"Kamu harus memilih, anak itu atau istrimu!"
Jiya tersentak mendengar teriakan yang berasal dari sebuah ruangan yang sedang dilewatinya. Dia yang merasa penasaran pun langsung mengintip dari celah pintu ruangan yang tidak tertutup rapat.“Mas Adam?” batin Jiya. Matanya terbelalak ketika mengetahui ternyata salah satu orang yang ada di dalam ruangan itu adalah suaminya."Aku tidak bisa memilih," jawab Adam setelah beberapa saat hanya diam saja. "Aku akan mempertahankan keduanya."Adam dan Jiya awalnya menikah karena sebuah kesalahan di mana mereka sama-sama dijebak di dalam sebuah pesta dan berakhir ditemukan di dalam kamar yang sama. Tapi setelah melewati berbagai hal selama beberapa bulan pernikahan, akhirnya mereka berhasil membuka hati mereka untuk satu sama lain."Jangan serakah! Karena kamu tidak bisa memilih, maka aku akan membawa anak itu bersamaku. Bagaimanapun aku ini juga kakek buyutnya, aku punya hak untuk mengasuhnya."“Kakek akan membawa Bumi?” batin Jiya dengan mata membola. Tiba-tiba ia merasa takut.Ya, Adam pernah bercerita tentang ancaman kakek mertuanya mengenai hak asuh Bumi pada dirinya. Suaminya itu bercerita kalau hak asuh anak dari adik iparnya yang sudah meninggal itu akan diambil oleh kakeknya jika dia tidak bisa mengurus perusahaan dengan baik. Namun, ketika Adam menceritakan hal itu perusahaan sedang berjalan dengan baik, hingga dirinya maupun Adam tak memusingkan masalah itu.Tetapi berbeda dengan sekarang, saat ini kondisi perusahaan sedang menurun dan Adam memang terlihat cukup kewalahan menghadapi masalah perusahaan kali ini. Namun, siapa sangka kalau laki-laki tua berumur 80 tahunan itu datang secepat ini untuk menekan Adam."Secepat mungkin aku akan menyelesaikan masalah perusahaan, aku—" Kalimat Adam terhenti ketika laki-laki tua yang duduk di atas kursi roda itu mengangkat tangannya."Aku beri kamu waktu satu minggu untuk menyelesaikan masalah perusahaan. Jika dalam waktu satu minggu kondisi perusahaan tidak membaik, maka aku akan langsung membawa anak itu pergi!" tegas laki-laki tua tersebut."Tidak bisa," tolak Adam."Kalau begitu istrimu yang harus pergi."Jiya yang terkejut mendengar hal itu langsung saja menutup mulutnya. 'Bagaimana ini?' batinnya.Namun, disaat pikirannya masih dipenuhi dengan banyak pertanyaan, tiba-tiba laki-laki tua itu menggerakkan kursi rodanya ke arah pintu kamar. Sontak saja Jiya pun langsung pergi tanpa suara meninggalkan tempat tersebut. Satu minggu berlalu, saat ini kondisi perusahaan belum juga membaik. Jiya yang diliputi rasa gelisah akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan masalah hak wali yang membuat Adam tak bisa tidur selama beberapa hari ini.Suaminya tampak tidak dapat memilih. Jiya paham bahwa Adam mencintai keduanya, menyayangi baik Jiya maupun Bumi, anak yang sudah mereka anggap sebagai anak mereka sendiri. Namun ... jika memang harus memilih–"Maafkan aku, Mas," ucap Jiya sembari meletakkan sebuah surat di bawah vas bunga yang ada di atas meja riasnya.Bulir air mata merembes membasahi pipinya, dan sesaat kemudian dengan cepat Jiya mengusapnya sambil melangkah keluar dari kamar tersebut.Dia melangkah dengan tenang seperti biasanya, menyusuri lorong demi lorong yang membawanya dari pintu kamarnya ke arah ruang utama.Dirinyalah yang harus mengalah."Mbak, di mana Bumi?" tanya Jiya pada salah seorang pelayan yang ia temui."Tuan kecil sedang istirahat, Nyonya.""Kalau Nyonya Besar?" tanya