MasukKeheningan menyelimuti meja itu, sampai akhirnya Emily kembali dengan nampan di tangannya. Ia melangkah tenang, mencoba mengabaikan tatapan tajam para pria di meja, termasuk Vincent.
Emily meletakkan gelas di hadapan Vincent sedikit kasar. “Silakan diminum, Tuan. Suhunya sudah sesuai, tidak terlalu panas, juga tidak terlalu dingin.” Emily menatap Vincent, bingung dengan senyum sinis—tidak tahu apa maksud di baliknya. Yang pasti, pria itu membalas dengan dingin dan nada sedikit tegas: “Pelayanannya tidak ramah… bintang satu.” Bintang satu? Emily menatapnya tak percaya. “Apa?! Katakan sekali lagi?” Namun yang dilihatnya, Vincent hanya mengambil segelas air hangat dan meneguk sedikit, tanpa membalas pertanyaannya. Geram saat melihat pria itu masih sempat-sempatnya meminum air yang baru saja ia hidangkan, Emily kembali bersuara, nadanya naik satu oktaf. “Katakan sekali lagi!” Dan yang ia dapatkan hanyalah tatapan dingin dan nada tegas Vincent. “Panggil manajer kemari.” Kenapa harus memanggil manajer? Apa yang membuat pria ini sungguh begitu menyebalkan? “Hei! Kenapa sampai harus memanggil manajer saya?” Suaranya bergetar menahan emosi. Sayangnya, ia kembali tidak mendapatkan jawaban dari pria itu. Emily mengepalkan tangannya. Kesabarannya sudah di ambang batas. “Paman! Seharusnya Anda tidak perlu bersikap seperti ini terhadap saya! Apa karena masalah tadi pagi?” “Aku tidak butuh pembelaan darimu, Nona kecil.” Seketika, suasana restoran membeku. Emily bahkan tak menyadari ekspresi Meliana saat melihat gebrakannya. Tanpa aba-aba, Emily menarik kerah jas Vincent, hingga jarak mereka hanya tersisa satu jengkal. Aksinya membuat semua orang di meja itu terdiam, syok. “Memang Anda ini siapa? Seenaknya kasih bintang satu pada pelayan yang berusaha melakukan pekerjaannya! Jangan hanya karena Anda berkuasa, Anda pikir dunia ini harus tunduk padamu?!” Vincent menatapnya santai, wajahnya tetap dingin dan seperti enggan membalas. Emily tersenyum sinis, ia kembali melanjutkan ucapannya. “Tidak akan pernah sekali pun, Tuan yang terhormat.” Nada suaranya kali ini tegas, menantang. Suasana berubah hening. Hingga pria bernama Lucien salah satu sahabat Vincent memecah keheningan dengan pertanyaan, “Nona, apa kamu tidak tahu siapa Vincent Fiorenzo?” Emily menoleh, menatap ke arah sumber suara. “Siapa dia? Apa peduliku? Meski dia seorang mafia kejam sekalipun, aku tak akan tunduk seperti orang bodoh!” Hingga Emily mendengar suara menghentikannya dari Lucien. “Dia memang seorang mafia kejam, Nona.” Emily terdiam sejenak, lalu pandangannya kembali menatap Vincent. “Lalu, apa aku harus takut?” Tampak senyum miring di wajah pria itu. Seketika, Emily merasakan tangannya dicengkeram erat, membuatnya meringis. “Akh, sakit! Sakit!” Emily segera melepas tangannya dari kerah pria itu. Tak lama kemudian, suara derit pintu terdengar bersamaan dengan suara langkah dari sepatu pantofel yang tergesa-gesa. Semua orang menoleh, termasuk Emily dan Vincent. Seorang pria yang sejak tadi ditunggu oleh Vincent akhirnya muncul. Saat manajer itu berdiri tepat di samping Vincent, Emily melihat wajahnya tampak gugup. Matanya sempat melirik ke arahnya sebentar, sebelum akhirnya beralih ke Vincent, wajahnya seketika berubah ramah. “Bos Vincent, ada yang bisa saya bantu?” Emily menatap Vincent, yang menegakkan tubuhnya sedikit sebelum menjelaskan apa yang terjadi. Bahkan, ia mendengar pria itu menyebut namanya. “Paman—” Namun, tiba-tiba sebuah tangan menarik lengannya, membuatnya sedikit menjauh. Emily menoleh dan melihat Meliana yang menariknya. “Jangan cari masalah dengannya,” ucap Meliana lembut tapi tegas. Emily tak peduli. Matanya menatap Vincent dengan amarah membara. “Dia tadi jelas-jelas minta air hangat!” Namun penjelasan Vincent yang memutarbalikkan fakta kembali terdengar, membuat darah Emily mendidih. Lebih menyebalkan lagi, ia melihat para sahabat Vincent hanya menggeleng pelan, seolah mereka juga bingung dengan apa yang dikatakan Vincent. Dengan kesal, Emily menggebrak