Home / Romansa / Maju Mundur Kena Duda Anak Satu / Darimana Asal Susu Itu?

Share

Darimana Asal Susu Itu?

Author: Si Mendhut
last update Last Updated: 2023-10-03 21:37:37

Setelah berhasil memeluk Jiya, kemudian Bumi pun berbalik dan menjawab pertanyaan Nyonya Desi. "Tante Jiya ini mamaku, yang waktu itu menikah dengan Papa."

"Benarkan, Ma?" Bumi beralih melempar pertanyaan pada Jiya sembari menyuguhkan senyum termanisnya.

Langsung saja Jiya tersenyum canggung. "Iya, kamu memang benar," jawab Jiya sambil mengusap kepala Bumi dengan pelan.

Langsung saja tatapan penuh tanya dari Nyonya Desi berubah menjadi tatapan tajam.

"Tante, aku—" Kalimat Jiya terhenti ketika tiba-tiba saja Nyonya Desi berbalik badan.

"Kamu temui aku setelah selesai menyusui Clayton!" titah Nyonya Desi sembari melangkah meninggalkan tempat tersebut.

Jiya terdiam. Calon ibu mertuanya yang memang sejak awal sudah tidak menyukainya karena statusnya sebagai seorang janda dan juga hanya orang biasa kini mempunyai lebih banyak alasan untuk memisahkannya dari Raka.

"Sepertinya memang sulit dipertahankan," batin Jiya sambil tersenyum getir menatap punggung Nyonya Desi yang semakin lama semakin jauh dari pandangannya.

"Mama, apa benar kamu ingin menjadi menantu di rumah Oma Desi?" tanya Bumi dengan ekspresi sok penasarannya.

Kini Jiya pun mengalihkan pandangannya pada sosok pria kecil yang sudah lama tak dia dengar suaranya itu. "Sudah lama kita tidak bertemu, sepertinya kamu semakin pintar saja," ucapnya sembari mencubit gemas pipi Bumi.

Langsung saja Bumi membalas dengan mencubit telapak tangan Jiya, hingga Jiya pun melepaskan cubitannya. "Tentu saja aku semakin pintar, jangan pikir kamu bisa membodohiku lagi kali ini," sahut Bumi sembari tersenyum meremehkan.

"Apa dia marah karena kejadian waktu itu?" batin Jiya sambil terus menatap wajah pria kecil di depannya.

"Ambil ini, kata Papa kamu harus menggunakannya!" Bumi memberikan sebuah botol obat.

Jiya pun menerima botol obat tersebut dengan rasa yang bercampur aduk. "Terima kas—"

"Itu tidak gratis," potong Bumi.

"Tidak gratis?" Jiya menatap botol obat di tangannya. "Berapa?"

"Hanya Papa yang tahu. Kamu tanya saja padanya."

Jiya mengernyit. "Kalian ingin mengerjaiku?"

"Untuk apa mengerjaimu, kamu pikir kamu pantas untuk dikerjai," sahut Bumi sambil berbalik.

"Hah?" Jiya menyipitkan matanya.

"Ingat saja, kali ini aku tidak akan tertipu lagi olehmu. Aku dan Papa akan menagih janjimu," ujar Bumi sambil melangkah meninggalkan tempat tersebut.

"Bumi," desis Jiya sambil menggenggam erat botol obat di tangannya.

Setengah jam lebih berlalu. Setelah Jiya selesai memompa ASI dan menyusui Clayton, akhirnya dia membawa batita yang sudah terlelap tersebut ke dalam box bayi.

"Clayton," gumam Jiya sembari mengecup kening anak berumur satu tahunan tersebut. Dia memandangi wajah gembul berkulit putih tersebut selama beberapa saat. Dan tanpa terasa tiba-tiba saja air matanya meleleh.

"Bagaimana jika nanti aku sudah tidak bisa melihat kamu lagi," batinnya sembari mengamati jari-jari kecil Clayton selama beberapa saat.

"Tenang Ji, kamu harus tetap tenang," monolognya yang kemudian menghela napas panjang.

Sesaat kemudian, tiba-tiba saja terdengar ketukan di pintu masuk ruangan tersebut.