Jiya lebih lanjut."Nyonya Besar sedang menghadiri pesta amal, mungkin pulangnya agak larut," beber pelayan tersebut."Baiklah," gumam Jiya sembari berganti arah menuju kamar utama anak tiri yang juga sekaligus keponakan suaminya itu.Setelah beberapa menit melangkah dan akhirnya memasuki kamar anak laki-laki tengil yang selama setahun ini sudah menjadi salah satu bagian hidupnya itu, Jiya pun segera mendekati ranjang dan dengan lembut mengecup kening anak laki-laki tersebut."Yang baik, jangan nakal lagi. Yang pinter kalau sekolah, jangan terus berkelahi," ucap Jiya lirih dengan suara paraunya.Jiya yang mencoba menguatkan hatinya sendiri.Tak ingin semakin merasa tak rela, akhirnya Jiya pun melangkahkan kakinya secepat mungkin meninggalkan kamar tersebut. Satu hari berlalu, saat ini Jiya tengah berada di kampung halamannya. Sebuah desa yang cukup maju untuk ukuran salah satu kabupaten kecil di Jawa Timur."Ji, kamu yakin mau cerai?" tanya sahabat Jiya sejak SD yang belum lama sampai di rumah tersebut."Suratnya sudah dikirim ke Jakarta, kurang yakin gimana lagi," jawab Jiya yang saat ini sedang mengupas mangga di tangannya."Tapi—"Belum sempat sahabat Jiya menyelesaikan kalimatnya, terlihat sebuah mobil masuk ke halaman rumah tersebut."Jiya!" panggil seorang laki-laki yang baru saja keluar dari dalam mobil dengan tergesa-gesa."Mas Adam," gumam Jiya yang kini terpaku menatap laki-laki yang sangat disayanginya itu."Apa maksud kamu dengan semua ini?" tanya Adam sembari membawa beberapa lembar kertas ke arah Jiya."Laki-laki siapa yang kamu tulis di kertas ini?" sentak Adam pada akhirnya.Jiya dengan cepat bangun dari kursi yang didudukinya. "Ya laki-laki yang aku sukai Mas, siapa lagi," jawab Jiya dengan nada yang juga tak kalah tinggi."Suka, sejak kapan kamu suka dengan orang lain? Sejak kapan kamu merencanakan surat gugatan cerai ini? Katakan, sejak kapan!" teriak Adam yang diliputi rasa amarah.Tak salah, dalam surat yang Jiya letakkan di bawah vas bunga di meja riasnya kemarin dia menuliskan kalau dia memilih berpisah dengan Adam untuk bersama dengan laki-laki yang lebih cocok dengan dirinya."Apa gunanya kamu tahu?” ujar Jiya dengan santainya. “Yang penting kamu setuju saja pada surat gugatanku itu, lalu bayar aku sesuai kesepakatan menjadi pengasuh Bumi seperti yang kamu katakan sebelum kita menikah dulu."“Bayar aku sesuai kesepakatan menjadi pengasuh Bumi.”Seketika sebuah seringai muncul di wajah Adam. "Jadi ini, begini tujuanmu? Ini yang kamu mau?""Ya. Aku butuh modal untuk nikah dan membuat usaha dengan calon suamiku," jawab Jiya dengan menunjukkan ekspresi datar di wajahnya.Tatapan Adam yang awalnya diselimuti amarah kini berubah penuh kebencian dan rasa jijik."Oke, kalau itu mau kamu, aku berikan semuanya."Tanpa mengucapkan apa pun lagi, kemudian Adam kembali ke dalam mobilnya dan meninggalkan tempat itu begitu saja. Sedangkan Jiya yang sedari tadi berpura-pura tenang kini langsung duduk kembali di kursinya."Ah, selesai," gumam Jiya sembari meneteskan air mata yang sedari tadi ia tahan."Minum dulu Ji, tenangkan diri kamu," ucap sahabat Jiya sembari menyodorkan segelas air teh miliknya.Jiya pun menerima minuman tersebut, tetapi tiba-tiba rasa mual memenuhi perutnya."Kamu kenapa Ji?" tanya sahabat Jiya yang tentu saja berubah panik.Jiya pun segera berlari ke halaman dan m
