Kemelut rindu kian menyiksa. Derita hati semakin menepi. Namun, keegoisan terbentang nyata sedang membudaki cinta hingga tak berdaya. Dua hati yang kini terkikis saling menyalahkan memaksa menolak realistis sesungguhnya rasa tak dapat didustakan
Tak terasa sudah tiga hari terlewatkan semenjak konflik terjadi. Tiga hari itupula keduanya tidak saling bertemu apalagi bertanya kabar. Aini yang sudah memutuskan masuk ke kelas lain, yang tidak ada jadwal bidang study Victor membuat Sonya bertanya-tanya. Apakah mungkin? Aini pulang ke kampungnya di Nanggroe? karena sudah tiga hari gadis itu tidak menampakkan batang hidungnya di kampus. Sama halnya Victor. Setiap kali jadwal mengajarnya, pria itu termenung memperhatikan kursi yang biasanya di duduki Aini. Selama tiga hari sikapnya dingin, wajahnya datar tidak sedikitpun terukir senyum di sana. Itu juga membuat Sonya curiga, apa mungkin? mereka sedang ada masalah, atau marahan.
Victor berdiri lemah di depan para mahasiswanya
Hujan deras kembali menguyur kota Medan. Berkubik air jatuh membasahi bumi. Udara dingin berhembus menyelimuti kediaman Victor Walidin sang dosen jenius di salah satu universitas ternama di kotanya.Jutaan percikan air menerpa dingding kaca membuat kabut menghalau pandangan. Pemuda jenius itu berdiri di depan jendela besar dalam kamarnya di lantai dua. Ia memperhatikan air hujan membasahi balkon dengan tatapan kosong. Secangkir kopi di tangannya yang masih mengeluarkan asap. Tubuhnya dibaluti dengan sweteer celana training berwarna hitam tidak lupa sehelai syall melilit lehernya.Victor menyeruput kopi yang rasanya sangat nikmat dengan mata terpejam. Seketika ia mengerjab mendengar suara pintu terbuka. Namun pria itu tidak menggubris. Ia melanjutkan perhatiannya pada air yang berjatuhan tanpa henti membasahi lantai balkon"Vic, kamu yakin tidak mau ke dokter? apa gak sebaiknya kita chek up dulu?" kata sosok yang berdiri segan di belakangnya.V
Arloji berdetak di tangan Aini. Dara berdarah Aceh itu duduk tenang di sudut ruangan memperhatikan papan tulis di depannya.Keterkejutan yang tidak bisa dianggap biasa. Dia merasa belum pikun, atau lupa diri. Jelsa-jelas dia masuk di gedung A. Tapi, dia sempat ragu. Bagaimana tidak? ke mana pak Ismuha, bukannya hari ini beliau ya? pikir Aini bingung.Aini menepis segala perasaan aneh dalam dirinya. Ia memusatkan perhatian belajarnya karena itu tujuan ia datang ke kampus. Aini juga tau? siapa Victor di kampus ini. Semua bisa dilakukan pria itu. Mungkin, sebaiknya enjoy saja? toh, bukan urusannya lagi?Satu jam telah berlalu, Aini duduk tenang mendengar setiap baik kata penjelasan tentang hukum public. Ia mendatarkan pandangan setiap kali Victor menatap canggung. Kepribadian cuek dan gak perduli seorang Syahbandar telah mengalir dalam darah Aini. Ia tak tergoyahkan meskipun Victor berkali-kali lewat di sampingnya sambil menjelaskan tentang materi terse
"Jadi, lu gak mau maafin dia, Ain?"suara Sonya di tengah keramaian suasana kantin. Gadis itu meneliti wajah Aini yang dirundung pilu.Aini menarik nafas panjang seraya merapatkan tubuhnya ke dingding kursi. Sesak, itu yang dirasakannya saat ini."Mungkin, lu butuh waktu, Ain. Coba, lu tenanngin pikiran dulu? memang ini rumit, apalagi, lu ngerasa ... Victor gak ngehargai, ellu," tambah Farida menenangkan Aini. Ia mengelus bahu Aini lembut."Yeah... mybe," lirih pasrah.Memang tidak mudah bagi siapapun, ketika harga dirinya di lecehkan. Apalagi, Aini merasa dirinya bukanlah perempuan gampangan seperti yang dikatakan Victor. Terlebih, dirinya menyandang gelar kebangsawanannya yang begitu kental. Meskipun, tidak semua orang menganggap itu suatu kehormatan. Namun, bagaimana pun, siapapun, berhak menjaga kehormatan marga masing-masing.Sonya mendengus melihat kerapuhan sahabatnya, ia merasa ikut terhanyut dalam problema Aini saat
Azan magrib terdengar lantang dari toa mesjid dekat rumah Victor. Aini bingung. Ia duduk gelisah dalam kamar itu. Belum lagi tubuhnya gerah karena belum mandi."Son, lu gak sholat gitu? masak, aku harus ninggalin sih?" Aini mendengus prustasi mendekati Sonya sedang duduk mengotak ngatik hanphonenya. dia melirik Aini sekilas,"Ya, mau gimana, Ain.. gua juga bingung? ya udah, lu sholatnya besok aja," jawab Sonya santai. Gadis itu masih menyibukkan diri dengan ponselnya, hingga membuat Aini kesal."Apah. Lu gila, apa.." Aini mengacak pinggang di depan Sonya. Namun, gadis berambut gelombang itu tidak perduli malah fokus dengan tontonan tiktoknya.Aini menyerah, lalu mendarat kembali di sofa panjang itu dengan posisi menjulur kaki merebahkan badannya.Baru, ia akan merenggangkan otot-ototnya, suara Victor terdengar disaat dirinya hendak memejam mata. Aini bangun bergerak ke arah ranjang di mana lelaki malang itu tidur."Ain.."
