"Kenapa, ragu?" Kembali Adam bertanya.
Langsung saja Jiya mengalihkan pandangannya kembali pada Raka. “Tentu saja aku mau. Bagaimanapun juga … ah, nanti kita bicara lagi, toko sedang banyak pesanan Mas," ucapnya sambil menarik lengannya dari genggaman Raka.Sesaat kemudian Jiya pun meninggalkan ketiga orang tersebut. Dia berjalan secepat yang dia bisa bersama dengan Dila menyeberangi jalanan untuk kembali ke toko kuenya. Di sisi lain, saat ini Raka terus menatap ke arah Jiya yang baru saja masuk ke dalam toko kue, begitu pula dengan Adam yang tak berhenti menatap ke arah wanita yang sudah ia cari-cari selama satu setengah tahun ini."Ternyata selama ini kamu sembunyi di sini," batin Adam sambil tersenyum kecil melihat Jiya yang sempat menoleh ke arah mereka berdua."Dengar, aku tidak perduli siapa dia bagimu, tapi dia adalah calon istriku sekarang. Jadi aku harap kamu mengerti posisimu saat ini," ucap Raka sambil mengepalkan tangannya kuat.Tanpa menoleh Adam pun menyahut, "Dia memang calon istrimu saat ini, tapi bagaimana kalau ibu dan kakakmu tahu Jiya adalah mantan istriku, apa kamu yakin mereka bisa menerimanya?"Kalimat santai Adam tersebut membuat Raka langsung menoleh. "Kamu mengancamku?"Adam memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Sebuah helaan napas panjang keluar dari bibirnya sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Raka. "Untuk apa aku mengancamu, itu tidak berguna. Lagi pula pada akhirnya mereka pasti akan tahu semuanya. Kamu tidak bisa menyembunyikan kenyataan ini dari mereka selamanya."Beberapa detik Raka terdiam. Dia tahu betul kalau apa yang dikatakan oleh Adam adalah kebenaran, tapi tentu saja dia tidak mau dan tidak rela kalah dari Adam."Aku tidak akan kalah," ucap Raka yang kini melepaskan kepalan tangannya dan mencoba terlihat lebih rilex dengan memasukkan tangannya ke dalam saku celana seperti yang dilakukan Adam. "Aku yakin aku bisa menyelesaikan semuanya.Dan juga, setelah dia meninggalkanmu selama satu setengah tahun, seharusnya kamu sadar kalau dia sudah tidak menginginkanmu lagi."Sebuah senyum kecil kembali muncul di wajah Adam. "Kamu tahu, aku tidak perduli dia masih menginginkanku atau tidak. Tapi selama aku masih bisa melihatnya, aku pasti akan membuat dia kembali mengingat semuanya," sahutnya.Mendengar ucapan tersebut, Raka langsung menarik tangannya dari dalam saku. "Apa yang ingin kamu lakukan, ha? Dia adalah calon istriku, calon ibunya Clayton. Jauhi dia, mengerti!" teriaknya sambil mencengkram kerah kemeja Adam.Adam dengan tenang menepis tangan Raka. "Aku tidak menyangkal kalau dia adalah calon istrimu. Tapi maaf, aku tidak bisa menjauhi dia karena kamu tahu sendiri kalau aku sudah mencarinya selama lebih dari satu tahun.""Kamu …!" geram Raka."Lebih baik kamu pikirkan saja bagaimana caranya dia bisa masuk ke dalam keluargamu dari pada memikirkan tentang aku," monolog Adam sambil melangkah ke arah Dira yang sedari tadi menatap dirinya dan Raka."Paman, apakah tante Jiya itu istri Paman?" tanya Dira yang bingung mendengar percakapan Adam dan Raka."Ya, dia istri Paman," jawab Adam sambil menggendong tubuh kecil Dira. "Ayo kita ke rumah sakit, kita obati lukamu.""Tidak, aku tidak sakit," tolak Dira, lalu menunjuk ke arah toko. "Tante yang sakit. Apa kita akan membawanya ke rumah sakit?"Sebuah senyum muncul di bibir Adam. "Tenang saja, nanti akan ada orang yang