MasukMalam telah lewat tapi Li Xian belum juga memejamkan mata, lentera di kamarnya telah lama padam hanya sinar bulan menembus kisi jendela yang jatuh di atas meja tempat ia duduk sendirian. Di hadapannya terbuka gulungan tua berwarna kekuningan, catatan lama yang ditemukan di rak rahasia paviliun timur dan tersembunyi di balik lemari ukiran naga.
Ia tak sengaja menemukannya saat mencoba mencari laporan bahan obat untuk membantu penyelidikan racun, tapi yang ia temukan jauh lebih berbahaya dari sekadar racikan racun. Tulisan di gulungan itu terlihat samar namun ia mengenali segel lilin merah yang pecah di ujungnya, segel itu… milik Jenderal Li Jian ayahnya. “Pada tahun ke-8 pemerintahan Kaisar Hongde, perjanjian darah dibuat antara Klan Li dan Klan Zhao. Sebagai jaminan kesetiaan, anak perempuan tertua Klan Li akan dipertunangkan dengan putra mahkota berikutnya…” Li Xian menatap tulisan itu dengan gemetar. “Perjanjian darah… jadi ini sebabnya aku dijodohkan dengan Zhao Wei?” bisiknya, tangannya mengepal. “Ayah, apa ini harga kesetiaanmu pada istana?” Tapi bagian bawah gulungan itu yang membuat darahnya benar-benar membeku, tulisan dengan tinta gelap mencatat sesuatu. “Namun bila salah satu pihak melanggar sumpah darah, maka seluruh garis keturunannya akan kehilangan hak hidup di bawah perlindungan tahta.” Li Xian menutup mulutnya, menahan napas yang terasa sesak. Ia tak tahu apa maksudnya tapi jika sumpah ini benar, maka kematian ayahnya bukan sekadar pengkhianatan militer. Itu adalah eksekusi atas perjanjian kuno yang diingkari. Pagi datang dengan kabut tebal, suara genderang pagi menggema dari menara penjaga, Li Xian sedang berdiri di balkon sambil menatap matahari yang berjuang menembus kabut. Zhao Wei datang dengan langkah tenang, ia membawa surat laporan dari utusan perbatasan namun wajahnya tak setegang biasanya. Ia sudah lama memperhatikan perubahan Li Xian sejak semalam dan matanya menyimpan sesuatu yang berat. “Kau tidak tidur,” katanya, suaranya tenang tapi lembut. “Aku tidak bisa tidur,” jawab Li Xian. “Kau pernah merasa seluruh hidupmu ternyata hanya perpanjangan dari keputusan orang lain?” Zhao Wei menatapnya lama. “Hidup di istana adalah hidup dalam keputusan orang lain.” “Maka itu aku membencinya,” balas Li Xian cepat. “Aku tidak mau jadi boneka dari perjanjian berdarah.” Zhao Wei menatap bingung. “Apa maksudmu?” Li Xian menatap lurus ke matanya. “Aku menemukan dokumen lama, tentang sumpah darah antara keluargaku dan keluargamu.” “Sumpah darah?” “Ya, sumpah yang menjanjikan aku pada garis keturunan Zhao Wei jauh sebelum aku lahir.” Zhao Wei terdiam, napasnya membeku sesaat. “Itu mustahil,” katanya akhirnya. “Ayahku memang menghormati Jenderal Li, tapi tidak ada catatan tentang perjanjian darah.” “Kau yakin?” “Ya. Jika ada, maka Permaisuri Han pasti tahu.” Nama itu keluar seperti duri dari bibirnya, Li Xian langsung menatap tajam. “Permaisuri Han…” “Dia wanita paling berkuasa di istana,” lanjut Zhao Wei perlahan. “Dan yang paling licik, ia mengatur seluruh jaringan informasi di balik bayang-bayang. Bahkan Kaisar sekalipun terkadang harus menunduk di hadapannya.” Li Xian berjalan mendekat. “Aku harus tahu kebenarannya, jika benar kematian ayahku terkait