Beranda / Zaman Kuno / Mahkota di Balik Tirai Cinta / Bab 4. Bayangan Dibalik Tahta

Share

Bab 4. Bayangan Dibalik Tahta

Penulis: Naya_13
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-18 14:46:42

Fajar baru menyelimuti Istana Zhenhua dengan kabut lembut, burung-burung kecil mulai bernyanyi, tapi suasana di dalam istana justru terasa beku. Sejak insiden racun dan serangan malam itu, istana menjadi lautan bisik-bisik tentang pengkhianatan, tentang dendam dan tentang seorang putri yang kini jadi bahan pembicaraan seluruh pelayan yaitu Li Xian, istri pangeran yang terlalu cerdas untuk diam.

Namun pagi itu, langkahnya mantap ketika memasuki perpustakaan istana bagian barat, tempat penyimpanan catatan logistik dan bahan kimia kerajaan. Ia tidak datang untuk membaca puisi, ia datang untuk mencari kebenaran.

Pelayan kepercayaannya, Mei Lin, mengikuti dari belakang sambil membawa gulungan kertas. ”Tuan Putri, Jenderal Lu Tian mengirim pesan. Ia sudah menemukan sesuatu dari bekas racun yang ditemukan di meja pesta.”

Li Xian berhenti di depan rak kayu tua dan menoleh. “Di mana dia sekarang?”

“Menunggu di taman bambu belakang paviliun latihan, Tuan Putri.”

Li Xian menatap ke arah jendela, di mana matahari baru mulai menembus kabut. “Baik, ayo kita ke sana.”

Taman bambu itu sepi, hanya terdengar suara dedaunan bergesekan diterpa angin. Lu Tian sudah menunggu disana, ia berdiri di dekat kolam kecil dan di tangannya sudah ada botol kecil berisi cairan bening.

“Ini,” katanya tanpa basa-basi, “adalah sisa racun yang berhasil kami kumpulkan dari meja Pangeran.”

“Dan?” tanya Li Xian.

“Kami sudah memastikan bahwa racun ini bukan berasal dari dapur kerajaan, bukan pula dari gudang umum istana. Tapi…” Ia terdiam sejenak, seolah ragu untuk melanjutkan.

Li Xian menatap tajam. “Katakan Jenderal, dari mana asalnya?”

Lu Tian menarik napas dalam-dalam. “Dari gudang pribadi milik Pangeran Zhao Wei.”

Kata-kata itu jatuh seperti batu ke dalam kolam sunyi, perkataannya menggema di hati Li Xian dan menghantam keras hatinya.

“Gudang… pribadi?” suaranya bergetar pelan.

“Benar, setiap pangeran memiliki gudang persenjataan kecil dan obat-obatan militer untuk keperluan darurat. Racun ini dikenal sebagai Bunga Malam, hanya disimpan di sana karena dulu digunakan untuk melumpuhkan musuh di perbatasan utara.”

Li Xian memejamkan mata sejenak, mencoba memahami logika yang berantakan di kepalanya. “Jadi seseorang mengambil racun dari gudang milik suamiku dan menggunakannya untuk meracuninya sendiri?”

Lu Tian mengangguk. “Tampaknya begitu, tapi hanya orang dalam istana pangeran yang tahu letak kuncinya.”

Mereka terdiam, hanya desau angin dan gemerisik bambu yang terdengar.

“Kalau begitu,” kata Li Xian lirih, “entah ini jebakan untuk membuatku melawan Pangeran atau jebakan untuk membuat Pangeran mencurigai aku.”

Lu Tian menatapnya prihatin. “Apapun itu, hati-hatilah. Istana kini seperti ladang ranjau, satu langkah salah bisa membuatmu hilang tanpa jejak.”

Li Xian menatap langit. “Sudah lama aku berjalan di atas ranjau Jenderal, hanya saja kali ini mungkin yang meledak adalah hatiku sendiri.”

Sore hari Li Xian kembali ke paviliunnya tapi langkahnya berat, bayangan Zhao Wei terus muncul di benaknya ada sosok dingin yang menolongnya malam itu namun kini tiba-tiba menjadi bagian dari teka-teki.

Di depan pintu, dua penjaga memberi hormat. “Yang Mulia Pangeran sudah menunggu di dalam,” kata salah satunya.

Li Xian tertegun, hatinya berdegup cepat tapi wajahnya tetap tenang. Ia pun masuk, didalam sudah ada Zhao Wei yang berdiri di dekat jendela, menatap kolam teratai yang berkilau diterpa cahaya sore.

Tanpa menoleh, ia berkata. “Kau pergi sejak pagi, ke mana?” Nada suaranya tenang tapi ada sesuatu di baliknya, ada tatapan tajam, curiga, atau mungkin terluka.

