Share

Darimana Asal Susu Itu?

Setelah berhasil memeluk Jiya, kemudian Bumi pun berbalik dan menjawab pertanyaan Nyonya Desi. "Tante Jiya ini mamaku, yang waktu itu menikah dengan Papa."

"Benarkan, Ma?" Bumi beralih melempar pertanyaan pada Jiya sembari menyuguhkan senyum termanisnya.

Langsung saja Jiya tersenyum canggung. "Iya, kamu memang benar," jawab Jiya sambil mengusap kepala Bumi dengan pelan.

Langsung saja tatapan penuh tanya dari Nyonya Desi berubah menjadi tatapan tajam.

"Tante, aku—" Kalimat Jiya terhenti ketika tiba-tiba saja Nyonya Desi berbalik badan.

"Kamu temui aku setelah selesai menyusui Clayton!" titah Nyonya Desi sembari melangkah meninggalkan tempat tersebut.

Jiya terdiam. Calon ibu mertuanya yang memang sejak awal sudah tidak menyukainya karena statusnya sebagai seorang janda dan juga hanya orang biasa kini mempunyai lebih banyak alasan untuk memisahkannya dari Raka.

"Sepertinya memang sulit dipertahankan," batin Jiya sambil tersenyum getir menatap punggung Nyonya Desi yang semakin lama semakin jauh dari pandangannya.

"Mama, apa benar kamu ingin menjadi menantu di rumah Oma Desi?" tanya Bumi dengan ekspresi sok penasarannya.

Kini Jiya pun mengalihkan pandangannya pada sosok pria kecil yang sudah lama tak dia dengar suaranya itu. "Sudah lama kita tidak bertemu, sepertinya kamu semakin pintar saja," ucapnya sembari mencubit gemas pipi Bumi.

Langsung saja Bumi membalas dengan mencubit telapak tangan Jiya, hingga Jiya pun melepaskan cubitannya. "Tentu saja aku semakin pintar, jangan pikir kamu bisa membodohiku lagi kali ini," sahut Bumi sembari tersenyum meremehkan.

"Apa dia marah karena kejadian waktu itu?" batin Jiya sambil terus menatap wajah pria kecil di depannya.

"Ambil ini, kata Papa kamu harus menggunakannya!" Bumi memberikan sebuah botol obat.

Jiya pun menerima botol obat tersebut dengan rasa yang bercampur aduk. "Terima kas—"

"Itu tidak gratis," potong Bumi.

"Tidak gratis?" Jiya menatap botol obat di tangannya. "Berapa?"

"Hanya Papa yang tahu. Kamu tanya saja padanya."

Jiya mengernyit. "Kalian ingin mengerjaiku?"

"Untuk apa mengerjaimu, kamu pikir kamu pantas untuk dikerjai," sahut Bumi sambil berbalik.

"Hah?" Jiya menyipitkan matanya.

"Ingat saja, kali ini aku tidak akan tertipu lagi olehmu. Aku dan Papa akan menagih janjimu," ujar Bumi sambil melangkah meninggalkan tempat tersebut.

"Bumi," desis Jiya sambil menggenggam erat botol obat di tangannya.

Setengah jam lebih berlalu. Setelah Jiya selesai memompa ASI dan menyusui Clayton, akhirnya dia membawa batita yang sudah terlelap tersebut ke dalam box bayi.

"Clayton," gumam Jiya sembari mengecup kening anak berumur satu tahunan tersebut. Dia memandangi wajah gembul berkulit putih tersebut selama beberapa saat. Dan tanpa terasa tiba-tiba saja air matanya meleleh.

"Bagaimana jika nanti aku sudah tidak bisa melihat kamu lagi," batinnya sembari mengamati jari-jari kecil Clayton selama beberapa saat.

"Tenang Ji, kamu harus tetap tenang," monolognya yang kemudian menghela napas panjang.

Sesaat kemudian, tiba-tiba saja terdengar ketukan di pintu masuk ruangan tersebut.