"Iya, aku akan segera pergi ke ruangan Nyonya Desi, aku tidak lupa kok Bi," ucap Jiya sambil menutup kelambu box bayi Clayton.

"Sepertinya calon ibu mertuamu sudah bertindak lebih cepat dari dugaanmu, benar kan?"

Suara laki-laki yang baru saja mengajukan pertanyaan tersebut langsung membuat Jiya tersentak dan dengan cepat berbalik. "Kamu," ucapnya melihat Adam yang dengan tenang memasuki ruangan tersebut.

Adam terus saja melangkah ke arah Jiya, bahkan membuat Jiya perlahan mundur dan terus mundur hingga sampailah batasnya. Tubuh Jiya kini tak bisa lagi bergerak karena di belakang punggungnya adalah dinding.

"Kenapa kamu takut? Apa kamu merasa bersalah?" Adam menahan Jiya di dalam kungkungannya.

Jiya yang awalnya menatap lekat mata Adam, kini langsung menoleh ke arah lain.

"Kenapa hanya diam? Berubah bisu?" ejek Adam sambil mencengkeram dagu Jiya dan membawa wajah mungil itu kembali menatap matanya.

"Kita ini sudah tidak punya hubungan Mas, jadi kamu jangan mendekatiku lagi!" seru Jiya sembari mencoba mendorong tubuh Adam, tetapi nyatanya tubuh besar di depannya itu tak bergerak sedikit pun.

"Aku bisa melepaskanmu, tapi kamu harus menjawab pertanyaanku," ucap Adam yang kini makin keras mencengkeram dagu Jiya.

"Apa?"

"Dari mana asal susumu?"

Seketika mata Jiya membola mendengar pertanyaan tersebut.

"Kamu tidak mungkin memiliki ASI jika kamu tidak pernah hamil. Kamu hamil anak kita kan?" tanya Adam lalu memukul dinding tepat di dekat wajah Jiya.

Jiya memejamkan matanya saat suara dentuman dari tangan Adam dan tembok di belakang tubuhnya terdengar menggema di telinganya.

"Jawab!" sentak Adam.

Namun Jiya terus saja diam sambil menutup mata. "Apa yang harus aku lakukan?" batinnya yang tidak ingin menceritakan masalah kematian anak mereka.

Namun, tiba-tiba saja napasnya tercekat ketika tangan Adam mencengkeram lehernya. "Mas," ucapnya sambil berusaha melepaskan tangan Adam.

"Katakan, di mana anakku? Katakan!" tekan Adam yang kini saling beradu pandang dengan Jiya.

Jiya tak menjawab dan terus berusaha melepaskan cengkeraman di lehernya. Hingga ….

"Heeeekk! Huee!" Tangis tiba-tiba pecah dari Clayton yang tadi tertidur pulas.

"Lepaskan aku, Clayton nangis," pinta Jiya sambil menarik-narik lengan Adam.

Dan dari pintu kamar itu tiba-tiba saja masuklah Suster Ana. "Bu Jiya," ucapnya pelan ketika melihat Adam yang masih mencengkeram leher Jiya.

Tentu saja dia sempat terkejut, bahkan langkahnya sempat berhenti selama beberapa saat, sampai akhirnya dia memutuskan kembali melangkah menghampiri box bayi karena Clayton semakin keras menangis.

Dan di saat yang sama, tiba-tiba saja Jiya menendang paha Adam dan membuat mantan suaminya itu mundur selangkah, bahkan terjungkal ke belakang karena tidak seimbang. Dan tanpa menunggu lama Jiya pun segera menyambar tas slempangnya dan berlari meninggalkan kamar tersebut.

Sedangkan Adam yang sempat terjatuh pun langsung berdiri dan merapikan pakaiannya. "Kamu tidak melihat apa pun, mengerti?" ucapnya tanpa menoleh ke arah suster Ana.

Sedangkan Suster Ana yang sedang menggendong Clayton pun menjawab dengan kaki gemetar. "Ba-ba-baik, Tuan."

