Jenar menatap nanar beberapa foto yang masuk ke ponselnya. Lagi. Jenar dibuat resah dan marah oleh tingkah Yasmin. Belum cukup menjadi penyebab Jenar kehilangan calon bayinya, Yasmin berulang kali mengirim foto yang membuat Jenar dan Azmi beberapa kali didera kebisuan. Bersyukur suaminya itu jeli jadi bisa menangkap setiap perubahan di wajah Jenar.
“Dia hanya masa lalu, Je. Kamu ingat, ‘kan? Kami pernah dekat. Tapi demi Allah, mas bisa menjaga diri mas. Lagian di foto ini apa kami lagi pelukan? Ciuman? Bukannya kami cuma berhadapan?”
Jenar hanya bisa diam, sungguh hatinya sakit gara-gara foto-foto yang dikirimkan Yasmin.
“Abaikan semua ulah Yasmin, Je. Dia memang berusaha merusak rumah tangga kita dengan menyakiti psikologis kamu. Jangan pernah berpikir macam-macam. Kita harus saling percaya.”
Jenar mengembuskan napasnya lagi. Jenar mencoba menanamkan kembali kepercayaan pada suaminya. Suaminya benar, Yasmin hanya sedang menc
Jenar sedang berbaris bersama rekan-rekannya. Jantungnya berdebar tapi senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Satu per satu rekannya berjalan menuju Pak Rektor dengan didampingi orang tua, suami/istri atau pacar. Jenar sendiri didampingi oleh kedua orang tuanya sedangkan sang suami duduk di depan bersama barisan para dosen termasuk kedua kakak iparnya.Jenar segera berjalan dengan diapit oleh Karmin dan Minah. Senyum tak pernah lepas dari ketiganya. Jenar berdiri di depan Pak Rektor hingga Pak Rektor menyampirkan tali pada topinya sebagai tanda prosesi wisuda.Jenar menangkupkan tangan setelah menerima map berisi ijazah. Dia tersenyum kemudian melirik ke arah suaminya yang sedang mengacungkan kedua jempol sambil mengedip genit. Mau tak mau Jenar tertawa melihat tingkah memalukan sang suami.Begitu prosesi selesai, Jenar dan kedua orang tuanya segera keluar untuk mencari keluarga yang lain.“Rame ya, Je.”“Iya Mbok, namanya wisuda
Azmi dan Jenar masih menatap Yasmin dan Gus Jalal. Yasmin tersenyum licik. Dia bisa melihat wajah sedih Jenar dan rahang Azmi yang mengeras. Hatinya bersorak ceria.Rasakan, itu pembalasanku untuk kalian. Aku akan selalu mengganggu kalian. Kalian tidak boleh bahagia, sementara aku harus hidup dengan orang yang tidak kucinta, batin Yasmin.“Mas Jalal kenalkan ini teman Yasmin. Gus Azmi sama Mbak Jenar.” Yasmin memperkenalkan Gus Jalal pada Azmi dan Jenar.Gus Jalal memasang wajah ramah dan menyalami Azmi. Azmi pun menyambut uluran tangan Gus Jalal dan tersenyum ramah.“Wah, gak nyangka ketemu di sini ya Gus,” sapa Gus Jalal ramah.“Alhamdulilah, Gus. Gus Jalal sehat?”“Alhamdulillah sehat.”“Dengan Edi apanya Gus?”“Oh, istrinya itu masih saudara sepupu saya.”“Oooo.”Yasmin mengernyit karena tidak menyangka suaminya mengen
Azmi dan Jenar berjalan di lorong rumah sakit. Mereka hendak menjenguk Yasmin.“Kok bisa keguguran ya, Mas?”“Namanya musibah, Je. Lagian ke Monas katanya sambil pake higheels.”“Hah? Kok bisa?”“Entah. Setahu mas, emang dari dulu Yasmin suka pake sepatu atau sandal berhak tinggi. Cuma ... kalau lagi hamil, kan, harusnya hati-hati.”Keduanya berjalan dengan sesekali membaca petunjuk yang ada.“Kenapa Ning Yasmin ke Monas ya, Mas?” heran Jenar.“Mas, apa ...?” Jenar menghentikan kalimatnya, terlalu takut jika dugaannya benar.“Gak usah mikirin ke sana. Itu salah dia sendiri, salahnya dia stalking akun kita. Lagian ngapain dia ke Monas padahal sepupu Gus Jalal sedang mengadakan resepsi. Mas malah yakin, kepergian Yasmin ke Monas karena dia mau merecoki bulan madu kita.”Jenar hanya diam. Keduanya akhirnya sampai di ruang r
Arif menatap Pak Hamid. Dia sudah mengutarakan keinginannya untuk menikahi Alifah kembali. Hamid sedang berpikir dan menimbang-nimbang.“Baik, aku akan menikahkan kalian tapi sebagai syaratnya, berikan Al-Huda padaku.”Arif sudah menyangka jika ini akan dijadikan tuntutan oleh Hamid. Arif menatap Mbok Rondo dan Alifah. Azmi, Jenar dan Cakra hanya diam. Arif menatap Azmi, Azmi mengangguk.Arif mengingat kembali pembicaraannya beberapa waktu yang lalu dengan Azmi.“Gus, boleh kita berbicara berdua.”“Mau bicara apa, Mas?”“Penting ini, Gus. Saya mau minta pendapat Gus Azmi.”“Tentang?”“Pak Hamid, pakdhenya Alifah. Dia pasti akan mempersulit keinginan saya. Dan jika pun dia mau menjadi wali nikah pasti ada syarat yang akan dia minta untuk saya kabulkan. Saya takut, Gus. Jika syarat yang dia minta adalah menyerahkan A
