusnya aku yang minta maaf karena udah merepotkan kamu," jawab Risa.

"Dih, sok-sokan minta maaf kayak sama siapa aja."

Risa terkekeh. Randi benar, sangat jarang Risa meminta maaf pada Randi sekalipun ia salah. Karena kedekatan mereka yang sudah seperti saudara, membuat keduanya tidak pernah merasakan sungkan ataupun hal semacamnya.

"Mau makan enggak?" Tanya Randi.

"Enggak usah deh, Ran, udah mau sampai juga kan."

"Justru udah mau sampai makanya aku ngajak kamu, jadi nanti nggak terlalu jauh pulangnya."

"Iya juga sih, yaudah deh kalau kamu maksa."

Lagi-lagi Randi tertawa hanya karena hal sepele yang di tunjukkan oleh Risa.

Keduanya memilih makan sate tepat di pinggir jalan ibu kota yang masih ramai itu. Tidak main-main, Risa memesan sepuluh tusuk sate hanya untuk dirinya, ia sama sekali tidak segan dengan Randi, Randi pun sama sekali tidak keberatan, karena hal ini sudah sangat terbiasa untuk mereka. Terkadang jika Risa memiliki uang lebih ia akan mentraktir Randi, begitupun sebaliknya. 

"Ris ..." Panggil Randi.

"Ha?"

"Kamu enggak kepikiran untuk nyari pacar?"

Risa menggeleng sambil memakan beberapa tusuk satenya.

"Enggak penting, buang-buang waktu."

"Tapi kan seenggaknya bagus, jadi kamu bisa dapat perhatian, bisa di temenin kemana aja."

"Enggak ah, untuk apa punya pacar cuma buat ribet. Lagian aku udah punya kamu, yang lebih dari pacar," ucap Risa.

Mendengar perkataan Risa membuat Randi sangat senang, ia tidak menyangka bahwa Risa menganggapnya lebih penting dari pada seorang pacar.

"Coba deh kamu sebutin kriteria kamu gimana."

"Untuk apa?"

"Enggak papa, mau tau aja," jawab Randi mulai terlihat gugup.

"Yakin? Atau kamu—"

"Yaudah kalau enggak mau kasih tau. Lagian aku nanya supaya aku tahu, jadi kalau ada teman aku yang sesuai kriteria kamu, aku bisa kenalin," ucapnya berbohong.

"Yakin?" Risa tampak menggoda Randi, dengan mata yang berkedip-kedip dan tangan yang mencolek lengan Randi.

"Apaan sih, Ris, udah cepat habisin makanannya biar kita cepat pulang," ucapnya mengalihkan pembicaraan.

Risa tertawa. "Gini ya, Randi, aku tuh enggak punya kriteria-kriteria gitu, yang penting anaknya baik aja, rajin ibadah, pekerja keras, dan tanggung jawab. Itu aja sih, kurang lebih kayak kamu lah."

Mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut Risa membuat Randi tersedak, Risa benar-benar berhasil membuat Randi seolah ingin melayang.

"Ih, kok, tersedak. Buruan minum, aneh-aneh aja sih kamu." Risa menyodorkan minum pada Randi sembari menepuk-nepuk pundak Randi.

"Udah?" Tanya Risa lagi.

"Udah. Ris, udah habis? Kita pulang, yuk," ajak Randi.

"Yaudah yuk, pulang."

Randi benar-benar tidak bisa berlama-lama lagi dengan Risa, karena itu hanya akan membuat jantungnya berdetak tidak normal. Entah lah, semakin kesini Randi justru semakin jatuh hati pada Risa, gadis itu seolah memiliki perekat sehingga membuat Randi tidak bisa lepas darinya.

Sungguh, Risa benar-benar membuat Randi mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta untuk kesekian kalinya namun pada orang yang sama.

[][][][]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status