mengantarkannya obat.""Siapa?" tanya Dira sambil mengerutkan keningnya.Namun Tak terdengar jawaban dari Adam, hanya senyum yang muncul di wajahnya. Sementara itu, di tempat lain saat ini Jiya sedang duduk dengan gelisah di belakang meja kasir."Gila, ini gila," ucap Jiya sambil menggaruk-garuk kepalanya dengan kuat seolah kepalanya merasa sangat gatal, padahal tidak sama sekali."Kayaknya kamu memang masih berjodoh deh sama si Adam itu," komentar Dila yang saat ini sedang duduk menguleni adonan kue di sebuah ruangan yang ada di belakang toko tersebut."Jangan bicara gitu, kamu malah nakut-nakutin aku," protes Jiya sambil kembali bangun dari tempat duduknya."Aku nggak nakuti-nakutin kamu, tapi ini kenyataan. Buktinya setelah satu setengah tahun kita di sini, eh tiba-tiba dia nongol lagi dan justru jadi pamannya si Clayton," sahut Dila yang masih sibuk dengan adonannya.Helaan panjang pun keluar dari bibir Jiya. "Tapi sekarang aku itu pacarnya mas Raka, apalagi Clayton masih harus menyusu denganku."Tiba-tiba saja Dila menghentikan gerakannya dan melangkah ke ruangan depan. "Sebenarnya aku juga mendukung hubungan kamu dengan Raka, dia baik dan ya … sejenisnyalah. Tapi kamu tahu sendiri bagaimana pandangan ibunya ke kamu.Sedangkan Pak Adam, walaupun dia modelannya begitu, tapi dia sudah nunjukkin kalau dia beneran suka sama kamu. Dan Bu Titi juga baik ke kamu. Ya … paling masalahnya di si Bumi yang entah seperti apa sekarang," komentarnya."Kenapa kamu terus belain si Adam? Kamu udah kena sogok dia, ya?" tuduh Jiya sembari menyipitkan matanya pada Dila yang saat ini sudah berada tepat di hadapannya."Enak aja main tuduh," sanggah Dila sembari mengambil sesuatu dari dalam kotak obat di dekatnya. "Nih, tempelin ke jidatmu!" titahnya sambil memberikan selembar plester.Jiya pun mengambil benda tersebut dan melakukan seperti yang sahabatnya itu perintahkan tanpa berkata sedikit pun."Aku juga baru tadi ketemu mantan suamimu itu. Lagi pula dia nggak ngasih penawaran apa pun ke aku, jadi nggak mungkin aku membelanya. Nah ... kecuali kalau besok tiba-tiba dia datang nawarin uang sepuluh juta ke aku, baru deh aku bela dia habis-habisan," seloroh Dila sambil kembali ke ruang belakang.Langsung saja Jiya melengos. "Dih, nasib amet punya temen kaya kamu," sahut Jiya yang kemudian mencebikkan bibirnya.Sesaat kemudian tawa kecil pun muncul dari bibir Dila. "Ya nggak papa dong, nanti kalau dia ngasih sepuluh juta kan bisa kita bagi dua. Apalagi kalau dua orang itu mau nyogok aku bersamaan, itu lebih baik lagi. Aku janji bakal traktir kamu sate wedhus tiap hari selama seminggu," kelakar Dila lalu menjulurkan lidahnya ke arah sahabatnya yang kini berpura-pura kesal itu."Kamu itu bukan mau ngasih komisi, tapi sengaja mau bikin aku darah tinggi," tandas Jiya."Ya … bisa dibilang gitu," sahut Dila dengan santai."Ck, kejahatan yang tidak terselubung.""Rugi merencanakan kejahatan untuk kamu, hahaha!" sahut Dila sembari tertawa lepas.