"Bagus," sahut Adam sembari melangkah dengan santai meninggalkan kamar tersebut.

Lima belas menit berlalu. Setelah meninggalkan rumah keluarga Raka tanpa berpamitan, akhirnya Jiya pun sampai di toko tempatnya berjualan sekaligus tinggal bersama dengan Dila.

"Tumben sudah pulang, Mbak?" sapa penjual mie ayam yang membuka usaha di dekat toko kue milik Jiya.

Jiya yang baru saja sampai pun segera turun dari motornya. "Iya Mas, si Claytonnya sudah tidur," jawabnya sambil tersenyum kaku.

"Oh …," sahut penjual mie ayam sambil manggut-manggut.

"Ya sudah aku masuk dulu ya Mas, mau bantuin Dila," cicit Jiya sembari melangkah masuk ke dalam tokonya tanpa menunggu sahutan salah satu tetangganya tersebut.

Dan sesampainya di dalam toko, Jiya pun langsung menjatuhkan tubuhnya di atas kasur lantai di belakang meja kasir.

"Ada apa?" tanya Dila yang langsung keluar dari ruang belakang ketika mendengar suara Jiya yang ambruk di kasur tipis .

"Mati aku Dil," jawab Jiya sambil mengusap-usap wajahnya hingga memerah.

"Sudah kubilang jangan ke sana, kamu sih ngeyel," sahut Dila sambil melangkah kembali ke ruang belakang. "Terus tadi calon ibu mertuamu bagaimana? Dia marah atau—"

"Bukan, bukan dia," potong Jiya. "Dia belum sempat marah."

"Lalu?" Dila melongokkan kepalanya agar bisa melihat tingkah Jiya saat ini.

"Mas Adam ada di sana malam ini," ucap Jiya sambil mengusap-usap lehernya.

Tiba-tiba Dila yang di ruang belakang berpindah dengan cepat ke bagian depan. Dia duduk di depan Jiya dan menatap sahabatnya itu dengan rasa penasaran tinggi. "Terus?" tanyanya.

"Dia nyekik aku," ucap Jiya yang masih mengusap-usap lehernya. Kemudian dia dengan cepat merubah posisi tubuhnya dari berbaring menjadi duduk. "Dia tanya dari mana aku punya susu untuk nenenin Clayton."

"Lalu kamu jawab gimana?"

"Aku diem, mangkannya dia marah." Jiya sekali lagi mengusap-usap wajahnya. "Aku nggak nyangka kalau dia akan nanyain masalah ini dan langsung bisa nebak tentang anaknya."

Dila pun manggut-manggut. "Iya, bener juga," gumamnya.

Jiya mendongakkan kepalanya menatap ke arah langit-langit tempat itu. "Entahlah Dil, gimana nasibku selanjutnya," gumamnya.

**

Keesokan harinya.

Seperti biasanya, hari ini Jiya kembali disibukkan dengan pesanan orang-orang yang akan diambil hari ini. Hingga dia memilih untuk menyingkirkan kegalauannya sementara waktu dan berkonsentrasi pada adonan roti yang ada di hadapannya.

"Tinggal donat ini," gumamnya sembari merenggangkan punggungnya yang terasa pegal karena terus menunduk sejak pagi.

Namun, tiba-tiba saja terdengar dering ponselnya memenuhi ruangan tersebut, hingga Jiya pun terpaksa melepas sarung tangan plastiknya untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Bu Jiya, tolong datang ke rumah sakit Prisma Husada sekarang," ucap Bi Tumi di seberang panggilan tersebut.

"Ada apa Bi?" Jiya berubah panik.

"Tolong ke sini saja dulu Bu, nanti—" Kalimat Bi Tumi terhenti bersamaan dengan putusnya panggilan tersebut.

Dan tanpa berpikir lama, Jiya melepas celemeknya dan langsung menyambar tas slempangnya sambil berteriak. "Dil, aku pergi ke rumah sakit sebentar!"

"Hah, siapa yang sakit?" Dila balik bertanya dengan suara yang tak kalah tinggi dengan diiringi suara mixer yang menyertai.