Li Xian menjawab, “Aku hanya berjalan jalan saja, udara pagi menenangkan pikiran.”

“Benarkah? Atau kau mencari sesuatu?”

Li Xian mengangkat alis. “Mencari apa?”

Zhao Wei berbalik perlahan, tatapannya menusuk tapi bukan marah, lebih seperti seseorang yang ingin mempercayai tapi takut dikhianati. “Aku mendapat laporan, kau menemui Jenderal Lu Tian tanpa sepengetahuanku.”

“Aku tidak tahu kalau harus meminta izin pada suami sendiri untuk bernapas,” balasnya pelan, tapi tegas.

Zhao Wei mendekat, jarak mereka kini hanya beberapa langkah. “Kau tahu betapa sensitifnya situasi ini, aku sedang mencari pelaku tapi tiba-tiba kau ikut bergerak sendiri. Apa kau pikir aku tak bisa melindungi diriku sendiri?”

Li Xian menatapnya lurus. “Kau nyaris mati karena racun dan pelayan yang bisa bersaksi ditemukan tewas, kau menyebut itu perlindungan?”

“Jadi sekarang kau menyalahkanku?”

“Aku hanya ingin tahu,” suara Li Xian melembut, tapi matanya bergetar menahan emosi. “mengapa racun itu berasal dari gudang pribadimu.”

Zhao Wei terdiam, wajahnya menegang dan untuk sesaat, waktu berhenti. “Siapa yang memberitahumu?”

“Apakah penting siapa yang memberitahu? Aku hanya ingin tahu kebenarannya.” Sambil memalingkan wajah, suaranya nyaris tak terdengar.

“Gudang itu hanya bisa dibuka dengan segel pribadiku tapi aku tidak pernah menyentuhnya selama tiga bulan terakhir, jika racun itu diambil dari sana berarti seseorang memegang segel duplikat.”

Li Xian menatapnya lama. “Atau seseorang yang sangat dekat denganmu telah mengkhianatimu.”

Zhao Wei menatapnya tajam, seolah ingin menembus pikirannya. “Apakah kau menuduhku?”

“Aku tidak menuduh, aku hanya mencari kebenaran.”

“Dengan menyelidiki di belakangku?”

“Dengan mencoba menyelamatkan kita berdua!”

Keheningan menekan ruangan, Li Xian menatapnya dengan napasnya yang berat. Untuk pertama kalinya ia melihat sesuatu di mata Zhao Wei, rasa takut. Bukan takut pada musuh, tapi pada kehilangan kepercayaan.

Zhao Wei akhirnya duduk di kursi panjang sambil menunduk. “Kau tidak tahu bagaimana keadaan sebenarnya Li Xian, di istana ini aku bukan hanya pangeran. Aku juga target dari banyak orang yang menginginkan tahta, bahkan langkahku sendiri diawasi oleh mata-mata yang menyamar sebagai pelayan.”

Li Xian menatapnya diam. “Kalau begitu kita sama, aku juga hidup di antara mata-mata yang tersenyum padaku setiap hari.”

Zhao Wei menatapnya perlahan. Untuk sesaat, wajah kerasnya melunak. “Kau tidak seharusnya terlibat sejauh ini, aku bisa menghadapinya sendiri.”

“Dan membiarkan mereka membunuhmu selanjutnya?” balasnya cepat. “Jangan sombong Pangeran, kadang dua pedang lebih baik daripada satu.”

Zhao Wei terdiam, lalu tanpa sadar ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang hanya muncul sekali dalam seribu hari. “Kau berbicara seperti ayahmu dulu,” katanya lirih.

“Ayahku dibunuh oleh pengkhianatan dari dalam istana ini,” jawab Li Xian dengan mata yang tajam. “Aku tidak akan membiarkan sejarah terulang.”

Suasana hening, namun dalam keheningan itu ada sesuatu yang berubah. Bukan hanya kemaraha tapi juga ada rasa saling mengerti, seperti sebuah pengakuan bahwa mereka berdua meski didalam segala perbedaan dan kebekuan, kini berdiri di sisi yang sama.

“Kalau begitu,” kata Zhao Wei akhirnya, “mulai malam ini kita bekerja bersama, tidak ada lagi rahasia di antara kita Li Xian.”

“Tidak ada rahasia,” jawabnya, meski dalam hatinya ia masih menyembunyikan potongan kain hitam itu, yang menjadi bukti yang mengarah pada paviliun Permaisuri Han.

Malam pun tiba, langit berwarna ungu tua dan lentera menyala di setiap lorong istana. Zhao Wei berdiri di balkon menatap langit, sementara Li Xian duduk di sisi lain ruangan sedang menulis catatan kecil di buku harian. Angin berembus membawa aroma dupa dan bunga plum, keheningan itu terasa aneh namun terasa damai, tapi tetap terasa menegangkan. Seolah keduanya tahu badai berikutnya sudah menunggu di balik tembok batu.