meja, membuat semua orang terkejut. “Mulut Anda seperti mulut seorang wanita saja rupanya! Anda lebih cocok menjadi seorang wanita daripada seorang pria!” Meliana menepuk keningnya. “Emily…” “Jangan menghentikanku, Meliana!” potong Emily cepat. Ruangan hening sesaat. Emily bisa mendengar tawa dan bisikan para sahabat Vincent, tapi ia tak peduli. Manajer menunduk, suaranya terdengar gugup. “Maafkan salah satu pelayan kami, Bos Vincent. Dia mungkin belum memahami cara melayani pelanggan sebaik—” Emily menatap Vincent saat tangannya terangkat, menghentikan Manajer yang hendak menjelaskan sesuatu. “Apa saya diminta untuk meminta maaf?” Suara Vincent dingin dan tajam, cukup untuk membuat semua percakapan lain terhenti. Manajer terdiam, jelas kebingungan. Emily menahan napas saat tatapan Vincent bergeser padanya. “Suruh pelayan kecil ini yang minta maaf. Setelah itu, mungkin akan saya pertimbangkan lagi,” katanya terdengar tenang namun memerintah. “Apa!” “Baik, Bos.” Manajer menatap Emily tegas. “Emily, kamu dengar?” Emily menatap manajer dengan penuh ketidakpercayaan. “Eh… Tapi saya yang tertindas! Kenapa saya yang harus minta maaf pada pelaku? Dia yang lebih dulu—” “Lakukan saja, Emily!” potong manajer tegas. Emily menatap Vincent yang tersenyum puas ke arahnya, namun sebelum ia bersuara, Vincent pun segera menyela lebih dulu. “Kalau dia tidak mau, tak usah dipaksakan, Manajer… Jadi pecat saja dia.” Satu kata itu—pecat—menyambar telinganya seperti petir. Tubuh Emily membeku. Suara Manajer yang terbata-bata berhasil menariknya kembali ke kenyataan. “Baik, Bos.” Matanya menatap Emily dengan berat hati. “Emily Alessia, mulai sekarang… kamu tidak perlu bekerja lagi di sini.” “Tapi, Pak—” “Cepat bereskan barang-barangmu,” potong Manajer dingin, tanpa memberi ruang untuk protes. Emily menatap Vincent, kebencian membara di matanya. Dari ujung matanya, ia melihat Meliana yang tak bisa berbuat apa pun. Tapi mau bagaimana lagi? “Kenapa Anda menatapku, Nona kecil?” suara Vincent masih menusuk, lalu ia melangkah pergi, meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata lagi.Beberapa hari sudah Emily berkeliling mencari pekerjaan—dari rumah makan kecil, restoran ternama, hingga perusahaan besar maupun kecil. Namun, yang ia dapatkan hanyalah penolakan, bahkan tak jarang pengusiran.Apakah Emily ingin menyerah?Tentu saja. Tapi setiap kali keputusasaan itu mulai menghampiri, bayangan wajah adiknya, Elowen, selalu muncul di benaknya—seolah menjadi alasan terbesar untuk tetap bertahan. Jika bukan demi Elowen, mungkin ia sudah lama menyerah, mengikuti jejak kedua orang tuanya yang telah tiada.... Malam itu, pukul setengah delapan.Emily menatap Elowen yang kini memandang semangkuk mi instan di depannya seolah sedang menatap harta karun. Ada kelegaan kecil di dada Emily—setidaknya malam ini, adiknya masih bisa makan.“Maaf ya, malam ini cuma ini yang bisa Kakak masak. Kakak belum mendapatkan pekerjaan sama sekali,” ucap Emily pelan. Elowen tak menjawab. Emily hanya memperhatikan Elowen makan, dengan tatapan yang lembut sekaligus getir. Tanganmya kemudian te
Matahari terbit dari ufuk timur, sinarnya menembus kaca jendela yang terbuka lebar. Emily berdiri di depan pintu, berpamitan pada Elowen yang hanya membalas dengan anggukan dan jempol terangkat. Senyum tipis terukir di wajahnya sebelum ia benar-benar melangkah pergi, membawa surat lamaran yang sudah disiapkannya sejak malam sebelumnya. ... Kini di pusat kota, pandangan Emily menelusuri deretan toko yang berjajar di sepanjang jalan, berharap menemukan papan bertuliskan ‘Dibutuhkan Karyawan’. Langkahnya terhenti di depan sebuah toko pakaian wanita. Ia sempat menatap sekeliling sebelum akhirnya melangkah masuk. “Permisi, Kak.” “Iya, bisa saya bantu, Nona?” tanya wanita tersebut. “Di sini ada lowongan? Mungkin untuk posisi sales atau kasir?” ucap Emily dengan harapan kecil. Beberapa detik berlalu tanpa jawaban. Kasir itu justru menatapnya dari atas ke bawah, seolah sedang menilai. ‘Apa ada yang salah?’ pikir Emily tak nyaman. “Ada, tapi boleh saya lihat surat lamarannya?” akhir