dengan sumpah itu maka orang yang melanggarnya bukan Klan Li tapi istana sendiri.” “Kau tidak bisa sembarangan menuduh Li Xian,” kata Zhao Wei tajam. “Satu kata salah dan seluruh klanmu bisa dituduh makar.” “Aku tidak takut,” jawabnya lirih. “Aku sudah kehilangan terlalu banyak untuk takut lagi.” Zhao Wei mendesah, lalu menatapnya penuh kekhawatiran. “Kau terlalu berani untuk seorang putri yang baru menjadi bagian dari istana.” “Mungkin karena aku bukan hanya seorang putri, aku adalah darah dari Jenderal Li Jian.” Kalimat itu menggema dan untuk pertama kalinya, Zhao Wei melihat kilau yang berbeda di mata istrinya. Bukan hanya kecerdasan, tapi nyala api yang tak bisa padam. Sore hari, di ruang rahasia di bawah paviliun perak Zhao Wei dan Li Xian bertemu lagi. Mereka membawa bersama kasus racun dan dokumen sumpah darah, mencoba menemukan hubungan di antara keduanya. Li Xian membentangkan peta istana di atas meja batu. “Jika racun itu berasal dari gudang pribadimu dan dokumen ini ditemukan di paviliun timur yang dikunci selama bertahun-tahun, ada seseorang yang berusaha membangkitkan kembali dendam lama.” Zhao Wei mengangguk perlahan. “Dan orang itu tahu cukup banyak tentang sejarah keluarga kita.” “Tepat.” “Kau pikir itu siapa?” “Permaisuri Han,” jawab Li Xian tanpa ragu. Zhao Wei menatapnya kaget. “Kau gila? Menuduh permaisuri bisa berarti hukuman mati.” “Aku tidak menuduh, aku hanya menyimpulkan” katanya pelan. “Surat dari Jenderal Li ditulis dengan tinta langka, tinta dengan jenis yang hanya digunakan di ruang kerja permaisuri pada masa itu.” “Bagaimana kau tahu?” “Aku pernah menjadi murid kaligrafi di biara barat,aku tahu aroma tinta itu. Tinta bunga wisteria yang hanya dimiliki satu orang di seluruh istana.” Zhao Wei terdiam, perlahan ia mulai mengerti. Jika benar demikian maka Permaisuri Han telah memanipulasi sejarah, menjebak keluarga Li dan memanfaatkan Zhao Wei sebagai alat politik. “Jika semua ini benar,” katanya akhirnya, “maka tahta yang aku duduki saat ini dibangun di atas darah keluargamu.” Li Xian menatapnya tajam. “Dan aku harus tahu Zhao Wei, apakah kau akan melindungi kebenaran atau melindungi mahkota?” Pertanyaan itu seperti pedang yang menembus dada. Zhao Wei menatapnya lama, tidak ada kemarahan di wajahnya, hanya kesedihan. “Aku tidak tahu,” jawabnya lirih. “Tapi aku tahu satu hal, aku tidak akan membiarkanmu mati demi rahasia masa lalu.” Li Xian menunduk, matanya bergetar menahan air mata. “Kalau begitu bantu aku mengungkapnya, bukan untuk balas dendam tapi untuk membebaskan kita dari rantai yang diciptakan orang lain.” Zhao Wei melangkah mendekat, menatapnya dalam. Ia mengangkat tangan dan menyentuh pipinya pelan, sentuhan pertama yang benar-benar terasa jujur. “Kau tidak sadar,” katanya lembut, “bahwa aku sudah mulai melanggar sumpah darah itu sendiri.” “Apa maksudmu?” “Sumpah itu memintaku untuk menikah tanpa cinta tapi setiap kali menatapmu, aku justru mulai jatuh cinta.” Li Xian tertegun, untuk sesaat dunia terasa seperti berhenti. Hanya degup jantung mereka yang terdengar di ruang sunyi itu. Namun sebelum bibir mereka sempat bersuara lagi ada suara langkah tergesa datang dari luar, pelayan masuk dengan wajahnya yang pucat. “Yang Mulia, paviliun