** Beberapa jam berlalu. Seperti biasanya, pukul enam sore Jiya mengendarai motor maticnya ke sebuah kawasan perumahan elit yang berada tak jauh dari toko miliknya. Dan setelah sekitar lima menit dia mengendarai motornya melewati gerbang utama area perumahan tersebut, akhirnya sampailah dia di salah satu rumah mewah yang ada di sana."Selamat sore Bi." Jiya menyapa pembantu rumah tersebut."Sore Bu Jiya," sahut Bi Tumi yang baru saja selesai membuang sampah di tong depan rumah mewah tersebut."Clayton sudah makan, Bi?" tanya Jiya sembari turun dari motor maticnya."Sudah, baru saja disuapin oleh suster Ana," jawab Bi Tumi sembari melangkah bersama dengan Jiya masuk ke dalam rumah besar tersebut.Awalnya mereka terus melangkah dan mengobrol dengan santai, hingga tiba-tiba saja pembantu itu mendekatkan pundaknya pada Jiya dan kemudian berbisik. "Bu, sepertinya ada sesuatu yang nggak beres, Nyonya dari tadi terus ngomel-ngomel. Kamu harus hati-hati."Jiya pun menelan ludahnya mendengar ucapan pembantu yang pro dengannya itu. "Apa jangan-jangan Tante sudah tahu tentang hubunganku dengan Adam, ya?" batinnya sembari menggenggam erat tali tas selempangnya."Apa ada saudara dari Jakarta yang menginap di rumah ini, Bi?" tanya Jiya yang tentu saja berubah gelisah.Tiba-tiba saja Bi Tumi menoleh dan mengernyitkan dahinya. "Kok Bu Jiya tahu?"Pertanyaan balik dari Bi Tumi langsung membuat langkah Jiya terhenti. Dia tahu akan ada saat ini, tetapi dia tidak menyangka kalau akan secepat ini masalah ini terjadi. "Aduh mati aku," gumam Jiya sembari mengusap wajahnya dengan telapak tangan kanannya.Hatinya pun makin ketir-ketir saat ini, hingga tiba-tiba saja terdengar langkah kaki lain menuju ke arah Jiya dan Bi Tumi saat ini."Jangan sampai dia, jangan sampai dia, jangan sampai dia," doa Jiya di dalam hati sambil memejamkan matanya."Ji, kamu sudah datang?"Suara seorang wanita yang baru saja memasuki telinganya tersebut langsung membuat Jiya menghela napas panjang."Yah, walaupun bukan Adam yang datang, tapi kedatangan Tante juga tidak lebih baik. Ah sudahlah, lebih baik aku hadapi semuanya," batinnya yang kemudian berbalik."Iya Tan—" kalimat Jiya terhenti ketika dia melihat seorang anak kecil yang saat ini sedang bergandengan tangan dengan calon ibu mertuanya itu.Matanya membola ketika melihat senyum menyeringai dari bibir anak laki-laki tersebut. "Mati aku," desisnya."Mama, bagaimana kabarmu?" sapa anak laki-laki tersebut sambil melepaskan tangannya dari genggaman Nyonya Desi dan kemudian melangkah dengan cepat ke arah Jiya."Ba-ba-baik," sahut Jiya tergagap. "Kamu sendiri bagaimana?""Mama?" Nyonya Desi mengerutkan keningnya.Setelah berhasil memeluk Jiya, kemudian Bumi pun berbalik dan menjawab pertanyaan Nyonya Desi. "Tante Jiya ini mamaku, yang waktu itu menikah dengan Papa." "Benarkan, Ma?" Bumi beralih melempar pertanyaan pada Jiya sembari menyuguhkan senyum termanisnya.Langsung saja Jiya tersenyum canggung. "Iya, kamu memang benar," jawab Jiya sambil mengusap kepala Bumi dengan pelan.Langsung saja tatapan penuh tanya dari Nyonya Desi berubah menjadi tatapan tajam. "Tante, aku—" Kalimat Jiya terhenti ketika tiba-tiba saja Nyonya Desi berbalik badan."Kamu temui aku setelah selesai menyusui Clayton!" titah Nyonya Desi sembari melangkah meninggalkan tempat tersebut. Jiya terdiam. Calon ibu mertuanya yang memang sejak awal sudah tidak menyukainya karena statusnya sebagai seorang janda dan juga hanya orang biasa kini mempunyai lebih banyak alasan untuk memisahkannya dari Raka."Sepertinya memang sulit dipertahankan," batin Jiya sambil tersenyum getir menatap punggung Nyonya Desi yang semakin lama sem