“Sayang, apa kamu kenal dengan Adam?“ tanya laki-laki yang kini berstatus sebagai kekasih Jiya tersebut.“Dia sepupu yang kamu bilang itu?” tanya Jiya sambil menunjuk ke arah Adam.“Iya, dia sepupuku dari Jakarta yang pernah aku ceritakan. Dia baru saja pulang dari Macau, tapi ….” Penjelasan kekasih Jiya tersebut diakhiri dengan sebuah helaan napas panjang.Jiya pun kembali menatap ke arah laki-laki yang dikatakan sebagai sepupu dari kekasihnya itu. ‘Gila, kenapa harus Mas Adam lagi sih? Padahal aku sudah mati-matian agar bisa move on dari dia, kenapa sekarang harus ketemu lagi?’ gerutunya di dalam hati.“Tidak bisa, aku tidak boleh mengingat itu semua. Sekarang aku sudah punya Mas Raka dan Kleyton, aku tidak boleh mengingat masa lalu lagi,” tekad Jiya dalam hati.Namun, tanpa diduga tiba-tiba saja Adam mengulurkan tangannya. “Bagaimana kabarmu?“ tanyanya sembari meraih tangan Jiya.Jiya yang terpaksa bangun karena tarikan dari Adam pun langsung menundukkan pandangannya. “Sial, dia pa
"Kenapa, ragu?" Kembali Adam bertanya.Langsung saja Jiya mengalihkan pandangannya kembali pada Raka. “Tentu saja aku mau. Bagaimanapun juga … ah, nanti kita bicara lagi, toko sedang banyak pesanan Mas," ucapnya sambil menarik lengannya dari genggaman Raka.Sesaat kemudian Jiya pun meninggalkan ketiga orang tersebut. Dia berjalan secepat yang dia bisa bersama dengan Dila menyeberangi jalanan untuk kembali ke toko kuenya. Di sisi lain, saat ini Raka terus menatap ke arah Jiya yang baru saja masuk ke dalam toko kue, begitu pula dengan Adam yang tak berhenti menatap ke arah wanita yang sudah ia cari-cari selama satu setengah tahun ini."Ternyata selama ini kamu sembunyi di sini," batin Adam sambil tersenyum kecil melihat Jiya yang sempat menoleh ke arah mereka berdua."Dengar, aku tidak perduli siapa dia bagimu, tapi dia adalah calon istriku sekarang. Jadi aku harap kamu mengerti posisimu saat ini," ucap Raka sambil mengepalkan tangannya kuat.Tanpa menoleh Adam pun menyahut, "Dia
Setelah berhasil memeluk Jiya, kemudian Bumi pun berbalik dan menjawab pertanyaan Nyonya Desi. "Tante Jiya ini mamaku, yang waktu itu menikah dengan Papa." "Benarkan, Ma?" Bumi beralih melempar pertanyaan pada Jiya sembari menyuguhkan senyum termanisnya.Langsung saja Jiya tersenyum canggung. "Iya, kamu memang benar," jawab Jiya sambil mengusap kepala Bumi dengan pelan.Langsung saja tatapan penuh tanya dari Nyonya Desi berubah menjadi tatapan tajam. "Tante, aku—" Kalimat Jiya terhenti ketika tiba-tiba saja Nyonya Desi berbalik badan."Kamu temui aku setelah selesai menyusui Clayton!" titah Nyonya Desi sembari melangkah meninggalkan tempat tersebut. Jiya terdiam. Calon ibu mertuanya yang memang sejak awal sudah tidak menyukainya karena statusnya sebagai seorang janda dan juga hanya orang biasa kini mempunyai lebih banyak alasan untuk memisahkannya dari Raka."Sepertinya memang sulit dipertahankan," batin Jiya sambil tersenyum getir menatap punggung Nyonya Desi yang semakin lama sem
Setengah jam berlalu, kini Jiya sudah sampai di depan salah satu ruangan yang dikatakan oleh Bi Tumi."Ada apa Bi, Clayton sakit?" tanya Jiya pada Bi Tumi yang sedang menunggu di luar ruangan. Sesaat kemudian Jiya mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangan yang tertutup rapat. "Apa sakitnya parah? Semalam sepertinya baik-baik saja.""Nggak tahu juga, Bu. Tadi tiba-tiba saja Nyonya teriak-teriak nyuruh Pak Dadang mengeluarkan mobil, terus ke sini," beber Bi Tumi yang kini ikut menatap ke arah pintu ruangan di dekat mereka."Astaga, semoga nggak ada yang serius," gumam Jiya yang semakin penasaran, tetapi hanya bisa menunggu seperti yang Bi Tumi lakukan.Sesaat kemudian Bi Tumi menepuk pelan lengan Jiya, dan membuat Jiya menoleh ke arah wanita paruh baya tersebut."Ayo duduk Bu," ajak Bi Tumi sambil melangkah ke arah kursi tunggu yang berada di dekat mereka.Namun belum sempat Jiya menyahut, tiba-tiba saja terdengar langkah seseorang yang sedang berlari ke arah mereka. "Ada