"Iya, aku akan segera pergi ke ruangan Nyonya Desi, aku tidak lupa kok Bi," ucap Jiya sambil menutup kelambu box bayi Clayton.

"Sepertinya calon ibu mertuamu sudah bertindak lebih cepat dari dugaanmu, benar kan?"

Suara laki-laki yang baru saja mengajukan pertanyaan tersebut langsung membuat Jiya tersentak dan dengan cepat berbalik. "Kamu," ucapnya melihat Adam yang dengan tenang memasuki ruangan tersebut.

Adam terus saja melangkah ke arah Jiya, bahkan membuat Jiya perlahan mundur dan terus mundur hingga sampailah batasnya. Tubuh Jiya kini tak bisa lagi bergerak karena di belakang punggungnya adalah dinding.

"Kenapa kamu takut? Apa kamu merasa bersalah?" Adam menahan Jiya di dalam kungkungannya.

Jiya yang awalnya menatap lekat mata Adam, kini langsung menoleh ke arah lain.

"Kenapa hanya diam? Berubah bisu?" ejek Adam sambil mencengkeram dagu Jiya dan membawa wajah mungil itu kembali menatap matanya.

"Kita ini sudah tidak punya hubungan Mas, jadi kamu jangan mendekatiku lagi!" seru Jiya sembari mencoba mendorong tubuh Adam, tetapi nyatanya tubuh besar di depannya itu tak bergerak sedikit pun.

"Aku bisa melepaskanmu, tapi kamu harus menjawab pertanyaanku," ucap Adam yang kini makin keras mencengkeram dagu Jiya.

"Apa?"

"Dari mana asal susumu?"

Seketika mata Jiya membola mendengar pertanyaan tersebut.

"Kamu tidak mungkin memiliki ASI jika kamu tidak pernah hamil. Kamu hamil anak kita kan?" tanya Adam lalu memukul dinding tepat di dekat wajah Jiya.

Jiya memejamkan matanya saat suara dentuman dari tangan Adam dan tembok di belakang tubuhnya terdengar menggema di telinganya.

"Jawab!" sentak Adam.

Namun Jiya terus saja diam sambil menutup mata. "Apa yang harus aku lakukan?" batinnya yang tidak ingin menceritakan masalah kematian anak mereka.

Namun, tiba-tiba saja napasnya tercekat ketika tangan Adam mencengkeram lehernya. "Mas," ucapnya sambil berusaha melepaskan tangan Adam.

"Katakan, di mana anakku? Katakan!" tekan Adam yang kini saling beradu pandang dengan Jiya.

Jiya tak menjawab dan terus berusaha melepaskan cengkeraman di lehernya. Hingga ….

"Heeeekk! Huee!" Tangis tiba-tiba pecah dari Clayton yang tadi tertidur pulas.

"Lepaskan aku, Clayton nangis," pinta Jiya sambil menarik-narik lengan Adam.

Dan dari pintu kamar itu tiba-tiba saja masuklah Suster Ana. "Bu Jiya," ucapnya pelan ketika melihat Adam yang masih mencengkeram leher Jiya.

Tentu saja dia sempat terkejut, bahkan langkahnya sempat berhenti selama beberapa saat, sampai akhirnya dia memutuskan kembali melangkah menghampiri box bayi karena Clayton semakin keras menangis.

Dan di saat yang sama, tiba-tiba saja Jiya menendang paha Adam dan membuat mantan suaminya itu mundur selangkah, bahkan terjungkal ke belakang karena tidak seimbang. Dan tanpa menunggu lama Jiya pun segera menyambar tas slempangnya dan berlari meninggalkan kamar tersebut.

Sedangkan Adam yang sempat terjatuh pun langsung berdiri dan merapikan pakaiannya. "Kamu tidak melihat apa pun, mengerti?" ucapnya tanpa menoleh ke arah suster Ana.

Sedangkan Suster Ana yang sedang menggendong Clayton pun menjawab dengan kaki gemetar. "Ba-ba-baik, Tuan."

"Bagus," sahut Adam sembari melangkah dengan santai meninggalkan kamar tersebut.