“Li Xian,” suara Zhao Wei terdengar pelan. “Jika nanti semuanya terungkap dan ternyata musuhku adalah orang yang sangat dekat denganku, apa yang akan kau lakukan?”

Li Xian menutup bukunya. “Aku akan tetap di sisimu.”

“Meski aku bukan orang suci?”

“Tidak ada orang suci di dalam istana Pangeran, hanya mereka yang berpura-pura tidak berdosa.”

Zhao Wei menatapnya lama, lalu berjalan mendekat. Cahaya lentera memantulkan wajah mereka berdua, dua sosok yang berbeda tapi kini diikat oleh rahasia yang sama. Jarak di antara mereka hanya sejengkal, tapi seolah ada dinding tak terlihat yang memisahkan.

“Aku tidak tahu kapan perasaan ini mulai tumbuh,” kata Li Xian lirih. “Tapi mungkin… cinta memang datang setelah luka.”

Zhao Wei tidak menjawab, ia hanya menatapnya dengan dalam sebelum akhirnya berbalik, menatap langit malam. “Kalau begitu,” katanya pelan, “biarlah cinta itu jadi alasan kita untuk bertahan.”

Dan di luar sana, di kegelapan menara barat, Permaisuri Han berdiri di depan jendela dengan senyum dingin di bibirnya. Dalam tangannya ada selembar surat terbuka, laporan dari pengintai yang baru tiba.

“Racun itu memang dari gudang Pangeran Zhao Wei, tapi kunci duplikatnya dipegang oleh Permaisuri sendiri.”

Ia menatap lentera yang berkelip di kejauhan lalu berbisik: “Cinta dan kekuasaan tidak bisa hidup berdampingan Li Xian dan saat kau menyadari itu, semua sudah terlambat.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mahkota di Balik Tirai Cinta   Bab 13. Langit Tanpa Nama

    Fajar pertama setelah dua bulan menyatu datang dengan keheningan yang aneh, tidak ada suara ayam jantan yang terdengar, tidak ada dentang lonceng pagi, hanya desir angin yang melintas di antara menara istana yang separuh hancur. Di seluruh Kekaisaran Zhenhua langit tampak berbeda, terlalu terang untuk disebut pagi tapi terlalu lembut untuk disebut siang. Rakyat menyebutnya Langit Tanpa Nama, karena warna cahaya itu tak pernah mereka lihat sebelumnya ada campuran perak, emas dan merah muda yang bergerak perlahan seperti napas.Li Xian berdiri di teras tertinggi Paviliun Utama, jubah putih keemasannya berkibar ditiup angin. Dari tempat itu ia bisa melihat seluruh istana yang kini sunyi, istana yang dulu megah tampak seperti cangkang kosong dengan ratusan lentera padam dan bendera-bendera kekaisaran yang sudah robek setengah. Namun di tengah reruntuhan, pohon sakura di halaman tengah mekar padahal musimnya belum tiba. Kelopak-kelopaknya jatuh perlahan ke udara, memancarkan cahaya lembut

  • Mahkota di Balik Tirai Cinta   Bab 12. Dua Bulan di Langit Zhenhua

    Langit Kekaisaran Zhenhua malam itu tampak seperti kain sutra yang disobek dua, di satu sisi bulan putih menggantung tenang seperti biasa, namun di sisi lain muncul bulan merah yang tak seharusnya ada bulan dengan bulat sempurna, yang memancarkan cahaya seperti bara hidup.Seluruh rakyat berlutut memandang langit dengan ngeri, para pendeta di kuil utama berteriak menyebutnya “tanda penghakiman dewa”, sementara para jenderal memerintahkan lonceng perang dibunyikan. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di lembah Guanshi, bahwa sejak cahaya merah itu meledak, angin menjadi berubah arah, salju berhenti turun dan bayangan di tanah mulai bergerak tanpa mengikuti tubuh.Di tengah kehancuran lembah itu kabut merah perlahan menyingkir, batu-batu altar retak dan api sudah padam, hanya bara kecil yang tersisa seperti jantung dunia yang masih berdetak. Li Xian terbaring di atas salju dengan wajahnya yang pucat tapi terlihat damai, darah menetes dari pelipisnya namun luka itu perlahan m