Jenar menatap keadaan kamarnya yang seperti kapal pecah. Selalu, seperti ini. Jenar baru saja kembali dari mengajar di SMA, dia hendak beristirahat sebentar sebelum menghandel kajian sore di pondok putri.“Mas. Mas.” Jenar mencoba membangunkan sang suami. Bukannya bangun, Azmi malah menarik Jenar hingga Jenar terjatuh di atas ranjang dengan posisi berada si atas Azmi. Entah sadar atau tidak Azmi malah mengeratkan pelukannya pada Jenar.“Ckckck.”Ide jahil mampir di kepala Jenar, dia memajukan wajahnya dan ....“Aaaaa, Je!” teriak Azmi sedangkan Jenar sudah bangun dengan posisi terpingkal-pingkal lalu segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Azmi memegangi telinganya yang memerah akibat gigitan Jenar. Padahal baru saja mata Azmi terlelap setelah selesai menyelesaikan laporan keuangan sekaligus proposal kegiatan pondok.“Awas kamu, Je! Mas, balas nanti.”Terdengar suar
“Yang mana?”“Itu yang di atas.”“Ini?”“Benar.”“Oke. Aku ambil dulu.”Jenar menatap ngeri pada sesorang yang dengan lincah mengambil beberapa mangga belum masak demi sebuah kata ‘ngidam’. Karena musim mangga baru dimulai, pohon mangga di belakang rumah masih kecil-kecil ukurannya.Ada beberapa mangga yang ukurannya besar-benar terletak di tempat tertentu yang sulit dijangkau dengan galah. Mau tak mau harus diambil dengan galah tapi harus ada yang naik dulu ke atas pohon.Jenar dan beberapa khadamah menatap ngeri seseorang yang begitu terampil memanjat maupun mengambil mangga dengan galah. Hampir satu jam, orang itu berpindah dari satu dahan ke dahan yang lain dan keranjang yang kini dipegang oleh Azmi sudah nampak penuh.“Masih mau lagi, gak Mi?” teriak Caca dari atas pohon.“Gak usah, Mbak.”“Beneran?”
Jenar duduk santai sambil sesekali mengusap perutnya. Di sampingnya Quila sedang menikmati es krim cokelat bersama Mbak Salamah, salah satu khadamah yang juga sedang menikmati es krim rasa vanila.“Akhirnya, anteng juga ya Mbak Salamah.”“Nggih, Ning. Duh, kirain Ning Quila mau jadi gadis kalem lah malah sama saja kayak Gus Aslan.” Salamah mengucap sambil terkekeh.“Ning gak ikutan milih-milih?”“Gak. Capek Mbak. Lagian tuh, udah ada calon abah rempong sama budhe baik hati. Aku duduk ajah, capek.”“Hihihi. Bener Ning.” Salamah terkikik melihat Gus Azmi yang begitu semangat dari satu stand ke stand lainnya. Begitupun dengan Caca. Kedua kakak adik ipar itu begitu antusias memilih baju-baju dan aksesoris untuk putri kembar Azmi-Jeje.Iya, akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh dua minggu, tepat satu bulan setelah acara mitoni diselenggarakan. Jenis kelamin anak kembar Jenar dan Azmi bisa terlihat
Azmi menatap bahagia ke arah keempat keponakannya. Akhirnya, dia bisa menjalani malam pertama di rumah dengan dua putri kembar dan gak sendirian. Awalnya Azmi sedikit takut, karena bagaimana pun dia kan baru jadi abah. Mana umi dan abahnya harus ke Bumiayu karena ada urusan mendadak juga. Meski ada Caca tetap saja gak samalah. Tetep lebih nyaman dengan uminya kalau mau minta tolong.Azmi sangat bersyukur dengan drama yang dilakukan oleh Quila. Biasanya, Azmi resah kalau Quila minta tidur bareng, tapi malam ini pengecualian.“Dedek, dedek kembar ciluk ba ... ciluk ba.” Quila begitu bahagia mempunyai adik, mana langsung dua lagi. Dia sampai merengek minta tidur bersama adik kembarnya. Tentu Azmi sangat menerima dengan senang hati. Tapi ditolak oleh Caca mentah-mentah karena takut Quila malah mengganggu adiknya yang lagi tidur.Tapi, Quila menangis sampai tantrum. Bahkan bujukan dari Caca sama sekali tak mempan. Caca pasrah dan meminta Azzam untuk membujuk Qu