Lima belas menit berlalu. Setelah meninggalkan rumah keluarga Raka tanpa berpamitan, akhirnya Jiya pun sampai di toko tempatnya berjualan sekaligus tinggal bersama dengan Dila.

"Tumben sudah pulang, Mbak?" sapa penjual mie ayam yang membuka usaha di dekat toko kue milik Jiya.

Jiya yang baru saja sampai pun segera turun dari motornya. "Iya Mas, si Claytonnya sudah tidur," jawabnya sambil tersenyum kaku.

"Oh …," sahut penjual mie ayam sambil manggut-manggut.

"Ya sudah aku masuk dulu ya Mas, mau bantuin Dila," cicit Jiya sembari melangkah masuk ke dalam tokonya tanpa menunggu sahutan salah satu tetangganya tersebut.

Dan sesampainya di dalam toko, Jiya pun langsung menjatuhkan tubuhnya di atas kasur lantai di belakang meja kasir.

"Ada apa?" tanya Dila yang langsung keluar dari ruang belakang ketika mendengar suara Jiya yang ambruk di kasur tipis .

"Mati aku Dil," jawab Jiya sambil mengusap-usap wajahnya hingga memerah.

"Sudah kubilang jangan ke sana, kamu sih ngeyel," sahut Dila sambil melangkah kembali ke ruang belakang. "Terus tadi calon ibu mertuamu bagaimana? Dia marah atau—"

"Bukan, bukan dia," potong Jiya. "Dia belum sempat marah."

"Lalu?" Dila melongokkan kepalanya agar bisa melihat tingkah Jiya saat ini.

"Mas Adam ada di sana malam ini," ucap Jiya sambil mengusap-usap lehernya.

Tiba-tiba Dila yang di ruang belakang berpindah dengan cepat ke bagian depan. Dia duduk di depan Jiya dan menatap sahabatnya itu dengan rasa penasaran tinggi. "Terus?" tanyanya.

"Dia nyekik aku," ucap Jiya yang masih mengusap-usap lehernya. Kemudian dia dengan cepat merubah posisi tubuhnya dari berbaring menjadi duduk. "Dia tanya dari mana aku punya susu untuk nenenin Clayton."

"Lalu kamu jawab gimana?"

"Aku diem, mangkannya dia marah." Jiya sekali lagi mengusap-usap wajahnya. "Aku nggak nyangka kalau dia akan nanyain masalah ini dan langsung bisa nebak tentang anaknya."

Dila pun manggut-manggut. "Iya, bener juga," gumamnya.

Jiya mendongakkan kepalanya menatap ke arah langit-langit tempat itu. "Entahlah Dil, gimana nasibku selanjutnya," gumamnya.

**

Keesokan harinya.

Seperti biasanya, hari ini Jiya kembali disibukkan dengan pesanan orang-orang yang akan diambil hari ini. Hingga dia memilih untuk menyingkirkan kegalauannya sementara waktu dan berkonsentrasi pada adonan roti yang ada di hadapannya.

"Tinggal donat ini," gumamnya sembari merenggangkan punggungnya yang terasa pegal karena terus menunduk sejak pagi.

Namun, tiba-tiba saja terdengar dering ponselnya memenuhi ruangan tersebut, hingga Jiya pun terpaksa melepas sarung tangan plastiknya untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Bu Jiya, tolong datang ke rumah sakit Prisma Husada sekarang," ucap Bi Tumi di seberang panggilan tersebut.

"Ada apa Bi?" Jiya berubah panik.

"Tolong ke sini saja dulu Bu, nanti—" Kalimat Bi Tumi terhenti bersamaan dengan putusnya panggilan tersebut.

Dan tanpa berpikir lama, Jiya melepas celemeknya dan langsung menyambar tas slempangnya sambil berteriak. "Dil, aku pergi ke rumah sakit sebentar!"

"Hah, siapa yang sakit?" Dila balik bertanya dengan suara yang tak kalah tinggi dengan diiringi suara mixer yang menyertai.

"Belum tahu," jawab Jiya sembari melangkah dengan cepat keluar dari toko tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status