  • Mahkota di Balik Tirai Cinta   Bab 11. Cermin yang Tidak Memantulkan Diri

    Malam itu langit Kekaisaran Zhenhua seperti terbakar, bukan oleh api melainkan oleh warna merah darah yang merayap dari timur ke barat. Bulan diselimuti kabut hitam, seolah langit sedang menutup matanya dari dosa yang akan bangkit.Li Xian berdiri di tengah paviliun pribadinya, lentera menggantung rendah dipaviliunnya, telihat bayangannya terpantul di dinding dengan gerakan lembut tapi terlihat sesuatu yang tampak salah. Setiap kali ia bergerak, bayangan di dinding itu tidak mengikuti secara sempurna kadang terlambat, kadang lebih cepat, kadang menatap balik.Udara di sekitarnya dingin seperti di dasar sumur, aroma dupa bunga melati yang biasanya menenangkan kini justru membuatnya mual. Di depannya ada meja dengan cermin perunggu tua yang diwariskan turun-temurun dari keluarga Li yang tampak bergetar halus, permukaannya tidak lagi memantulkan wajahnya, melainkan kabut kehitaman yang bergerak seperti air hidup.“Jangan percayai cermin…” suara Zhao Wei bergema di kepalanya, kalimat tera

  • Mahkota di Balik Tirai Cinta   Bab 10. Prajurit Bertopeng Perak

    Angin utara menggigit seperti pisau yang menusuk kulit hingga ke tulang, salju turun tanpa henti hingga menutupi jejak langkah pasukan Zhao Wei yang telah tiba di dataran beku dekat Benteng Qinghe. Di hadapan mereka, terlihat benteng itu kini hanya tersisa puing dan bara yang membara pelan di bawah langit.Zhao Wei turun dari kudanya, menatap reruntuhan yang sunyi. “Tidak ada tanda perlawanan,” katanya lirih. “Semua mati tanpa sempat mengangkat senjata.”Jenderal Muda Shen yang berdiri di sampingnya, menunduk. “Yang Mulia, semua mayat pasukan kita mengering. Sepertinya darah mereka seperti telah diserap sesuatu.”Zhao Wei berjongkok menyentuh tanah yang membeku di antara abu dan salju, warna merah gelap menempel di jari-jarinya. Tapi ia menemukan bahwa itu bukan darah biasa, sangat aneh dan terasa panas meski udara sedang dingin sedingin kematian.“Ini darah yang telah terikat,” gumamnya.Malam turun cepat di utara, pasukan Zhao Wei mendirikan kemah di kaki benteng. Api unggun menyala

  • Mahkota di Balik Tirai Cinta   Bab 9. Bayangan dari Utara

    Salju pertama turun lebih awal tahun itu, menutupi atap-atap istana Zhenhua dengan selimut putih yang dingin dan sunyi. Namun di balik keindahan itu, udara membawa kabar buruk dari utara. Tiga minggu telah berlalu sejak kematian Permaisuri Han, istana masih berkabung, tapi kedamaian yang diharapkan tak kunjung datang, justru semakin banyak tanda-tanda ganjil bermunculan.Li Xian berdiri di balkon Paviliun Timur sedang memandangi bendera kekaisaran yang berkibar setengah tiang, ia memejamkan mata, mencoba melupakan jeritan dan darah di aula tiga minggu lalu, tapi bayangan cincin retak dan kata-kata terakhir Permaisuri Han terus menghantuinya.“Sumpah darah tidak bisa dihapus, hanya dipindahkan.” Kalimat itu bergaung di pikirannya seperti kutukan.Zhao Wei memasuki ruangan tanpa suara, dengan mengenakan jubah perang berwarna abu dengan lambang naga keemasan di pundaknya dan masih ada salju yang menempel di bahunya. “Utusan dari perbatasan baru tiba,” katanya datar. “Benteng utara diser

  • Mahkota di Balik Tirai Cinta   Bab 8. Fajar Dibalik Darah

    Langit di atas istana terlihat membara dengan warna merah keemasan, fajar yang seharusnya membawa ketenangan justru terasa seperti tanda bahaya. Udara di aula utama terasa berat, setiap napas seperti mengandung ancaman. Kaisar duduk diam di singgasananya, mata tuanya menatap bergantian antara Zhao Wei dan Permaisuri Han.“Permaisuri,” suaranya berat dan dalam, “apakah benar segel ini milikmu?”Permaisuri Han tersenyum, gerakannya tenang seperti permukaan danau sebelum badai. “Yang Mulia,” katanya lembut, “segellah yang menjadi milikku, tapi tempatnya selalu di ruang kerja. Jika benda itu ditemukan di gudang racun, berarti seseorang telah mencurinya untuk menjebakku.”Ia menatap Zhao Wei tajam. “Dan siapa yang memiliki akses paling mudah untuk melakukannya selain putra mahkota sendiri?”Bisik-bisik langsung menyebar di seluruh aula, para pejabat dan kasim saling menatap, ketegangan menebal di udara seperti kabut yang menahan cahaya.Zhao Wei menahan napas, lalu berkata lantang, “Jika a

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status