Share

Maju Mundur Kena Duda Anak Satu
Maju Mundur Kena Duda Anak Satu
Author: Si Mendhut

Mengalah

"Kamu harus memilih, anak itu atau istrimu!"

Jiya tersentak mendengar teriakan yang berasal dari sebuah ruangan yang sedang dilewatinya. Dia yang merasa penasaran pun langsung mengintip dari celah pintu ruangan yang tidak tertutup rapat.

“Mas Adam?” batin Jiya. Matanya terbelalak ketika mengetahui ternyata salah satu orang yang ada di dalam ruangan itu adalah suaminya.

"Aku tidak bisa memilih," jawab Adam setelah beberapa saat hanya diam saja. "Aku akan mempertahankan keduanya."

Adam dan Jiya awalnya menikah karena sebuah kesalahan di mana mereka sama-sama dijebak di dalam sebuah pesta dan berakhir ditemukan di dalam kamar yang sama. Tapi setelah melewati berbagai hal selama beberapa bulan pernikahan, akhirnya mereka berhasil membuka hati mereka untuk satu sama lain.

"Jangan serakah! Karena kamu tidak bisa memilih, maka aku akan membawa anak itu bersamaku. Bagaimanapun aku ini juga kakek buyutnya, aku punya hak untuk mengasuhnya."

“Kakek akan membawa Bumi?” batin Jiya dengan mata membola. Tiba-tiba ia merasa takut.

Ya, Adam pernah bercerita tentang ancaman kakek mertuanya mengenai hak asuh Bumi pada dirinya. Suaminya itu bercerita kalau hak asuh anak dari adik iparnya yang sudah meninggal itu akan diambil oleh kakeknya jika dia tidak bisa mengurus perusahaan dengan baik. Namun, ketika Adam menceritakan hal itu perusahaan sedang berjalan dengan baik, hingga dirinya maupun Adam tak memusingkan masalah itu.

Tetapi berbeda dengan sekarang, saat ini kondisi perusahaan sedang menurun dan Adam memang terlihat cukup kewalahan menghadapi masalah perusahaan kali ini. Namun, siapa sangka kalau laki-laki tua berumur 80 tahunan itu datang secepat ini untuk menekan Adam.

"Secepat mungkin aku akan menyelesaikan masalah perusahaan, aku—" Kalimat Adam terhenti ketika laki-laki tua yang duduk di atas kursi roda itu mengangkat tangannya.

"Aku beri kamu waktu satu minggu untuk menyelesaikan masalah perusahaan. Jika dalam waktu satu minggu kondisi perusahaan tidak membaik, maka aku akan langsung membawa anak itu pergi!" tegas laki-laki tua tersebut.

"Tidak bisa," tolak Adam.

"Kalau begitu istrimu yang harus pergi."

Jiya yang terkejut mendengar hal itu langsung saja menutup mulutnya. 'Bagaimana ini?' batinnya.

Namun, disaat pikirannya masih dipenuhi dengan banyak pertanyaan, tiba-tiba laki-laki tua itu menggerakkan kursi rodanya ke arah pintu kamar. Sontak saja Jiya pun langsung pergi tanpa suara meninggalkan tempat tersebut.

Satu minggu berlalu, saat ini kondisi perusahaan belum juga membaik. Jiya yang diliputi rasa gelisah akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan masalah hak wali yang membuat Adam tak bisa tidur selama beberapa hari ini.

Suaminya tampak tidak dapat memilih. Jiya paham bahwa Adam mencintai keduanya, menyayangi baik Jiya maupun Bumi, anak yang sudah mereka anggap sebagai anak mereka sendiri. Namun ... jika memang harus memilih–

"Maafkan aku, Mas," ucap Jiya sembari meletakkan sebuah surat di bawah vas bunga yang ada di atas meja riasnya.

Bulir air mata merembes membasahi pipinya, dan sesaat kemudian dengan cepat Jiya mengusapnya sambil melangkah keluar dari kamar tersebut.

Dia melangkah dengan tenang seperti biasanya, menyusuri lorong demi lorong yang membawanya dari pintu kamarnya ke arah ruang utama.

Dirinyalah yang harus mengalah.

"Mbak, di mana Bumi?" tanya Jiya pada salah seorang pelayan yang ia temui.

"Tuan kecil sedang istirahat, Nyonya."

"Kalau Nyonya Besar?" tanya Jiya lebih lanjut.

"Nyonya Besar sedang menghadiri pesta amal, mungkin pulangnya agak larut," beber pelayan tersebut.

"Baiklah," gumam Jiya sembari berganti arah menuju kamar utama anak tiri yang juga sekaligus keponakan suaminya itu.

Setelah beberapa menit melangkah dan akhirnya memasuki kamar anak laki-laki tengil yang selama setahun ini sudah menjadi salah satu bagian hidupnya itu, Jiya pun segera mendekati ranjang dan dengan lembut mengecup kening anak laki-laki tersebut.

"Yang baik, jangan nakal lagi. Yang pinter kalau sekolah, jangan terus berkelahi," ucap Jiya lirih dengan suara paraunya.

Jiya yang mencoba menguatkan hatinya sendiri.

Tak ingin semakin merasa tak rela, akhirnya Jiya pun melangkahkan kakinya secepat mungkin meninggalkan kamar tersebut.

Satu hari berlalu, saat ini Jiya tengah berada di kampung halamannya. Sebuah desa yang cukup maju untuk ukuran salah satu kabupaten kecil di Jawa Timur.

"Ji, kamu yakin mau cerai?" tanya sahabat Jiya sejak SD yang belum lama sampai di rumah tersebut.

"Suratnya sudah dikirim ke Jakarta, kurang yakin gimana lagi," jawab Jiya yang saat ini sedang mengupas mangga di tangannya.

"Tapi—"

Belum sempat sahabat Jiya menyelesaikan kalimatnya, terlihat sebuah mobil masuk ke halaman rumah tersebut.

"Jiya!" panggil seorang laki-laki yang baru saja keluar dari dalam mobil dengan tergesa-gesa.

"Mas Adam," gumam Jiya yang kini terpaku menatap laki-laki yang sangat disayanginya itu.

"Apa maksud kamu dengan semua ini?" tanya Adam sembari membawa beberapa lembar kertas ke arah Jiya.

"Laki-laki siapa yang kamu tulis di kertas ini?" sentak Adam pada akhirnya.

Jiya dengan cepat bangun dari kursi yang didudukinya. "Ya laki-laki yang aku sukai Mas, siapa lagi," jawab Jiya dengan nada yang juga tak kalah tinggi.

"Suka, sejak kapan kamu suka dengan orang lain? Sejak kapan kamu merencanakan surat gugatan cerai ini? Katakan, sejak kapan!" teriak Adam yang diliputi rasa amarah.

Tak salah, dalam surat yang Jiya letakkan di bawah vas bunga di meja riasnya kemarin dia menuliskan kalau dia memilih berpisah dengan Adam untuk bersama dengan laki-laki yang lebih cocok dengan dirinya.

"Apa gunanya kamu tahu?” ujar Jiya dengan santainya. “Yang penting kamu setuju saja pada surat gugatanku itu, lalu bayar aku sesuai kesepakatan menjadi pengasuh Bumi seperti yang kamu katakan sebelum kita menikah dulu."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status