barat terbakar! Gudang racun dan dokumen laporan habis dilahap api!” Zhao Wei dan Li Xian berpandangan kaget, tanpa bicara mereka berlari keluar. Asap hitam mengepul di langit malam menyelimuti istana, api menjilat tinggi menelan bukti-bukti yang selama ini mereka kumpulkan. Dan di atas menara batu dari balik kain tirai merah ada Permaisuri Han menatap api itu dengan senyum dingin. “Selamat malam, Putri Li Xian,” bisiknya. “Permainan baru saja dimulai.”Fajar pertama setelah dua bulan menyatu datang dengan keheningan yang aneh, tidak ada suara ayam jantan yang terdengar, tidak ada dentang lonceng pagi, hanya desir angin yang melintas di antara menara istana yang separuh hancur. Di seluruh Kekaisaran Zhenhua langit tampak berbeda, terlalu terang untuk disebut pagi tapi terlalu lembut untuk disebut siang. Rakyat menyebutnya Langit Tanpa Nama, karena warna cahaya itu tak pernah mereka lihat sebelumnya ada campuran perak, emas dan merah muda yang bergerak perlahan seperti napas.Li Xian berdiri di teras tertinggi Paviliun Utama, jubah putih keemasannya berkibar ditiup angin. Dari tempat itu ia bisa melihat seluruh istana yang kini sunyi, istana yang dulu megah tampak seperti cangkang kosong dengan ratusan lentera padam dan bendera-bendera kekaisaran yang sudah robek setengah. Namun di tengah reruntuhan, pohon sakura di halaman tengah mekar padahal musimnya belum tiba. Kelopak-kelopaknya jatuh perlahan ke udara, memancarkan cahaya lembut
Langit Kekaisaran Zhenhua malam itu tampak seperti kain sutra yang disobek dua, di satu sisi bulan putih menggantung tenang seperti biasa, namun di sisi lain muncul bulan merah yang tak seharusnya ada bulan dengan bulat sempurna, yang memancarkan cahaya seperti bara hidup.Seluruh rakyat berlutut memandang langit dengan ngeri, para pendeta di kuil utama berteriak menyebutnya “tanda penghakiman dewa”, sementara para jenderal memerintahkan lonceng perang dibunyikan. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di lembah Guanshi, bahwa sejak cahaya merah itu meledak, angin menjadi berubah arah, salju berhenti turun dan bayangan di tanah mulai bergerak tanpa mengikuti tubuh.Di tengah kehancuran lembah itu kabut merah perlahan menyingkir, batu-batu altar retak dan api sudah padam, hanya bara kecil yang tersisa seperti jantung dunia yang masih berdetak. Li Xian terbaring di atas salju dengan wajahnya yang pucat tapi terlihat damai, darah menetes dari pelipisnya namun luka itu perlahan m
Malam itu langit Kekaisaran Zhenhua seperti terbakar, bukan oleh api melainkan oleh warna merah darah yang merayap dari timur ke barat. Bulan diselimuti kabut hitam, seolah langit sedang menutup matanya dari dosa yang akan bangkit.Li Xian berdiri di tengah paviliun pribadinya, lentera menggantung rendah dipaviliunnya, telihat bayangannya terpantul di dinding dengan gerakan lembut tapi terlihat sesuatu yang tampak salah. Setiap kali ia bergerak, bayangan di dinding itu tidak mengikuti secara sempurna kadang terlambat, kadang lebih cepat, kadang menatap balik.Udara di sekitarnya dingin seperti di dasar sumur, aroma dupa bunga melati yang biasanya menenangkan kini justru membuatnya mual. Di depannya ada meja dengan cermin perunggu tua yang diwariskan turun-temurun dari keluarga Li yang tampak bergetar halus, permukaannya tidak lagi memantulkan wajahnya, melainkan kabut kehitaman yang bergerak seperti air hidup.“Jangan percayai cermin…” suara Zhao Wei bergema di kepalanya, kalimat tera