Setengah jam berlalu, kini Jiya sudah sampai di depan salah satu ruangan yang dikatakan oleh Bi Tumi."Ada apa Bi, Clayton sakit?" tanya Jiya pada Bi Tumi yang sedang menunggu di luar ruangan. Sesaat kemudian Jiya mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangan yang tertutup rapat. "Apa sakitnya parah? Semalam sepertinya baik-baik saja.""Nggak tahu juga, Bu. Tadi tiba-tiba saja Nyonya teriak-teriak nyuruh Pak Dadang mengeluarkan mobil, terus ke sini," beber Bi Tumi yang kini ikut menatap ke arah pintu ruangan di dekat mereka."Astaga, semoga nggak ada yang serius," gumam Jiya yang semakin penasaran, tetapi hanya bisa menunggu seperti yang Bi Tumi lakukan.Sesaat kemudian Bi Tumi menepuk pelan lengan Jiya, dan membuat Jiya menoleh ke arah wanita paruh baya tersebut."Ayo duduk Bu," ajak Bi Tumi sambil melangkah ke arah kursi tunggu yang berada di dekat mereka.Namun belum sempat Jiya menyahut, tiba-tiba saja terdengar langkah seseorang yang sedang berlari ke arah mereka. "Ada
Jiya terdiam. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Raka akan mengatakan hal itu. Ya, dulu Jiya memang mengarang cerita seperti yang dikatakan oleh Raka untuk mengelabui semua orang yang mengenalnya di kota itu.Saat itu Jiya berpikir untuk tidak menceritakan yang sebenarnya dan bertingkah sebagai wanita yang diceraikan dan menyedihkan, agar lebih mudah diterima para tetangganya karena saat itu dia sedang hamil dan datang ke kota itu tanpa suami. Sedangkan saat bertemu dengan Raka, dia juga mengatakan kebohongan itu karena dia tidak pernah berpikir akan sedekat ini dengan Raka."Katakan Ji, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Raka sambil menarik tangannya dari satpam rumah sakit yang memeganginya.Desakan dari Raka membuat Jiya menelan ludahnya. Sesaat kemudian Jiya pun berganti melirik ke arah Adam yang juga sedang menatapnya dengan tajam. 'Bagaimana ini?' batin Jiya yang kebingungan.Sesaat kemudian Raka sudah beralih mendekati jiya. "Katakan yang sebenarnya!" tekan Raka sambil m
Setelah itu Jiya dan Dila pun membawa paket tersebut masuk ke dapur."Aku tidak menyangka kalau kamu akan menerima paket itu," ujar Dila yang saat ini berdiri tepat di sebelah Jiya. Dia dan Jiya sama-sama memandangi paket yang baru saja diletakkan oleh Jiya di atas meja khusus untuk memotong roti."Bukankah tadi kamu yang bersemangat mendapat paket ini," sahut Jiya sambil melirik ke arah sahabatnya itu.Dila pun menoleh dan menyahut, "Kamu kan tahu sendiri kalau aku itu cuma bercanda. Lagi pula biasanya kamu juga tidak akan mau menerima barang-barang yang tidak jelas seperti ini."Jiya pun mengambil gunting yang ada di dekat paket tersebut. "Sebenarnya kalau paket ini belum dibayar aku juga tidak akan menerimanya. Tapi karena paket ini sudah dibayar, jadi tidak ada ruginya kalau aku menerimanya. Lagi pula beberapa hari ini hidupku penuh dengan hal-hal aneh, tidak akan jadi lebih aneh lagi jika ada paket seperti ini.""Hati-hati Ji bukannya, guntingnya dikit-dikit aja, jangan-janga
"Selamat malam Tante," ucap anak laki-laki yang baru saja turun dari mobil tersebut sambil tersenyum hangat ke arah Dila."Ah, iya-iya selamat malam," sahut Dila lalu tersenyum canggung ke arah anak laki-laki yang saat ini berjalan ke arahnya sambil membawa sebuah buket bunga mawar."Ini untuk Tante," ucap anak laki-laki tersebut sambil menyodorkan buket bunga yang ada di tangannya.Senyum pun mengembang di bibir Dila. "Wah, terima kasih ya, Bumi. Kamu memang anak yang manis," ucapnya sambil mengusap wajah anak laki-laki tersebut.Sedangkan Jiya yang melihat hal itu langsung menutupi bibirnya dengan telapak tangan kirinya. 'Dasar anak kampret,' batinnya yang kini menahan tawa melihat tingkah Bumi yang sangat jelas ingin membuatnya kesal.Sesaat kemudian Bumi menoleh dan mengambil kantong kresek yang saat ini disodorkan oleh anak buah ayahnya. "Ini untuk kamu," ucap Bumi dengan ketus sambil menyodorkan kantong kresek yang berisikan marta