Sementara itu, dengan langkah pelan, Emily meninggalkan taman yang mulai sepi. Entah sudah berapa lama ia duduk di sana, namun mentari sore yang mulai condong ke barat menjadi pengingat bahwa ia harus segera pulang. ... Jarak beberapa meter dari pintu rumahnya, Emily terdiam sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri setelah hari yang panjang dan melelahkan. ‘Tidak boleh terlihat sedih.’ Satu tarikan napas lagi, lalu ia kembali melangkah. Begitu tiba di dalam, pandangannya tertuju pada seorang gadis yang tengah terduduk, sibuk bermain dengan bonekanya. Emily tersenyum tipis; pemandangan itu selalu bisa menenangkan hatinya yang gundah. “Sudah jam berapa ini, Owen?” tanya Emily lembut. “Owen lapar sekali, Kak Ely,” jawab Elowen lirih, menyiratkan alasan yang disembunyikannya. Emily berpura-pura berpikir. “Kalau begitu, mau makan apa malam ini?” "Nasi goreng!" seru Elowen riang. Emily menjentikkan jari, tanda setuju. “Sekarang mandi dulu, baru makan,”
Di ruang ganti, Emily sedang membereskan barang-barangnya ketika suara Meliana terdengar dari belakang, membuatnya menghentikan aktivitas sejenak. “Lihat kan? Seandainya saja kamu diam dan menuruti ucapanku, kamu tak akan dipecat dengan cara tidak hormat seperti ini,” ucap Meliana. Emily menghela napas pelan. “Kalau aku hanya diam, berarti aku mengakui aku pengecut dan bersalah. Jadi aku memilih membela diri, karena aku memang tidak bersalah.” “Keras kepala sekali… tapi setidaknya pikirkan nasibmu ke depan dan juga janji kamu sama Owen,” kata Meliana. “Tenang saja, aku akan cari pekerjaan lain,” jawab Emily dengan tenang, mencoba menenangkan dirinya sendiri meski hati masih panas. “Terserah kamu. Tapi nanti kalau sudah dapat pekerjaan baru, jangan ulangi kesalahan yang sama. Mengerti?” Emily tersenyum kecil. “Siap.” Namun saat ia melihat Meliana menggeleng pelan, rasa bersalah menyergap. Ia tahu tindakannya telah memutus sedikit kepercayaan Meliana padanya, dan hal itu m
Keheningan menyelimuti meja itu, sampai akhirnya Emily kembali dengan nampan di tangannya. Ia melangkah tenang, mencoba mengabaikan tatapan tajam para pria di meja, termasuk Vincent. Emily meletakkan gelas di hadapan Vincent sedikit kasar. “Silakan diminum, Tuan. Suhunya sudah sesuai, tidak terlalu panas, juga tidak terlalu dingin.” Emily menatap Vincent, bingung dengan senyum sinis—tidak tahu apa maksud di baliknya. Yang pasti, pria itu membalas dengan dingin dan nada sedikit tegas: “Pelayanannya tidak ramah… bintang satu.” Bintang satu? Emily menatapnya tak percaya. “Apa?! Katakan sekali lagi?” Namun yang dilihatnya, Vincent hanya mengambil segelas air hangat dan meneguk sedikit, tanpa membalas pertanyaannya. Geram saat melihat pria itu masih sempat-sempatnya meminum air yang baru saja ia hidangkan, Emily kembali bersuara, nadanya naik satu oktaf. “Katakan sekali lagi!” Dan yang ia dapatkan hanyalah tatapan dingin dan nada tegas Vincent. “Panggil manajer kemari.” Kenapa ha
“Jadi Emily,” lanjut Meliana. “Tolong jaga sikapmu. Aku tahu betul mulutmu bisa lebih tajam dari pisau.”Emily mendengus kecil. “Iya, iya, aku tahu. Aku tidak sebodoh itu.”Meski dalam hati, ia mengakui bahwa mulutnya memang kadang tidak terkontrol.Tanpa menunggu, Emily bergegas menuju ruang ganti, setengah kesal. Meliana benar-benar cari gara-gara!…Sekarang sudah pukul setengah sebelas siang.Di ruang VIP, Emily sibuk menata hidangan. Sesekali, matanya mencuri pandang pada Meliana yang tengah berbincang dengan para tamu. Ia tak bisa memungkiri, melihat betapa profesionalnya Meliana.Hingga derit pintu terbuka terdengar, Emily terhenti sejenak, rasa penasaran menyergapnya. Suara langkah sepatu pantofel bergema di ruangan, membuat hampir semua kepala menoleh—kecuali Emily dan Meliana. Mereka tetap fokus pada posisi masing-masing, tangan sigap melayani, tapi hati Emily sulit menahan rasa ingin tahu.Dari telinganya, Emily menangkap percakapan di meja utama, tanpa benar-benar memahami