"Belum tahu," jawab Jiya sembari melangkah dengan cepat keluar dari toko tersebut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Maju Mundur Kena Duda Anak Satu   Bapak Rumah Tangga

    “Sudah turunin aku, aku bisa jalan ke kamar sendiri,” ucap Jiya yang juga mendengar panggilan dari lantai satu.“Tidak perlu, biarkan saja orang itu menunggu,” sahut Adam yang mempercepat langkahnya naik ke lantai dua.Jiya pun tersenyum menatap Adam yang sedang membawanya naik tangga. “Lucu,” gumamnya.“Apa?“ tanya Adam yang kini terus menatap ke arah depan.“Nggak ada Mas,” sahut Jiya lalu kembali menunduk.Setelah mengantar Jiya masuk ke dalam kamar mandi, kemudian Adam mengganti pakaiannya dan turun ke lantai satu untuk melihat orang yang bertamu ke rumahnya pagi itu. Dia berjalan ke arah ruang tamu, tetapi dia tidak menemukan siapa pun di sana.“Apakah orangnya sudah pulang?“ gumam Adam karena dia mendengar kalau orang yang bertamu itu memanggil namanya, jadi seharusnya orang itu sudah sangat mengenal dirinya.Sesaat kemudian terdengar langkah kaki yang berasal dari ruangan yang lebih dalam. Adam pun menoleh, menunggu pemilik suara langkah kaki tersebut.“Tuan muda,” ucap pemban

  • Maju Mundur Kena Duda Anak Satu   Ngompol

    Mata Jiya terbelalak ketika tiba-tiba Adam mencium pipinya. “Apa sih kamu, Mas,” ketusnya.Adam terkekeh karena merasa geli melihat Jiya yang salah tingkah. Merasa kesal dengan tawa Adam, Jiya dengan cepat mengambil sebuah potongan apel dan memasukkannya ke dalam mulut Adam. Dan seketika Adam pun berhenti tertawa.“Bagaimana kalau aku tersedak,” ucap Adam sambil mengunyah apel itu.“Ya habisnya kamu ngeselin sih, Mas,” sahut Jiya sambil cemberut.Adam kemudian tersenyum kembali lalu menggelitiki pinggang Jiya, hingga membuat Jiya tertawa terbahak-bahak. “Aduh, ampun Mas,” ucap Jiya sambil mencoba untuk menjauh dari Adam, tetapi Adam terus menahan dan menggelitiki pinggang Jiya. Hingga akhirnya dia merosot ke lantai karena lemas terlalu banyak tertawa.Namun, tiba-tiba salah satu asisten rumah tangga kiriman Nyonya Titi masuk ke dalam ruangan itu dan membuat Adam berhenti menggelitiki Jiya.“Kenapa kamu ke sini?“ tanya Adam dengan tatapan tajamnya.“Itu … saya, saya ….“ Asisten rumah

  • Maju Mundur Kena Duda Anak Satu   Mengusir ART

    Jiya mendesis cukup keras ketika dia akan bangun dari ranjangnya. 'Pinggangku rasane koyo copot,' batin Jiya lalu berpegangan pada pinggiran ranjang itu dan kemudian berdiri.“Apa yang yang kamu lakukan?“ tanya Adam sambil memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Jiya.“Aku ngadek Mas, berdiri.“ Jiya mengucap kata Berdiri dengan pernekanan agar Adam tahu arti istilah jawa yang dia ucapkan. “Masa kamu nggak lihat,” ketusnya.Adam tersenyum kecil. “Lalu kenapa kamu seperti nenek-nenek? Ingin berdiri harus berpegangan kepada sesuatu,” selorohnya.“Pinggangku habis diseruduk truk tronton, puas?“ Jiya masih menyahut dengan ketus. Kini Jiya berjalan ke arah kamar mandi sambil memegangi pinggangnya.“Apa perlu aku bantu?“ Tanya Adam.“Nggak usah Mas, yang ada kamu malah nyusahin bukannya ngebantu,” jawab Jiya sambil masuk ke dalam kamar mandi.Adam pun merebahkan tubuhnya. Matanya menatap langit-langit kamar itu, tak lupa sebuah senyum masih terukir di wajahnya.“Jiya,” gumam Adam.*Keesokan