Jiya terdiam. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Raka akan mengatakan hal itu. Ya, dulu Jiya memang mengarang cerita seperti yang dikatakan oleh Raka untuk mengelabui semua orang yang mengenalnya di kota itu.Saat itu Jiya berpikir untuk tidak menceritakan yang sebenarnya dan bertingkah sebagai wanita yang diceraikan dan menyedihkan, agar lebih mudah diterima para tetangganya karena saat itu dia sedang hamil dan datang ke kota itu tanpa suami. Sedangkan saat bertemu dengan Raka, dia juga mengatakan kebohongan itu karena dia tidak pernah berpikir akan sedekat ini dengan Raka."Katakan Ji, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Raka sambil menarik tangannya dari satpam rumah sakit yang memeganginya.Desakan dari Raka membuat Jiya menelan ludahnya. Sesaat kemudian Jiya pun berganti melirik ke arah Adam yang juga sedang menatapnya dengan tajam. 'Bagaimana ini?' batin Jiya yang kebingungan.Sesaat kemudian Raka sudah beralih mendekati jiya. "Katakan yang sebenarnya!" tekan Raka sambil m
Setelah itu Jiya dan Dila pun membawa paket tersebut masuk ke dapur."Aku tidak menyangka kalau kamu akan menerima paket itu," ujar Dila yang saat ini berdiri tepat di sebelah Jiya. Dia dan Jiya sama-sama memandangi paket yang baru saja diletakkan oleh Jiya di atas meja khusus untuk memotong roti."Bukankah tadi kamu yang bersemangat mendapat paket ini," sahut Jiya sambil melirik ke arah sahabatnya itu.Dila pun menoleh dan menyahut, "Kamu kan tahu sendiri kalau aku itu cuma bercanda. Lagi pula biasanya kamu juga tidak akan mau menerima barang-barang yang tidak jelas seperti ini."Jiya pun mengambil gunting yang ada di dekat paket tersebut. "Sebenarnya kalau paket ini belum dibayar aku juga tidak akan menerimanya. Tapi karena paket ini sudah dibayar, jadi tidak ada ruginya kalau aku menerimanya. Lagi pula beberapa hari ini hidupku penuh dengan hal-hal aneh, tidak akan jadi lebih aneh lagi jika ada paket seperti ini.""Hati-hati Ji bukannya, guntingnya dikit-dikit aja, jangan-janga
"Selamat malam Tante," ucap anak laki-laki yang baru saja turun dari mobil tersebut sambil tersenyum hangat ke arah Dila."Ah, iya-iya selamat malam," sahut Dila lalu tersenyum canggung ke arah anak laki-laki yang saat ini berjalan ke arahnya sambil membawa sebuah buket bunga mawar."Ini untuk Tante," ucap anak laki-laki tersebut sambil menyodorkan buket bunga yang ada di tangannya.Senyum pun mengembang di bibir Dila. "Wah, terima kasih ya, Bumi. Kamu memang anak yang manis," ucapnya sambil mengusap wajah anak laki-laki tersebut.Sedangkan Jiya yang melihat hal itu langsung menutupi bibirnya dengan telapak tangan kirinya. 'Dasar anak kampret,' batinnya yang kini menahan tawa melihat tingkah Bumi yang sangat jelas ingin membuatnya kesal.Sesaat kemudian Bumi menoleh dan mengambil kantong kresek yang saat ini disodorkan oleh anak buah ayahnya. "Ini untuk kamu," ucap Bumi dengan ketus sambil menyodorkan kantong kresek yang berisikan marta