Angin utara menggigit seperti pisau yang menusuk kulit hingga ke tulang, salju turun tanpa henti hingga menutupi jejak langkah pasukan Zhao Wei yang telah tiba di dataran beku dekat Benteng Qinghe. Di hadapan mereka, terlihat benteng itu kini hanya tersisa puing dan bara yang membara pelan di bawah langit.Zhao Wei turun dari kudanya, menatap reruntuhan yang sunyi. “Tidak ada tanda perlawanan,” katanya lirih. “Semua mati tanpa sempat mengangkat senjata.”Jenderal Muda Shen yang berdiri di sampingnya, menunduk. “Yang Mulia, semua mayat pasukan kita mengering. Sepertinya darah mereka seperti telah diserap sesuatu.”Zhao Wei berjongkok menyentuh tanah yang membeku di antara abu dan salju, warna merah gelap menempel di jari-jarinya. Tapi ia menemukan bahwa itu bukan darah biasa, sangat aneh dan terasa panas meski udara sedang dingin sedingin kematian.“Ini darah yang telah terikat,” gumamnya.Malam turun cepat di utara, pasukan Zhao Wei mendirikan kemah di kaki benteng. Api unggun menyala
Salju pertama turun lebih awal tahun itu, menutupi atap-atap istana Zhenhua dengan selimut putih yang dingin dan sunyi. Namun di balik keindahan itu, udara membawa kabar buruk dari utara. Tiga minggu telah berlalu sejak kematian Permaisuri Han, istana masih berkabung, tapi kedamaian yang diharapkan tak kunjung datang, justru semakin banyak tanda-tanda ganjil bermunculan.Li Xian berdiri di balkon Paviliun Timur sedang memandangi bendera kekaisaran yang berkibar setengah tiang, ia memejamkan mata, mencoba melupakan jeritan dan darah di aula tiga minggu lalu, tapi bayangan cincin retak dan kata-kata terakhir Permaisuri Han terus menghantuinya.“Sumpah darah tidak bisa dihapus, hanya dipindahkan.” Kalimat itu bergaung di pikirannya seperti kutukan.Zhao Wei memasuki ruangan tanpa suara, dengan mengenakan jubah perang berwarna abu dengan lambang naga keemasan di pundaknya dan masih ada salju yang menempel di bahunya. “Utusan dari perbatasan baru tiba,” katanya datar. “Benteng utara diser
Langit di atas istana terlihat membara dengan warna merah keemasan, fajar yang seharusnya membawa ketenangan justru terasa seperti tanda bahaya. Udara di aula utama terasa berat, setiap napas seperti mengandung ancaman. Kaisar duduk diam di singgasananya, mata tuanya menatap bergantian antara Zhao Wei dan Permaisuri Han.“Permaisuri,” suaranya berat dan dalam, “apakah benar segel ini milikmu?”Permaisuri Han tersenyum, gerakannya tenang seperti permukaan danau sebelum badai. “Yang Mulia,” katanya lembut, “segellah yang menjadi milikku, tapi tempatnya selalu di ruang kerja. Jika benda itu ditemukan di gudang racun, berarti seseorang telah mencurinya untuk menjebakku.”Ia menatap Zhao Wei tajam. “Dan siapa yang memiliki akses paling mudah untuk melakukannya selain putra mahkota sendiri?”Bisik-bisik langsung menyebar di seluruh aula, para pejabat dan kasim saling menatap, ketegangan menebal di udara seperti kabut yang menahan cahaya.Zhao Wei menahan napas, lalu berkata lantang, “Jika a