  • Maju Mundur Kena Duda Anak Satu   Ikat Pinggang Di Pergelangan Tangan

    “Pak Adam,” gumam semua orang sambil berdiri dari kursi mereka, termasuk Nathan yang langsung meletakkan berkas di tangannya.“Berani sekali kalian!“ teriak Adam dengan tatapan tajam yang seolah ingin membakar semua laki-laki yang ada di dalam ruangan itu.Para laki-laki itu saling melirik karena tidak mengerti asal mula kemarahan Adam.Kemudian Adam menoleh ke arah Jiya. “Ke sini!“ Namun Jiya langsung melengos. “Pulanglah, aku bisa pulang sendiri,” sahutnya dengan ketus.Mendengar hal itu Adam mengepalkan tangannya dan kemudian melangkah ke arah Jiya. “Apa yang ingin kamu lakukan di sini?“ tanyanya sambil menggenggam tangan Jiya.“Tunggu Pak,” ucap Nathan yang ingin membela Jiya karena merasa kalau Adam akan memarahi Jiya, walaupun dia juga tidak tahu apa penyebab kemarahan Adam saat ini. “Dia datang ke sini untuk menjemput Leni, dia—”“Siapa kamu berani berbicara mewakili istriku!“ sentak Adam.Mata Nathan pun membulat mendengar kalimat Adam, begitu juga dengan semua orang yang ada

  • Maju Mundur Kena Duda Anak Satu   Jiya Bukan Anak Baru

    Feni lebih terkejut lagi saat melihat dua orang yang sedang belutut di halaman rumah itu. “Siapa mereka?“ tanya Feni karena saat ini dua orang itu menundukkan kepala mereka.“Angkat kepala kalian!“ teriak Dimas memberikan perintah.Kemudian dua orang tersebut mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Feni.“Dia …,” ucap Feni lalu kembali menatap ke arah Dimas.“Benar, orang yang ada di foto itu adalah dia bukan aku. Ada orang yang sengaja ingin merusak hubungan kita,” sahut Dimas.“Ini benar?“ tanya Feni sambil kembali menatap ke arah laki-laki yang mirip dengan suaminya itu.“Tentu saja. Aku tidak mungkin menghianati kamu dan dua anak kita,” sahut Dimas sambil mengusap perut Feni dengan lembut.Feni pun terdiam dan menundukkan pandangannya. “Maaf,” ucapnya lirih.Dimas kemudian menggenggam tangan Feni. “Kamu tidak perlu minta maaf, ini tidak sepenuhnya kesalahan kamu,” sahutnya sambil mengecup punggung tangan Feni itu.Feni kembali mengangkat pandangannya. “Apakah kamu tahu siapa

  • Maju Mundur Kena Duda Anak Satu   Berhasil

    Mereka pun cukup lama bersantai di pinggir kolam tersebut sambil terus membicarakan masalah mereka masing masing, dan juga membahas masalah rencana Dimas dan memaltangkan rencana tersebut.Hingga malam menjadi semakin larut, dan mereka pun masuk ke dalam rumah. Mereka memutuskan untuk beristirahat malam itu. Dimas pun memilih menempati salah satu kamar tamu di rumah itu. Dimas juga sempat memperhatikan pelayan yang dibicarakan Adam tadi, dan benar saja pelayan itu ternyata cukup mencurigakan.****3 hari kemudian..Setiap hari Adam menjemput dan mengantar Jiya pulang ke rumah Dimas, tapi dalam beberapa hari itu semua yang mereka bahas hanya seputar masalah Dimas dan Feni tidak ada yang lain.Hingga malam pun tiba...Adam dan Dimas sedang berada di luar sebuah club malam. Anak buah Adam menemukan bahwa wanita itu bekerja di club malam ini sebagai penari striptis. “Gimana, semua udah siap?” tanya Dimas lewat telpon yang ada di genggamannya“Siap Tuan!” suara di dalam telpon