Setengah jam berlalu. Setelah menyelesaikan makan malamnya, kemudian Bumi dan Adam meninggalkan toko kecil Jiya. "Kenapa, Pa?" tanya Bumi yang memperhatikan Papanya karena sejak meninggalkan toko kue Jiya, papanya terus saja diam sambil menatap ke luar jendela mobil."Ada apa?" tanya Adam sambil menoleh ke arah Bumi yang saat ini langsung melengos."Papa masih memikirkan wanita menyebalkan itu?" tanya Bumi yang kini berganti menatap ke luar kaca mobil di sampingnya."Wanita itu?" tanya Adam sambil memijat keningnya."Mama. Papa masih memikirkan mama?" tanya Bumi.Adam berhenti memijat keningnya dan kembali menoleh ke arah Bumi. "Apa kamu sudah tidak menginginkan dia menjadi mama kamu?" "Memangnya dari awal siapa yang ingin dia menjadi mamaku?" sahut Bumi dengan ketus.Adam menghela napas panjang mendengar jawaban anak laki-laki di dekatnya itu. "Jadi kamu ingin membiarkan dia menjadi istri om-mu?" tanyanya."Enak saja," sahut Bumi sambil menoleh ke arah Adam dengan cepat. "
Di saat yang sama Dila yang berada di dekat Jiya pun ikut berteriak dan melompat ke belakang selangkah karena terkejut."Apa?" tanya Dila dengan kesal sambil menepuk pundak Jiya dengan keras.Belum sempat Jiya menjawab, tiba-tiba laki-laki tersebut bangun dari posisinya —yang tadi berbaring di atas kursi."Ternyata sudah pagi," ucap laki-laki tersebut sambil menatap ke sekitar tempat itu."Kamu orang yang mengantar bumi semalam 'kan?" tanya Jiya yang masih mengingat jelas siapa laki-laki di depannya itu."Benar, saya sopir semalam, Nyonya," jawab laki-laki tersebut sambil membungkuk, mengambil bunga yang sempat terjatuh di lantai."Maaf Nyonya, saya tidak sengaja menjatuhkan bunga ini," ucap sopir tersebut sambil menyodorkan bunga mawar itu ke arah Jiya.Jiya mengerutkan beningnya menatap mawar tersebut. "Bunga ini untukku?" tanyanya yang merasa enggan menerima bunga tersebut."Benar Nyonya. Bunga itu dari tuan kecil. Semalam saya kembali ke sini karena ingin memberikan bunga mawar it
Beberapa menit berlalu. Saat ini Jiya sedang membuatkan minuman seperti yang diinginkan oleh calon ibu mertuanya.'Ingat Ji, jangan sampai kamu lengah dan ada orang yang mendekati minuman ini. Ingat, jika sampai Nenek lampir itu menyuruh pembantunya ngasih racun ke minuman ini, maka kamu yang akan disalahkan dan masuk penjara,' batin Jiya sambil mengaduk-aduk minuman buatannya.Benar saja seperti perkiraanya, tiba-tiba seorang pelayan masuk ke tempat itu dan mendekati Jiya. "Biar saya bawa ke depan Bu," ucap pelayan itu dengan ramah.Langsung saja Jiya genggam erat nampan minumannya. "Tidak perlu Mbak, biar aku saja yang membawanya ke depan. Tadi Nyonya Desi sendiri yang menyuruhku membuatnya, takutnya nanti dia marah kalau bukan aku yang membawanya," sahutnya dengan cepat."Tidak apa-apa Bu, Ibu pergi ke atas menjenguk anak Tuan Raka saja," cicit pelayan itu sambil mengulurkan tangannya untuk meraih nampan minuman tersebut, tetapi Jiya langsung menggeser nampan minuman tersebut.