Dreet.. dreet..."Ya, Assalamualaikum, Ma..""Apa kamu, sudah sholat subuh Ain? jam berapa di sana,""Iya, Ma.. ini mau sholat," Tidak menyadari, kalau dirinya sedang berkata bohong pada Kartini ibunya yang menelphon dari Aceh."Kenapa, Ma. Kok pagi amat telphonnya?" tanya Aini mengucek kedua matanya. Sekilas ia melihat Sonya terbaring membungkus di atas sofa."Engga, nak. Ini, mama mau kasih kabar. Adik kamu baru saja melahirkan bayi laki-laki. Dia sehat. Kamu gak berniat pulang menjenguk keponakan?" suara lembut dalam ponsel membuat Aini terperanjat."Apa? Jadi, Meylan lahiran, ma. Wah, aku punya keponakan sekarang,"Kartini terkekeh terdengar bahagia di telinga Aini."Iya, sayang? namanya Hendra Saputra.""Oh, Ya sudah, ntar kapan-kapan, Aini pulang Ma, ya?""Ya sudah? mama tutup ya. Assalamu'alaikum?"Aini menarik nafas panjang. Ia meletakkan kembali ponselnya di atas meja, dan ngak se
Ain..? selamat ya beb." pekik Sonya dari luar gedung pasca sarjana tepatnya di ruang persidangan tesis Aini saat ini. Sonya berjalan cepat memeluk Aini dan mereka saling menyatu pipi masing-masing."Makasih, sayang. Berkat lu juga." Jawab Aini bahagia. Tubuh langsing itu merangkul bahu Sonya yang lebih pendek darinya"Yah, tapi lu tega ninggalin gua. Lu ingkar, kan. Janji dulu barengan. Lu mau cepat-cepat back ke Aceh?" Sonya melepas diri dari rangkulan Aini dan berdiri berhadapan. Aini menaut alis dengan sedikit merapikan hijabnya."Ngomong apa sih, lu? gua kan belum 100 % kellas, Son. Tesis gua banyak yang harus direvisi,"Mereka bergerak bersama-sama ke arah kantin tanpa melirik kiri kanan saking renyah percakapan."Selamat ya, yang udah dapat cumlaod," bariton itu menghentikan keduanya, sama-sama berbalik ke arah sumber suara. Sosok gagah dan tampan berdiri tinggi menjulang di depan Sonya dan Aini. Aini memicing memperha
Hari semakin sore. Matahari akan segera kembali keperaduan. Setelah menghabiskan waktu hampir setengah hari bersama kekasih, akhirnya Aini pulang ke kosan diantar Victor.Gadis itu bersemu bahagia terlihat jelas dari wajah manisnya. Seharian ini, Victor memuja dan mencumbunya dengan kasih sayang. Sampai Aini menyadari satu hal dalam hati bahwa dirinya benar-benar mencintai Victor lebih dari segalanya. Rasa itu seakan baru lahir hingga terbesit merencanakan nikah siri dengan Victor. Dan, itu sudah menjadi tekadnya. Aini tidak lagi memikirkan dirinya dari mana, dan lahir dari rahim siapa. Persetan dengan silsilah. Sekarang, Aini hanya memikirkan kebahagiaannya dengan Victor."Kalau Meylani bisa, kenapa aku enggak. Pa.. maafkan, Aini. Aini gak bisa hidup tanpa Victor." Aini berbicara sendiri ketika hendak membuka pintu kos-kosannya."Assalamualaikum..." ucapan salam dari seseorang membuat Aini tidak jadi membuka pintu rumahnya. Gadis itu membalikkan tub
Pagi menyapa dalam kerisauan. Gadis itu terbangun saat azan subuh terdengar dan segera menunaikan ibadah sholat subuh juga membangunkan papanya untuk melakukan hal yang sama. Selang beberapa menit, Aini disibukkan dengan penyajian sarapan dan secangkir kopi panas untuk sang papa. Di samping itu, ia juga menyempatkan diri berolah raga sejenak dengan melompat tali di halaman rumah yang sudah menjadi rutinitas paginya selama ini. Jarum jam sudah menunjukkan 7 pagi. Aini mulai gelisah memikirkan Victor, takut pria itu datang menjemputnya. Maka sebelum itu terjadi, Aini mengambil ponselnya di atas nakas lalu mengirim pesan singkat untuk kekasihnya. Dia berdiri di teras dengan gasture gelisah dalam pandangan Rafli. Pria paruh paruh baya itu memperhatikan Aini yang sedari tadi tampak gelisah. Rafli memilih diam karena beliau ingin melihat apa yang terjadi dengan putri kesayangannya itu. "Ekhem," beliau berdehem sengaja sambil membaca sebuah koran di tangannya, dan sesekali