  • Maju Mundur Kena Duda Anak Satu   Rencana Dimas

    “Ahhkk!” ucap Jiya sambil bangun dari lantai tempatnya terjatuh. Setelah itu Jiya bangun, dan melihat ke arah orang yang sedang memegang daun pintu tersebut.“Astaga Mbak, kamu kenapa?” ucap Jiya terkejut melihat Feni yang kusut, berantakan. Kemudian Jiya segera menggandeng Feni untuk duduk di sofa ruang tamu tersebut. Feni lalu menangis keras “Hiks.. hiks.. huwa…!” “Bagaimana nasibku dan anakku. Kenapa mas Dimas tega seperti ini padaku,” ucap Feni sambil terus menangis memeluk Jiya.Kemudian Jiya pun memeluk sambil mengelus pundak Feni “Sabar mbak, Sabar. Ingat Mbak sedang mengandung, kasihan anak Mbak kalau Mbak menangis seperti ini,” ucap Jiya mencoba menenangkan Feni“Tapi Ji, bagaimana aku bisa tenang saat tahu kalau mas Dimas selingkuh seperti itu,” ucap Feni“Iya Mbak, aku sudah tahu itu dari Mas Dimas,” ucap Jiya“Jadi kamu kesini disuruh Dimas?” ucap Feni langsung melepaskan pelukannya dari dia‘Eh, aku salah bicara,’ batin Jiya kaget“Tentu saja tidak. Aku memang mendenga

  • Maju Mundur Kena Duda Anak Satu   Ibu Kantin

    Pyarrrr! Brughhh!… Terdengar suara piring pecah dan di ikuti benda jatuh dari dapur.Kemudian Jiya, Lena dan Leni saling menatap sejenak. Lalu, mereka bertiga pun langsung berlari ke arah dapur. Dan saat sampai di pintu dapur, mereka pun kaget melihat Ibu kantin sedang terbaring di lantai dan sebuah piring pecah di sampingnya.Lena yang sampai di dapur duluan, langsung mencoba membangunkan ibu kantin, tapi tidak ada respon“Kita tidak mungkin kuat menggotong dia,” ucap Lena sambil melihat tubuh Ibu kantin yang memang bisa di sebut mengalami obesitas.Lalu Lena meletakkan kepala ibu kantin di pangkuannya, dan terlihatlah ada darah di lantai tepat di bagian bekas tempat kepala ibu kantin terjatuh.“Astaga, darah!” teriak Leni.Lena pun terdiam seketika, wajahnya berubah memucat.. “Len, sabar… Len,” ucap Leni menggoyang-goyangkan tubuh saudara kembarnya tersebut“Astaga!”teriak Jiya “Leni, kamu jaga Lena dan Ibu kantin. Aku cari bantuan,” ucap JiyaKemudian Jiya pun langsung berla

  • Maju Mundur Kena Duda Anak Satu   Dimas Akan Bercerai

    Setelah mengendarai mobil selama 15 menit, kemudian mereka sampai di sebuah kafe langganan Adam dan Dimas.Adam pun segera masuk ke dalam cafe tersebut, dikuti oleh Jiya yang ada di belakangnya.Setelah mereka masuk ke dalam Cafe tersebut. Kemudian Adam dan Jiya melihat ke sekitar, lalu menemukan Dimas yang sedang duduk di salah satu meja yang agak jauh dari mereka. Dimas terlihat tak bergerak sedikitpun, ia teeus menatap ke arah luar jendela kaca di sebelahnya.Kemudian mereka pun mendekat ke arah Dimas. Tapi, Dimas tidak bergeming sedikitpun. Dia tidak sadar dengan kedatangan Jiya dan Adam yang sudah duduk di depannya.“Ehem!” Adam berdehem. Kemudian Dimas pun tersadar dari lamunannya, dan langsung menoleh dan melihat ada Adam dan Jiya yang sudah duduk depannyaLalu Dimas pun kini mengusap-ngusap wajahnya.“Ada apa?” tanya Adam penasaran pada sahabatnya tersebut karena terlihat sangat kacau“Aku sedang pusing, istriku minta cerai,” ucap Dimas“Apa!” ucap Adam dan Jiya bersamaan, kag

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status